Wawan Eko Yulianto*
http://oase.kompas.com/
“NEGERI KITA BELUM MERDEKA!” begitulah kira-kira bunyi headline dua koran lokal menyusul “pemerkosaan” sebuah monumen kemerdekaan hasil sumbangan yang baru diresmikan.
Dua minggu sebelum peringatan hari kemerdekaan, para veteran yang dulunya tergabung ke dalam tentara pelajar mengundang bapak walikota dan para wartawan ke sebuah sudut jalan di sebuah pemukiman.
Di sana, wakil dari para veteran itu mengatakan kepada bapak walikota, “Kami sumbangkan Monumen Merdeka untuk kota kita . . . .” Sambil berkata, dia menarik kain yang menutupi sebuah bangun yang menjulang agak tinggi. Kain tersibak dan terlihatlah sebuah patung. “Kami harap, monumen ini bisa menjadi peringatan bagi generasi muda agar mereka menghargai kemerdekaan yang telah kami perjuangkan dan agar mereka bisa menggunakannya dengan sebaik-baiknya.”
Bapak walikota menyatakan kegembiraannya dan berjanji akan mengelola monumen ini dengan sebaik-baiknya. Para wartawan mencatat kata-kata sang veteran.
Maka, sejak itu kota memiliki sebuah monumen yang dikenal sebagai Monumen Merdeka. Monumen itu tak terlalu besar, tetapi sangat bagus. Ada pelataran bundar beralas beton dengan diameter sekitar tujuh meter. Di sekeliling lingkaran itu ada bangku juga dari beton. Di sekeliling bangku beton terdapat bagian yang dikelilingi kawasan yang hanya tertutupi batu-batu kali berukuran tinju orang dewasa. Di tengah-tengah lingkaran itu terdapat sebuah patung tentara mengangkat tangannya yang terkepal, dengan wajah tersenyum, dan membawa buku di tangan kirinya. Sekalian dengan pedestalnya, monumen itu berukuran tinggi tiga meter. Pada pedestal patung terdapat tulisan “Merdeka! Kini saatnya bagimu menggunakan kemerdekaan inil!”
* * *
Misdi si tukang sampah bekerja setiap hari. Dia ambil sampah di depan setiap rumah dan dia masukkan ke gerobaknya yang berwarna kuning. Jika sampah dari semua rumah sudah dia ambil, dia tinggal berjalan ke tempat pembuangan sampah kelurahan. Selanjutnya, akan ada truk sampah yang membawa sampah hasil buangan para tukang sampah seperti Misdi. Tanggung jawab Misdi hanya mulai rumah-rumah hingga tempat pembuangan sampah keluharan. Namun, sejak adanya Monumen Merdeka, bapak lurah memberinya tanggung jawab tambahan yaitu menjaga kebersihan Monumen Merdeka.
Misdi berangkat pada pukul 2 dini hari. Saat banyak orang sedang kerepotan bermimpi, Misdi sudah keluar rumahnya menarik gerobak kuning dan berbaju kuning yang setiap hari dia pakai untuk bekerja itu. Baju dan gerobak Misdi sangat bau. Aromanya seperti campuran segala macam sampah. Saking seringnya dia pakai berdekat-dekat dengan sampah, baju dan gerobaknya itu selalu bau. Bahkan, saat dia masih baru keluar rumahnya dan belum menyentuh sampah sama sekali, baju itu sudah berbau.
Saat dia berjalan menuju tempat pembuangan sampah kelurahan, dia akan melewati sederetan rumah agak mewah. Di tengah-tengah deretan rumah agak mewah itulah terdapat monumen baru, Monumen Merdeka. Itulah tanggung jawabnya yang baru. Biasanya, dia sudah berada di sana pada pukul setengah empat.
Tanggung jawab baru itu membuat Misdi jadi selalu berhenti di sana. Tidak banyak yang perlu dibersihkan, paling-paling dia hanya akan memungut sedikit sampah dan mengosongkan keranjang sampah yang ada di sana. Lalu dia akan beristirahat sejenak, sekedar melepas lelah. Dia selalu memarkir gerobaknya tepat di depan monumen itu dan berjalan ke bangku yang melingkari patung. Di salah satu sudut dia langsung memilih berbaring. Dia suka melihat tentara yang membawa buku itu.
Yang selalu dia lakukan adalah meratapi kenapa dia menjadi tukang sampah. Sebenarnya dia tak ingin mengeluh seperti itu. Tapi, tanpa sengaja, hal itu dia lakukan sebagai dampak dari tekanan kehidupan yang dia hadapi setiap hari. Terlebih lagi, patung yang membawa buku itu seperti memandang dengan tatapan yang memahami. Seakan-akan si patung memahami keluhan-keluhan yang Misdi sampaikan dengan suara lirih itu.
Yang paling sering dia keluhkan adalah soal dana bantuan sosial dari pemerintah. Dia tidak terima atas perlakuan pihak kelurahan yang sangat tidak adil. Dia sudah memohon agar bisa mendapatkan bantuan tunai itu. Namun, pihak kelurahan tidak meloloskannya hanya karena dia sudah memiliki pekerjaan sebagai penarik gerobak sampah kelurahan dan mendapatkan gaji tetap. Sementara itu, seorang tetangganya mendapatkan bantuan tunai itu padahal dia punya sawah lumayan banyak di pinggiran kota. Alasan yang paling mudah adalah bahwa sawah tidak memberikan penghasilan yang tetap. Tapi, yang pasti, si penerima itu adalah keluarga dekat seorang pegawai di kantor kelurahan.
Itulah yang paling layak dia keluhkan sambil berbaring di bangku beton yang dingin itu. Semilir angin fajar yang mulai menunjukkan dinginnya membuat dia bisa mengeluh dengan suara berlarat-larat. Kemudian, ketika dirasa cukup, Misdi segera bangkit dan melanjutkan perjalanannya ke tempat pembuangan sampah kelurahan.
Begitulah kegiatan wajibnya sekitar pukul setengah empat pagi. Saking seringnya dia duduk di situ dan mengeluh kepada si patung, Misdi sampai merasa seakan-akan dia sudah mengenal dekat si patung. Dia seakan tahu kapan si patung siap menerima keluhannya dan kapan dia tidak bisa mengeluh dan hanya boleh duduk sambil memandangi si patung.
Yang paling sering dia katakan pada setiap kali akan meninggalkan si patung adalah, “Bagaimana bisa kamu tersenyum dan mengangkat tangan menyatakan kemerdekaan, sementara aku di sini hidup tak tenang? Jangankan hidup, tidur saja aku tak tenang!”
* * *
Pada malam hari kemerdekaan para pemuda karang taruna mengadakan acara tasyakuran di Monumen Merdeka yang sangat indah dengan bunga-bunga dan pelataran berlapis beton yang sangat bersih itu.
Mereka mengadakan perenungan dan pembacaan doa-doa agar negara ini senantiasa dalam keadaan aman sentausa, agar rakyat bisa bahagia dan terjauh dari bencana, agar para generasi muda semakin bisa menjalankan pembangunan seperti yang diamanatkan para pahlawan. Selain itu, mereka juga menyanyikan lagu-lagu akustik bertemakan kemerdekaan, membaca puisi-puisi yang membakar patriotisme, dan juga—yang tak kalah pentingnya—mengheningkan cipta atas kepahlawanan para tentara pelajar dan angkatan tua pada masa revolusi.
Acara berlangsung hingga lewat tengah malam. Semua orang sudah lelah dan mengantuk saat mereka mengakhiri acara. Keesokan harinya mereka akan menjadi panitia acara lomba-lomba kemerdekaan. Mereka juga sudah membawa pentungan kasti yang besok akan mereka pakai untuk lomba memukul kendi dengan mata tertutup. Mereka memutuskan untuk tidak membersihkan sampah yang mereka tinggalkan. Mereka rasa waktu tidak memungkinkan untuk melakukannya. Mereka membiarkannya dengan asumsi Misdi akan lewat sini dan pasti akan membersihkannya. Sementara itu peralatan untuk lomba di keesokan harinya hanya mereka letakkan di belakang bangku yang tak bisa dilihat dari jalan. Mereka menutupinya dengan terpal.
Benar saja, ketika pada pukul setengah empat Misdi lewat monumen itu dan ingin beristirahat barang sebentar seperti hari-hari biasanya, dia terkejut setengah mati. Dilihatnya monumen itu tak lagi nyaman: daun pisang bekas bungkus kue nagasari bertebaran di mana-mana, gelas-gelas plastik air mineral tampak sangat banyak di berbagai sudut, kantong-kantong plastik kue juga berserakan, dan ada juga kertas-kertas warna merah-putih yang entah habis dipakai untuk apa. Misdi bisa saja berlalu dan langsung menuju tempat pembuangan sampah kelurahan. Tapi nalurinya mengatakan orang-orang pasti akan mencercanya jika dia benar-benar melakukan itu.
Maka, Misdi pun membersihkannya. Dia butuh waktu lebih lama untuk membersihkannya karena masih terdapat sebagian kue adonan beras pada daun-daun pisang bungkus nagasari. Kebanyakan bungkus-bungkus pisang dan kotoran itu bertebaran di sekitar bagian yang hanya tertutupi batu-batu kali, terselip-selip diantara bebatuan. Hal ini merepotkan Misdi. Ditambah lagi, sebagian dari bekas-bekas itu sudah mulai lengket pada bangku beton dan lantai monumen. Dia harus mengorek-ngorek. Dia butuh waktu sekitar setengah jam sendiri untuk membersihkan monumen itu. Dia tahu, nanti sekitar pukul sebelas siang, anak-anak karang taruna akan ke sini lagi dan mempersiapkan lomba-lomba ceria. Anak-anak Misdi pasti juga akan ikut lomba itu. Tak apa lah, pikirnya, anaknya pasti akan berbahagia. Dia senang sekali memikirkan itu. Tapi tetap saja dia geram saat harus melihat sampah-sampah itu. Namun, dia jadi ingat betapa jengkelnya dia kepada para pemuda dan orang-orang di kelurahan.
Orang-orang kelurahan itu menggajinya dengan bayaran yang tidak seberapa, tetapi mengharapkan dia bekerja dengan luar biasa berat. Contohnya pada hari ini, pada hari kemerdekaan dimana semestinya dia bisa berlibur, dia tidak mendapat libur. Bahkan, dia harus bekerja ekstra pada subuh hari seperti ini.
Betapa anehnya ini, pikirnya. Mereka telah mempersulitnya mendapatkan dana bantuan sosial dari pemerintah sementara dia begitu berbakti kepada mereka. Dan sekarang, pada hari kemerdekaan, dia sudah membuatnya bekerja dengan lebih keras tanpa penghargaan semestinya. Menurut pengalamannya, jika sebuah tempat bersih, mereka tidak pernah berterima kasih kepadanya. Namun, pada saat suatu tempat umum kotor, mereka yang menyindir-nyindir dirinya. Sungguh menjengkelkan. Ini bukan kemerdekaan.
Misdi yang sudah menemukan letak pentungan kasti di belakang bangku itu segera mengambil satu. Dia memanjat ke pedestal patung sehingga dia bisa menjangkau tangan si patung dengan pentiungannya. Dia ayunkan tongkat besi itu ke arah tangan si pahlawan yang sedang terkepal dan teracung di udara. Thang! Thang! Thang! Setelah beberapa kali, tampaklah pangkal lengan itu retak. Dia pukul lagi lengan yang kini sudah mulai bergoyang itu. Sebentar lagi tidak akan ada tangan yang mengacung tanda merdeka, pikirnya. Sebentar lagi kau akan putus. Ternyata, lengan itu tidak putus. Kerangka besi di dalam lengan membuat lengan itu tidak mungkin putus. Kini, Misdi memanjat lebih tinggi dan menarik lengan itu dengan kedua tangannya. Lengan beton itu berayun dan mulai bengkok. Pada akhirnya, setelah usaha yang melelahkan, lengan itu kini menghadap ke bawah. Ini baru bukan merdeka!
Tapi masih kurang, pikirnya. Gambar pahlawan yang tersenyum itu masih membuatnya kesal. Misdi berlari ke depan monumen. Di sana terdapat batu-batu sebesar tinju orang dewasa. Dia ambil salah satu batu di sana. Kemudian dia memanjat lagi ke tubuh monumen. Dia pukuli wajah sang pahlawan sampai wajahnya benar-benar hancur dan tak ada lagi senyum di wajahnya.
Nah, sekarang, tak ada lagi yang bisa bilang kita sudah merdeka, pikir Misdi. Kita masih belum merdeka, Pak Pahlawan! Saya masih terjajah, Pak Pahlawan!
* * *
Maka, pada hari kemerdekaan itulah semua orang bisa melihat patung yang masih berumur dua minggu itu hancur tak berbentuk. Lomba-lomba hari kemerdekaan tidak jadi diadakan di sekitar monumen. Bahkan, setelah dirundingkan, pada akhirnya lomba-lomba itu tidak jadi diadakan.
Baru keesokan harinya orang-orang tahu dari kejadian itu setelah membaca headline koran lokal yang berbunyi: NEGERI KITA BELUM MERDEKA. Isi dari berita itu adalah tentang “pemerkosaan” patung kemerdekaan tersebut.
Atas laporan beberapa orang yang melintas di depan monumen—tanpa sepengetahuan Misdi—pada saat Misdi melakukan “pemerkosaan” itu, Misdi ditangkap dan dibawa ke tahanan atas tuduhan pengrusakan sarana umum. Kepada koran-koran yang mewawancarainya karena tertarik, Misdi hanya mengatakan satu kalimat. Dan kemudian, di koran-koran ada headline seragam yang berbunyi MISDI: NEGERI KITA BELUM MERDEKA!.
9 Maret 2010
* Wawan Eko Yulianto adalah seorang cerpenis anggota Komunitas Bengkel Imajinasi Malang, dan blogger di http://berbagi-mimpi.info
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Khoirul Anam
A Qorib Hidayatullah
A Rodhi Murtadho
A. Yusrianto Elga
A. Zakky Zulhazmi
A.S. Laksana
Aang Fatihul Islam
Aba Mardjani
Abd. Mun’im
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Gaffar Ruskhan
Abdul Hadi W. M.
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Malik
Abdul Muis
Abdul Wachid BS
Abdullah Khusairi
Abidah El Khalieqy
Abimardha Kurniawan
Abroorza A. Yusra
Abu Salman
Acep Iwan Saidi
Achmad Farid Tuasikal
Adek Alwi
Adi Marsiela
Adian Husaini
Adib Muttaqin Asfar
Adji Subela
Afandi Sido
Afriza Hanifa
Afrizal Malna
Ageng Wuri R. A.
Ags. Arya Dipayana
Aguk Irawan M.N.
Agus B. Harianto
Agus Bing
Agus Noor
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Sri Danardana
Agus Sulton
Agus Sunyoto
Agus Wibowo
Agus Wirawan
Agusri Junaidi
AH J Khuzaini
Ahda Imran
Ahid Hidayat
Ahm Soleh
Ahmad Asyhar
Ahmad Farid Yahya
Ahmad Fuadi
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Musthofa Haroen
Ahmad Rofiq
Ahmad Suhendra
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Aini Aviena Violeta
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Muhaimin Azzet
Akhmad Sekhu
Al Azhar Riau
Al-Fairish
Alex R. Nainggolan
Alexander G.B.
Alfian Zainal
Aliansyah
Alimuddin
Almania Rohmah
Alunk Estohank
Amien Kamil
Amien Wangsitalaja
Anata Siregar
Andi Sutisno
Andy Riza Hidayat
Anies Baswedan
Anindita S Thayf
Anis Ceha
Anis Faridatur Rofiah
Anjrah Lelono Broto
Anna Subekti
Anton Kurnia
Ari Hidayat
Ari Kristianawati
Arie MP Tamba
Arief Junianto
Aris Kurniawan
Arti Bumi Intaran
Arul Arista
AS Sumbawi
Asarpin
Asep Sambodja
Atiqurrahman
Awalludin GD Mualif
Ayu Purwaningsih
Babe Derwan
Bakdi Soemanto
Balada
Bale Aksara
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Bayu Dwi Mardana
Bellanissa Zoditama
Beni Setia
Benny Arnas
Beno Siang Pamungkas
Berita
Berita Duka
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Bokor Hutasuhut
Brunel University London
BSW Adjikoesoemo
Budaya
Budhi Setyawan
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budiawan Dwi Santoso
Bur Rasuanto
Burhanuddin Bella
Bustan Basir Maras
Catatan
Catullus
CB. Ismulyadi
Cerbung
Cerita Rakyat
Cerpen
Chavchay Syaifullah
Cikie Wahab
Cunong Nunuk Suraja
D Zawawi Imron
Dad Murniah
Dadang Ari Murtono
Dahlia Rasyad
Damhuri Muhammad
Damiri Mahmud
Danarto
Daniel Paranamesa
Darju Prasetya
Darman Djamaluddin
Darman Moenir
Dasman Djamaluddin
David Krisna Alka
Dea Anugrah
Dedy Tri Riyadi
Denny JA
Denny Mizhar
Desi Sommalia Gustina
Dewi Anggraeni
Dharma Setyawan
Dian Hartati
Didi Arsandi
Dina Oktaviani
Dipo Handoko
Djenar Maesa Ayu
Djoko Pitono
Doddi Ahmad Fauji
Doddy Hidayatullah
Dodi Chandra
Dodiek Adyttya Dwiwanto
Dody Kristianto
Donny Anggoro
Dony P. Herwanto
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Klik Santosa
Dwi Pranoto
Dwicipta
Edy A Effendi
Edy Firmansyah
Eka Budianta
Eka Fendri Putra
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Ellyzan Katan
Elnisya Mahendra
Emha Ainun Nadjib
Endah Imawati
Eni Suryanti
Eny Rose
Eriyandi Budiman
Eriyanti
Erwin Edhi Prasetya
Erwin Setia
Esai
Evan Ys
Evi Idawati
F Rahardi
Fadly Rahman
Fahrudin Nasrulloh
Faizah Sirajuddin
Faizal Syahreza
Fajar Alayubi
Fakhrunnas M.A. Jabbar
Fanny Chotimah
Fariz al-Nizar
Fariz Alneizar
Faruk HT
Fatah Anshori
Fatah Yasin Noor
Fathurrahman Karyadi
Fatimah Wahyu Sundari
Fauzan Santa
Fazabinal Alim
Festival Sastra Gresik
Fikri MS
Fiksi Mini
Fransisca Dewi Ria Utari
Franz Kafka
Fuad Anshori
Furqon Abdi
Fuska Sani Evani
Gendhotwukir
Gendut Riyanto
Gerson Poyk
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Gola Gong
Grathia Pitaloka
Gregorio Lopez y’ Fuentes
Gugun El-Guyanie
Gunawan Budi Susanto
Gus Noy
H.H. Tokoro
Hadi Napster
Hamberan Syahbana
Hamdy Salad
Hamsad Rangkuti
Han Gagas
Hang Kafrawi
Hani Pudjiarti
Hanna Fransisca
Hardi Hamzah
Hardjono WS
Haris del Hakim
Haris Priyatna
Harris Maulana
Hary B. Kori'un
Hasan Al Banna
Hasan Junus
Hasbullah Said
Hasnan Bachtiar
HE. Benyamine
Heidi Arbuckle
Helmi Y Haska
Helvy Tiana Rosa
Hendra Junaedi
Hendri Nova
Herdoni Syafriansyah
Heri Kurniawan
Heri Latief
Heri Ruslan
Herman RN
Hermawan Aksan
Hermien Y. Kleden
Herry Lamongan
Holy Adib
Humaidiy AS
Husni Anshori
I Nyoman Darma Putra
I Nyoman Tingkat
I Wayan Artika
Ibnu Wahyudi
Ida Farida
Ignas Kleden
Ilham Khoiri
Imam Cahyono
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Tohari
Indra Tranggono
Indrian Koto
Irwan Kelana
Isbedy Stiawan Z.S.
Iskandar Noe
Isma Swastiningrum
Ismi Wahid
Iwan Gardono Sujatmiko
Iwan Gunadi
Iwan Kurniawan
Iwan Nurdaya Djafar
Iwank
J.S. Badudu
Janoary M Wibowo
Javed Paul Syatha
JILFest 2008
JJ. Kusni
Jodhi Yudono
Joko Novianto Bp
Joko Pinurbo
Jones Gultom
Jual Buku Paket Hemat
Jusuf AN
Kadek Suartaya
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kasnadi
Kedung Darma Romansha
Kenedi Nurhan
Khaerudin Kurniawan
Khaerul Anwar
Ki Sugito Ha Es
Kirana Kejora
Komunitas Deo Gratias
Korrie Layun Rampan
Kritik Sastra
Kunthi Hastorini
Kuntowijoyo
Kurie Suditomo
Kurnia Effendi
Kurniawan
Kuswinarto
La Ode Rabbani
Lathifa Akmaliyah
Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember
Leon Agusta
Lily Siti Multatuliana
Lily Yulianti Farid
Lina Kelana
Liza Wahyuninto
Lona Olavia
Lugiena Dé
M Fadjroel Rachman
M Farid W Makkulau
M Syakir
M. Dawam Rahardjo
M. Faizi
M. Mustafied
M. Raudah Jambak
M. Taufan Musonip
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
M.Th. Krishdiana Putri
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Maklumat Sastra Profetik
Malkan Junaidi
Maman S. Mahayana
Mangun Kuncoro
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria D. Andriana
Maria Magdalena Bhoernomo
Mariana Amiruddin
Maryati
Marzuzak SY
Mashuri
Maulana Syamsuri
Media: Crayon on Paper
Mega Vristian
MG. Sungatno
Misbahus Surur
Mofik el-abrar
Moh. Amir Sutaarga
Moh. Ghufron Cholid
Mohammad Hatta
Mohammad Kh. Azad
Mohammad Takdir Ilahi
Much. Khoiri
Muhamad Taslim Dalma
Muhammad Rain
Muhammad Subhan
Muhammad Yasir
Muhammadun A.S
Muhidin M Dahlan
Mujtahid
Mulyawan Karim
Musa Ismail
Musfi Efrizal
Mustafa Ismail
Mustofa W Hasyim
N Teguh Prasetyo
N. Mursidi
Nadhi Kiara Zifen
Nana Riskhi Susanti
Nanang Suryadi
Naskah Teater
Nasrulloh Habibi
Neva Tuhella
Nietzsche
Nirwan Dewanto
Nizar Qabbani
Noor H. Dee
Nova Christina
Novelet
Nunung Nurdiah
Nur Wachid
Nurani Soyomukti
Nurel Javissyarqi
Nurman Hartono
Nuryana Asmaudi
Nyoman Tusthi Eddy
Obrolan
Oky Sanjaya
Oyos Saroso HN
P Ari Subagyo
Pagelaran Musim Tandur
Pamusuk Eneste
Panji Satrio
PDS H.B. Jassin
Penerbit dan Toko Buku PUstaka puJAngga
Pipiet Senja
Pramoedya Ananta Toer
Pringadi AS
Pringgo HR
Prosa
Puisi
Puji Santosa
Purnawan Andra
PUstaka puJAngga
Putu Fajar Arcana
Putu Satria Kusuma
Putu Wijaya
R Masri Sareb Putra
R. Adhi Kusumaputra
R. Timur Budi Raja
R.N. Bayu Aji
Radhar Panca Dahana
Ragdi F. Daye
Rahmi Hattani
Raja Ali Haji
Raju Febrian
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Rama Dira J
Rama Prabu
Ramadhan KH
Ramon Magsaysay
Ramses Ohee
Ratih Kumala
Raudal Tanjung Banua
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Resensi
Ressa Novita
Ressa Sagitariana Putri
Ria Ristiana Dewi
Rialita Fithra Asmara
Ribut Wijoto
Rida K Liamsi
Rifka Sibarani
Rilda A. Oe. Taneko
Rilda A.Oe. Taneko
Rimbun Natamarga
Rinto Andriono
Risang Anom Pujayanto
Rita Zahara
Riyon Fidwar
Robin Al Kautsar
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rohman Budijanto
Rukardi
S Yoga
S. Jai
S. Takdir Alisyahbana
S.W. Teofani
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Sajak
Sajak Sebatang Lisong
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Salman S. Yoga
Salyaputra
Samson Rambah Pasir
Samsudin Adlawi
Sanie B. Kuncoro
Santy Novaria
Sapardi Djoko Damono
Sarabunis Mubarok
Sartika Dian Nuraini
Sasti Gotama
Sastra Nusantara
Satmoko Budi Santoso
Satriani
Saut Poltak Tambunan
Saut Situmorang
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
Selasih
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Shadiqin Sudirman
Shiny.ane el’poesya
Shourisha Arashi
Sidik Nugroho
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sindu Putra
Siska Afriani
Siti Sa’adah
Sitok Srengenge
Siwi Dwi Saputro
Slamet Samsoerizal
Sobih Adnan
Sofyan RH. Zaid
Solihin
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sony Wibisono
Sosiawan Leak
Sri Wintala Achmad
Sri Wulan Rujiati Mulyadi
Stevani Elisabeth
Suci Ayu Latifah
Sucipto Hadi Purnomo
Sudarmoko
Sudirman HN
Suhadi Mukhan
Suharsono
Sukar
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Sunudyantoro
Supriyadi
Suriani
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Sutan Iwan Soekri Munaf
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Syahruddin El-Fikri
Syaripudin Zuhri
Syifa Aulia
Syu’bah Asa
T.A. Sakti
Tammalele
Tan Lioe Ie
Tasyriq Hifzhillah
Taufik Abdullah
Taufik Effendi Aria
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Wr. Hidayat
TE. Priyono
Teguh Winarsho AS
Tenas Effendy
Tengsoe Tjahjono
Thayeb Loh Angen
Theresia Purbandini
Tia Setiadi
Tias Tatanka
Tito Sianipar
Tjahjono EP
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Tjut Zakiyah Anshari
Topik Mulyana
Tosa Poetra
Tri Harun Syafii
TS Pinang
Tu-ngang Iskandar
Udo Z. Karzi
Uly Giznawati
Umar Fauzi Ballah
Umbu Landu Paranggi
Umi Kulsum
Uniawati
Universitas Indonesia
Usman Arrumy
Usman D.Ganggang
Utada Kamaru
UU Hamidy
Viddy AD Daery
W.S. Rendra
Wa Ode Wulan Ratna
Wahib Muthalib
Wahyudi Akmaliah Muhammad
Wardjito Soeharso
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Sunarta
Weli Meinindartato
Wicaksono
Widodo DS
Wina Karnie
Wisran Hadi
Wong Wing King
Yan Maniani
Yanti Mulatsih
Yanuar Arifin
Yasser Arafat
Yaumu Roikha
Yetti A. KA
Yohanes Padmo Adi Nugroho
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yudhi Ms
Yudhistira ANM Massardi
Yulianna
Yurnaldi
Yusi A. Pareanom
Yusi Avianto Pareanom
Yusri Fajar
Yusrizal KW
Yuyun Ifa Naliah
Zaim Rofiqi
Zainal Arifin Thoha
Zakki Amali
Zakky Zulhazmi
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zelfeni Wimra
Zuarman Ahmad
Zulfikar Akbar
Tidak ada komentar:
Posting Komentar