Jumat, 27 Mei 2011

Sembahyang Makan Malam

Hanna Fransisca
http://suaramerdeka.com/

Ayam jantan yang dikebiri, yang oleh kodrat manusia diganti nama menjadi jam kai, kini terbaring mati. Tubuhnya gemuk. Barangkali dulu ia adalah calon petarung sejati, dengan taji runcing setajam pisau. Tapi atas nama doa tulus yang kelak diucapkan pada malam imlek, pisau taji itu ditelikung berbulan-bulan. Lalu berakhirlah nasibnya sampai di sini: pada malam imlek saat jasad jam kai terbaring di dasar mangkuk tembaga, --setelah direbus dengan berbagai aroma bumbu.

''Tuhanku yang adil, kenapa hidup terasa lama sekali?'' begitulah ia, lelaki karatan itu berbisik di depan jasad harum jam kai aroma bumbu. Dan melihat mata ayam kebiri itu seperti melihat nasibnya sendiri. Di luar bunyi petasan jauh berdentum dan berderai. Suara langkah-langkah berkebat di jalan, orang-orang yang bergegas menuju vihara, dan sesekali celetukan gong xi... gong xi... menguar di udara. Atau anak-anak berlarian. Atau tambur dari arak-arakan barongsai. Atau barangkali ada juga yang buru-buru menghindar hujan lantaran menganggap hujan bukan berkah, --raungan truk lewat, anak-anak muda bersenang dengan arak setelah sembahyang, suara angin berdesis. Kota yang penuh berkah! Mengalirlah doa. Menguaplah ribuan dupa.

Akan tetapi yang paling jelas dari semua berkah dan doa itu: ia kini merasa semakin tua dan karatan. Duduk di meja makan bundar, merasa hidup telah terlewati. Di bawah lampion, di seberang altar dengan kertas-kertas doa dan persembahan di depan foto leluhur, di bawah aroma hio yang ia bakar barusan. Dua piring kosong, dengan dua pasang sumpit tertata rapi. Satu piring kosong untuk dirinya, dan satu piring kosong untuk istrinya yang entah di mana.

Dikepung sunyi dan beragam menu mewah yang tak setiap orang bisa. Bayangkanlah, dulu ia adalah lelaki perkasa, tapi jangankan jam kai yang subur dan mahal, bahkan telur ia tak selalu sanggup membeli. Anak gadisnya- anak semata wayang--tumbuh cantik, dan selalu ia marah pada para pemuda yang selalu melirik kecantikan anak gadisnya dengan berahi. Ia katakan dengan tegas, di depan Cai Shen, Dewa Pemberi Rezeki: ''Berkahi anakku dengan jodoh lelaki yang kaya!'' Lalu istrinya (yang dulu cantik dan kemudian semakin buruk lantaran mulai belajar memaki), menambahkan kata: ''Dan biarkan ia dipilih lelaki kaya dari Taiwan.''

***

IA kini duduk di meja makan bundar sebagai lelaki tua yang karatan. Matanya berserpih bening menatap dua piring kosong yang tertata rapi dengan sepasang sumpit di samping.

Sebuah mangkuk sup teronggok sunyi dengan sendok bebek menghadap langit-langit rumah, seperti memanjatkan doa: ''Tuhan, ada aroma kebaikan apakah pada orang tua yang tengah dikepung makanan ini?'' Bertahun ia membayangkan anak gadisnya agar lekas tumbuh dewasa. Ia iri pada kebahagiaan keluarga yang memiliki menantu. Menantu yang kelak menghormati martabat leluhur, yang setiap malam imlek akan bertandang ke rumah mertua dengan membawa seekor jam kai dan sepasang kaki babi. Adakah makanan yang lebih mewah dari itu?

Bagi doa orang miskin, jam kai dan kaki babi adalah surga.
Tentu saja, doa orang miskin yang memiliki gadis paling cantik di kota, dengan begitu mudah dikabulkan Cai Shen, Dewa Pemberi Rezeki. Lalu bidadari kecilnya, malaikat yang tumbuh dinaungi kecantikan dan kelembutan Dewi Kwam Im, yang seringkali naik di punggungnya sambil menghitung-hitung panu; tiba-tiba menjelma dewasa. Dilamar lelaki gemuk dengan perut buncit menyimpan sejarah kekayaan.

Para tetangga, kerabat, dan saudara-saudara berdatangan, memuji-muji jodoh itu sebagai: ''Mukjizat dari doa-doa para leluhur.'' Menantu baru yang dipuji sebagai mukjizat dari doa para leluhur, meninggalkan kaki babi, uang-uang buat membeli daging (dan kelak mengirimnya pada setiap malam imlek, -- selama bertahun- tahun), lalu pergi membawa bidadari cantiknya menuju Taiwan. Tak pernah pulang, berkabar pulang, atau pun menyebut kata ''pulang'' dalam surat- suratnya. Ketika ia mulai rindu setengah putus asa lalu berdoa di hadapan Dewa Bumi, ia mengatakan begini: ''Istriku dan aku telah menukar anak gadisku dengan kaki babi. Apakah yang harus aku lakukan untuk menebusnya, duhai Dewa Bumi?'' Istrinya, yang belakangan mulai gemuk lantaran kiriman- kiriman rutin setiap bulan (dan mulai sombong dengan gelanggelang dari menantu, lalu belajar sedikit demi sedikit untuk mulai memaki), mendengar doa itu. Lalu memutuskan nasibnya sendiri: pergi menyusul anak gadisnya ke Taiwan.

Tahun berganti tahun. Dan atas pertimbangan firasat yang makin tumpul dan dungu, ia selalu melengkapi sajian meja makannya dengan ikan malas. Ikan malas (entah atas kodrat apa dengan nama ikan malas) yang dimasak tim ala Hongkong, untuk doa-doa 'meminta lebih' pada malam g imlek. 'Xin Nian Kuai Le! Nian-nian you yu...' begitulah kalimat doa diucapkan dengan menggeleng-gelengkan kepala saat tiba kata ''yu'' berkali-kali. ''Yu'' berarti ikan dan ''yu'' yang ke dua berarti lebih, menjadi mantra wajib. Maka bergeleng-gelenglah ia, setiap tahun, bergeleng-geleng dengan cepat seperti pemabuk yang tidak percaya mendapati dirinya tiba-tiba kaya dengan memenangkan lotre. Semakin pedih dan rindu kepada anak dan istrinya, semakin cepat kepalanya bergeleng ke kiri kanan sambil melafalkan kata ''yu, yu'' dengan penuh putus asa.

Doa dan mantra lewat ikan malas untuk meminta lebih. Lebih untuk apa?
Pada kelaziman yang wajar, kata ''lebih'' adalah menunjuk pada rezeki, tapi ia ingin membaliknya menjadi lebih pada nasib! Sebab ia sudah lebih, dan bertahun menebus lebih dengan kerinduan yang pahit. Lihatlah ia yang lebih, dengan kepungan sembahyang makan malam di meja: sembilan macam menu yang terhidang di depan, dan tidak mungkin dihabiskan sendirian.

Sembilan, adalah juga angka keramat yang dipercaya membawa keabadian. Tapi benarkah ia ingin abadi? Benarkah ia ingin abadi dengan kemewahan seperti sekarang ini? Setiap bulan menantu lelakinya selalu memberi lebih. Tapi setiap bulan itu pula, anak gadisnya selalu terbayang tengah melempari wajahnya dengan kaki babi.

***

Ia yang perkasa, istrinya yang muda, anak gadis yang lincah dan jelita, menunggu angpao dari majikan untuk pakaian dan sepatu baru. Dengan angpao yang tidak seberapa, ia membeli tiga helai pakaian murah, tiga pasang sandal jepit, dan mendayung sepeda angin menuju warung makan. Dengan sepiring mie panjang untuk doa panjang umur, lalu tiga butir telur rebus untuk membayangkan aroma ayam, mereka singgah dan berlinangan khusuk di bawah kebahagiaan atap kelenteng kecil. Tanpa nyala lilin, tanpa minyak, tanpa jubah Pak Kung, tanpa membakar 'uang sembahyang emas' dan 'uang sembahyang perak'. Betapa Dewa Bumi tiba-tiba menurunkan kebahagiaan malam yang tak pernah bisa terlupakan. Betapa Dewa Pemberi Rezeki telah memaafkan doa-doa yang telah diucapkan: ''Wahai Engkau, Dewa Pemberi Rezeki, maafkan keluarga kami tidak dapat bersujud dihadapan-Mu dengan 'mengirimkan' Engkau uang sembahyang, membakarkan dupa wangi, menuangkan minyak, dan menyalakan lilin.
Sebab mana mungkin kami menyediakan semuanya, sedangkan Engkau tak pernah memberinya?'

Nyala lilin untuk terang jalan hidup. Tapi lilin di hati, adakah ia akan mati? Dengan aroma dupa sepanjang kota, lampion-lampion yang menyala dari setiap beranda, gelak tawa dan sapaan gong xi... gong xi.... , suara tambur yang bersahut-sahut lamat dan jauh, dari rumah-rumah terang yang menyala, dari kelenteng-kelenteng yang dilewati dengan sukacita. Sepeda angin dikayuh, sepeda angin menuju rumah malam, menuju sembahyang makan malam.
'Makanlah Siau Ling, mie panjang supaya kelak engkau berumur panjang,' ia berdoa untuk anaknya . ''Makanlah Xie Ling, mie panjang supaya umur kita dipanjangkan, dan kita bisa tetap bersama,'' ia berdoa untuk dirinya dan istrinya.
''Kita makan telur ini untuk kesejahteraan, dan kelak hidup yang lebih.'' Hidup yang lebih baik. Ia kini bisa membakar uang sembahyang sebanyak yang ia inginkan. Hidup yang lebih baik.
Ia bisa berdoa di hadapan sembilan menu untuk menyenangkan para Dewa pada malam imlek. Hidup yang lebih baik?! Ia ingin istri dan anaknya kembali berkumpul. Ia ingin waktu kembali diputar ke masa lalu. Ia ingin mati saat ini. Ia ingin berteriak: ''Persetan kalian, semua orang di kota ini, yang telah membujuk para ibu untuk menyerahkan anak- anak gadisnya, pada lelaki-lelaki dari Taiwan!''

***

Chai Shen dao! Cai Shen dao! Cai Shen dao wo de jia men kou! Lirik syair lagu yang meneriakkan bahwa Dewa Rezeki telah datang! Dewa Rezeki telah datang! Dewa Rezeki tiba di depan rumahmu! Alunan lagu itu begitu manis di telinga. Kekosongan makin terasa di antara kerlap-kerlip lampu, kehampaan seperti lampion di depan rumahnya yang doyong ke kiri dan doyong ke kanan. Udara berubah sangat dingin.
Bunyi petasan yang diyakini dapat mengusir roh-roh jahat, kini meletup di dadanya seperti balon udara yang terbakar.

Tidak ada siapa-siapa di meja makan, kecuali hidangan mewah dan dirinya yang memandang dengan sepi. Ia tidak meneruskan makan malamnya, --begitulah yang memang selalu ia lakukan bertahun-tahun. Ia akan menyalakan sebatang rokok, mengisapnya dalam-dalam, kemudian duduk di beranda rumah. Matanya akan terus memandang, ke jalan raya, ke kejauhan, ke batas pandang sejauh ia memandang.

Ia selalu berharap ada dua perempuan berjalan ke arahnya, barangkali dua perempuan itu turun dari langit, memeluknya erat dan mengucapkan, ''gong xi... gong xi...''

Singkawang, Februari 2010

============
Hanna Fransisca, lahir di Singkawang, Kalimantan Barat 1979. Ia menulis puisi, prosa, dan tulisan motivasi di andaluarbiasa.com. Puisi-puisinya dimuat di Kompas, Tempo, Jurnal Perempuan. Cerpennya dimuat di Malang Post dan sejumlah majalah sosial.

Tidak ada komentar:

A Khoirul Anam A Qorib Hidayatullah A Rodhi Murtadho A. Yusrianto Elga A. Zakky Zulhazmi A.S. Laksana Aang Fatihul Islam Aba Mardjani Abd. Mun’im Abdul Aziz Rasjid Abdul Gaffar Ruskhan Abdul Hadi W. M. Abdul Kadir Ibrahim Abdul Malik Abdul Muis Abdul Wachid BS Abdullah Khusairi Abidah El Khalieqy Abimardha Kurniawan Abroorza A. Yusra Abu Salman Acep Iwan Saidi Achmad Farid Tuasikal Adek Alwi Adi Marsiela Adian Husaini Adib Muttaqin Asfar Adji Subela Afandi Sido Afriza Hanifa Afrizal Malna Ageng Wuri R. A. Ags. Arya Dipayana Aguk Irawan M.N. Agus B. Harianto Agus Bing Agus Noor Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sri Danardana Agus Sulton Agus Sunyoto Agus Wibowo Agus Wirawan Agusri Junaidi AH J Khuzaini Ahda Imran Ahid Hidayat Ahm Soleh Ahmad Asyhar Ahmad Farid Yahya Ahmad Fuadi Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musthofa Haroen Ahmad Rofiq Ahmad Suhendra Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Aini Aviena Violeta Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sekhu Al Azhar Riau Al-Fairish Alex R. Nainggolan Alexander G.B. Alfian Zainal Aliansyah Alimuddin Almania Rohmah Alunk Estohank Amien Kamil Amien Wangsitalaja Anata Siregar Andi Sutisno Andy Riza Hidayat Anies Baswedan Anindita S Thayf Anis Ceha Anis Faridatur Rofiah Anjrah Lelono Broto Anna Subekti Anton Kurnia Ari Hidayat Ari Kristianawati Arie MP Tamba Arief Junianto Aris Kurniawan Arti Bumi Intaran Arul Arista AS Sumbawi Asarpin Asep Sambodja Atiqurrahman Awalludin GD Mualif Ayu Purwaningsih Babe Derwan Bakdi Soemanto Balada Bale Aksara Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Bayu Dwi Mardana Bellanissa Zoditama Beni Setia Benny Arnas Beno Siang Pamungkas Berita Berita Duka Bernando J. Sujibto Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Bokor Hutasuhut Brunel University London BSW Adjikoesoemo Budaya Budhi Setyawan Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiawan Dwi Santoso Bur Rasuanto Burhanuddin Bella Bustan Basir Maras Catatan Catullus CB. Ismulyadi Cerbung Cerita Rakyat Cerpen Chavchay Syaifullah Cikie Wahab Cunong Nunuk Suraja D Zawawi Imron Dad Murniah Dadang Ari Murtono Dahlia Rasyad Damhuri Muhammad Damiri Mahmud Danarto Daniel Paranamesa Darju Prasetya Darman Djamaluddin Darman Moenir Dasman Djamaluddin David Krisna Alka Dea Anugrah Dedy Tri Riyadi Denny JA Denny Mizhar Desi Sommalia Gustina Dewi Anggraeni Dharma Setyawan Dian Hartati Didi Arsandi Dina Oktaviani Dipo Handoko Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Doddi Ahmad Fauji Doddy Hidayatullah Dodi Chandra Dodiek Adyttya Dwiwanto Dody Kristianto Donny Anggoro Dony P. Herwanto Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Klik Santosa Dwi Pranoto Dwicipta Edy A Effendi Edy Firmansyah Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Eko Darmoko Ellyzan Katan Elnisya Mahendra Emha Ainun Nadjib Endah Imawati Eni Suryanti Eny Rose Eriyandi Budiman Eriyanti Erwin Edhi Prasetya Erwin Setia Esai Evan Ys Evi Idawati F Rahardi Fadly Rahman Fahrudin Nasrulloh Faizah Sirajuddin Faizal Syahreza Fajar Alayubi Fakhrunnas M.A. Jabbar Fanny Chotimah Fariz al-Nizar Fariz Alneizar Faruk HT Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fathurrahman Karyadi Fatimah Wahyu Sundari Fauzan Santa Fazabinal Alim Festival Sastra Gresik Fikri MS Fiksi Mini Fransisca Dewi Ria Utari Franz Kafka Fuad Anshori Furqon Abdi Fuska Sani Evani Gendhotwukir Gendut Riyanto Gerson Poyk Gita Pratama Goenawan Mohamad Gola Gong Grathia Pitaloka Gregorio Lopez y’ Fuentes Gugun El-Guyanie Gunawan Budi Susanto Gus Noy H.H. Tokoro Hadi Napster Hamberan Syahbana Hamdy Salad Hamsad Rangkuti Han Gagas Hang Kafrawi Hani Pudjiarti Hanna Fransisca Hardi Hamzah Hardjono WS Haris del Hakim Haris Priyatna Harris Maulana Hary B. Kori'un Hasan Al Banna Hasan Junus Hasbullah Said Hasnan Bachtiar HE. Benyamine Heidi Arbuckle Helmi Y Haska Helvy Tiana Rosa Hendra Junaedi Hendri Nova Herdoni Syafriansyah Heri Kurniawan Heri Latief Heri Ruslan Herman RN Hermawan Aksan Hermien Y. Kleden Herry Lamongan Holy Adib Humaidiy AS Husni Anshori I Nyoman Darma Putra I Nyoman Tingkat I Wayan Artika Ibnu Wahyudi Ida Farida Ignas Kleden Ilham Khoiri Imam Cahyono Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Tohari Indra Tranggono Indrian Koto Irwan Kelana Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Isma Swastiningrum Ismi Wahid Iwan Gardono Sujatmiko Iwan Gunadi Iwan Kurniawan Iwan Nurdaya Djafar Iwank J.S. Badudu Janoary M Wibowo Javed Paul Syatha JILFest 2008 JJ. Kusni Jodhi Yudono Joko Novianto Bp Joko Pinurbo Jones Gultom Jual Buku Paket Hemat Jusuf AN Kadek Suartaya Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Kedung Darma Romansha Kenedi Nurhan Khaerudin Kurniawan Khaerul Anwar Ki Sugito Ha Es Kirana Kejora Komunitas Deo Gratias Korrie Layun Rampan Kritik Sastra Kunthi Hastorini Kuntowijoyo Kurie Suditomo Kurnia Effendi Kurniawan Kuswinarto La Ode Rabbani Lathifa Akmaliyah Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember Leon Agusta Lily Siti Multatuliana Lily Yulianti Farid Lina Kelana Liza Wahyuninto Lona Olavia Lugiena Dé M Fadjroel Rachman M Farid W Makkulau M Syakir M. Dawam Rahardjo M. Faizi M. Mustafied M. Raudah Jambak M. Taufan Musonip M. Yoesoef M.D. Atmaja M.Th. Krishdiana Putri Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Maklumat Sastra Profetik Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mangun Kuncoro Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria D. Andriana Maria Magdalena Bhoernomo Mariana Amiruddin Maryati Marzuzak SY Mashuri Maulana Syamsuri Media: Crayon on Paper Mega Vristian MG. Sungatno Misbahus Surur Mofik el-abrar Moh. Amir Sutaarga Moh. Ghufron Cholid Mohammad Hatta Mohammad Kh. Azad Mohammad Takdir Ilahi Much. Khoiri Muhamad Taslim Dalma Muhammad Rain Muhammad Subhan Muhammad Yasir Muhammadun A.S Muhidin M Dahlan Mujtahid Mulyawan Karim Musa Ismail Musfi Efrizal Mustafa Ismail Mustofa W Hasyim N Teguh Prasetyo N. Mursidi Nadhi Kiara Zifen Nana Riskhi Susanti Nanang Suryadi Naskah Teater Nasrulloh Habibi Neva Tuhella Nietzsche Nirwan Dewanto Nizar Qabbani Noor H. Dee Nova Christina Novelet Nunung Nurdiah Nur Wachid Nurani Soyomukti Nurel Javissyarqi Nurman Hartono Nuryana Asmaudi Nyoman Tusthi Eddy Obrolan Oky Sanjaya Oyos Saroso HN P Ari Subagyo Pagelaran Musim Tandur Pamusuk Eneste Panji Satrio PDS H.B. Jassin Penerbit dan Toko Buku PUstaka puJAngga Pipiet Senja Pramoedya Ananta Toer Pringadi AS Pringgo HR Prosa Puisi Puji Santosa Purnawan Andra PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Satria Kusuma Putu Wijaya R Masri Sareb Putra R. Adhi Kusumaputra R. Timur Budi Raja R.N. Bayu Aji Radhar Panca Dahana Ragdi F. Daye Rahmi Hattani Raja Ali Haji Raju Febrian Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Dira J Rama Prabu Ramadhan KH Ramon Magsaysay Ramses Ohee Ratih Kumala Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Ressa Novita Ressa Sagitariana Putri Ria Ristiana Dewi Rialita Fithra Asmara Ribut Wijoto Rida K Liamsi Rifka Sibarani Rilda A. Oe. Taneko Rilda A.Oe. Taneko Rimbun Natamarga Rinto Andriono Risang Anom Pujayanto Rita Zahara Riyon Fidwar Robin Al Kautsar Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Rohman Budijanto Rukardi S Yoga S. Jai S. Takdir Alisyahbana S.W. Teofani Sabrank Suparno Sahaya Santayana Sajak Sajak Sebatang Lisong Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Salman S. Yoga Salyaputra Samson Rambah Pasir Samsudin Adlawi Sanie B. Kuncoro Santy Novaria Sapardi Djoko Damono Sarabunis Mubarok Sartika Dian Nuraini Sasti Gotama Sastra Nusantara Satmoko Budi Santoso Satriani Saut Poltak Tambunan Saut Situmorang Sekolah Literasi Gratis (SLG) Selasih Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Shadiqin Sudirman Shiny.ane el’poesya Shourisha Arashi Sidik Nugroho Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sindu Putra Siska Afriani Siti Sa’adah Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Slamet Samsoerizal Sobih Adnan Sofyan RH. Zaid Solihin Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sony Wibisono Sosiawan Leak Sri Wintala Achmad Sri Wulan Rujiati Mulyadi Stevani Elisabeth Suci Ayu Latifah Sucipto Hadi Purnomo Sudarmoko Sudirman HN Suhadi Mukhan Suharsono Sukar Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sunudyantoro Supriyadi Suriani Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syahruddin El-Fikri Syaripudin Zuhri Syifa Aulia Syu’bah Asa T.A. Sakti Tammalele Tan Lioe Ie Tasyriq Hifzhillah Taufik Abdullah Taufik Effendi Aria Taufik Ikram Jamil Taufiq Wr. Hidayat TE. Priyono Teguh Winarsho AS Tenas Effendy Tengsoe Tjahjono Thayeb Loh Angen Theresia Purbandini Tia Setiadi Tias Tatanka Tito Sianipar Tjahjono EP Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tjut Zakiyah Anshari Topik Mulyana Tosa Poetra Tri Harun Syafii TS Pinang Tu-ngang Iskandar Udo Z. Karzi Uly Giznawati Umar Fauzi Ballah Umbu Landu Paranggi Umi Kulsum Uniawati Universitas Indonesia Usman Arrumy Usman D.Ganggang Utada Kamaru UU Hamidy Viddy AD Daery W.S. Rendra Wa Ode Wulan Ratna Wahib Muthalib Wahyudi Akmaliah Muhammad Wardjito Soeharso Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Sunarta Weli Meinindartato Wicaksono Widodo DS Wina Karnie Wisran Hadi Wong Wing King Yan Maniani Yanti Mulatsih Yanuar Arifin Yasser Arafat Yaumu Roikha Yetti A. KA Yohanes Padmo Adi Nugroho Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yudhi Ms Yudhistira ANM Massardi Yulianna Yurnaldi Yusi A. Pareanom Yusi Avianto Pareanom Yusri Fajar Yusrizal KW Yuyun Ifa Naliah Zaim Rofiqi Zainal Arifin Thoha Zakki Amali Zakky Zulhazmi Zawawi Se Zehan Zareez Zelfeni Wimra Zuarman Ahmad Zulfikar Akbar