Selasa, 19 Juli 2011

Mempertimbangkan Sastra Buruh Migran

Beni Setia
http://www.suarakarya-online.com/

Insya Allah kalau tak ada rintangan, awal Februari mendatang, Tarini Sorrita - penulis yang bekerja sebagai buruh di Hong Kong - akan meluncurkan antologi cerpennya, Penari Naga Kecil, di Surabaya. Peristiwa budaya dengan pelaku khusus buruh migran ini bukan yang pertama kali, karena pada minggu terakhir Desember 2005 pernah dilakukan launching yang serupa - lihat, "Sastra Buruh Migran: Ad-vokasi tentang Kondisi TKI", Suplemen Jatim, Kompas, 22/12. 2005, hlm. H.

Meski respon dari para sastrawan Surabaya yang non-buruh-migran terasa menyakitkan. Kenapa? Karena, dengan arogan mereka bilang, kalau pada dasarnya, ha-kekat dari genre sastra buruh migran itu hanya teks yang ditulis oleh buruh migran, dan melulu berkutetan dalam derita menjadi buruh migran. Maksudnya mungkin terlalu subyektif, maksudnya mungkin tidak mempertimbangkan kekayaan esteti-ka, pola kreativitas dn model ekspresi sastra yang ada, dan mungkin juga imajinasi yang miskin dan empati yang dangkal. Mungkin. Tapi apakah itu salah?

* * *

Per definisi sastra merupakan genre seni yang bergerak di wilayah fiksi dan dengan mempergunakan medium bahasa secara subyektif. Karenanya berseberangan dengan karya ilmiah atau berita yang berada di wilayah fakta, mengutamakan penelitian dan dikomunikasikan dengan medium bahasa obyektif yang mengutamakan validitas dari fakta yang diungkapkan.

Dengan komparasi ini kita tidak lagi tergerak untuk membandingkan puisi dan prosa, sebagai sutu teks yang lebih fiktif atau lebih kongkrit faktanya, dan diung-kapkan dengan medium bahasa yang lebih subyektif atau lebih obyektif. Karena sebuah esei pun lebih berada di dunia sastra bukan karena faktanya yang dievaluasinya dan diperluas eksistensinya dalam wawasan dan referensi minat subyektif dari penulisnya, tapi terutama dikarenakan cara dan gaya [berbahasa] dari si eseis di dalam mengungkapkan hal itu - menggunakan bahasa yang khas personal.

Dengan kata lain, sebuah sastra adalah sebuah sastra. Sangat tergantung dari eksistensi si sastrawan, tergantung dari latar belakang wawasan dan referensi subyektivitas saat memperkaya ilham yang faktual atau imajinatif - di dalam proses diskurus sebelum terpancing mengkongkritkannya di dalam teks sastra. Sehingga sebuah sastra buruh migran tak bisa tidak harus melulu berkutetan dalam permasalahan menggejolaknya rasa tak puas karena diperlakukan majikan secara tak adil - akibat bargaining positon yang jomplang. Sekaligus - supaya orsinil -, harus ditulis oleh TKW atau TKI di LN, yang merasakan langsung situasi eksploitatif akibat kondisi kerja yang tidak genah itu.

* * *

Ada kontroversi tentang apa yang mendorong seorang Multatuli, menulis dan menerbitkan roman Max Havelaar - yang episode Saijah dan Adinda-nya dijadikan film itu. Di satu sisi ada anggapan kalau Multatuli lebih terdorong untuk menuntut haknya sebagai pegawai negeri [Belanda] yang ditempatkan di tanah jajahan, yang diberhentikan secara tidak terhormat karena tak patuh pada atasan dan garis tugas. Ketimbang gagasan mulia seorang humanis, yang ingin berjuang membela hak-hak pribumi negeri jajahan, sehingga rela kehilangan hak azasinya - seperti JH Princen.

Bahwa dengan menulis roman itu ia bukan hanya sekedar menunjukkan nasib pribumi Inlander yang dieksploitasi oleh kapitalisme sistim Tanam Paksa, yang me-rupakan kongkalikong antara aparat korup kolonial dengan penguasa lokal feodalistik yang sejak awal sudah korup. Sehingga ide dasar roman itu mencocoki protes, - tuntutan dari kalangan oposisi di parlemen Belanda -, supaya pemerintah kolonial Belanda melakukan sedikit kebaikan bagi pribumi di negeri jajahan, dalam gerakan politik Balas Budi.

Dan karenanya banyak kalangan merasa kalau justru pencapaian literal karier kesusastraan Multatuli - bahkan sumbangan gaya bahasa Multatuli - lebih dominan dari roman bertendens Max Havelaar itu. Sebuah pencapaian yang sama sekali di luar harapan dan angan-angan seorang Multatuli. Sekaligus tuntutan akan perlunya ada perubahan sikap, agar pemerintahan kolonial Bekanda lebih etis di dalam mem-perlakukan orang jajahan ketika mengeksploitasi kekayaan tanah jajahan diabaikan.

Terlebih lagi keinginannya untuk rehabilitasi nama baik dan jaminan pemenuhan hak pensiun bagi pegawai yang tidak patuh. Terutama karena hal itu dilakukan di puncak kejayaan kolonial Belanda. Kenapa? Karena seorang JH Princen pun, yang melakukan disertir karena simpati kepada perjuangan kemeredekaan Indonesia, dianggap pengkhianat besar, dan tidak diakui lagi sebagai warga negara yang patut dibanggakan. Beda, misalnya, dengan seorang Westerling yang melakukan pembantaian di Sulawei Selatan dan Bandung itu, yang merupakan pelaku kejahatan terhadap kemanusiaan, yang tetap dibela sebagai warga negara yang terhormat.

* * *

Atau novel berikut ini, yang dengan tegas mengungkapkan nasib buruk buruh tani dalam sistim agroindustri kapitalisme Belanda di awal abad XX di Sumatra, yang ditulis dengan kondisi yang sangat bersipat sastra buruh migran. Lihat novel Kuli Kontrak, yang ditulis oleh M.H. Szekely-Lulofs, yang mengungkapkan pende-ritaan buruh migran [pribumi] kontrak di perkebunan swasta otonom di Deli. Sebuah novel yang ditulis oleh seorang nyonya buruh migran Belanda - meski kelas gajinya eksekutif rendahan tapi empatinya menyebabkan ia ada dan hadir sebagai ka-um marginal - yang bekerja di Indonesia dan terusik oleh penderitaan buruh migran pribumi. Tumbal eksploitasi ekonomi yang dianggap biasa dalam mitos kapital-isme. Sebuah laporan kemanusiaan dalam bahasa Belanda bagi orang Belanda di Belanda - meski kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia

Atau karya yang menjadi sangat klasik, yang telah disinggung di atas, yang mengungkapkan nasib rakyat di tengah feodalisme priyayi [pribumi] yang memanpaatkan struktur eksploitatif kolonial di dalam karya Multatuli, Max Havelaar. Yang berbicara tentang padat karya yang tak dibayar sepeserpun - bayarannya masuk ke kantung para penguasa kolonial dan feodal. Teks sastra yang sangat bersipat sastra buruh migran, karena ditulis di dalam bahasa Belanda dan ditujukan untuk orang Belanda di Belanda - kemudian diterjemakhan ke dalam bahasa Indonesia. Dan bagaimana dengan elit pribumi kita? Lantas kenapa mereka mempedulikan orang lain kalau mereka lahir dan datang ke tanah jajahan ini sebagai yang memiliki kekuasaan dan berhak memanpaatkan kekuasaan?

Jawabannya, tak bisa tidak, karena para buruh pribumi itu tidak berdaya, dan karena [di sisi lainnya] mereka lebih paham dan bisa mengungkapkan eksploitasi itu secara literal tertulis. Persis seperti yang dilakukan oleh seorang J.B. Mangunwijaya, yang dengan lugas mengungkapkan fenomena kebodohan orang Indonesia, sehingga kekayaan alamnya dieksploitasi MNC asing - dalam Burung-burung Manyar.

Bedanya, Szekely-Lulufs dan Multatuli mengutamakan simpati humanistik dan mengoperasionalkan empati secara besar-besaran, sedangkan Mangunwijaya tergerak oleh kemarahan akibat kebodohan bangsa sendiri sehingga mandah dan bangga dieksploitasi kapitalisme MNC - karena rasa keadilan yang terusik. Dan karenanya ia menunjuk dan terus menunjukkan adanya ketidakadilan, eksploitasi, dan nasib buruk buruh kecil pribumi yang terpuruk. Tragika salah satu pemilik kekayaan alam In-donesia yang gamang dan lugu di hadapan sistim kapitalisme liberal dunia, yang dengan halus dan sistimatis merampok kekayaan alam Indonesa.

* * *

Katarsis yang dilakukan para buruh migran itu, para TKI dan TKW di LN itu juga ada dalam model dan pola pemahaman yang sama. Pemahaman akan adanya situasi yang eksploitatif tanpa ada seorang pun yang terpanggil dan tergerak untuk menunjukkan dan menggarisbawahi situasi eksploitatif itu. Karenanya mereka tidak terlampau berharap supaya ada pihak yang tergerak untuk melakukan advokasi dan sekaligus memperbaiki nasib mereka dengan deregulasi yang merubah kondisi kerja para buruh migran di negeri asing.

Karena kita tahu: Banyak perusahaan PTKI yang menganggap buruh itu cuma komoditas yang pantas dijual, dan memetik keuntungan dari "penjualan tenaga dan jasa" itu tanpa mempedulikan nasib mereka cq kondisi kerjanya. Kita juga tahu ka-lau Negara cq Kedutaan tidak mau terlalu repot mengurus nasib dan kondisi kerja mereka, selain tak bisa tidak menampung para TKI yang lari dari kontrak - karena ketidakadilan kerja. Bahkan ketika pulang kerja dari LN pun mereka diburu, dieksploitasi dan diperas oleh preman dan calo transportasi - seakan-akan mereka pemenang lotre yang harus berbagi dan bukan buruh migran yang kerja dengan kondisi kerja eksploitatif. Satu manifestasi dari moral bangsa yang tak tahu malu dan sa-ngat egoistik.

Karenanya mereka hanya bisa mengeluh di antara mereka sendiri, meski beberapa orang mempunyai kemampuan dan keberanian buat mengungkapkannya ke ruang publik. Tapi pedulikah kita? Beberapa sastrawan Surabaya menganggap teks mereka sebagai keluh-kesah, dan mengharap agar para buruh migran itu tak menulis sentimentalisme akibat kondisi kerja yang eksploitatif - penderitaan ngenes nelongso mereka di LN. Mungkin juga mereka menuntut teks sastra yang indah dan ekspresis rumit mengobral variasi kata-kata dan kalimat dalam akrobatisasi bahasa.

Mungkin. Dan mungkin para buruh migran itu yang justru sedang menggugat para sastrawan salon Surabaya itu dengan pertanyaan: "Di mana kalian ketika kami dieksploitasi dan terjajah tanpa daya?" Tidak di mana-mana? Karena Multatuli, Szekely-Lulofs, dan Mangunwijaya telah lama meninggal. Memang.***

29 Januari 2006

Tidak ada komentar:

A Khoirul Anam A Qorib Hidayatullah A Rodhi Murtadho A. Yusrianto Elga A. Zakky Zulhazmi A.S. Laksana Aang Fatihul Islam Aba Mardjani Abd. Mun’im Abdul Aziz Rasjid Abdul Gaffar Ruskhan Abdul Hadi W. M. Abdul Kadir Ibrahim Abdul Malik Abdul Muis Abdul Wachid BS Abdullah Khusairi Abidah El Khalieqy Abimardha Kurniawan Abroorza A. Yusra Abu Salman Acep Iwan Saidi Achmad Farid Tuasikal Adek Alwi Adi Marsiela Adian Husaini Adib Muttaqin Asfar Adji Subela Afandi Sido Afriza Hanifa Afrizal Malna Ageng Wuri R. A. Ags. Arya Dipayana Aguk Irawan M.N. Agus B. Harianto Agus Bing Agus Noor Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sri Danardana Agus Sulton Agus Sunyoto Agus Wibowo Agus Wirawan Agusri Junaidi AH J Khuzaini Ahda Imran Ahid Hidayat Ahm Soleh Ahmad Asyhar Ahmad Farid Yahya Ahmad Fuadi Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musthofa Haroen Ahmad Rofiq Ahmad Suhendra Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Aini Aviena Violeta Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sekhu Al Azhar Riau Al-Fairish Alex R. Nainggolan Alexander G.B. Alfian Zainal Aliansyah Alimuddin Almania Rohmah Alunk Estohank Amien Kamil Amien Wangsitalaja Anata Siregar Andi Sutisno Andy Riza Hidayat Anies Baswedan Anindita S Thayf Anis Ceha Anis Faridatur Rofiah Anjrah Lelono Broto Anna Subekti Anton Kurnia Ari Hidayat Ari Kristianawati Arie MP Tamba Arief Junianto Aris Kurniawan Arti Bumi Intaran Arul Arista AS Sumbawi Asarpin Asep Sambodja Atiqurrahman Awalludin GD Mualif Ayu Purwaningsih Babe Derwan Bakdi Soemanto Balada Bale Aksara Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Bayu Dwi Mardana Bellanissa Zoditama Beni Setia Benny Arnas Beno Siang Pamungkas Berita Berita Duka Bernando J. Sujibto Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Bokor Hutasuhut Brunel University London BSW Adjikoesoemo Budaya Budhi Setyawan Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiawan Dwi Santoso Bur Rasuanto Burhanuddin Bella Bustan Basir Maras Catatan Catullus CB. Ismulyadi Cerbung Cerita Rakyat Cerpen Chavchay Syaifullah Cikie Wahab Cunong Nunuk Suraja D Zawawi Imron Dad Murniah Dadang Ari Murtono Dahlia Rasyad Damhuri Muhammad Damiri Mahmud Danarto Daniel Paranamesa Darju Prasetya Darman Djamaluddin Darman Moenir Dasman Djamaluddin David Krisna Alka Dea Anugrah Dedy Tri Riyadi Denny JA Denny Mizhar Desi Sommalia Gustina Dewi Anggraeni Dharma Setyawan Dian Hartati Didi Arsandi Dina Oktaviani Dipo Handoko Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Doddi Ahmad Fauji Doddy Hidayatullah Dodi Chandra Dodiek Adyttya Dwiwanto Dody Kristianto Donny Anggoro Dony P. Herwanto Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Klik Santosa Dwi Pranoto Dwicipta Edy A Effendi Edy Firmansyah Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Eko Darmoko Ellyzan Katan Elnisya Mahendra Emha Ainun Nadjib Endah Imawati Eni Suryanti Eny Rose Eriyandi Budiman Eriyanti Erwin Edhi Prasetya Erwin Setia Esai Evan Ys Evi Idawati F Rahardi Fadly Rahman Fahrudin Nasrulloh Faizah Sirajuddin Faizal Syahreza Fajar Alayubi Fakhrunnas M.A. Jabbar Fanny Chotimah Fariz al-Nizar Fariz Alneizar Faruk HT Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fathurrahman Karyadi Fatimah Wahyu Sundari Fauzan Santa Fazabinal Alim Festival Sastra Gresik Fikri MS Fiksi Mini Fransisca Dewi Ria Utari Franz Kafka Fuad Anshori Furqon Abdi Fuska Sani Evani Gendhotwukir Gendut Riyanto Gerson Poyk Gita Pratama Goenawan Mohamad Gola Gong Grathia Pitaloka Gregorio Lopez y’ Fuentes Gugun El-Guyanie Gunawan Budi Susanto Gus Noy H.H. Tokoro Hadi Napster Hamberan Syahbana Hamdy Salad Hamsad Rangkuti Han Gagas Hang Kafrawi Hani Pudjiarti Hanna Fransisca Hardi Hamzah Hardjono WS Haris del Hakim Haris Priyatna Harris Maulana Hary B. Kori'un Hasan Al Banna Hasan Junus Hasbullah Said Hasnan Bachtiar HE. Benyamine Heidi Arbuckle Helmi Y Haska Helvy Tiana Rosa Hendra Junaedi Hendri Nova Herdoni Syafriansyah Heri Kurniawan Heri Latief Heri Ruslan Herman RN Hermawan Aksan Hermien Y. Kleden Herry Lamongan Holy Adib Humaidiy AS Husni Anshori I Nyoman Darma Putra I Nyoman Tingkat I Wayan Artika Ibnu Wahyudi Ida Farida Ignas Kleden Ilham Khoiri Imam Cahyono Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Tohari Indra Tranggono Indrian Koto Irwan Kelana Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Isma Swastiningrum Ismi Wahid Iwan Gardono Sujatmiko Iwan Gunadi Iwan Kurniawan Iwan Nurdaya Djafar Iwank J.S. Badudu Janoary M Wibowo Javed Paul Syatha JILFest 2008 JJ. Kusni Jodhi Yudono Joko Novianto Bp Joko Pinurbo Jones Gultom Jual Buku Paket Hemat Jusuf AN Kadek Suartaya Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Kedung Darma Romansha Kenedi Nurhan Khaerudin Kurniawan Khaerul Anwar Ki Sugito Ha Es Kirana Kejora Komunitas Deo Gratias Korrie Layun Rampan Kritik Sastra Kunthi Hastorini Kuntowijoyo Kurie Suditomo Kurnia Effendi Kurniawan Kuswinarto La Ode Rabbani Lathifa Akmaliyah Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember Leon Agusta Lily Siti Multatuliana Lily Yulianti Farid Lina Kelana Liza Wahyuninto Lona Olavia Lugiena Dé M Fadjroel Rachman M Farid W Makkulau M Syakir M. Dawam Rahardjo M. Faizi M. Mustafied M. Raudah Jambak M. Taufan Musonip M. Yoesoef M.D. Atmaja M.Th. Krishdiana Putri Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Maklumat Sastra Profetik Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mangun Kuncoro Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria D. Andriana Maria Magdalena Bhoernomo Mariana Amiruddin Maryati Marzuzak SY Mashuri Maulana Syamsuri Media: Crayon on Paper Mega Vristian MG. Sungatno Misbahus Surur Mofik el-abrar Moh. Amir Sutaarga Moh. Ghufron Cholid Mohammad Hatta Mohammad Kh. Azad Mohammad Takdir Ilahi Much. Khoiri Muhamad Taslim Dalma Muhammad Rain Muhammad Subhan Muhammad Yasir Muhammadun A.S Muhidin M Dahlan Mujtahid Mulyawan Karim Musa Ismail Musfi Efrizal Mustafa Ismail Mustofa W Hasyim N Teguh Prasetyo N. Mursidi Nadhi Kiara Zifen Nana Riskhi Susanti Nanang Suryadi Naskah Teater Nasrulloh Habibi Neva Tuhella Nietzsche Nirwan Dewanto Nizar Qabbani Noor H. Dee Nova Christina Novelet Nunung Nurdiah Nur Wachid Nurani Soyomukti Nurel Javissyarqi Nurman Hartono Nuryana Asmaudi Nyoman Tusthi Eddy Obrolan Oky Sanjaya Oyos Saroso HN P Ari Subagyo Pagelaran Musim Tandur Pamusuk Eneste Panji Satrio PDS H.B. Jassin Penerbit dan Toko Buku PUstaka puJAngga Pipiet Senja Pramoedya Ananta Toer Pringadi AS Pringgo HR Prosa Puisi Puji Santosa Purnawan Andra PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Satria Kusuma Putu Wijaya R Masri Sareb Putra R. Adhi Kusumaputra R. Timur Budi Raja R.N. Bayu Aji Radhar Panca Dahana Ragdi F. Daye Rahmi Hattani Raja Ali Haji Raju Febrian Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Dira J Rama Prabu Ramadhan KH Ramon Magsaysay Ramses Ohee Ratih Kumala Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Ressa Novita Ressa Sagitariana Putri Ria Ristiana Dewi Rialita Fithra Asmara Ribut Wijoto Rida K Liamsi Rifka Sibarani Rilda A. Oe. Taneko Rilda A.Oe. Taneko Rimbun Natamarga Rinto Andriono Risang Anom Pujayanto Rita Zahara Riyon Fidwar Robin Al Kautsar Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Rohman Budijanto Rukardi S Yoga S. Jai S. Takdir Alisyahbana S.W. Teofani Sabrank Suparno Sahaya Santayana Sajak Sajak Sebatang Lisong Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Salman S. Yoga Salyaputra Samson Rambah Pasir Samsudin Adlawi Sanie B. Kuncoro Santy Novaria Sapardi Djoko Damono Sarabunis Mubarok Sartika Dian Nuraini Sasti Gotama Sastra Nusantara Satmoko Budi Santoso Satriani Saut Poltak Tambunan Saut Situmorang Sekolah Literasi Gratis (SLG) Selasih Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Shadiqin Sudirman Shiny.ane el’poesya Shourisha Arashi Sidik Nugroho Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sindu Putra Siska Afriani Siti Sa’adah Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Slamet Samsoerizal Sobih Adnan Sofyan RH. Zaid Solihin Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sony Wibisono Sosiawan Leak Sri Wintala Achmad Sri Wulan Rujiati Mulyadi Stevani Elisabeth Suci Ayu Latifah Sucipto Hadi Purnomo Sudarmoko Sudirman HN Suhadi Mukhan Suharsono Sukar Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sunudyantoro Supriyadi Suriani Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syahruddin El-Fikri Syaripudin Zuhri Syifa Aulia Syu’bah Asa T.A. Sakti Tammalele Tan Lioe Ie Tasyriq Hifzhillah Taufik Abdullah Taufik Effendi Aria Taufik Ikram Jamil Taufiq Wr. Hidayat TE. Priyono Teguh Winarsho AS Tenas Effendy Tengsoe Tjahjono Thayeb Loh Angen Theresia Purbandini Tia Setiadi Tias Tatanka Tito Sianipar Tjahjono EP Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tjut Zakiyah Anshari Topik Mulyana Tosa Poetra Tri Harun Syafii TS Pinang Tu-ngang Iskandar Udo Z. Karzi Uly Giznawati Umar Fauzi Ballah Umbu Landu Paranggi Umi Kulsum Uniawati Universitas Indonesia Usman Arrumy Usman D.Ganggang Utada Kamaru UU Hamidy Viddy AD Daery W.S. Rendra Wa Ode Wulan Ratna Wahib Muthalib Wahyudi Akmaliah Muhammad Wardjito Soeharso Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Sunarta Weli Meinindartato Wicaksono Widodo DS Wina Karnie Wisran Hadi Wong Wing King Yan Maniani Yanti Mulatsih Yanuar Arifin Yasser Arafat Yaumu Roikha Yetti A. KA Yohanes Padmo Adi Nugroho Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yudhi Ms Yudhistira ANM Massardi Yulianna Yurnaldi Yusi A. Pareanom Yusi Avianto Pareanom Yusri Fajar Yusrizal KW Yuyun Ifa Naliah Zaim Rofiqi Zainal Arifin Thoha Zakki Amali Zakky Zulhazmi Zawawi Se Zehan Zareez Zelfeni Wimra Zuarman Ahmad Zulfikar Akbar