Hanna Fransisca
http://suaramerdeka.com/
Ayam jantan yang dikebiri, yang oleh kodrat manusia diganti nama menjadi jam kai, kini terbaring mati. Tubuhnya gemuk. Barangkali dulu ia adalah calon petarung sejati, dengan taji runcing setajam pisau. Tapi atas nama doa tulus yang kelak diucapkan pada malam imlek, pisau taji itu ditelikung berbulan-bulan. Lalu berakhirlah nasibnya sampai di sini: pada malam imlek saat jasad jam kai terbaring di dasar mangkuk tembaga, --setelah direbus dengan berbagai aroma bumbu.
''Tuhanku yang adil, kenapa hidup terasa lama sekali?'' begitulah ia, lelaki karatan itu berbisik di depan jasad harum jam kai aroma bumbu. Dan melihat mata ayam kebiri itu seperti melihat nasibnya sendiri. Di luar bunyi petasan jauh berdentum dan berderai. Suara langkah-langkah berkebat di jalan, orang-orang yang bergegas menuju vihara, dan sesekali celetukan gong xi... gong xi... menguar di udara. Atau anak-anak berlarian. Atau tambur dari arak-arakan barongsai. Atau barangkali ada juga yang buru-buru menghindar hujan lantaran menganggap hujan bukan berkah, --raungan truk lewat, anak-anak muda bersenang dengan arak setelah sembahyang, suara angin berdesis. Kota yang penuh berkah! Mengalirlah doa. Menguaplah ribuan dupa.
Akan tetapi yang paling jelas dari semua berkah dan doa itu: ia kini merasa semakin tua dan karatan. Duduk di meja makan bundar, merasa hidup telah terlewati. Di bawah lampion, di seberang altar dengan kertas-kertas doa dan persembahan di depan foto leluhur, di bawah aroma hio yang ia bakar barusan. Dua piring kosong, dengan dua pasang sumpit tertata rapi. Satu piring kosong untuk dirinya, dan satu piring kosong untuk istrinya yang entah di mana.
Dikepung sunyi dan beragam menu mewah yang tak setiap orang bisa. Bayangkanlah, dulu ia adalah lelaki perkasa, tapi jangankan jam kai yang subur dan mahal, bahkan telur ia tak selalu sanggup membeli. Anak gadisnya- anak semata wayang--tumbuh cantik, dan selalu ia marah pada para pemuda yang selalu melirik kecantikan anak gadisnya dengan berahi. Ia katakan dengan tegas, di depan Cai Shen, Dewa Pemberi Rezeki: ''Berkahi anakku dengan jodoh lelaki yang kaya!'' Lalu istrinya (yang dulu cantik dan kemudian semakin buruk lantaran mulai belajar memaki), menambahkan kata: ''Dan biarkan ia dipilih lelaki kaya dari Taiwan.''
***
IA kini duduk di meja makan bundar sebagai lelaki tua yang karatan. Matanya berserpih bening menatap dua piring kosong yang tertata rapi dengan sepasang sumpit di samping.
Sebuah mangkuk sup teronggok sunyi dengan sendok bebek menghadap langit-langit rumah, seperti memanjatkan doa: ''Tuhan, ada aroma kebaikan apakah pada orang tua yang tengah dikepung makanan ini?'' Bertahun ia membayangkan anak gadisnya agar lekas tumbuh dewasa. Ia iri pada kebahagiaan keluarga yang memiliki menantu. Menantu yang kelak menghormati martabat leluhur, yang setiap malam imlek akan bertandang ke rumah mertua dengan membawa seekor jam kai dan sepasang kaki babi. Adakah makanan yang lebih mewah dari itu?
Bagi doa orang miskin, jam kai dan kaki babi adalah surga.
Tentu saja, doa orang miskin yang memiliki gadis paling cantik di kota, dengan begitu mudah dikabulkan Cai Shen, Dewa Pemberi Rezeki. Lalu bidadari kecilnya, malaikat yang tumbuh dinaungi kecantikan dan kelembutan Dewi Kwam Im, yang seringkali naik di punggungnya sambil menghitung-hitung panu; tiba-tiba menjelma dewasa. Dilamar lelaki gemuk dengan perut buncit menyimpan sejarah kekayaan.
Para tetangga, kerabat, dan saudara-saudara berdatangan, memuji-muji jodoh itu sebagai: ''Mukjizat dari doa-doa para leluhur.'' Menantu baru yang dipuji sebagai mukjizat dari doa para leluhur, meninggalkan kaki babi, uang-uang buat membeli daging (dan kelak mengirimnya pada setiap malam imlek, -- selama bertahun- tahun), lalu pergi membawa bidadari cantiknya menuju Taiwan. Tak pernah pulang, berkabar pulang, atau pun menyebut kata ''pulang'' dalam surat- suratnya. Ketika ia mulai rindu setengah putus asa lalu berdoa di hadapan Dewa Bumi, ia mengatakan begini: ''Istriku dan aku telah menukar anak gadisku dengan kaki babi. Apakah yang harus aku lakukan untuk menebusnya, duhai Dewa Bumi?'' Istrinya, yang belakangan mulai gemuk lantaran kiriman- kiriman rutin setiap bulan (dan mulai sombong dengan gelanggelang dari menantu, lalu belajar sedikit demi sedikit untuk mulai memaki), mendengar doa itu. Lalu memutuskan nasibnya sendiri: pergi menyusul anak gadisnya ke Taiwan.
Tahun berganti tahun. Dan atas pertimbangan firasat yang makin tumpul dan dungu, ia selalu melengkapi sajian meja makannya dengan ikan malas. Ikan malas (entah atas kodrat apa dengan nama ikan malas) yang dimasak tim ala Hongkong, untuk doa-doa 'meminta lebih' pada malam g imlek. 'Xin Nian Kuai Le! Nian-nian you yu...' begitulah kalimat doa diucapkan dengan menggeleng-gelengkan kepala saat tiba kata ''yu'' berkali-kali. ''Yu'' berarti ikan dan ''yu'' yang ke dua berarti lebih, menjadi mantra wajib. Maka bergeleng-gelenglah ia, setiap tahun, bergeleng-geleng dengan cepat seperti pemabuk yang tidak percaya mendapati dirinya tiba-tiba kaya dengan memenangkan lotre. Semakin pedih dan rindu kepada anak dan istrinya, semakin cepat kepalanya bergeleng ke kiri kanan sambil melafalkan kata ''yu, yu'' dengan penuh putus asa.
Doa dan mantra lewat ikan malas untuk meminta lebih. Lebih untuk apa?
Pada kelaziman yang wajar, kata ''lebih'' adalah menunjuk pada rezeki, tapi ia ingin membaliknya menjadi lebih pada nasib! Sebab ia sudah lebih, dan bertahun menebus lebih dengan kerinduan yang pahit. Lihatlah ia yang lebih, dengan kepungan sembahyang makan malam di meja: sembilan macam menu yang terhidang di depan, dan tidak mungkin dihabiskan sendirian.
Sembilan, adalah juga angka keramat yang dipercaya membawa keabadian. Tapi benarkah ia ingin abadi? Benarkah ia ingin abadi dengan kemewahan seperti sekarang ini? Setiap bulan menantu lelakinya selalu memberi lebih. Tapi setiap bulan itu pula, anak gadisnya selalu terbayang tengah melempari wajahnya dengan kaki babi.
***
Ia yang perkasa, istrinya yang muda, anak gadis yang lincah dan jelita, menunggu angpao dari majikan untuk pakaian dan sepatu baru. Dengan angpao yang tidak seberapa, ia membeli tiga helai pakaian murah, tiga pasang sandal jepit, dan mendayung sepeda angin menuju warung makan. Dengan sepiring mie panjang untuk doa panjang umur, lalu tiga butir telur rebus untuk membayangkan aroma ayam, mereka singgah dan berlinangan khusuk di bawah kebahagiaan atap kelenteng kecil. Tanpa nyala lilin, tanpa minyak, tanpa jubah Pak Kung, tanpa membakar 'uang sembahyang emas' dan 'uang sembahyang perak'. Betapa Dewa Bumi tiba-tiba menurunkan kebahagiaan malam yang tak pernah bisa terlupakan. Betapa Dewa Pemberi Rezeki telah memaafkan doa-doa yang telah diucapkan: ''Wahai Engkau, Dewa Pemberi Rezeki, maafkan keluarga kami tidak dapat bersujud dihadapan-Mu dengan 'mengirimkan' Engkau uang sembahyang, membakarkan dupa wangi, menuangkan minyak, dan menyalakan lilin.
Sebab mana mungkin kami menyediakan semuanya, sedangkan Engkau tak pernah memberinya?'
Nyala lilin untuk terang jalan hidup. Tapi lilin di hati, adakah ia akan mati? Dengan aroma dupa sepanjang kota, lampion-lampion yang menyala dari setiap beranda, gelak tawa dan sapaan gong xi... gong xi.... , suara tambur yang bersahut-sahut lamat dan jauh, dari rumah-rumah terang yang menyala, dari kelenteng-kelenteng yang dilewati dengan sukacita. Sepeda angin dikayuh, sepeda angin menuju rumah malam, menuju sembahyang makan malam.
'Makanlah Siau Ling, mie panjang supaya kelak engkau berumur panjang,' ia berdoa untuk anaknya . ''Makanlah Xie Ling, mie panjang supaya umur kita dipanjangkan, dan kita bisa tetap bersama,'' ia berdoa untuk dirinya dan istrinya.
''Kita makan telur ini untuk kesejahteraan, dan kelak hidup yang lebih.'' Hidup yang lebih baik. Ia kini bisa membakar uang sembahyang sebanyak yang ia inginkan. Hidup yang lebih baik.
Ia bisa berdoa di hadapan sembilan menu untuk menyenangkan para Dewa pada malam imlek. Hidup yang lebih baik?! Ia ingin istri dan anaknya kembali berkumpul. Ia ingin waktu kembali diputar ke masa lalu. Ia ingin mati saat ini. Ia ingin berteriak: ''Persetan kalian, semua orang di kota ini, yang telah membujuk para ibu untuk menyerahkan anak- anak gadisnya, pada lelaki-lelaki dari Taiwan!''
***
Chai Shen dao! Cai Shen dao! Cai Shen dao wo de jia men kou! Lirik syair lagu yang meneriakkan bahwa Dewa Rezeki telah datang! Dewa Rezeki telah datang! Dewa Rezeki tiba di depan rumahmu! Alunan lagu itu begitu manis di telinga. Kekosongan makin terasa di antara kerlap-kerlip lampu, kehampaan seperti lampion di depan rumahnya yang doyong ke kiri dan doyong ke kanan. Udara berubah sangat dingin.
Bunyi petasan yang diyakini dapat mengusir roh-roh jahat, kini meletup di dadanya seperti balon udara yang terbakar.
Tidak ada siapa-siapa di meja makan, kecuali hidangan mewah dan dirinya yang memandang dengan sepi. Ia tidak meneruskan makan malamnya, --begitulah yang memang selalu ia lakukan bertahun-tahun. Ia akan menyalakan sebatang rokok, mengisapnya dalam-dalam, kemudian duduk di beranda rumah. Matanya akan terus memandang, ke jalan raya, ke kejauhan, ke batas pandang sejauh ia memandang.
Ia selalu berharap ada dua perempuan berjalan ke arahnya, barangkali dua perempuan itu turun dari langit, memeluknya erat dan mengucapkan, ''gong xi... gong xi...''
Singkawang, Februari 2010
============
Hanna Fransisca, lahir di Singkawang, Kalimantan Barat 1979. Ia menulis puisi, prosa, dan tulisan motivasi di andaluarbiasa.com. Puisi-puisinya dimuat di Kompas, Tempo, Jurnal Perempuan. Cerpennya dimuat di Malang Post dan sejumlah majalah sosial.
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Khoirul Anam
A Qorib Hidayatullah
A Rodhi Murtadho
A. Yusrianto Elga
A. Zakky Zulhazmi
A.S. Laksana
Aang Fatihul Islam
Aba Mardjani
Abd. Mun’im
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Gaffar Ruskhan
Abdul Hadi W. M.
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Malik
Abdul Muis
Abdul Wachid BS
Abdullah Khusairi
Abidah El Khalieqy
Abimardha Kurniawan
Abroorza A. Yusra
Abu Salman
Acep Iwan Saidi
Achmad Farid Tuasikal
Adek Alwi
Adi Marsiela
Adian Husaini
Adib Muttaqin Asfar
Adji Subela
Afandi Sido
Afriza Hanifa
Afrizal Malna
Ageng Wuri R. A.
Ags. Arya Dipayana
Aguk Irawan M.N.
Agus B. Harianto
Agus Bing
Agus Noor
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Sri Danardana
Agus Sulton
Agus Sunyoto
Agus Wibowo
Agus Wirawan
Agusri Junaidi
AH J Khuzaini
Ahda Imran
Ahid Hidayat
Ahm Soleh
Ahmad Asyhar
Ahmad Farid Yahya
Ahmad Fuadi
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Musthofa Haroen
Ahmad Rofiq
Ahmad Suhendra
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Aini Aviena Violeta
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Muhaimin Azzet
Akhmad Sekhu
Al Azhar Riau
Al-Fairish
Alex R. Nainggolan
Alexander G.B.
Alfian Zainal
Aliansyah
Alimuddin
Almania Rohmah
Alunk Estohank
Amien Kamil
Amien Wangsitalaja
Anata Siregar
Andi Sutisno
Andy Riza Hidayat
Anies Baswedan
Anindita S Thayf
Anis Ceha
Anis Faridatur Rofiah
Anjrah Lelono Broto
Anna Subekti
Anton Kurnia
Ari Hidayat
Ari Kristianawati
Arie MP Tamba
Arief Junianto
Aris Kurniawan
Arti Bumi Intaran
Arul Arista
AS Sumbawi
Asarpin
Asep Sambodja
Atiqurrahman
Awalludin GD Mualif
Ayu Purwaningsih
Babe Derwan
Bakdi Soemanto
Balada
Bale Aksara
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Bayu Dwi Mardana
Bellanissa Zoditama
Beni Setia
Benny Arnas
Beno Siang Pamungkas
Berita
Berita Duka
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Bokor Hutasuhut
Brunel University London
BSW Adjikoesoemo
Budaya
Budhi Setyawan
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budiawan Dwi Santoso
Bur Rasuanto
Burhanuddin Bella
Bustan Basir Maras
Catatan
Catullus
CB. Ismulyadi
Cerbung
Cerita Rakyat
Cerpen
Chavchay Syaifullah
Cikie Wahab
Cunong Nunuk Suraja
D Zawawi Imron
Dad Murniah
Dadang Ari Murtono
Dahlia Rasyad
Damhuri Muhammad
Damiri Mahmud
Danarto
Daniel Paranamesa
Darju Prasetya
Darman Djamaluddin
Darman Moenir
Dasman Djamaluddin
David Krisna Alka
Dea Anugrah
Dedy Tri Riyadi
Denny JA
Denny Mizhar
Desi Sommalia Gustina
Dewi Anggraeni
Dharma Setyawan
Dian Hartati
Didi Arsandi
Dina Oktaviani
Dipo Handoko
Djenar Maesa Ayu
Djoko Pitono
Doddi Ahmad Fauji
Doddy Hidayatullah
Dodi Chandra
Dodiek Adyttya Dwiwanto
Dody Kristianto
Donny Anggoro
Dony P. Herwanto
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Klik Santosa
Dwi Pranoto
Dwicipta
Edy A Effendi
Edy Firmansyah
Eka Budianta
Eka Fendri Putra
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Ellyzan Katan
Elnisya Mahendra
Emha Ainun Nadjib
Endah Imawati
Eni Suryanti
Eny Rose
Eriyandi Budiman
Eriyanti
Erwin Edhi Prasetya
Erwin Setia
Esai
Evan Ys
Evi Idawati
F Rahardi
Fadly Rahman
Fahrudin Nasrulloh
Faizah Sirajuddin
Faizal Syahreza
Fajar Alayubi
Fakhrunnas M.A. Jabbar
Fanny Chotimah
Fariz al-Nizar
Fariz Alneizar
Faruk HT
Fatah Anshori
Fatah Yasin Noor
Fathurrahman Karyadi
Fatimah Wahyu Sundari
Fauzan Santa
Fazabinal Alim
Festival Sastra Gresik
Fikri MS
Fiksi Mini
Fransisca Dewi Ria Utari
Franz Kafka
Fuad Anshori
Furqon Abdi
Fuska Sani Evani
Gendhotwukir
Gendut Riyanto
Gerson Poyk
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Gola Gong
Grathia Pitaloka
Gregorio Lopez y’ Fuentes
Gugun El-Guyanie
Gunawan Budi Susanto
Gus Noy
H.H. Tokoro
Hadi Napster
Hamberan Syahbana
Hamdy Salad
Hamsad Rangkuti
Han Gagas
Hang Kafrawi
Hani Pudjiarti
Hanna Fransisca
Hardi Hamzah
Hardjono WS
Haris del Hakim
Haris Priyatna
Harris Maulana
Hary B. Kori'un
Hasan Al Banna
Hasan Junus
Hasbullah Said
Hasnan Bachtiar
HE. Benyamine
Heidi Arbuckle
Helmi Y Haska
Helvy Tiana Rosa
Hendra Junaedi
Hendri Nova
Herdoni Syafriansyah
Heri Kurniawan
Heri Latief
Heri Ruslan
Herman RN
Hermawan Aksan
Hermien Y. Kleden
Herry Lamongan
Holy Adib
Humaidiy AS
Husni Anshori
I Nyoman Darma Putra
I Nyoman Tingkat
I Wayan Artika
Ibnu Wahyudi
Ida Farida
Ignas Kleden
Ilham Khoiri
Imam Cahyono
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Tohari
Indra Tranggono
Indrian Koto
Irwan Kelana
Isbedy Stiawan Z.S.
Iskandar Noe
Isma Swastiningrum
Ismi Wahid
Iwan Gardono Sujatmiko
Iwan Gunadi
Iwan Kurniawan
Iwan Nurdaya Djafar
Iwank
J.S. Badudu
Janoary M Wibowo
Javed Paul Syatha
JILFest 2008
JJ. Kusni
Jodhi Yudono
Joko Novianto Bp
Joko Pinurbo
Jones Gultom
Jual Buku Paket Hemat
Jusuf AN
Kadek Suartaya
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kasnadi
Kedung Darma Romansha
Kenedi Nurhan
Khaerudin Kurniawan
Khaerul Anwar
Ki Sugito Ha Es
Kirana Kejora
Komunitas Deo Gratias
Korrie Layun Rampan
Kritik Sastra
Kunthi Hastorini
Kuntowijoyo
Kurie Suditomo
Kurnia Effendi
Kurniawan
Kuswinarto
La Ode Rabbani
Lathifa Akmaliyah
Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember
Leon Agusta
Lily Siti Multatuliana
Lily Yulianti Farid
Lina Kelana
Liza Wahyuninto
Lona Olavia
Lugiena Dé
M Fadjroel Rachman
M Farid W Makkulau
M Syakir
M. Dawam Rahardjo
M. Faizi
M. Mustafied
M. Raudah Jambak
M. Taufan Musonip
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
M.Th. Krishdiana Putri
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Maklumat Sastra Profetik
Malkan Junaidi
Maman S. Mahayana
Mangun Kuncoro
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria D. Andriana
Maria Magdalena Bhoernomo
Mariana Amiruddin
Maryati
Marzuzak SY
Mashuri
Maulana Syamsuri
Media: Crayon on Paper
Mega Vristian
MG. Sungatno
Misbahus Surur
Mofik el-abrar
Moh. Amir Sutaarga
Moh. Ghufron Cholid
Mohammad Hatta
Mohammad Kh. Azad
Mohammad Takdir Ilahi
Much. Khoiri
Muhamad Taslim Dalma
Muhammad Rain
Muhammad Subhan
Muhammad Yasir
Muhammadun A.S
Muhidin M Dahlan
Mujtahid
Mulyawan Karim
Musa Ismail
Musfi Efrizal
Mustafa Ismail
Mustofa W Hasyim
N Teguh Prasetyo
N. Mursidi
Nadhi Kiara Zifen
Nana Riskhi Susanti
Nanang Suryadi
Naskah Teater
Nasrulloh Habibi
Neva Tuhella
Nietzsche
Nirwan Dewanto
Nizar Qabbani
Noor H. Dee
Nova Christina
Novelet
Nunung Nurdiah
Nur Wachid
Nurani Soyomukti
Nurel Javissyarqi
Nurman Hartono
Nuryana Asmaudi
Nyoman Tusthi Eddy
Obrolan
Oky Sanjaya
Oyos Saroso HN
P Ari Subagyo
Pagelaran Musim Tandur
Pamusuk Eneste
Panji Satrio
PDS H.B. Jassin
Penerbit dan Toko Buku PUstaka puJAngga
Pipiet Senja
Pramoedya Ananta Toer
Pringadi AS
Pringgo HR
Prosa
Puisi
Puji Santosa
Purnawan Andra
PUstaka puJAngga
Putu Fajar Arcana
Putu Satria Kusuma
Putu Wijaya
R Masri Sareb Putra
R. Adhi Kusumaputra
R. Timur Budi Raja
R.N. Bayu Aji
Radhar Panca Dahana
Ragdi F. Daye
Rahmi Hattani
Raja Ali Haji
Raju Febrian
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Rama Dira J
Rama Prabu
Ramadhan KH
Ramon Magsaysay
Ramses Ohee
Ratih Kumala
Raudal Tanjung Banua
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Resensi
Ressa Novita
Ressa Sagitariana Putri
Ria Ristiana Dewi
Rialita Fithra Asmara
Ribut Wijoto
Rida K Liamsi
Rifka Sibarani
Rilda A. Oe. Taneko
Rilda A.Oe. Taneko
Rimbun Natamarga
Rinto Andriono
Risang Anom Pujayanto
Rita Zahara
Riyon Fidwar
Robin Al Kautsar
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rohman Budijanto
Rukardi
S Yoga
S. Jai
S. Takdir Alisyahbana
S.W. Teofani
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Sajak
Sajak Sebatang Lisong
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Salman S. Yoga
Salyaputra
Samson Rambah Pasir
Samsudin Adlawi
Sanie B. Kuncoro
Santy Novaria
Sapardi Djoko Damono
Sarabunis Mubarok
Sartika Dian Nuraini
Sasti Gotama
Sastra Nusantara
Satmoko Budi Santoso
Satriani
Saut Poltak Tambunan
Saut Situmorang
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
Selasih
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Shadiqin Sudirman
Shiny.ane el’poesya
Shourisha Arashi
Sidik Nugroho
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sindu Putra
Siska Afriani
Siti Sa’adah
Sitok Srengenge
Siwi Dwi Saputro
Slamet Samsoerizal
Sobih Adnan
Sofyan RH. Zaid
Solihin
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sony Wibisono
Sosiawan Leak
Sri Wintala Achmad
Sri Wulan Rujiati Mulyadi
Stevani Elisabeth
Suci Ayu Latifah
Sucipto Hadi Purnomo
Sudarmoko
Sudirman HN
Suhadi Mukhan
Suharsono
Sukar
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Sunudyantoro
Supriyadi
Suriani
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Sutan Iwan Soekri Munaf
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Syahruddin El-Fikri
Syaripudin Zuhri
Syifa Aulia
Syu’bah Asa
T.A. Sakti
Tammalele
Tan Lioe Ie
Tasyriq Hifzhillah
Taufik Abdullah
Taufik Effendi Aria
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Wr. Hidayat
TE. Priyono
Teguh Winarsho AS
Tenas Effendy
Tengsoe Tjahjono
Thayeb Loh Angen
Theresia Purbandini
Tia Setiadi
Tias Tatanka
Tito Sianipar
Tjahjono EP
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Tjut Zakiyah Anshari
Topik Mulyana
Tosa Poetra
Tri Harun Syafii
TS Pinang
Tu-ngang Iskandar
Udo Z. Karzi
Uly Giznawati
Umar Fauzi Ballah
Umbu Landu Paranggi
Umi Kulsum
Uniawati
Universitas Indonesia
Usman Arrumy
Usman D.Ganggang
Utada Kamaru
UU Hamidy
Viddy AD Daery
W.S. Rendra
Wa Ode Wulan Ratna
Wahib Muthalib
Wahyudi Akmaliah Muhammad
Wardjito Soeharso
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Sunarta
Weli Meinindartato
Wicaksono
Widodo DS
Wina Karnie
Wisran Hadi
Wong Wing King
Yan Maniani
Yanti Mulatsih
Yanuar Arifin
Yasser Arafat
Yaumu Roikha
Yetti A. KA
Yohanes Padmo Adi Nugroho
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yudhi Ms
Yudhistira ANM Massardi
Yulianna
Yurnaldi
Yusi A. Pareanom
Yusi Avianto Pareanom
Yusri Fajar
Yusrizal KW
Yuyun Ifa Naliah
Zaim Rofiqi
Zainal Arifin Thoha
Zakki Amali
Zakky Zulhazmi
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zelfeni Wimra
Zuarman Ahmad
Zulfikar Akbar
Tidak ada komentar:
Posting Komentar