Kamis, 02 Juni 2011

Menikmati Puisi-puisi Goenawan Mohamad

Kurnia Effendi *
http://oase.kompas.com/

Bak keinginan menyentuh permukaan air telaga atau kolam hijau yang berhiaskan teratai, ada kecemasan akan mengganggu ketenangan dan kebeningannya; demikianlah cara saya menikmati puisi-puisi Goenawan Mohamad (selanjutnya akan saya tulis GM).

Saya mengenal puisi-puisi GM secara agak saksama ketika kuliah, ketika saya terhimpun bersama kawan-kawan penggemar sastra di Grup Apresiasi Sastra ITB. Masa itu (tahun 80-an), saya sering secara sengaja atau tidak sengaja, bertemu dan berdialog dengan Arya Gunawan, Nirwan Dewanto, Acep Zamzam Noor, M. Fadjroel Rachman, dan Enin Supriyanto. Rasanya, kini, kelima teman saya itu masih berkibar namanya di antara penggiat sastra dan budaya.

Puisi Goenawan Mohamad adalah salah satu yang kerap kami perbincangkan. Bahkan, ada semacam sihir keajaiban, ketika Arya Gunawan membaca “Dingin Tak Tercatat” dalam lomba baca puisi nasional tahun 84/85, tiga juri antara lain Jacob Soemardjo dan Saini KM memberi nilai tertinggi hingga ia menggondol piala juara pertama.

Puisi “Dingin Tak Tercatat” menampilkan suasana ngungun, terpisah dari keramaian, namun terselip rasa bahagia yang menimbulkan tanya. Seolah mereka (GM dan Tuhan) sedang berdua menikmati ‘kesepian’ itu bukan dengan ‘kesedihan’. Kata “cahaya berenang” dalam puisi itu, kemudian, sungguh-sungguh kami (bersama Arya Gunawan) buktikan saat menikmati larut malam di tepi pantai Ancol. Dalam ribuan gelombang mungil sebagai anak ombak yang menepi ke pantai, pada tiap punggung dan cekungannya, terpantul cahaya yang bersumber dari lelampu gedung-gedung yang dari kejauhan seperti terletak di pinggir laut. “Itu dia cahaya yang berenang…!” seru kami takjub. Sebenarnya ketakjuban itu terbit justru karena GM mampu menuliskan pemandangan itu dalam frasa yang sederhana namun tepat.

Kemampuan seperti itu layak dipunyai oleh seorang penyair. Teman saya Tia Lesmana di Yogya, pernah menyebut sebagai “bahasa dewa” untuk kata-kata yang lahir dari seorang penyair. Di masa yang sangat lalu, pujangga umumnya adalah orang berdarah biru yang dekat dengan silsilah raja-raja (Misalnya Jayabaya dan Ronggowarsito). Dengan demikian, istilah bahasa-dewa atau bahasa-para-raja tak terlampau keliru. Sementara Joko Pinurbo menganggap pilihan kata pada puisi GM begitu mewah dan megah.

Menggunakan kata-kata ‘mewah’ atau ‘sederhana’, istilah itu mungkin semata menurut sang penafsir saja. Mari kita cermati setiap kata yang digunakan oleh GM dalam setiap puisinya. Tampaknya tidak terlalu asing (jika ‘asing’ diartikan dengan kemewahan yang mungkin jadi ‘mahal’ nilainya). Persoalannya adalah, GM memetik pelbagai idiom atau istilah yang berbeda secara kreatif. Pembaca, yang perbendaharaan bahasanya belum begitu luas, merasa harus berpikir, merasa-rasa seperti orang mencecap menu makanan baru, kemudian menelannya dengan sedikit sensasi. Apakah dengan demikian kemudian terjadi kesenjangan kimiawi antara penyair (GM) dengan kita (sebagai pembaca)?

Idiom, frasa, diksi, atau bentukan kata yang dipungut dari hamparan bahasa sendiri itu seperti mutiara yang tercuci dari lumpur. Setelah dipikir-pikir, apa anehnya? Misalnya ungkapan: kedai tukang las, sirkel api, kemah-kemah awan, cakrawala aspal, gerimis telah jadi logam, hutan besi, cahaya berenang, garis-garis suara, ornamen embun, bulan yang berlumut, derum daun-daun Ithaca, mencambukkan pijar…

Ah, alangkah banyak komposisi kata yang tak terduga (menurut saya). Yang apabila kita, bahkan tak sengaja, memungutnya, bakal segera diketahui sumbernya: GM.

Sebagai contoh, karena kata-kata itu ditemukan oleh GM, maka saat membaca ‘sirkel api’ dalam salah satu puisi Arif Bagus Prasetyo, terasa ada proses adopsi, walau mungkin tak sengaja. Kata ‘lampus’, ‘akanan’, dan ‘melankoli’, saya temukan juga dalam gugus puisi GM. Sehingga ketika bertebar pada puisi Acep Zamzam Noor (yang dimuat Kompas), seakan-akan ada pengaruh yang merasuki proses kreatif AZN. Dan pada salah satu puisi Wendoko, peserta Ubud Writers & Readers Festival (UWRF 2010), tercantum ungkapan ‘cahaya berenang’ yang diterjemahkan sebagai ‘cahaya mengapung’ dalam bahasa Inggris oleh Debra Yatim.

Saya, secara pribadi, memang seolah selalu mendapatkan pengalaman baru, sensasi baru, ketakjuban baru, setiap kali menelusuri baris-baris puisi GM. Hampir seluruh puisinya yang tak ‘berteriak’ (mungkin hanya satu-dua seperti misalnya “Gatoloco”, yang agak terasa lantang), mengandung makna tak terbatas pada yang tersurat. Lalu kami, dengan pengalaman menghayatinya, menganggap puisi-puisi GM sebagai puisi kontemplatif, puisi imajis, puisi suasana, atau juga puisi kamar. Puisi yang dibacakan dengan tenang, mungkin tak perlu panggung atau suara genderang. Saat dibaca, antara penyair dan penikmat hanya ada jarak yang intim. Mungkin boleh serupa bisik.

Namun demikian, seperti paradoks, beberapa puisi GM justru digelar dalam kemasan pertunjukan. Yang tentu membutuhkan orang banyak sebagai penonton. Salah satunya yang berjudul “Doa Persembunyian” . GM bekerjasama dengan pemusik Tony Prabowo dan pelantun lagu Ubiet.

Tuhan yang meresap di ruang kayu di greja dusun di lembah yang kosong itu, kusisipkan namamu …

“Kalau bikin puisi, kata-katanya harus monumental, agar orang selalu ingat,” demikian kata teman saya, penyair Herdi SRS. Ia pun hendak mengarah ke sana. Sejumlah besar puisinya, terutama yang berlatar mancanegara, berusaha menggapai suasana imajis. Namun tak sepenuhnya sampai. Sementara GM, belum tentu sebulan menulis satu puisi (lihat pada bukunya “Sajak-sajak Lengkap 1961-2001”). Sepertinya ia begitu sabar menanti netasnya kata-kata yang tak terduakan.

Seperti juga dalam menggarap Catatan Pinggir, GM tentu tak ingin mengulang frasa atau komposisi yang sama pada satu puisi dengan yang lainnya. Itu cukup berhasil. Namun saya temukan kata: “berlari dalam darah” pada dua buah puisi, yakni: “Di Tengah Rumah” (sekitar 1986) dan “Di Serambi” (1979). Saya kutip masing-masing satu bait: Di dalam rumah ini kita dengarkan sebuah Bach Di ujung jalan siapa berlari dalam darah?

(Di Serambi)

Di tengah rumah kaubaca sajak Amir Hamzah Di ujung jalan Orang-orang berlari Dalam darah

(Di Tengah Rumah).

Adakah yang memengaruhi karya-karya GM, atau dengan kata lain, siapa penyair yang menjadi inspirator GM? Saya tak tahu persis. Saya hanya meraba-raba, mungkin Amir Hamzah dan Chairil Anwar. Mengapa demikian? Saya merasakan ada beberapa struktur kalimat yang beraroma sajak lama. Misalnya pada bait-bait “Surat-surat Tentang Lapar” atau “Catatan-catatan Jakarta”. Tapi itu memang puisi-puisi awal GM, dengan titimangsa 1961. Sedangkan pilihan judul yang sangat lekat dengan suasana, umumnya juga digunakan oleh Chairil. Semisal: “Cemara Menderai Sampai Jauh”, “Senja di Pelabuhan Kecil.” Untuk telaah lebih jauh, sebaiknya menjadi tugas kritikus saja, misalnya Nirwan Dewanto. Saya sampai sejauh ini sedang bahagia menjadi penikmat.

Bak keinginan menyentuh muka air telaga atau kolam hijau kebiruan yang berhiaskan kuncup-kuncup padma, muncul semacam kecemasan akan mengganggu ketenangan dan kebeningannya; demikianlah cara saya menikmati puisi-puisi Goenawan Mohamad.

Betapa tidak? Sering saya merasa berdebar saat menemukan sejumlah kecil puisi GM yang tertcantum di Jurnal Kalam, misalnya. Berdebar ingin segera membacanya, sekaligus berdebar ingin berhemat agar tak segera mengakhirinya. Saya berdebar akan menemukan idiom-idiom atau metafor-metafor baru. Dan dengan ‘kemewahan’ pilihan kata-katanya (mengutip Jokpin), puisi GM menjadi semacam sidik jari penyairnya. Sehingga ketika puisi berjudul “Mezbah” di-posting di milis Apresiasi Sastra saat hari puisi sedunia (21 Maret beberapa tahun lalu) oleh Endah Sulwesi tanpa mencantumkan nama pengarangnya, saya sempat takjub. Hebat puisi itu, seperti gaya Goenawan Mohamad, pikir saya. Dan ternyata benar.


Malam pun menemui kurban di hamparan. Cahaya warna kusta dan plaza jadi dingin, ketika Ajal memandang …

Karena sikap saya demikian terhadap puisi-puisi GM, jangan-jangan ketika menulis puisi, saya pun terpengaruh padanya. Saya katakan: tentu! Meskipun, seperti juga Herdi SRS, tak sepenuhnya berhasil. Dan memang seharusnya begitu. Karena ada yang meronta untuk menunjukkan dirinya sebagai berbeda.

Dalam hal pencapaian suasana, saya kira GM tak perlu diragukan – atau setidaknya tidak saya ragukan. Suasana juga dicapai oleh sajak-sajak Rendra di awal kepenyairannya saat jatuh cinta pada Sunarti. Juga dicapai satu dua puisi Sutardji Calzoum Bachri, misalnya pada sajak berjudul “Alina”, atau “Idul Fitri”. Dan terutama yang dicapai oleh Sapardi Djoko Damono (SDD) dalam hampir seluruh puisinya. Di satu saat, saya sempat curiga, bahwa antara GM dan SDD ada kesepakatan untuk saling memuji, saling membesarkan, melalui cara saling memberi pengantar pada buku antologi puisi mereka. Tapi itu sah-sah saja. Karena, toh secara umum, keduanya berada pada tataran yang saling menghormati.

Kembali pada suasana, makna kata di dalam puisi GM saling menguatkan kesan, dan seolah ada warna yang bermain, ada suara yang bergerak, ada suhu yang meresap, ada desir perasaan yang menggelinjang. Misalnya pada judul, “Di Kota Itu, Kata Orang, Gerimis Telah Jadi Logam”. Saya membayangkan runcing jarum air yang jatuh menusuk dari langit. Saat gerimis itu menyentuh kulit, ada suhu dingin yang kontras dengan hangat tubuh kita, menghunjam tajam serupa lidi besi…

Lalu kisah apa yang terjadi pada “Perempuan yang Dirajam Menjelang Malam”? Mungkinkah itu Maria Magdalena? Atau ketika saya membaca “Persetubuhan Kunthi”, metafor erotisme itu begitu lembut tertera:

Semakin ke tengah tubuhmu yang telanjang dan berenang pada celah teratai merah … ada lempang kayu apu yang timbul tenggelam meraih arus dan buih

Sampai badai dan gempa seperti menempuhmu dan kauteriakkan jerit yang merdu itu …

Atau pada puisi “Kwatrin tentang Sebuah Poci”, kata ‘tolol’ di sana memang harus diakui oleh semua pencinta nostalgia. Barangkali ada serumpun surat-surat lama yang begitu menghanyutkan saat kita baca: mengingatkan kembali pada cinta masa lalu. Menghidupkan kenangan, yang boleh jadi, sudah tiada lagi atau tak mungkin dipanggil kembali dalam situasi apa pun. Sama halnya ketika kita memandang secercah bintang, dengan jarak sekitar ratusan tahun cahaya. Adakah benda pemilik kerlap itu masih benar-benar bertengger di sana? Bukankah separuhnya hanya ilusi? … sesuatu yang kelak retak dan kita membikinnya abadi

Namun GM tak hanya sentimental dengan perasaan-perasaan pribadi. Saat ia mengambil materi sajak dari peristiwa politik, bersit suasana tetap hadir, bahkan ditambah dengan aroma ketegangan yang kita butuhkan. Misalkan pada “Zagreb”

… Ibu itu datang, membawa bungkusan, berisi sepotong kepala, dan berkata kepada petugas imigrasi yang memeriksanya: “Ini anakku.” … dan ia bercerita: “Tujuh tentara menyeretnya dari ranjang rumah sakit, tujuh tentara membawanya ke tepi hutan dan menyembelihnya, tujuh musuh yang membunuh sebuah kepala yang terguling dan menggelepar-gelepar dan baru berhenti, diam, setelah mulutnya yang berdarah itu menggigit segenggam pasir di sela rumputan.”

Atau pada “Misalkan Kita di Sarajevo”. :

Misalkan kita di Sarajevo; mereka akan mengetuk dengan kanon sepucuk, dan bertanya benarkah ke Sarajevo ada secelah pintu masuk.

… Tapi misalkan kita di Sarajevo: di dekat museum itu kita juga akan takzim membersihkan diri: “Biarkan aku mati dalam warna kirmizi.”

….

Atau jauh di masa lalu, GM juga berhasil memotret tak sekadar warna datar dari situasi pemilihan umum. Kita simak puisi berjudul “Tentang Seorang yang Terbunuh di Sekitar Hari Pemilihan Umum”

… Di bawah petromaks kelurahan mereka menemukan liang luka yang lebih. Bayang-bayang bergoyang sibuk dan beranda meninggalkan bisik. Orang ini tak berkartu. Ia tak bernama. Ia tak berpartai. Ia tak bertanda gambar…

Kita memang merasakan, menjelang atau sesudah revolusi, situasi politik menjelang atau ketika berlangsung Pemilu, adalah situasi yang seakan tak aman bagi semua pihak. Tak ada ukuran benar dan salah, kecuali dengan parameter kekuasaan pada saat itu. Dan kekuasaan ternyata serapuh benang basah yang harus ditegakkan.

Untuk memilih mana yang paling saya suka dari sajak-sajak GM, terlampau sulit menjawab dan menentukannya. Biarlah semua sajak GM tetap tenang serupa permukaan kolam atau telaga yang biru kehijauan. Saya belum, dan mudah-mudahan tak akan, bosan menikmatinya. Karena senantiasa ada pengalaman baru setiap kali membacanya.

Mungkin yang dapat saya katakan dan mudah-mudahan benar: puisi-puisi GM tidak labil sejak awal kepenyairan hingga yang terakhir ditulisnya. Keinginannya untuk tidak mengulang, membuatnya tetap setia pada kualitas kata yang dipilihnya. Dan karakternya tidak berubah oleh waktu atau musim tertentu, dengan kematangan yang terus terbangun melalui tahun-tahun pengalaman penciptaan.

Bak keinginan menyentuh permukaan air telaga atau kolam hijau yang berhiaskan teratai, saya dengan sendirinya hati-hati menangkap tiap tafsir yang berkelindan pada suasana perasaan saya, yang tak hendak mengganggu ketenangan dan kebeningannya; demikianlah cara saya menikmati puisi-puisi Goenawan Mohamad.

==========
*) Kurnia Effendi lahir di Tegal, 20 Oktober 1960. Menulis cerpen dan puisi untuk publik pertama kali tahun 1978. Gemar mengikuti sayembara fiksi pada era 80-an, meraih sekitar 30 penghargaan, 8 di antaranya juara pertama.

Cerpen dan puisinya tersebar di berbagai media, dihimpun dalam banyak antologi bersama terutama pada agenda sastra nasional maupun internasional. Telah menerbitkan 12 buku, berupa antologi puisi, kumpulan cerpen, novel, kumpulan esai, dan memoar.

Pada Oktober 2010, diundang sebagai penulis untuk Ubud Writers & Readers Festival (UWRF). Sejak 1991 tinggal dan bekerja di Jakarta.

Tidak ada komentar:

A Khoirul Anam A Qorib Hidayatullah A Rodhi Murtadho A. Yusrianto Elga A. Zakky Zulhazmi A.S. Laksana Aang Fatihul Islam Aba Mardjani Abd. Mun’im Abdul Aziz Rasjid Abdul Gaffar Ruskhan Abdul Hadi W. M. Abdul Kadir Ibrahim Abdul Malik Abdul Muis Abdul Wachid BS Abdullah Khusairi Abidah El Khalieqy Abimardha Kurniawan Abroorza A. Yusra Abu Salman Acep Iwan Saidi Achmad Farid Tuasikal Adek Alwi Adi Marsiela Adian Husaini Adib Muttaqin Asfar Adji Subela Afandi Sido Afriza Hanifa Afrizal Malna Ageng Wuri R. A. Ags. Arya Dipayana Aguk Irawan M.N. Agus B. Harianto Agus Bing Agus Noor Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sri Danardana Agus Sulton Agus Sunyoto Agus Wibowo Agus Wirawan Agusri Junaidi AH J Khuzaini Ahda Imran Ahid Hidayat Ahm Soleh Ahmad Asyhar Ahmad Farid Yahya Ahmad Fuadi Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musthofa Haroen Ahmad Rofiq Ahmad Suhendra Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Aini Aviena Violeta Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sekhu Al Azhar Riau Al-Fairish Alex R. Nainggolan Alexander G.B. Alfian Zainal Aliansyah Alimuddin Almania Rohmah Alunk Estohank Amien Kamil Amien Wangsitalaja Anata Siregar Andi Sutisno Andy Riza Hidayat Anies Baswedan Anindita S Thayf Anis Ceha Anis Faridatur Rofiah Anjrah Lelono Broto Anna Subekti Anton Kurnia Ari Hidayat Ari Kristianawati Arie MP Tamba Arief Junianto Aris Kurniawan Arti Bumi Intaran Arul Arista AS Sumbawi Asarpin Asep Sambodja Atiqurrahman Awalludin GD Mualif Ayu Purwaningsih Babe Derwan Bakdi Soemanto Balada Bale Aksara Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Bayu Dwi Mardana Bellanissa Zoditama Beni Setia Benny Arnas Beno Siang Pamungkas Berita Berita Duka Bernando J. Sujibto Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Bokor Hutasuhut Brunel University London BSW Adjikoesoemo Budaya Budhi Setyawan Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiawan Dwi Santoso Bur Rasuanto Burhanuddin Bella Bustan Basir Maras Catatan Catullus CB. Ismulyadi Cerbung Cerita Rakyat Cerpen Chavchay Syaifullah Cikie Wahab Cunong Nunuk Suraja D Zawawi Imron Dad Murniah Dadang Ari Murtono Dahlia Rasyad Damhuri Muhammad Damiri Mahmud Danarto Daniel Paranamesa Darju Prasetya Darman Djamaluddin Darman Moenir Dasman Djamaluddin David Krisna Alka Dea Anugrah Dedy Tri Riyadi Denny JA Denny Mizhar Desi Sommalia Gustina Dewi Anggraeni Dharma Setyawan Dian Hartati Didi Arsandi Dina Oktaviani Dipo Handoko Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Doddi Ahmad Fauji Doddy Hidayatullah Dodi Chandra Dodiek Adyttya Dwiwanto Dody Kristianto Donny Anggoro Dony P. Herwanto Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Klik Santosa Dwi Pranoto Dwicipta Edy A Effendi Edy Firmansyah Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Eko Darmoko Ellyzan Katan Elnisya Mahendra Emha Ainun Nadjib Endah Imawati Eni Suryanti Eny Rose Eriyandi Budiman Eriyanti Erwin Edhi Prasetya Erwin Setia Esai Evan Ys Evi Idawati F Rahardi Fadly Rahman Fahrudin Nasrulloh Faizah Sirajuddin Faizal Syahreza Fajar Alayubi Fakhrunnas M.A. Jabbar Fanny Chotimah Fariz al-Nizar Fariz Alneizar Faruk HT Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fathurrahman Karyadi Fatimah Wahyu Sundari Fauzan Santa Fazabinal Alim Festival Sastra Gresik Fikri MS Fiksi Mini Fransisca Dewi Ria Utari Franz Kafka Fuad Anshori Furqon Abdi Fuska Sani Evani Gendhotwukir Gendut Riyanto Gerson Poyk Gita Pratama Goenawan Mohamad Gola Gong Grathia Pitaloka Gregorio Lopez y’ Fuentes Gugun El-Guyanie Gunawan Budi Susanto Gus Noy H.H. Tokoro Hadi Napster Hamberan Syahbana Hamdy Salad Hamsad Rangkuti Han Gagas Hang Kafrawi Hani Pudjiarti Hanna Fransisca Hardi Hamzah Hardjono WS Haris del Hakim Haris Priyatna Harris Maulana Hary B. Kori'un Hasan Al Banna Hasan Junus Hasbullah Said Hasnan Bachtiar HE. Benyamine Heidi Arbuckle Helmi Y Haska Helvy Tiana Rosa Hendra Junaedi Hendri Nova Herdoni Syafriansyah Heri Kurniawan Heri Latief Heri Ruslan Herman RN Hermawan Aksan Hermien Y. Kleden Herry Lamongan Holy Adib Humaidiy AS Husni Anshori I Nyoman Darma Putra I Nyoman Tingkat I Wayan Artika Ibnu Wahyudi Ida Farida Ignas Kleden Ilham Khoiri Imam Cahyono Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Tohari Indra Tranggono Indrian Koto Irwan Kelana Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Isma Swastiningrum Ismi Wahid Iwan Gardono Sujatmiko Iwan Gunadi Iwan Kurniawan Iwan Nurdaya Djafar Iwank J.S. Badudu Janoary M Wibowo Javed Paul Syatha JILFest 2008 JJ. Kusni Jodhi Yudono Joko Novianto Bp Joko Pinurbo Jones Gultom Jual Buku Paket Hemat Jusuf AN Kadek Suartaya Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Kedung Darma Romansha Kenedi Nurhan Khaerudin Kurniawan Khaerul Anwar Ki Sugito Ha Es Kirana Kejora Komunitas Deo Gratias Korrie Layun Rampan Kritik Sastra Kunthi Hastorini Kuntowijoyo Kurie Suditomo Kurnia Effendi Kurniawan Kuswinarto La Ode Rabbani Lathifa Akmaliyah Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember Leon Agusta Lily Siti Multatuliana Lily Yulianti Farid Lina Kelana Liza Wahyuninto Lona Olavia Lugiena Dé M Fadjroel Rachman M Farid W Makkulau M Syakir M. Dawam Rahardjo M. Faizi M. Mustafied M. Raudah Jambak M. Taufan Musonip M. Yoesoef M.D. Atmaja M.Th. Krishdiana Putri Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Maklumat Sastra Profetik Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mangun Kuncoro Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria D. Andriana Maria Magdalena Bhoernomo Mariana Amiruddin Maryati Marzuzak SY Mashuri Maulana Syamsuri Media: Crayon on Paper Mega Vristian MG. Sungatno Misbahus Surur Mofik el-abrar Moh. Amir Sutaarga Moh. Ghufron Cholid Mohammad Hatta Mohammad Kh. Azad Mohammad Takdir Ilahi Much. Khoiri Muhamad Taslim Dalma Muhammad Rain Muhammad Subhan Muhammad Yasir Muhammadun A.S Muhidin M Dahlan Mujtahid Mulyawan Karim Musa Ismail Musfi Efrizal Mustafa Ismail Mustofa W Hasyim N Teguh Prasetyo N. Mursidi Nadhi Kiara Zifen Nana Riskhi Susanti Nanang Suryadi Naskah Teater Nasrulloh Habibi Neva Tuhella Nietzsche Nirwan Dewanto Nizar Qabbani Noor H. Dee Nova Christina Novelet Nunung Nurdiah Nur Wachid Nurani Soyomukti Nurel Javissyarqi Nurman Hartono Nuryana Asmaudi Nyoman Tusthi Eddy Obrolan Oky Sanjaya Oyos Saroso HN P Ari Subagyo Pagelaran Musim Tandur Pamusuk Eneste Panji Satrio PDS H.B. Jassin Penerbit dan Toko Buku PUstaka puJAngga Pipiet Senja Pramoedya Ananta Toer Pringadi AS Pringgo HR Prosa Puisi Puji Santosa Purnawan Andra PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Satria Kusuma Putu Wijaya R Masri Sareb Putra R. Adhi Kusumaputra R. Timur Budi Raja R.N. Bayu Aji Radhar Panca Dahana Ragdi F. Daye Rahmi Hattani Raja Ali Haji Raju Febrian Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Dira J Rama Prabu Ramadhan KH Ramon Magsaysay Ramses Ohee Ratih Kumala Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Ressa Novita Ressa Sagitariana Putri Ria Ristiana Dewi Rialita Fithra Asmara Ribut Wijoto Rida K Liamsi Rifka Sibarani Rilda A. Oe. Taneko Rilda A.Oe. Taneko Rimbun Natamarga Rinto Andriono Risang Anom Pujayanto Rita Zahara Riyon Fidwar Robin Al Kautsar Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Rohman Budijanto Rukardi S Yoga S. Jai S. Takdir Alisyahbana S.W. Teofani Sabrank Suparno Sahaya Santayana Sajak Sajak Sebatang Lisong Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Salman S. Yoga Salyaputra Samson Rambah Pasir Samsudin Adlawi Sanie B. Kuncoro Santy Novaria Sapardi Djoko Damono Sarabunis Mubarok Sartika Dian Nuraini Sasti Gotama Sastra Nusantara Satmoko Budi Santoso Satriani Saut Poltak Tambunan Saut Situmorang Sekolah Literasi Gratis (SLG) Selasih Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Shadiqin Sudirman Shiny.ane el’poesya Shourisha Arashi Sidik Nugroho Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sindu Putra Siska Afriani Siti Sa’adah Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Slamet Samsoerizal Sobih Adnan Sofyan RH. Zaid Solihin Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sony Wibisono Sosiawan Leak Sri Wintala Achmad Sri Wulan Rujiati Mulyadi Stevani Elisabeth Suci Ayu Latifah Sucipto Hadi Purnomo Sudarmoko Sudirman HN Suhadi Mukhan Suharsono Sukar Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sunudyantoro Supriyadi Suriani Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syahruddin El-Fikri Syaripudin Zuhri Syifa Aulia Syu’bah Asa T.A. Sakti Tammalele Tan Lioe Ie Tasyriq Hifzhillah Taufik Abdullah Taufik Effendi Aria Taufik Ikram Jamil Taufiq Wr. Hidayat TE. Priyono Teguh Winarsho AS Tenas Effendy Tengsoe Tjahjono Thayeb Loh Angen Theresia Purbandini Tia Setiadi Tias Tatanka Tito Sianipar Tjahjono EP Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tjut Zakiyah Anshari Topik Mulyana Tosa Poetra Tri Harun Syafii TS Pinang Tu-ngang Iskandar Udo Z. Karzi Uly Giznawati Umar Fauzi Ballah Umbu Landu Paranggi Umi Kulsum Uniawati Universitas Indonesia Usman Arrumy Usman D.Ganggang Utada Kamaru UU Hamidy Viddy AD Daery W.S. Rendra Wa Ode Wulan Ratna Wahib Muthalib Wahyudi Akmaliah Muhammad Wardjito Soeharso Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Sunarta Weli Meinindartato Wicaksono Widodo DS Wina Karnie Wisran Hadi Wong Wing King Yan Maniani Yanti Mulatsih Yanuar Arifin Yasser Arafat Yaumu Roikha Yetti A. KA Yohanes Padmo Adi Nugroho Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yudhi Ms Yudhistira ANM Massardi Yulianna Yurnaldi Yusi A. Pareanom Yusi Avianto Pareanom Yusri Fajar Yusrizal KW Yuyun Ifa Naliah Zaim Rofiqi Zainal Arifin Thoha Zakki Amali Zakky Zulhazmi Zawawi Se Zehan Zareez Zelfeni Wimra Zuarman Ahmad Zulfikar Akbar