Jumat, 27 Mei 2011

Hati adalah Lubuk Merah, Membaca “Biografi” Hanna Fransisca

Benny Arnas
Riau Pos, 2 Jan 2011

“Di Sudut Bibirmu Ada Sebutir Nasi” (DSBASN), sajak kedua dari buku puisi Hanna Fransisca yang bertajuk Kode Penyair Han (Kata-Kita, 2010), dibagi dalam empat bagian. Pembagian dalam sajak yang diberi sub judul “:biografi Han” tersebut tampaknya dibuat dengan pertimbangan yang matang. Bila biografi adalah catatan runut, maka DSBASN adalah cerita yang teratur. Memang, pembagian tersebut tidak dimaksudkan untuk menjelaskan perjalanan dalam kerangka waktu, setting, dan konflik tertentu sebagaimana plot dalam cerpen, atau bab dalam novel. Hal itu lebih sebagai sekuen mini yang padat. Ungkapkan kegetiran dengan sumir. Hanna tak meminta pembaca mengikuti teori Tuebingen (1986) yang menyatakan bahwa pembaca harus memahami pengarang jauh lebih baik dibanding pengarang memahami karyanya sendiri. Hanna membiarkan pembaca menikmati kisahnya. Hanna tengah berkomunikasi tanpa mempersilakan dialog muncul.1 Hanna tengah bermonolog. Dan pembaca adalah para penonton yang diperangkap oleh (tuturan) perjalanan hidupnya.

Lubuk Biru

Maaf. Mulut adalah lubuk biru/tempat rimbun anggur dan lembut kabut./ada gerimis kecil pagi hari. Ada matahari/dan tujuh warna pelangi./Ada wangi gadis sehabis mandi.

Begitulah Hanna membuka DSBASN. “Maaf” diletakkan sebagai diksi pertama. Hanna paham benar bahwa biografi adalah catatan perjalanan hidup yang (sejatinya) bersifat pribadi. Lazimnya, memang (seolah) hanya orang-orang (atau yang merasa) terpandang, terhormat, berjasa pada masyarakat, terkenal, dll, saja yang biografinya layak ditulis dan atau dimaklumatkan kepada banyak orang. Hanna membuka kisah hidup dengan sebuah harapan sekaligus permintaan pemakluman. Harapan semoga biografinya berfaedah, dan meminta orang-orang memaklumi (sekaligus memaafkan) bila ternyata tak ada gunanya sama sekali. Dan Hanna tak sekadar berbasa-basi dengan “maaf” tersebut. Ia menuliskan “maaf” sebanyak 8 (delapan) kali dalam sajaknya yang cukup panjang tersebut. Hal ini lebih dilihat sebagai sebuah ketakziman dibanding keberlebihan. Di sini Hanna hendak melepaskan sajaknya dari aroma koran dan festival. Ia tampil sebagai penyair yang tukang cerita, yang membuat orang-orang hikmat mendengarkannya.2

“Mulut adalah lubuk biru.” Tiga kali Hanna menyematkan metafor itu dalam DSBASN. Di sini, Hanna tidak mencipta metafor sebagai Metaphorical Twist and Turn (MTaT); metafor dicipta karena sebuah kata yang secara konvensional tak dapat dihubungkan dengan perkataan lainnya, justru dihubungkan untuk melakukan penyimpangan yang disengaja (Ignas Kleden, 2004). Hanna tidak mencipta metafor sebagaimana Gunawan Muhammad menggunakan kata “sayup-sayup” dalam sajaknya “Lagu Pekerja Malam”: Lagu pekerja malam/ Di sayup-sayup embun/ antara dinamo menderam/ Pantun demi pantun.

Melalui “Mulut adalah lubuk biru”, Hanna bukan hanya tak mengindahkan MtaT namun juga mematahkan dalil filsafat Cartesian tentang manusia “saya berpikir maka saya ada”. Hanna menyatakan bahwa cerita muramnya bukan hanya karena keberadaannya sebagai manusia (entah sebagai wanita, entah sebagai seorang Tioghoa, entah sebagai orang yang pernah jatuh dalam kemiskinan), namun lebih dari itu, “saya mengalami maka saya ada”.

Hanna hendak menyatakan bahwa DSBASN adalah dirinya yang dikisahkan dalam tutur. Di sini Hanna sudah mengunci sajaknya. Ia menempatkan sajak bukan sebagai teks. Kisah hidup (biografi) ia tuturkan (dengan mulut), bukan ia tuliskan (sebagai teks). Maka, kalimat itu bagai menjadi gerbang yang bila dibuka akan tampaklah apa-apa yang ada di baliknya. Cerita-cerita pilu yang begitu tersuruk, tersuruk di lubuk. Lubuk biru. Sumber kegetiran. Kegetiran yang mendalam.

Namun begitu, dengan semua kegetirannya, Hanna tidak menyajikan sajaknya sebagai hidangan dengan rasa cengeng belaka. Ia juga menyalakan semangat pantang kalah. Ia memang sempat linglung menjalani hidup karena menenggak arak yang memabukkan dari “tempat serimbun anggur” sembari berjalan dalam “lembut kabut”. Namun itu tak berlangsung lama, karena “ada gerimis di pagi hari” yang serta merta menyegarkan dirinya sekaligus mengusir kabut keraguan. Hanna segera tersadar bahwa hidup tak monokrom. Hidup “ada(lah) tujuh warna pelagi”. Warna-warna itu adalah bebunga yang mekar. Lalu Hanna petik untuk dijadikan sabun kehidupan. Ia ingin sedikit mendongak di tengah keramaian. Agar orang-orang tak memandang sebelah mata terhadapnya, agar orang-orang membisikkan: “Ada wangi gadis sehabis mandi” dengan manis (ataukah sinis?) di belakangnya. Sampai di sini, Hanna seolah hendak meneriakkan bahwa kata-kata yang digunakan dalam sajaknya sepenuhnya bersifat arbitrer (Jonathan Culler, 1984). Tidak ada hubungan “anggur” dan rasanya dengan wujud buah anggur, dan sebagainya.

Tanpa bermaksud menyalip pembacaan, bait pembuka DSBASN adalah batang dari biografi Han yang hendak diceritakan. Kegetiran hidup! Memang, pada bait kedua di bagian pertama DSBASN, Hanna sempat menyinggung seseorang yang bernama “Aliong, Aliung, Along….” yang ia kiaskan sebagai “hantu lelaki yang menggigil lantaran istri/ yang mati.”, namun, Hanna tak memberikan informasi lebih dalam selain bahwa lelaki itu bukanlah pribumi. Hanna tak ingin membuka semua kisah tentang ’lelaki-nya’ itu pada bagian pembuka (atau Hanna tak ingin kehilangan fokus ’penceritaan’?).

Diskriminasi Tionghoa

“Di sudut bibirmu ada sebutir nasi/ Bukan tempatmu di sini”. Demikian ujar (hinaan) seorang pribumi tulen yang kala itu menjadi guru SMP-nya di baris terakhir bagian kedua sajaknya. Hanna bukan hendak menumpahkan semua kekesalannya sebagai seorang Tionghoa, namun ia sekadar menyampaikan apa-apa yang pernah ia terima. Dan bila dalam sajak (yang singkat dibanding cerpen/novel) ia ceritakan itu, tidakkah artinya perlakuan (hinaan/diskriminasi) itu begitu membekas dalam perjalanan hidupnya? Menyesakkan, membuat sebak, akhirnya (pernah) membuatnya jatuh dalam keputusasaan yang mendalam, ke dalam lubuk biru, seperti dalam larik “Sejak itu ia buang mimpi/ terbang memungut bintang./ Sejak itu ia selalu melihat: Ada sebutir debu/ terjungkal di sudut jurang.”

Karena keterpurukan itu pula, Hanna sempat ragu apakah benar tempat ia lahir dan hidup kini adalah tanah airnya. “Sebab hanya orang jatuh cinta bisa lancar bicara/laut, guguran daun hutan Kalimantan, ombak Natuna, ….” Tentu bagaimana ia akan menganggap pulau-pulau itu sebagai tanah airnya “Sedang ia tak pernah bisa sebut nama sendiri.”

Dan di sinilah kepandaian Hanna mengisahkan biografinya dengan sangat ritmis. Dengan wajar (walaupun sejatinya sebuah lompatan) Hanna memainkan dinamika. Bila tadi (sepanjang bagian kedua sajak) ia bercerita dengan mimik muram, mata sayu dan agak merah, atau bahkan sambil bersimpuh; maka, menjelang akhir bagian ini, Hanna tiba-tiba bercerita dengan semringah, mata yang berbinar, dan serta-merta berdiri! Hanna memang masih mengatakan betapa keinginan begitu susah digapai, betapa harapannya terus kerontang walaupun jumlah kaumnya (Tionghoa) makin banyak: “betapa rabun matahari di tebing mimpi./ Rambutmu tumbuh hitam sesubur hutan/ sepanjang musim penghujan, pipimu putih/ hamparan pasir-pasir kemarau/ di pulau-pulau sunyi. Bila DSBASN adalah lagu, maka Hanna meliukkan irama dengan sangat halus di bagian “Ada gerimis di pagi hari./ Ada matahari dan tujuh warna pelangi.” Bagaimana Hanna dapat dengan tiba-tiba melupakan kesedihan? Semua disebabkan si “lelaki”, itu jawabannya!

Tentang Kekasih

Hanna baru menceritakan si “lelaki” yang kemudian diketahui sebagai kekasihnya (atau kini telah menjadi suaminya?) di bagian ketiga dari DSBASN. Di sinilah Hanna memainkan dinamika bahasa bergerak di antara sifatnya yang taat makna (meaning-governed) dan sifatnya yang mengubah menciptakan makna (meaning changing).3 Kata “kekasih” dalam bagian ketiga sajak ini lebih tampil secara semantik, memiliki hubungan di antara bahasa, khususnya kata, dan apa yang ditunjuk oleh kata itu.4 Dan tak alang kepalang, demi memberikan (menunjukkan) tekanan pada kata (kekasih) yang ditunjuk tersebut, tak sedikit pun dari 25 baris sajak pada bagian ketiga, tersisa untuk catatan hidup Hanna yang lain. Semua tentang sang kekasih. Tampaknya sang kekasih sangatlah berjasa dalam hidupnya. Hal ini dapatlah dimaklumi ketika dengan sangat manis (nyaris tanpa metafora yang njelimet) Hanna menceritakan betapa sang kekasih sangat berjasa membuatnya makin bergelora menjalani hidup, seperti pada bagian: “Kekasih sejati datang sekali, noni, menculikmu/ di petang siang. Memcumbu wangi hari-hari,/ mengajak selingkuh dalam nikmat setubuh/ pertama kali. Setubuh? Pertama kali? Alangkah nikmatnya? Tentulah pada sesiapa yang telah memberikan kebaikan tak terhingga, kita akan sangat menghormatinya, mendengarkan kata-katanya, bukan? Nah, begitu pun Hanna. Bahkan sang kekasih pula yang menyadarkan, bahwa Hanna adalah bagian bangsa ini, bukan hanya pelengkap kepadatan kependuduk, namun orang yang dapat dibanggakan. “Kelahiranmu di bumi pertiwi/ membikin wajah negeri cantik sekali.”

Hanna sangat terbius oleh kata-kata sang kekasih. Hanna sangat mencintai negeri. Hingga, segala upaya rayuan dari lelaki lain, tak digubrisnya. Bahkan dengan semua kehebatan lelaki lain yang berjanji membawanya ke semua benua, Hanna bergeming. “Kita akan kawin/ bikin perahu dan penuhi koin, seberangkan kunci-kunci/ melintas lautan, ke mana saja ke semua benua:/ itulah tanah air kita. Hanna tak takluk. Ya, cukuplah baginya bujuk-rayu itu. Hanna bukannya tak hendak menyimpan ’rasa’. Selain karena ia kadung mencintai tanah kelahirannya, ia juga muak pada semua janji-janji, kata-kata manis dari mulut. Karena baginya “Mulut adalah lubuk biru.”

Ambiguitas Hanna

Bagian keempat DSBASN, lebih tampak sebagai epilog. Dan Hanna memilih menutup biografinya dengan ambigu. Serupa ending terbuka dalam sebuah prosa.

Ambiguitas itu pertamakali muncul secara harfiah dalam metafora “Kekasih memberi cahaya, suami meminta nyawa.” Hanna memaparkan bagaimana kehidupan kaumnya (Tionghoa) kini. Bagai memakan buah simalakama. Mereka harus kaya agar mempunyai harga diri, namun yang terjadi justru dibenci. Mereka tak ingin jadi miskin dengan tujuan agar tak merasa orang asing. Namun yang terjadi justru itulah yang (seolah-olah) diharapkan pribumi. Ambiguitas yang kedua muncul ketika Hanna menabrakkan “Di kuburan kita janji ketemu” di baris ketiga bagian sajak yang keempat, dengan “Di kuburan kita telah ketemu.” di baris ketigabelas (terakhir) sekaligus menutup DSBASN.5 Sepasang ungkapan tersebut lebih menggambarkan bentuk kegamangan, kegetiran tak selesai, dan pesimisme. Bagaimana Hanna dan kekasih, sang penyemangat (atau sang suami), dapat membuat janji bertemu dalam sebuah penderitaan, di kuburan? Sejak kapan cinta-mati dijadikan pelarian kaum keturunan? Sejak kapan kaum keturunan (hanya) pasrah pada keadaan?

Hanna sebenarnya tengah gamang dengan biografinya. Ia tak terang menceritakannya. Bukan, bukan karena sajak adalah karya sastra yang pendek hingga sangat terbatas untuk mengisahkan kehidupan (seorang) anak manusia. Bukan pula karena DSBASN disajikan bukan sebagai teks. Bukan karena ia hendak mengaburkan kegetiran perjalanan hidupnya. Bukan karena ia tak ingin tampak terlalu sentimental pada sang kekasih (suaminya?). Bukan karena ia takut isu “kaum Tionghoa” merembet pada hal-hal politis. Dan tentu saja, bukan karena ia ingin bersajak (bercerita) dengan aman-aman saja (untuk apa biografi ini disajakkan bila ingin aman-aman saja?!). Bukan! Hanna hanya ingin bilang bahwa ia tak menjual airmata —yang ia keruk dari lubuk biru— dalam biografinya. Ia bahkan membelinya. Lalu ia bagikan, agar orang-orang mengambil pelajaran darinya. Tentang mencintai kekasih, tentang nasionalisme, tentang tak lelah memberi.

Maka, bila ditanyakan kepada Hanna tentang hidupnya kini, saya yakin takkan ada kata “Maaf” sebagaimana dalam ’sajak-biografi’ yang termaktub dalam buku setebal 141 halaman tersebut. Saya pikir Hanna akan memulai ceritanya dengan kalimat “Hati adalah lubuk merah”; sumber kebahagiaan yang sudah ditempa oleh perjalanan hidup yang haru-biru.
Di masa lalu.***

Catatan:

1. Puisi pun bentuk komunikasi. Adanya monolog adalah salah satunya. (Luxemburg, Bal, dan Wetsteijn, 1989: 74)
2. Diadaptasi dari Pengantar Redaksi rumahlebah; ruang puisi 02 (Frame Publishing, 2009)
3. Paul Ricourer berbicara tentang sintaksis dan sifatnya yang “rule-governed” dan “rule-changing“. Konsep tersebut diterapkan di sini untuk semantik. Lebih lengkap lihat paul Ricourer, The Rule of Metaphor (London: Routledge & Kegan Paul, 1978) hal. 110-111.
4. Diadaptasi dari naskah “Puisi, Penyair, dan Intelektual Publik; Untuk Goenawan Muhammad 60 Tahun” (Pidato Ignas Kleden dalam Rangka 60 Tahun Gunawan Muhammad)
5. Perbandingan ini dipinjam dari penyair Amerika, Gregory Corso, dalam karangannya yang terdapat dalam Howard Nemerov, hal. 220. (Chicago, 1967).

Benny Arnas, lahir di Lubuklinggau. Puisi-prosaiknya Perempuan yang Dihamili oleh Angin menjadi salah satu pemenang Krakatau Award 2009. Buku kumpulan cerpen pertamanya Bulan Celurit Api (Koekoesan, 2010). Tinggal dan berkarya di Lubuklinggau (Sumatera Selatan)

Sumber: http://cabiklunik.blogspot.com/2011/01/hati-adalah-lubuk-merah-membaca.html

Tidak ada komentar:

A Khoirul Anam A Qorib Hidayatullah A Rodhi Murtadho A. Yusrianto Elga A. Zakky Zulhazmi A.S. Laksana Aang Fatihul Islam Aba Mardjani Abd. Mun’im Abdul Aziz Rasjid Abdul Gaffar Ruskhan Abdul Hadi W. M. Abdul Kadir Ibrahim Abdul Malik Abdul Muis Abdul Wachid BS Abdullah Khusairi Abidah El Khalieqy Abimardha Kurniawan Abroorza A. Yusra Abu Salman Acep Iwan Saidi Achmad Farid Tuasikal Adek Alwi Adi Marsiela Adian Husaini Adib Muttaqin Asfar Adji Subela Afandi Sido Afriza Hanifa Afrizal Malna Ageng Wuri R. A. Ags. Arya Dipayana Aguk Irawan M.N. Agus B. Harianto Agus Bing Agus Noor Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sri Danardana Agus Sulton Agus Sunyoto Agus Wibowo Agus Wirawan Agusri Junaidi AH J Khuzaini Ahda Imran Ahid Hidayat Ahm Soleh Ahmad Asyhar Ahmad Farid Yahya Ahmad Fuadi Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musthofa Haroen Ahmad Rofiq Ahmad Suhendra Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Aini Aviena Violeta Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sekhu Al Azhar Riau Al-Fairish Alex R. Nainggolan Alexander G.B. Alfian Zainal Aliansyah Alimuddin Almania Rohmah Alunk Estohank Amien Kamil Amien Wangsitalaja Anata Siregar Andi Sutisno Andy Riza Hidayat Anies Baswedan Anindita S Thayf Anis Ceha Anis Faridatur Rofiah Anjrah Lelono Broto Anna Subekti Anton Kurnia Ari Hidayat Ari Kristianawati Arie MP Tamba Arief Junianto Aris Kurniawan Arti Bumi Intaran Arul Arista AS Sumbawi Asarpin Asep Sambodja Atiqurrahman Awalludin GD Mualif Ayu Purwaningsih Babe Derwan Bakdi Soemanto Balada Bale Aksara Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Bayu Dwi Mardana Bellanissa Zoditama Beni Setia Benny Arnas Beno Siang Pamungkas Berita Berita Duka Bernando J. Sujibto Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Bokor Hutasuhut Brunel University London BSW Adjikoesoemo Budaya Budhi Setyawan Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiawan Dwi Santoso Bur Rasuanto Burhanuddin Bella Bustan Basir Maras Catatan Catullus CB. Ismulyadi Cerbung Cerita Rakyat Cerpen Chavchay Syaifullah Cikie Wahab Cunong Nunuk Suraja D Zawawi Imron Dad Murniah Dadang Ari Murtono Dahlia Rasyad Damhuri Muhammad Damiri Mahmud Danarto Daniel Paranamesa Darju Prasetya Darman Djamaluddin Darman Moenir Dasman Djamaluddin David Krisna Alka Dea Anugrah Dedy Tri Riyadi Denny JA Denny Mizhar Desi Sommalia Gustina Dewi Anggraeni Dharma Setyawan Dian Hartati Didi Arsandi Dina Oktaviani Dipo Handoko Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Doddi Ahmad Fauji Doddy Hidayatullah Dodi Chandra Dodiek Adyttya Dwiwanto Dody Kristianto Donny Anggoro Dony P. Herwanto Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Klik Santosa Dwi Pranoto Dwicipta Edy A Effendi Edy Firmansyah Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Eko Darmoko Ellyzan Katan Elnisya Mahendra Emha Ainun Nadjib Endah Imawati Eni Suryanti Eny Rose Eriyandi Budiman Eriyanti Erwin Edhi Prasetya Erwin Setia Esai Evan Ys Evi Idawati F Rahardi Fadly Rahman Fahrudin Nasrulloh Faizah Sirajuddin Faizal Syahreza Fajar Alayubi Fakhrunnas M.A. Jabbar Fanny Chotimah Fariz al-Nizar Fariz Alneizar Faruk HT Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fathurrahman Karyadi Fatimah Wahyu Sundari Fauzan Santa Fazabinal Alim Festival Sastra Gresik Fikri MS Fiksi Mini Fransisca Dewi Ria Utari Franz Kafka Fuad Anshori Furqon Abdi Fuska Sani Evani Gendhotwukir Gendut Riyanto Gerson Poyk Gita Pratama Goenawan Mohamad Gola Gong Grathia Pitaloka Gregorio Lopez y’ Fuentes Gugun El-Guyanie Gunawan Budi Susanto Gus Noy H.H. Tokoro Hadi Napster Hamberan Syahbana Hamdy Salad Hamsad Rangkuti Han Gagas Hang Kafrawi Hani Pudjiarti Hanna Fransisca Hardi Hamzah Hardjono WS Haris del Hakim Haris Priyatna Harris Maulana Hary B. Kori'un Hasan Al Banna Hasan Junus Hasbullah Said Hasnan Bachtiar HE. Benyamine Heidi Arbuckle Helmi Y Haska Helvy Tiana Rosa Hendra Junaedi Hendri Nova Herdoni Syafriansyah Heri Kurniawan Heri Latief Heri Ruslan Herman RN Hermawan Aksan Hermien Y. Kleden Herry Lamongan Holy Adib Humaidiy AS Husni Anshori I Nyoman Darma Putra I Nyoman Tingkat I Wayan Artika Ibnu Wahyudi Ida Farida Ignas Kleden Ilham Khoiri Imam Cahyono Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Tohari Indra Tranggono Indrian Koto Irwan Kelana Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Isma Swastiningrum Ismi Wahid Iwan Gardono Sujatmiko Iwan Gunadi Iwan Kurniawan Iwan Nurdaya Djafar Iwank J.S. Badudu Janoary M Wibowo Javed Paul Syatha JILFest 2008 JJ. Kusni Jodhi Yudono Joko Novianto Bp Joko Pinurbo Jones Gultom Jual Buku Paket Hemat Jusuf AN Kadek Suartaya Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Kedung Darma Romansha Kenedi Nurhan Khaerudin Kurniawan Khaerul Anwar Ki Sugito Ha Es Kirana Kejora Komunitas Deo Gratias Korrie Layun Rampan Kritik Sastra Kunthi Hastorini Kuntowijoyo Kurie Suditomo Kurnia Effendi Kurniawan Kuswinarto La Ode Rabbani Lathifa Akmaliyah Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember Leon Agusta Lily Siti Multatuliana Lily Yulianti Farid Lina Kelana Liza Wahyuninto Lona Olavia Lugiena Dé M Fadjroel Rachman M Farid W Makkulau M Syakir M. Dawam Rahardjo M. Faizi M. Mustafied M. Raudah Jambak M. Taufan Musonip M. Yoesoef M.D. Atmaja M.Th. Krishdiana Putri Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Maklumat Sastra Profetik Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mangun Kuncoro Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria D. Andriana Maria Magdalena Bhoernomo Mariana Amiruddin Maryati Marzuzak SY Mashuri Maulana Syamsuri Media: Crayon on Paper Mega Vristian MG. Sungatno Misbahus Surur Mofik el-abrar Moh. Amir Sutaarga Moh. Ghufron Cholid Mohammad Hatta Mohammad Kh. Azad Mohammad Takdir Ilahi Much. Khoiri Muhamad Taslim Dalma Muhammad Rain Muhammad Subhan Muhammad Yasir Muhammadun A.S Muhidin M Dahlan Mujtahid Mulyawan Karim Musa Ismail Musfi Efrizal Mustafa Ismail Mustofa W Hasyim N Teguh Prasetyo N. Mursidi Nadhi Kiara Zifen Nana Riskhi Susanti Nanang Suryadi Naskah Teater Nasrulloh Habibi Neva Tuhella Nietzsche Nirwan Dewanto Nizar Qabbani Noor H. Dee Nova Christina Novelet Nunung Nurdiah Nur Wachid Nurani Soyomukti Nurel Javissyarqi Nurman Hartono Nuryana Asmaudi Nyoman Tusthi Eddy Obrolan Oky Sanjaya Oyos Saroso HN P Ari Subagyo Pagelaran Musim Tandur Pamusuk Eneste Panji Satrio PDS H.B. Jassin Penerbit dan Toko Buku PUstaka puJAngga Pipiet Senja Pramoedya Ananta Toer Pringadi AS Pringgo HR Prosa Puisi Puji Santosa Purnawan Andra PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Satria Kusuma Putu Wijaya R Masri Sareb Putra R. Adhi Kusumaputra R. Timur Budi Raja R.N. Bayu Aji Radhar Panca Dahana Ragdi F. Daye Rahmi Hattani Raja Ali Haji Raju Febrian Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Dira J Rama Prabu Ramadhan KH Ramon Magsaysay Ramses Ohee Ratih Kumala Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Ressa Novita Ressa Sagitariana Putri Ria Ristiana Dewi Rialita Fithra Asmara Ribut Wijoto Rida K Liamsi Rifka Sibarani Rilda A. Oe. Taneko Rilda A.Oe. Taneko Rimbun Natamarga Rinto Andriono Risang Anom Pujayanto Rita Zahara Riyon Fidwar Robin Al Kautsar Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Rohman Budijanto Rukardi S Yoga S. Jai S. Takdir Alisyahbana S.W. Teofani Sabrank Suparno Sahaya Santayana Sajak Sajak Sebatang Lisong Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Salman S. Yoga Salyaputra Samson Rambah Pasir Samsudin Adlawi Sanie B. Kuncoro Santy Novaria Sapardi Djoko Damono Sarabunis Mubarok Sartika Dian Nuraini Sasti Gotama Sastra Nusantara Satmoko Budi Santoso Satriani Saut Poltak Tambunan Saut Situmorang Sekolah Literasi Gratis (SLG) Selasih Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Shadiqin Sudirman Shiny.ane el’poesya Shourisha Arashi Sidik Nugroho Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sindu Putra Siska Afriani Siti Sa’adah Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Slamet Samsoerizal Sobih Adnan Sofyan RH. Zaid Solihin Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sony Wibisono Sosiawan Leak Sri Wintala Achmad Sri Wulan Rujiati Mulyadi Stevani Elisabeth Suci Ayu Latifah Sucipto Hadi Purnomo Sudarmoko Sudirman HN Suhadi Mukhan Suharsono Sukar Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sunudyantoro Supriyadi Suriani Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syahruddin El-Fikri Syaripudin Zuhri Syifa Aulia Syu’bah Asa T.A. Sakti Tammalele Tan Lioe Ie Tasyriq Hifzhillah Taufik Abdullah Taufik Effendi Aria Taufik Ikram Jamil Taufiq Wr. Hidayat TE. Priyono Teguh Winarsho AS Tenas Effendy Tengsoe Tjahjono Thayeb Loh Angen Theresia Purbandini Tia Setiadi Tias Tatanka Tito Sianipar Tjahjono EP Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tjut Zakiyah Anshari Topik Mulyana Tosa Poetra Tri Harun Syafii TS Pinang Tu-ngang Iskandar Udo Z. Karzi Uly Giznawati Umar Fauzi Ballah Umbu Landu Paranggi Umi Kulsum Uniawati Universitas Indonesia Usman Arrumy Usman D.Ganggang Utada Kamaru UU Hamidy Viddy AD Daery W.S. Rendra Wa Ode Wulan Ratna Wahib Muthalib Wahyudi Akmaliah Muhammad Wardjito Soeharso Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Sunarta Weli Meinindartato Wicaksono Widodo DS Wina Karnie Wisran Hadi Wong Wing King Yan Maniani Yanti Mulatsih Yanuar Arifin Yasser Arafat Yaumu Roikha Yetti A. KA Yohanes Padmo Adi Nugroho Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yudhi Ms Yudhistira ANM Massardi Yulianna Yurnaldi Yusi A. Pareanom Yusi Avianto Pareanom Yusri Fajar Yusrizal KW Yuyun Ifa Naliah Zaim Rofiqi Zainal Arifin Thoha Zakki Amali Zakky Zulhazmi Zawawi Se Zehan Zareez Zelfeni Wimra Zuarman Ahmad Zulfikar Akbar