Kamis, 15 September 2011

Negeri Kita Belum Merdeka

Wawan Eko Yulianto*
http://oase.kompas.com/

“NEGERI KITA BELUM MERDEKA!” begitulah kira-kira bunyi headline dua koran lokal menyusul “pemerkosaan” sebuah monumen kemerdekaan hasil sumbangan yang baru diresmikan.

Dua minggu sebelum peringatan hari kemerdekaan, para veteran yang dulunya tergabung ke dalam tentara pelajar mengundang bapak walikota dan para wartawan ke sebuah sudut jalan di sebuah pemukiman.

Di sana, wakil dari para veteran itu mengatakan kepada bapak walikota, “Kami sumbangkan Monumen Merdeka untuk kota kita . . . .” Sambil berkata, dia menarik kain yang menutupi sebuah bangun yang menjulang agak tinggi. Kain tersibak dan terlihatlah sebuah patung. “Kami harap, monumen ini bisa menjadi peringatan bagi generasi muda agar mereka menghargai kemerdekaan yang telah kami perjuangkan dan agar mereka bisa menggunakannya dengan sebaik-baiknya.”

Bapak walikota menyatakan kegembiraannya dan berjanji akan mengelola monumen ini dengan sebaik-baiknya. Para wartawan mencatat kata-kata sang veteran.

Maka, sejak itu kota memiliki sebuah monumen yang dikenal sebagai Monumen Merdeka. Monumen itu tak terlalu besar, tetapi sangat bagus. Ada pelataran bundar beralas beton dengan diameter sekitar tujuh meter. Di sekeliling lingkaran itu ada bangku juga dari beton. Di sekeliling bangku beton terdapat bagian yang dikelilingi kawasan yang hanya tertutupi batu-batu kali berukuran tinju orang dewasa. Di tengah-tengah lingkaran itu terdapat sebuah patung tentara mengangkat tangannya yang terkepal, dengan wajah tersenyum, dan membawa buku di tangan kirinya. Sekalian dengan pedestalnya, monumen itu berukuran tinggi tiga meter. Pada pedestal patung terdapat tulisan “Merdeka! Kini saatnya bagimu menggunakan kemerdekaan inil!”
* * *

Misdi si tukang sampah bekerja setiap hari. Dia ambil sampah di depan setiap rumah dan dia masukkan ke gerobaknya yang berwarna kuning. Jika sampah dari semua rumah sudah dia ambil, dia tinggal berjalan ke tempat pembuangan sampah kelurahan. Selanjutnya, akan ada truk sampah yang membawa sampah hasil buangan para tukang sampah seperti Misdi. Tanggung jawab Misdi hanya mulai rumah-rumah hingga tempat pembuangan sampah keluharan. Namun, sejak adanya Monumen Merdeka, bapak lurah memberinya tanggung jawab tambahan yaitu menjaga kebersihan Monumen Merdeka.

Misdi berangkat pada pukul 2 dini hari. Saat banyak orang sedang kerepotan bermimpi, Misdi sudah keluar rumahnya menarik gerobak kuning dan berbaju kuning yang setiap hari dia pakai untuk bekerja itu. Baju dan gerobak Misdi sangat bau. Aromanya seperti campuran segala macam sampah. Saking seringnya dia pakai berdekat-dekat dengan sampah, baju dan gerobaknya itu selalu bau. Bahkan, saat dia masih baru keluar rumahnya dan belum menyentuh sampah sama sekali, baju itu sudah berbau.

Saat dia berjalan menuju tempat pembuangan sampah kelurahan, dia akan melewati sederetan rumah agak mewah. Di tengah-tengah deretan rumah agak mewah itulah terdapat monumen baru, Monumen Merdeka. Itulah tanggung jawabnya yang baru. Biasanya, dia sudah berada di sana pada pukul setengah empat.

Tanggung jawab baru itu membuat Misdi jadi selalu berhenti di sana. Tidak banyak yang perlu dibersihkan, paling-paling dia hanya akan memungut sedikit sampah dan mengosongkan keranjang sampah yang ada di sana. Lalu dia akan beristirahat sejenak, sekedar melepas lelah. Dia selalu memarkir gerobaknya tepat di depan monumen itu dan berjalan ke bangku yang melingkari patung. Di salah satu sudut dia langsung memilih berbaring. Dia suka melihat tentara yang membawa buku itu.

Yang selalu dia lakukan adalah meratapi kenapa dia menjadi tukang sampah. Sebenarnya dia tak ingin mengeluh seperti itu. Tapi, tanpa sengaja, hal itu dia lakukan sebagai dampak dari tekanan kehidupan yang dia hadapi setiap hari. Terlebih lagi, patung yang membawa buku itu seperti memandang dengan tatapan yang memahami. Seakan-akan si patung memahami keluhan-keluhan yang Misdi sampaikan dengan suara lirih itu.

Yang paling sering dia keluhkan adalah soal dana bantuan sosial dari pemerintah. Dia tidak terima atas perlakuan pihak kelurahan yang sangat tidak adil. Dia sudah memohon agar bisa mendapatkan bantuan tunai itu. Namun, pihak kelurahan tidak meloloskannya hanya karena dia sudah memiliki pekerjaan sebagai penarik gerobak sampah kelurahan dan mendapatkan gaji tetap. Sementara itu, seorang tetangganya mendapatkan bantuan tunai itu padahal dia punya sawah lumayan banyak di pinggiran kota. Alasan yang paling mudah adalah bahwa sawah tidak memberikan penghasilan yang tetap. Tapi, yang pasti, si penerima itu adalah keluarga dekat seorang pegawai di kantor kelurahan.

Itulah yang paling layak dia keluhkan sambil berbaring di bangku beton yang dingin itu. Semilir angin fajar yang mulai menunjukkan dinginnya membuat dia bisa mengeluh dengan suara berlarat-larat. Kemudian, ketika dirasa cukup, Misdi segera bangkit dan melanjutkan perjalanannya ke tempat pembuangan sampah kelurahan.

Begitulah kegiatan wajibnya sekitar pukul setengah empat pagi. Saking seringnya dia duduk di situ dan mengeluh kepada si patung, Misdi sampai merasa seakan-akan dia sudah mengenal dekat si patung. Dia seakan tahu kapan si patung siap menerima keluhannya dan kapan dia tidak bisa mengeluh dan hanya boleh duduk sambil memandangi si patung.

Yang paling sering dia katakan pada setiap kali akan meninggalkan si patung adalah, “Bagaimana bisa kamu tersenyum dan mengangkat tangan menyatakan kemerdekaan, sementara aku di sini hidup tak tenang? Jangankan hidup, tidur saja aku tak tenang!”
* * *

Pada malam hari kemerdekaan para pemuda karang taruna mengadakan acara tasyakuran di Monumen Merdeka yang sangat indah dengan bunga-bunga dan pelataran berlapis beton yang sangat bersih itu.

Mereka mengadakan perenungan dan pembacaan doa-doa agar negara ini senantiasa dalam keadaan aman sentausa, agar rakyat bisa bahagia dan terjauh dari bencana, agar para generasi muda semakin bisa menjalankan pembangunan seperti yang diamanatkan para pahlawan. Selain itu, mereka juga menyanyikan lagu-lagu akustik bertemakan kemerdekaan, membaca puisi-puisi yang membakar patriotisme, dan juga—yang tak kalah pentingnya—mengheningkan cipta atas kepahlawanan para tentara pelajar dan angkatan tua pada masa revolusi.

Acara berlangsung hingga lewat tengah malam. Semua orang sudah lelah dan mengantuk saat mereka mengakhiri acara. Keesokan harinya mereka akan menjadi panitia acara lomba-lomba kemerdekaan. Mereka juga sudah membawa pentungan kasti yang besok akan mereka pakai untuk lomba memukul kendi dengan mata tertutup. Mereka memutuskan untuk tidak membersihkan sampah yang mereka tinggalkan. Mereka rasa waktu tidak memungkinkan untuk melakukannya. Mereka membiarkannya dengan asumsi Misdi akan lewat sini dan pasti akan membersihkannya. Sementara itu peralatan untuk lomba di keesokan harinya hanya mereka letakkan di belakang bangku yang tak bisa dilihat dari jalan. Mereka menutupinya dengan terpal.

Benar saja, ketika pada pukul setengah empat Misdi lewat monumen itu dan ingin beristirahat barang sebentar seperti hari-hari biasanya, dia terkejut setengah mati. Dilihatnya monumen itu tak lagi nyaman: daun pisang bekas bungkus kue nagasari bertebaran di mana-mana, gelas-gelas plastik air mineral tampak sangat banyak di berbagai sudut, kantong-kantong plastik kue juga berserakan, dan ada juga kertas-kertas warna merah-putih yang entah habis dipakai untuk apa. Misdi bisa saja berlalu dan langsung menuju tempat pembuangan sampah kelurahan. Tapi nalurinya mengatakan orang-orang pasti akan mencercanya jika dia benar-benar melakukan itu.

Maka, Misdi pun membersihkannya. Dia butuh waktu lebih lama untuk membersihkannya karena masih terdapat sebagian kue adonan beras pada daun-daun pisang bungkus nagasari. Kebanyakan bungkus-bungkus pisang dan kotoran itu bertebaran di sekitar bagian yang hanya tertutupi batu-batu kali, terselip-selip diantara bebatuan. Hal ini merepotkan Misdi. Ditambah lagi, sebagian dari bekas-bekas itu sudah mulai lengket pada bangku beton dan lantai monumen. Dia harus mengorek-ngorek. Dia butuh waktu sekitar setengah jam sendiri untuk membersihkan monumen itu. Dia tahu, nanti sekitar pukul sebelas siang, anak-anak karang taruna akan ke sini lagi dan mempersiapkan lomba-lomba ceria. Anak-anak Misdi pasti juga akan ikut lomba itu. Tak apa lah, pikirnya, anaknya pasti akan berbahagia. Dia senang sekali memikirkan itu. Tapi tetap saja dia geram saat harus melihat sampah-sampah itu. Namun, dia jadi ingat betapa jengkelnya dia kepada para pemuda dan orang-orang di kelurahan.

Orang-orang kelurahan itu menggajinya dengan bayaran yang tidak seberapa, tetapi mengharapkan dia bekerja dengan luar biasa berat. Contohnya pada hari ini, pada hari kemerdekaan dimana semestinya dia bisa berlibur, dia tidak mendapat libur. Bahkan, dia harus bekerja ekstra pada subuh hari seperti ini.

Betapa anehnya ini, pikirnya. Mereka telah mempersulitnya mendapatkan dana bantuan sosial dari pemerintah sementara dia begitu berbakti kepada mereka. Dan sekarang, pada hari kemerdekaan, dia sudah membuatnya bekerja dengan lebih keras tanpa penghargaan semestinya. Menurut pengalamannya, jika sebuah tempat bersih, mereka tidak pernah berterima kasih kepadanya. Namun, pada saat suatu tempat umum kotor, mereka yang menyindir-nyindir dirinya. Sungguh menjengkelkan. Ini bukan kemerdekaan.

Misdi yang sudah menemukan letak pentungan kasti di belakang bangku itu segera mengambil satu. Dia memanjat ke pedestal patung sehingga dia bisa menjangkau tangan si patung dengan pentiungannya. Dia ayunkan tongkat besi itu ke arah tangan si pahlawan yang sedang terkepal dan teracung di udara. Thang! Thang! Thang! Setelah beberapa kali, tampaklah pangkal lengan itu retak. Dia pukul lagi lengan yang kini sudah mulai bergoyang itu. Sebentar lagi tidak akan ada tangan yang mengacung tanda merdeka, pikirnya. Sebentar lagi kau akan putus. Ternyata, lengan itu tidak putus. Kerangka besi di dalam lengan membuat lengan itu tidak mungkin putus. Kini, Misdi memanjat lebih tinggi dan menarik lengan itu dengan kedua tangannya. Lengan beton itu berayun dan mulai bengkok. Pada akhirnya, setelah usaha yang melelahkan, lengan itu kini menghadap ke bawah. Ini baru bukan merdeka!

Tapi masih kurang, pikirnya. Gambar pahlawan yang tersenyum itu masih membuatnya kesal. Misdi berlari ke depan monumen. Di sana terdapat batu-batu sebesar tinju orang dewasa. Dia ambil salah satu batu di sana. Kemudian dia memanjat lagi ke tubuh monumen. Dia pukuli wajah sang pahlawan sampai wajahnya benar-benar hancur dan tak ada lagi senyum di wajahnya.

Nah, sekarang, tak ada lagi yang bisa bilang kita sudah merdeka, pikir Misdi. Kita masih belum merdeka, Pak Pahlawan! Saya masih terjajah, Pak Pahlawan!
* * *

Maka, pada hari kemerdekaan itulah semua orang bisa melihat patung yang masih berumur dua minggu itu hancur tak berbentuk. Lomba-lomba hari kemerdekaan tidak jadi diadakan di sekitar monumen. Bahkan, setelah dirundingkan, pada akhirnya lomba-lomba itu tidak jadi diadakan.

Baru keesokan harinya orang-orang tahu dari kejadian itu setelah membaca headline koran lokal yang berbunyi: NEGERI KITA BELUM MERDEKA. Isi dari berita itu adalah tentang “pemerkosaan” patung kemerdekaan tersebut.

Atas laporan beberapa orang yang melintas di depan monumen—tanpa sepengetahuan Misdi—pada saat Misdi melakukan “pemerkosaan” itu, Misdi ditangkap dan dibawa ke tahanan atas tuduhan pengrusakan sarana umum. Kepada koran-koran yang mewawancarainya karena tertarik, Misdi hanya mengatakan satu kalimat. Dan kemudian, di koran-koran ada headline seragam yang berbunyi MISDI: NEGERI KITA BELUM MERDEKA!.

9 Maret 2010
* Wawan Eko Yulianto adalah seorang cerpenis anggota Komunitas Bengkel Imajinasi Malang, dan blogger di http://berbagi-mimpi.info

Tidak ada komentar:

A Khoirul Anam A Qorib Hidayatullah A Rodhi Murtadho A. Yusrianto Elga A. Zakky Zulhazmi A.S. Laksana Aang Fatihul Islam Aba Mardjani Abd. Mun’im Abdul Aziz Rasjid Abdul Gaffar Ruskhan Abdul Hadi W. M. Abdul Kadir Ibrahim Abdul Malik Abdul Muis Abdul Wachid BS Abdullah Khusairi Abidah El Khalieqy Abimardha Kurniawan Abroorza A. Yusra Abu Salman Acep Iwan Saidi Achmad Farid Tuasikal Adek Alwi Adi Marsiela Adian Husaini Adib Muttaqin Asfar Adji Subela Afandi Sido Afriza Hanifa Afrizal Malna Ageng Wuri R. A. Ags. Arya Dipayana Aguk Irawan M.N. Agus B. Harianto Agus Bing Agus Noor Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sri Danardana Agus Sulton Agus Sunyoto Agus Wibowo Agus Wirawan Agusri Junaidi AH J Khuzaini Ahda Imran Ahid Hidayat Ahm Soleh Ahmad Asyhar Ahmad Farid Yahya Ahmad Fuadi Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musthofa Haroen Ahmad Rofiq Ahmad Suhendra Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Aini Aviena Violeta Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sekhu Al Azhar Riau Al-Fairish Alex R. Nainggolan Alexander G.B. Alfian Zainal Aliansyah Alimuddin Almania Rohmah Alunk Estohank Amien Kamil Amien Wangsitalaja Anata Siregar Andi Sutisno Andy Riza Hidayat Anies Baswedan Anindita S Thayf Anis Ceha Anis Faridatur Rofiah Anjrah Lelono Broto Anna Subekti Anton Kurnia Ari Hidayat Ari Kristianawati Arie MP Tamba Arief Junianto Aris Kurniawan Arti Bumi Intaran Arul Arista AS Sumbawi Asarpin Asep Sambodja Atiqurrahman Awalludin GD Mualif Ayu Purwaningsih Babe Derwan Bakdi Soemanto Balada Bale Aksara Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Bayu Dwi Mardana Bellanissa Zoditama Beni Setia Benny Arnas Beno Siang Pamungkas Berita Berita Duka Bernando J. Sujibto Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Bokor Hutasuhut Brunel University London BSW Adjikoesoemo Budaya Budhi Setyawan Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiawan Dwi Santoso Bur Rasuanto Burhanuddin Bella Bustan Basir Maras Catatan Catullus CB. Ismulyadi Cerbung Cerita Rakyat Cerpen Chavchay Syaifullah Cikie Wahab Cunong Nunuk Suraja D Zawawi Imron Dad Murniah Dadang Ari Murtono Dahlia Rasyad Damhuri Muhammad Damiri Mahmud Danarto Daniel Paranamesa Darju Prasetya Darman Djamaluddin Darman Moenir Dasman Djamaluddin David Krisna Alka Dea Anugrah Dedy Tri Riyadi Denny JA Denny Mizhar Desi Sommalia Gustina Dewi Anggraeni Dharma Setyawan Dian Hartati Didi Arsandi Dina Oktaviani Dipo Handoko Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Doddi Ahmad Fauji Doddy Hidayatullah Dodi Chandra Dodiek Adyttya Dwiwanto Dody Kristianto Donny Anggoro Dony P. Herwanto Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Klik Santosa Dwi Pranoto Dwicipta Edy A Effendi Edy Firmansyah Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Eko Darmoko Ellyzan Katan Elnisya Mahendra Emha Ainun Nadjib Endah Imawati Eni Suryanti Eny Rose Eriyandi Budiman Eriyanti Erwin Edhi Prasetya Erwin Setia Esai Evan Ys Evi Idawati F Rahardi Fadly Rahman Fahrudin Nasrulloh Faizah Sirajuddin Faizal Syahreza Fajar Alayubi Fakhrunnas M.A. Jabbar Fanny Chotimah Fariz al-Nizar Fariz Alneizar Faruk HT Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fathurrahman Karyadi Fatimah Wahyu Sundari Fauzan Santa Fazabinal Alim Festival Sastra Gresik Fikri MS Fiksi Mini Fransisca Dewi Ria Utari Franz Kafka Fuad Anshori Furqon Abdi Fuska Sani Evani Gendhotwukir Gendut Riyanto Gerson Poyk Gita Pratama Goenawan Mohamad Gola Gong Grathia Pitaloka Gregorio Lopez y’ Fuentes Gugun El-Guyanie Gunawan Budi Susanto Gus Noy H.H. Tokoro Hadi Napster Hamberan Syahbana Hamdy Salad Hamsad Rangkuti Han Gagas Hang Kafrawi Hani Pudjiarti Hanna Fransisca Hardi Hamzah Hardjono WS Haris del Hakim Haris Priyatna Harris Maulana Hary B. Kori'un Hasan Al Banna Hasan Junus Hasbullah Said Hasnan Bachtiar HE. Benyamine Heidi Arbuckle Helmi Y Haska Helvy Tiana Rosa Hendra Junaedi Hendri Nova Herdoni Syafriansyah Heri Kurniawan Heri Latief Heri Ruslan Herman RN Hermawan Aksan Hermien Y. Kleden Herry Lamongan Holy Adib Humaidiy AS Husni Anshori I Nyoman Darma Putra I Nyoman Tingkat I Wayan Artika Ibnu Wahyudi Ida Farida Ignas Kleden Ilham Khoiri Imam Cahyono Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Tohari Indra Tranggono Indrian Koto Irwan Kelana Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Isma Swastiningrum Ismi Wahid Iwan Gardono Sujatmiko Iwan Gunadi Iwan Kurniawan Iwan Nurdaya Djafar Iwank J.S. Badudu Janoary M Wibowo Javed Paul Syatha JILFest 2008 JJ. Kusni Jodhi Yudono Joko Novianto Bp Joko Pinurbo Jones Gultom Jual Buku Paket Hemat Jusuf AN Kadek Suartaya Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Kedung Darma Romansha Kenedi Nurhan Khaerudin Kurniawan Khaerul Anwar Ki Sugito Ha Es Kirana Kejora Komunitas Deo Gratias Korrie Layun Rampan Kritik Sastra Kunthi Hastorini Kuntowijoyo Kurie Suditomo Kurnia Effendi Kurniawan Kuswinarto La Ode Rabbani Lathifa Akmaliyah Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember Leon Agusta Lily Siti Multatuliana Lily Yulianti Farid Lina Kelana Liza Wahyuninto Lona Olavia Lugiena Dé M Fadjroel Rachman M Farid W Makkulau M Syakir M. Dawam Rahardjo M. Faizi M. Mustafied M. Raudah Jambak M. Taufan Musonip M. Yoesoef M.D. Atmaja M.Th. Krishdiana Putri Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Maklumat Sastra Profetik Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mangun Kuncoro Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria D. Andriana Maria Magdalena Bhoernomo Mariana Amiruddin Maryati Marzuzak SY Mashuri Maulana Syamsuri Media: Crayon on Paper Mega Vristian MG. Sungatno Misbahus Surur Mofik el-abrar Moh. Amir Sutaarga Moh. Ghufron Cholid Mohammad Hatta Mohammad Kh. Azad Mohammad Takdir Ilahi Much. Khoiri Muhamad Taslim Dalma Muhammad Rain Muhammad Subhan Muhammad Yasir Muhammadun A.S Muhidin M Dahlan Mujtahid Mulyawan Karim Musa Ismail Musfi Efrizal Mustafa Ismail Mustofa W Hasyim N Teguh Prasetyo N. Mursidi Nadhi Kiara Zifen Nana Riskhi Susanti Nanang Suryadi Naskah Teater Nasrulloh Habibi Neva Tuhella Nietzsche Nirwan Dewanto Nizar Qabbani Noor H. Dee Nova Christina Novelet Nunung Nurdiah Nur Wachid Nurani Soyomukti Nurel Javissyarqi Nurman Hartono Nuryana Asmaudi Nyoman Tusthi Eddy Obrolan Oky Sanjaya Oyos Saroso HN P Ari Subagyo Pagelaran Musim Tandur Pamusuk Eneste Panji Satrio PDS H.B. Jassin Penerbit dan Toko Buku PUstaka puJAngga Pipiet Senja Pramoedya Ananta Toer Pringadi AS Pringgo HR Prosa Puisi Puji Santosa Purnawan Andra PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Satria Kusuma Putu Wijaya R Masri Sareb Putra R. Adhi Kusumaputra R. Timur Budi Raja R.N. Bayu Aji Radhar Panca Dahana Ragdi F. Daye Rahmi Hattani Raja Ali Haji Raju Febrian Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Dira J Rama Prabu Ramadhan KH Ramon Magsaysay Ramses Ohee Ratih Kumala Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Ressa Novita Ressa Sagitariana Putri Ria Ristiana Dewi Rialita Fithra Asmara Ribut Wijoto Rida K Liamsi Rifka Sibarani Rilda A. Oe. Taneko Rilda A.Oe. Taneko Rimbun Natamarga Rinto Andriono Risang Anom Pujayanto Rita Zahara Riyon Fidwar Robin Al Kautsar Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Rohman Budijanto Rukardi S Yoga S. Jai S. Takdir Alisyahbana S.W. Teofani Sabrank Suparno Sahaya Santayana Sajak Sajak Sebatang Lisong Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Salman S. Yoga Salyaputra Samson Rambah Pasir Samsudin Adlawi Sanie B. Kuncoro Santy Novaria Sapardi Djoko Damono Sarabunis Mubarok Sartika Dian Nuraini Sasti Gotama Sastra Nusantara Satmoko Budi Santoso Satriani Saut Poltak Tambunan Saut Situmorang Sekolah Literasi Gratis (SLG) Selasih Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Shadiqin Sudirman Shiny.ane el’poesya Shourisha Arashi Sidik Nugroho Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sindu Putra Siska Afriani Siti Sa’adah Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Slamet Samsoerizal Sobih Adnan Sofyan RH. Zaid Solihin Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sony Wibisono Sosiawan Leak Sri Wintala Achmad Sri Wulan Rujiati Mulyadi Stevani Elisabeth Suci Ayu Latifah Sucipto Hadi Purnomo Sudarmoko Sudirman HN Suhadi Mukhan Suharsono Sukar Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sunudyantoro Supriyadi Suriani Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syahruddin El-Fikri Syaripudin Zuhri Syifa Aulia Syu’bah Asa T.A. Sakti Tammalele Tan Lioe Ie Tasyriq Hifzhillah Taufik Abdullah Taufik Effendi Aria Taufik Ikram Jamil Taufiq Wr. Hidayat TE. Priyono Teguh Winarsho AS Tenas Effendy Tengsoe Tjahjono Thayeb Loh Angen Theresia Purbandini Tia Setiadi Tias Tatanka Tito Sianipar Tjahjono EP Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tjut Zakiyah Anshari Topik Mulyana Tosa Poetra Tri Harun Syafii TS Pinang Tu-ngang Iskandar Udo Z. Karzi Uly Giznawati Umar Fauzi Ballah Umbu Landu Paranggi Umi Kulsum Uniawati Universitas Indonesia Usman Arrumy Usman D.Ganggang Utada Kamaru UU Hamidy Viddy AD Daery W.S. Rendra Wa Ode Wulan Ratna Wahib Muthalib Wahyudi Akmaliah Muhammad Wardjito Soeharso Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Sunarta Weli Meinindartato Wicaksono Widodo DS Wina Karnie Wisran Hadi Wong Wing King Yan Maniani Yanti Mulatsih Yanuar Arifin Yasser Arafat Yaumu Roikha Yetti A. KA Yohanes Padmo Adi Nugroho Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yudhi Ms Yudhistira ANM Massardi Yulianna Yurnaldi Yusi A. Pareanom Yusi Avianto Pareanom Yusri Fajar Yusrizal KW Yuyun Ifa Naliah Zaim Rofiqi Zainal Arifin Thoha Zakki Amali Zakky Zulhazmi Zawawi Se Zehan Zareez Zelfeni Wimra Zuarman Ahmad Zulfikar Akbar