Kurnia Effendi *
http://oase.kompas.com/
Bak keinginan menyentuh permukaan air telaga atau kolam hijau yang berhiaskan teratai, ada kecemasan akan mengganggu ketenangan dan kebeningannya; demikianlah cara saya menikmati puisi-puisi Goenawan Mohamad (selanjutnya akan saya tulis GM).
Saya mengenal puisi-puisi GM secara agak saksama ketika kuliah, ketika saya terhimpun bersama kawan-kawan penggemar sastra di Grup Apresiasi Sastra ITB. Masa itu (tahun 80-an), saya sering secara sengaja atau tidak sengaja, bertemu dan berdialog dengan Arya Gunawan, Nirwan Dewanto, Acep Zamzam Noor, M. Fadjroel Rachman, dan Enin Supriyanto. Rasanya, kini, kelima teman saya itu masih berkibar namanya di antara penggiat sastra dan budaya.
Puisi Goenawan Mohamad adalah salah satu yang kerap kami perbincangkan. Bahkan, ada semacam sihir keajaiban, ketika Arya Gunawan membaca “Dingin Tak Tercatat” dalam lomba baca puisi nasional tahun 84/85, tiga juri antara lain Jacob Soemardjo dan Saini KM memberi nilai tertinggi hingga ia menggondol piala juara pertama.
Puisi “Dingin Tak Tercatat” menampilkan suasana ngungun, terpisah dari keramaian, namun terselip rasa bahagia yang menimbulkan tanya. Seolah mereka (GM dan Tuhan) sedang berdua menikmati ‘kesepian’ itu bukan dengan ‘kesedihan’. Kata “cahaya berenang” dalam puisi itu, kemudian, sungguh-sungguh kami (bersama Arya Gunawan) buktikan saat menikmati larut malam di tepi pantai Ancol. Dalam ribuan gelombang mungil sebagai anak ombak yang menepi ke pantai, pada tiap punggung dan cekungannya, terpantul cahaya yang bersumber dari lelampu gedung-gedung yang dari kejauhan seperti terletak di pinggir laut. “Itu dia cahaya yang berenang…!” seru kami takjub. Sebenarnya ketakjuban itu terbit justru karena GM mampu menuliskan pemandangan itu dalam frasa yang sederhana namun tepat.
Kemampuan seperti itu layak dipunyai oleh seorang penyair. Teman saya Tia Lesmana di Yogya, pernah menyebut sebagai “bahasa dewa” untuk kata-kata yang lahir dari seorang penyair. Di masa yang sangat lalu, pujangga umumnya adalah orang berdarah biru yang dekat dengan silsilah raja-raja (Misalnya Jayabaya dan Ronggowarsito). Dengan demikian, istilah bahasa-dewa atau bahasa-para-raja tak terlampau keliru. Sementara Joko Pinurbo menganggap pilihan kata pada puisi GM begitu mewah dan megah.
Menggunakan kata-kata ‘mewah’ atau ‘sederhana’, istilah itu mungkin semata menurut sang penafsir saja. Mari kita cermati setiap kata yang digunakan oleh GM dalam setiap puisinya. Tampaknya tidak terlalu asing (jika ‘asing’ diartikan dengan kemewahan yang mungkin jadi ‘mahal’ nilainya). Persoalannya adalah, GM memetik pelbagai idiom atau istilah yang berbeda secara kreatif. Pembaca, yang perbendaharaan bahasanya belum begitu luas, merasa harus berpikir, merasa-rasa seperti orang mencecap menu makanan baru, kemudian menelannya dengan sedikit sensasi. Apakah dengan demikian kemudian terjadi kesenjangan kimiawi antara penyair (GM) dengan kita (sebagai pembaca)?
Idiom, frasa, diksi, atau bentukan kata yang dipungut dari hamparan bahasa sendiri itu seperti mutiara yang tercuci dari lumpur. Setelah dipikir-pikir, apa anehnya? Misalnya ungkapan: kedai tukang las, sirkel api, kemah-kemah awan, cakrawala aspal, gerimis telah jadi logam, hutan besi, cahaya berenang, garis-garis suara, ornamen embun, bulan yang berlumut, derum daun-daun Ithaca, mencambukkan pijar…
Ah, alangkah banyak komposisi kata yang tak terduga (menurut saya). Yang apabila kita, bahkan tak sengaja, memungutnya, bakal segera diketahui sumbernya: GM.
Sebagai contoh, karena kata-kata itu ditemukan oleh GM, maka saat membaca ‘sirkel api’ dalam salah satu puisi Arif Bagus Prasetyo, terasa ada proses adopsi, walau mungkin tak sengaja. Kata ‘lampus’, ‘akanan’, dan ‘melankoli’, saya temukan juga dalam gugus puisi GM. Sehingga ketika bertebar pada puisi Acep Zamzam Noor (yang dimuat Kompas), seakan-akan ada pengaruh yang merasuki proses kreatif AZN. Dan pada salah satu puisi Wendoko, peserta Ubud Writers & Readers Festival (UWRF 2010), tercantum ungkapan ‘cahaya berenang’ yang diterjemahkan sebagai ‘cahaya mengapung’ dalam bahasa Inggris oleh Debra Yatim.
Saya, secara pribadi, memang seolah selalu mendapatkan pengalaman baru, sensasi baru, ketakjuban baru, setiap kali menelusuri baris-baris puisi GM. Hampir seluruh puisinya yang tak ‘berteriak’ (mungkin hanya satu-dua seperti misalnya “Gatoloco”, yang agak terasa lantang), mengandung makna tak terbatas pada yang tersurat. Lalu kami, dengan pengalaman menghayatinya, menganggap puisi-puisi GM sebagai puisi kontemplatif, puisi imajis, puisi suasana, atau juga puisi kamar. Puisi yang dibacakan dengan tenang, mungkin tak perlu panggung atau suara genderang. Saat dibaca, antara penyair dan penikmat hanya ada jarak yang intim. Mungkin boleh serupa bisik.
Namun demikian, seperti paradoks, beberapa puisi GM justru digelar dalam kemasan pertunjukan. Yang tentu membutuhkan orang banyak sebagai penonton. Salah satunya yang berjudul “Doa Persembunyian” . GM bekerjasama dengan pemusik Tony Prabowo dan pelantun lagu Ubiet.
Tuhan yang meresap di ruang kayu di greja dusun di lembah yang kosong itu, kusisipkan namamu …
“Kalau bikin puisi, kata-katanya harus monumental, agar orang selalu ingat,” demikian kata teman saya, penyair Herdi SRS. Ia pun hendak mengarah ke sana. Sejumlah besar puisinya, terutama yang berlatar mancanegara, berusaha menggapai suasana imajis. Namun tak sepenuhnya sampai. Sementara GM, belum tentu sebulan menulis satu puisi (lihat pada bukunya “Sajak-sajak Lengkap 1961-2001”). Sepertinya ia begitu sabar menanti netasnya kata-kata yang tak terduakan.
Seperti juga dalam menggarap Catatan Pinggir, GM tentu tak ingin mengulang frasa atau komposisi yang sama pada satu puisi dengan yang lainnya. Itu cukup berhasil. Namun saya temukan kata: “berlari dalam darah” pada dua buah puisi, yakni: “Di Tengah Rumah” (sekitar 1986) dan “Di Serambi” (1979). Saya kutip masing-masing satu bait: Di dalam rumah ini kita dengarkan sebuah Bach Di ujung jalan siapa berlari dalam darah?
(Di Serambi)
Di tengah rumah kaubaca sajak Amir Hamzah Di ujung jalan Orang-orang berlari Dalam darah
(Di Tengah Rumah).
Adakah yang memengaruhi karya-karya GM, atau dengan kata lain, siapa penyair yang menjadi inspirator GM? Saya tak tahu persis. Saya hanya meraba-raba, mungkin Amir Hamzah dan Chairil Anwar. Mengapa demikian? Saya merasakan ada beberapa struktur kalimat yang beraroma sajak lama. Misalnya pada bait-bait “Surat-surat Tentang Lapar” atau “Catatan-catatan Jakarta”. Tapi itu memang puisi-puisi awal GM, dengan titimangsa 1961. Sedangkan pilihan judul yang sangat lekat dengan suasana, umumnya juga digunakan oleh Chairil. Semisal: “Cemara Menderai Sampai Jauh”, “Senja di Pelabuhan Kecil.” Untuk telaah lebih jauh, sebaiknya menjadi tugas kritikus saja, misalnya Nirwan Dewanto. Saya sampai sejauh ini sedang bahagia menjadi penikmat.
Bak keinginan menyentuh muka air telaga atau kolam hijau kebiruan yang berhiaskan kuncup-kuncup padma, muncul semacam kecemasan akan mengganggu ketenangan dan kebeningannya; demikianlah cara saya menikmati puisi-puisi Goenawan Mohamad.
Betapa tidak? Sering saya merasa berdebar saat menemukan sejumlah kecil puisi GM yang tertcantum di Jurnal Kalam, misalnya. Berdebar ingin segera membacanya, sekaligus berdebar ingin berhemat agar tak segera mengakhirinya. Saya berdebar akan menemukan idiom-idiom atau metafor-metafor baru. Dan dengan ‘kemewahan’ pilihan kata-katanya (mengutip Jokpin), puisi GM menjadi semacam sidik jari penyairnya. Sehingga ketika puisi berjudul “Mezbah” di-posting di milis Apresiasi Sastra saat hari puisi sedunia (21 Maret beberapa tahun lalu) oleh Endah Sulwesi tanpa mencantumkan nama pengarangnya, saya sempat takjub. Hebat puisi itu, seperti gaya Goenawan Mohamad, pikir saya. Dan ternyata benar.
…
Malam pun menemui kurban di hamparan. Cahaya warna kusta dan plaza jadi dingin, ketika Ajal memandang …
Karena sikap saya demikian terhadap puisi-puisi GM, jangan-jangan ketika menulis puisi, saya pun terpengaruh padanya. Saya katakan: tentu! Meskipun, seperti juga Herdi SRS, tak sepenuhnya berhasil. Dan memang seharusnya begitu. Karena ada yang meronta untuk menunjukkan dirinya sebagai berbeda.
Dalam hal pencapaian suasana, saya kira GM tak perlu diragukan – atau setidaknya tidak saya ragukan. Suasana juga dicapai oleh sajak-sajak Rendra di awal kepenyairannya saat jatuh cinta pada Sunarti. Juga dicapai satu dua puisi Sutardji Calzoum Bachri, misalnya pada sajak berjudul “Alina”, atau “Idul Fitri”. Dan terutama yang dicapai oleh Sapardi Djoko Damono (SDD) dalam hampir seluruh puisinya. Di satu saat, saya sempat curiga, bahwa antara GM dan SDD ada kesepakatan untuk saling memuji, saling membesarkan, melalui cara saling memberi pengantar pada buku antologi puisi mereka. Tapi itu sah-sah saja. Karena, toh secara umum, keduanya berada pada tataran yang saling menghormati.
Kembali pada suasana, makna kata di dalam puisi GM saling menguatkan kesan, dan seolah ada warna yang bermain, ada suara yang bergerak, ada suhu yang meresap, ada desir perasaan yang menggelinjang. Misalnya pada judul, “Di Kota Itu, Kata Orang, Gerimis Telah Jadi Logam”. Saya membayangkan runcing jarum air yang jatuh menusuk dari langit. Saat gerimis itu menyentuh kulit, ada suhu dingin yang kontras dengan hangat tubuh kita, menghunjam tajam serupa lidi besi…
Lalu kisah apa yang terjadi pada “Perempuan yang Dirajam Menjelang Malam”? Mungkinkah itu Maria Magdalena? Atau ketika saya membaca “Persetubuhan Kunthi”, metafor erotisme itu begitu lembut tertera:
Semakin ke tengah tubuhmu yang telanjang dan berenang pada celah teratai merah … ada lempang kayu apu yang timbul tenggelam meraih arus dan buih
Sampai badai dan gempa seperti menempuhmu dan kauteriakkan jerit yang merdu itu …
Atau pada puisi “Kwatrin tentang Sebuah Poci”, kata ‘tolol’ di sana memang harus diakui oleh semua pencinta nostalgia. Barangkali ada serumpun surat-surat lama yang begitu menghanyutkan saat kita baca: mengingatkan kembali pada cinta masa lalu. Menghidupkan kenangan, yang boleh jadi, sudah tiada lagi atau tak mungkin dipanggil kembali dalam situasi apa pun. Sama halnya ketika kita memandang secercah bintang, dengan jarak sekitar ratusan tahun cahaya. Adakah benda pemilik kerlap itu masih benar-benar bertengger di sana? Bukankah separuhnya hanya ilusi? … sesuatu yang kelak retak dan kita membikinnya abadi
Namun GM tak hanya sentimental dengan perasaan-perasaan pribadi. Saat ia mengambil materi sajak dari peristiwa politik, bersit suasana tetap hadir, bahkan ditambah dengan aroma ketegangan yang kita butuhkan. Misalkan pada “Zagreb”
… Ibu itu datang, membawa bungkusan, berisi sepotong kepala, dan berkata kepada petugas imigrasi yang memeriksanya: “Ini anakku.” … dan ia bercerita: “Tujuh tentara menyeretnya dari ranjang rumah sakit, tujuh tentara membawanya ke tepi hutan dan menyembelihnya, tujuh musuh yang membunuh sebuah kepala yang terguling dan menggelepar-gelepar dan baru berhenti, diam, setelah mulutnya yang berdarah itu menggigit segenggam pasir di sela rumputan.”
Atau pada “Misalkan Kita di Sarajevo”. :
Misalkan kita di Sarajevo; mereka akan mengetuk dengan kanon sepucuk, dan bertanya benarkah ke Sarajevo ada secelah pintu masuk.
… Tapi misalkan kita di Sarajevo: di dekat museum itu kita juga akan takzim membersihkan diri: “Biarkan aku mati dalam warna kirmizi.”
….
Atau jauh di masa lalu, GM juga berhasil memotret tak sekadar warna datar dari situasi pemilihan umum. Kita simak puisi berjudul “Tentang Seorang yang Terbunuh di Sekitar Hari Pemilihan Umum”
… Di bawah petromaks kelurahan mereka menemukan liang luka yang lebih. Bayang-bayang bergoyang sibuk dan beranda meninggalkan bisik. Orang ini tak berkartu. Ia tak bernama. Ia tak berpartai. Ia tak bertanda gambar…
Kita memang merasakan, menjelang atau sesudah revolusi, situasi politik menjelang atau ketika berlangsung Pemilu, adalah situasi yang seakan tak aman bagi semua pihak. Tak ada ukuran benar dan salah, kecuali dengan parameter kekuasaan pada saat itu. Dan kekuasaan ternyata serapuh benang basah yang harus ditegakkan.
Untuk memilih mana yang paling saya suka dari sajak-sajak GM, terlampau sulit menjawab dan menentukannya. Biarlah semua sajak GM tetap tenang serupa permukaan kolam atau telaga yang biru kehijauan. Saya belum, dan mudah-mudahan tak akan, bosan menikmatinya. Karena senantiasa ada pengalaman baru setiap kali membacanya.
Mungkin yang dapat saya katakan dan mudah-mudahan benar: puisi-puisi GM tidak labil sejak awal kepenyairan hingga yang terakhir ditulisnya. Keinginannya untuk tidak mengulang, membuatnya tetap setia pada kualitas kata yang dipilihnya. Dan karakternya tidak berubah oleh waktu atau musim tertentu, dengan kematangan yang terus terbangun melalui tahun-tahun pengalaman penciptaan.
Bak keinginan menyentuh permukaan air telaga atau kolam hijau yang berhiaskan teratai, saya dengan sendirinya hati-hati menangkap tiap tafsir yang berkelindan pada suasana perasaan saya, yang tak hendak mengganggu ketenangan dan kebeningannya; demikianlah cara saya menikmati puisi-puisi Goenawan Mohamad.
==========
*) Kurnia Effendi lahir di Tegal, 20 Oktober 1960. Menulis cerpen dan puisi untuk publik pertama kali tahun 1978. Gemar mengikuti sayembara fiksi pada era 80-an, meraih sekitar 30 penghargaan, 8 di antaranya juara pertama.
Cerpen dan puisinya tersebar di berbagai media, dihimpun dalam banyak antologi bersama terutama pada agenda sastra nasional maupun internasional. Telah menerbitkan 12 buku, berupa antologi puisi, kumpulan cerpen, novel, kumpulan esai, dan memoar.
Pada Oktober 2010, diundang sebagai penulis untuk Ubud Writers & Readers Festival (UWRF). Sejak 1991 tinggal dan bekerja di Jakarta.
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Khoirul Anam
A Qorib Hidayatullah
A Rodhi Murtadho
A. Yusrianto Elga
A. Zakky Zulhazmi
A.S. Laksana
Aang Fatihul Islam
Aba Mardjani
Abd. Mun’im
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Gaffar Ruskhan
Abdul Hadi W. M.
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Malik
Abdul Muis
Abdul Wachid BS
Abdullah Khusairi
Abidah El Khalieqy
Abimardha Kurniawan
Abroorza A. Yusra
Abu Salman
Acep Iwan Saidi
Achmad Farid Tuasikal
Adek Alwi
Adi Marsiela
Adian Husaini
Adib Muttaqin Asfar
Adji Subela
Afandi Sido
Afriza Hanifa
Afrizal Malna
Ageng Wuri R. A.
Ags. Arya Dipayana
Aguk Irawan M.N.
Agus B. Harianto
Agus Bing
Agus Noor
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Sri Danardana
Agus Sulton
Agus Sunyoto
Agus Wibowo
Agus Wirawan
Agusri Junaidi
AH J Khuzaini
Ahda Imran
Ahid Hidayat
Ahm Soleh
Ahmad Asyhar
Ahmad Farid Yahya
Ahmad Fuadi
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Musthofa Haroen
Ahmad Rofiq
Ahmad Suhendra
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Aini Aviena Violeta
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Muhaimin Azzet
Akhmad Sekhu
Al Azhar Riau
Al-Fairish
Alex R. Nainggolan
Alexander G.B.
Alfian Zainal
Aliansyah
Alimuddin
Almania Rohmah
Alunk Estohank
Amien Kamil
Amien Wangsitalaja
Anata Siregar
Andi Sutisno
Andy Riza Hidayat
Anies Baswedan
Anindita S Thayf
Anis Ceha
Anis Faridatur Rofiah
Anjrah Lelono Broto
Anna Subekti
Anton Kurnia
Ari Hidayat
Ari Kristianawati
Arie MP Tamba
Arief Junianto
Aris Kurniawan
Arti Bumi Intaran
Arul Arista
AS Sumbawi
Asarpin
Asep Sambodja
Atiqurrahman
Awalludin GD Mualif
Ayu Purwaningsih
Babe Derwan
Bakdi Soemanto
Balada
Bale Aksara
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Bayu Dwi Mardana
Bellanissa Zoditama
Beni Setia
Benny Arnas
Beno Siang Pamungkas
Berita
Berita Duka
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Bokor Hutasuhut
Brunel University London
BSW Adjikoesoemo
Budaya
Budhi Setyawan
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budiawan Dwi Santoso
Bur Rasuanto
Burhanuddin Bella
Bustan Basir Maras
Catatan
Catullus
CB. Ismulyadi
Cerbung
Cerita Rakyat
Cerpen
Chavchay Syaifullah
Cikie Wahab
Cunong Nunuk Suraja
D Zawawi Imron
Dad Murniah
Dadang Ari Murtono
Dahlia Rasyad
Damhuri Muhammad
Damiri Mahmud
Danarto
Daniel Paranamesa
Darju Prasetya
Darman Djamaluddin
Darman Moenir
Dasman Djamaluddin
David Krisna Alka
Dea Anugrah
Dedy Tri Riyadi
Denny JA
Denny Mizhar
Desi Sommalia Gustina
Dewi Anggraeni
Dharma Setyawan
Dian Hartati
Didi Arsandi
Dina Oktaviani
Dipo Handoko
Djenar Maesa Ayu
Djoko Pitono
Doddi Ahmad Fauji
Doddy Hidayatullah
Dodi Chandra
Dodiek Adyttya Dwiwanto
Dody Kristianto
Donny Anggoro
Dony P. Herwanto
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Klik Santosa
Dwi Pranoto
Dwicipta
Edy A Effendi
Edy Firmansyah
Eka Budianta
Eka Fendri Putra
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Ellyzan Katan
Elnisya Mahendra
Emha Ainun Nadjib
Endah Imawati
Eni Suryanti
Eny Rose
Eriyandi Budiman
Eriyanti
Erwin Edhi Prasetya
Erwin Setia
Esai
Evan Ys
Evi Idawati
F Rahardi
Fadly Rahman
Fahrudin Nasrulloh
Faizah Sirajuddin
Faizal Syahreza
Fajar Alayubi
Fakhrunnas M.A. Jabbar
Fanny Chotimah
Fariz al-Nizar
Fariz Alneizar
Faruk HT
Fatah Anshori
Fatah Yasin Noor
Fathurrahman Karyadi
Fatimah Wahyu Sundari
Fauzan Santa
Fazabinal Alim
Festival Sastra Gresik
Fikri MS
Fiksi Mini
Fransisca Dewi Ria Utari
Franz Kafka
Fuad Anshori
Furqon Abdi
Fuska Sani Evani
Gendhotwukir
Gendut Riyanto
Gerson Poyk
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Gola Gong
Grathia Pitaloka
Gregorio Lopez y’ Fuentes
Gugun El-Guyanie
Gunawan Budi Susanto
Gus Noy
H.H. Tokoro
Hadi Napster
Hamberan Syahbana
Hamdy Salad
Hamsad Rangkuti
Han Gagas
Hang Kafrawi
Hani Pudjiarti
Hanna Fransisca
Hardi Hamzah
Hardjono WS
Haris del Hakim
Haris Priyatna
Harris Maulana
Hary B. Kori'un
Hasan Al Banna
Hasan Junus
Hasbullah Said
Hasnan Bachtiar
HE. Benyamine
Heidi Arbuckle
Helmi Y Haska
Helvy Tiana Rosa
Hendra Junaedi
Hendri Nova
Herdoni Syafriansyah
Heri Kurniawan
Heri Latief
Heri Ruslan
Herman RN
Hermawan Aksan
Hermien Y. Kleden
Herry Lamongan
Holy Adib
Humaidiy AS
Husni Anshori
I Nyoman Darma Putra
I Nyoman Tingkat
I Wayan Artika
Ibnu Wahyudi
Ida Farida
Ignas Kleden
Ilham Khoiri
Imam Cahyono
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Tohari
Indra Tranggono
Indrian Koto
Irwan Kelana
Isbedy Stiawan Z.S.
Iskandar Noe
Isma Swastiningrum
Ismi Wahid
Iwan Gardono Sujatmiko
Iwan Gunadi
Iwan Kurniawan
Iwan Nurdaya Djafar
Iwank
J.S. Badudu
Janoary M Wibowo
Javed Paul Syatha
JILFest 2008
JJ. Kusni
Jodhi Yudono
Joko Novianto Bp
Joko Pinurbo
Jones Gultom
Jual Buku Paket Hemat
Jusuf AN
Kadek Suartaya
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kasnadi
Kedung Darma Romansha
Kenedi Nurhan
Khaerudin Kurniawan
Khaerul Anwar
Ki Sugito Ha Es
Kirana Kejora
Komunitas Deo Gratias
Korrie Layun Rampan
Kritik Sastra
Kunthi Hastorini
Kuntowijoyo
Kurie Suditomo
Kurnia Effendi
Kurniawan
Kuswinarto
La Ode Rabbani
Lathifa Akmaliyah
Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember
Leon Agusta
Lily Siti Multatuliana
Lily Yulianti Farid
Lina Kelana
Liza Wahyuninto
Lona Olavia
Lugiena Dé
M Fadjroel Rachman
M Farid W Makkulau
M Syakir
M. Dawam Rahardjo
M. Faizi
M. Mustafied
M. Raudah Jambak
M. Taufan Musonip
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
M.Th. Krishdiana Putri
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Maklumat Sastra Profetik
Malkan Junaidi
Maman S. Mahayana
Mangun Kuncoro
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria D. Andriana
Maria Magdalena Bhoernomo
Mariana Amiruddin
Maryati
Marzuzak SY
Mashuri
Maulana Syamsuri
Media: Crayon on Paper
Mega Vristian
MG. Sungatno
Misbahus Surur
Mofik el-abrar
Moh. Amir Sutaarga
Moh. Ghufron Cholid
Mohammad Hatta
Mohammad Kh. Azad
Mohammad Takdir Ilahi
Much. Khoiri
Muhamad Taslim Dalma
Muhammad Rain
Muhammad Subhan
Muhammad Yasir
Muhammadun A.S
Muhidin M Dahlan
Mujtahid
Mulyawan Karim
Musa Ismail
Musfi Efrizal
Mustafa Ismail
Mustofa W Hasyim
N Teguh Prasetyo
N. Mursidi
Nadhi Kiara Zifen
Nana Riskhi Susanti
Nanang Suryadi
Naskah Teater
Nasrulloh Habibi
Neva Tuhella
Nietzsche
Nirwan Dewanto
Nizar Qabbani
Noor H. Dee
Nova Christina
Novelet
Nunung Nurdiah
Nur Wachid
Nurani Soyomukti
Nurel Javissyarqi
Nurman Hartono
Nuryana Asmaudi
Nyoman Tusthi Eddy
Obrolan
Oky Sanjaya
Oyos Saroso HN
P Ari Subagyo
Pagelaran Musim Tandur
Pamusuk Eneste
Panji Satrio
PDS H.B. Jassin
Penerbit dan Toko Buku PUstaka puJAngga
Pipiet Senja
Pramoedya Ananta Toer
Pringadi AS
Pringgo HR
Prosa
Puisi
Puji Santosa
Purnawan Andra
PUstaka puJAngga
Putu Fajar Arcana
Putu Satria Kusuma
Putu Wijaya
R Masri Sareb Putra
R. Adhi Kusumaputra
R. Timur Budi Raja
R.N. Bayu Aji
Radhar Panca Dahana
Ragdi F. Daye
Rahmi Hattani
Raja Ali Haji
Raju Febrian
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Rama Dira J
Rama Prabu
Ramadhan KH
Ramon Magsaysay
Ramses Ohee
Ratih Kumala
Raudal Tanjung Banua
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Resensi
Ressa Novita
Ressa Sagitariana Putri
Ria Ristiana Dewi
Rialita Fithra Asmara
Ribut Wijoto
Rida K Liamsi
Rifka Sibarani
Rilda A. Oe. Taneko
Rilda A.Oe. Taneko
Rimbun Natamarga
Rinto Andriono
Risang Anom Pujayanto
Rita Zahara
Riyon Fidwar
Robin Al Kautsar
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rohman Budijanto
Rukardi
S Yoga
S. Jai
S. Takdir Alisyahbana
S.W. Teofani
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Sajak
Sajak Sebatang Lisong
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Salman S. Yoga
Salyaputra
Samson Rambah Pasir
Samsudin Adlawi
Sanie B. Kuncoro
Santy Novaria
Sapardi Djoko Damono
Sarabunis Mubarok
Sartika Dian Nuraini
Sasti Gotama
Sastra Nusantara
Satmoko Budi Santoso
Satriani
Saut Poltak Tambunan
Saut Situmorang
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
Selasih
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Shadiqin Sudirman
Shiny.ane el’poesya
Shourisha Arashi
Sidik Nugroho
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sindu Putra
Siska Afriani
Siti Sa’adah
Sitok Srengenge
Siwi Dwi Saputro
Slamet Samsoerizal
Sobih Adnan
Sofyan RH. Zaid
Solihin
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sony Wibisono
Sosiawan Leak
Sri Wintala Achmad
Sri Wulan Rujiati Mulyadi
Stevani Elisabeth
Suci Ayu Latifah
Sucipto Hadi Purnomo
Sudarmoko
Sudirman HN
Suhadi Mukhan
Suharsono
Sukar
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Sunudyantoro
Supriyadi
Suriani
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Sutan Iwan Soekri Munaf
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Syahruddin El-Fikri
Syaripudin Zuhri
Syifa Aulia
Syu’bah Asa
T.A. Sakti
Tammalele
Tan Lioe Ie
Tasyriq Hifzhillah
Taufik Abdullah
Taufik Effendi Aria
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Wr. Hidayat
TE. Priyono
Teguh Winarsho AS
Tenas Effendy
Tengsoe Tjahjono
Thayeb Loh Angen
Theresia Purbandini
Tia Setiadi
Tias Tatanka
Tito Sianipar
Tjahjono EP
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Tjut Zakiyah Anshari
Topik Mulyana
Tosa Poetra
Tri Harun Syafii
TS Pinang
Tu-ngang Iskandar
Udo Z. Karzi
Uly Giznawati
Umar Fauzi Ballah
Umbu Landu Paranggi
Umi Kulsum
Uniawati
Universitas Indonesia
Usman Arrumy
Usman D.Ganggang
Utada Kamaru
UU Hamidy
Viddy AD Daery
W.S. Rendra
Wa Ode Wulan Ratna
Wahib Muthalib
Wahyudi Akmaliah Muhammad
Wardjito Soeharso
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Sunarta
Weli Meinindartato
Wicaksono
Widodo DS
Wina Karnie
Wisran Hadi
Wong Wing King
Yan Maniani
Yanti Mulatsih
Yanuar Arifin
Yasser Arafat
Yaumu Roikha
Yetti A. KA
Yohanes Padmo Adi Nugroho
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yudhi Ms
Yudhistira ANM Massardi
Yulianna
Yurnaldi
Yusi A. Pareanom
Yusi Avianto Pareanom
Yusri Fajar
Yusrizal KW
Yuyun Ifa Naliah
Zaim Rofiqi
Zainal Arifin Thoha
Zakki Amali
Zakky Zulhazmi
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zelfeni Wimra
Zuarman Ahmad
Zulfikar Akbar
Tidak ada komentar:
Posting Komentar