Hasan Al Banna
http://suaramerdeka.com/
ANAK-ANAK tangga berderak. Langkahnya menyerah pada dakian ketiga. Tinggal dua tatih lagi, tapi ia harus menata engah napas. Menyibak urai rambut yang kusut. Ya, tatapan yang nanar musti dibeningkan lagi. Sebab, pintu belakang rumah panggung di hadapannya, sekonyong-konyong oleng, memunculkan bayangan yang kacau. Ia lantas meraba bundar perut dengan putaran tapak tangan. Perutnya terasa kian padat dan berat. Sesekali menyesakkan dada, kadang kali mendesak-desak jauh ke bawah pusar. Sambil mengatur alur napas, perempuan itu menyabit belukar peluh —yang tumbuh di dahi dan leher— dengan lengkung jemarinya.
Kini Gokma mulai merasa tenang. Tapi, matahari yang tak pernah tertatih, menegur kelengahannya. Maka ia pun bersegera menyiangi daun ubi. Lekas-lekas pula ia menyurukkan kekayu kering ke jantung tungku, lantas menyalakannya. Tak lama lagi Daulat pulang memundak linggis dan sekop tua. Tentu, Daulat juga bakal memapah rasa letih dan lapar. Lantaran itulah, ia tadi memetik beberapa tangkai daun ubi muda di pekarangan belakang. Seikat sayuran yang segar sekaligus mendebarkan. Belasan hari belakangan ini, Gokma kerap memetik daun ubi yang tumbuh sembarang di belakang rumah. Namun, di mana tadi ia menaruh daun ubi yang telah disianginya itu?
Gokma memang pelupa. Tapi ia tak pernah lupa bagaimana cara merayakan selera suaminya.
Daulat gemar menyantap gulai daun ubi tumbuk. Apalagi dalam keadaan letih atau tatkala seleranya lagi sulit disetir. Segandeng mata Daulat selalu berpijar kalau sedang berhadap-hadap dengan lauk tersebut. Dengan atau tanpa sambal kacang-teri, suaminya itu bakal makan dengan mulut berdecap-decap. Daulat tak peduli meski Gokma kerap menggurauinya, ”Enak kali-lah Abang rasa te ni horbo itu, ya?” Memang, Gokma telanjur menamai gulai tersebut dengan sebutan te ni horbo karena menyerupa setumpuk kotoran kerbau. Hijau tua, dan kacau. Gokma sendiri tak suka. Namun, bukan berarti ia enggan menyiapkan sekaligus menyajikannya untuk Daulat.
Apa yang tak Gokma lakukan untuk Daulat. Ia ingin Daulat melupakan penyakit yang makin menciutkan tubuhnya. Benar, hati bengkak bukan penyakit jinak. Tapi paling tidak, dengan mengurangi beban pikiran Daulat, tentu penyakit tak terlalu leluasa bekerja. Sebenarnya, Gokma ingin melerai Daulat bekerja sebagai penambang liar batu pasir. Tebing-tebing batu yang terjal, bengal dan mencemaskan itu terlalu berat bagi Daulat. Mulai dari merontokan pundak tebing dengan peralatan seadanya sampai memipihkannya. Belum lagi harus mengangkut berkarung-karung serpihan batu ke bak penampungan. Daulat dan beberapa penambang yang lain harus menaklukkan jalan menurun, curam dan tajam. Dari lokasi tambang ke bak penampungan berjarak hampir satu kilo. Tak jarang, Daulat harus naik turun sampai dua puluh kali. Entahlah, itu pekerjaan yang terlampau mengkhawatirkan, terlebih-lebih karena penyakit Daulat.
Tapi, ya, melarang Daulat bekerja serupa saja seperti menuai beliung serapah dari pihak keluarga suaminya. Berarti pula, Gokma akan makin sering ke rumah mertua. Sekitar dua bulan lalu, Daulat tergeletak di tempat tidur. Rasa perih yang luar biasa di ulu hati menyandera tubuhnya. Pada saat yang bersamaan, usia kandungan Gokma masuk bulan keenam. Tubuhnya lemah pula. Turun ke sawah sebagai buruh upahan Gokma tak sanggup. Kalau untuk lauk, bisalah ia padakan tanam-tanaman yang tumbuh di sekitar rumah. Tapi beras? Tak jarang Gokma harus memintanya ke rumah mertua. Bagaimana lagi. Simpanan tak punya. Untuk membiayai pengobatan Daulat —meski cuma berobat kampung, ia harus utang kian kemari.
Nah, jangankan menjemput beras ke rumah mertua, bertandang saja pun sudah sebuah petaka. Kata-kata pedas hilir-mudik di telinganya. Apalagi bou —mertua perempuan Gokma, bakal mengait-ngaitkan nasib Daulat dengan kutukan: Inilah akibat kawin semarga! Ia memang semarga dengan Daulat. Tapi menurut Gokma, aturan adat itu tidak cocok lagi ditunaikan di zaman sekarang. Bukankah itu berlaku dulu, tatkala orang semarga yang tinggal sekampung, masih memiliki simpul temali darah yang erat? Tentu sepasang insan yang masih bertalian darah dan semarga tabu untuk menikah.
Tapi ia datang dari kampung yang jauh. Ia menyandang marga yang urutan silsilahnya tak menentu lagi. Ayah Gokma bahkan menikahi seorang perempuan Jawa, yaitu ibu Gokma. Maka dari itu ia tak ragu menyambut pinangan, meski ditentang keras keluarga Daulat. Ia merasa tidak sedang menyabung nasib. Kalaupun perjalanan perkawinannya dengan Daulat tak sekilau impian, bagi Gokma tak singung-menyinggung dengan kutukan. Tidak bahagialah, dirundung musibahlah, dikepung kesulitan, mendatangkan bala penyakit, atau bahkan berujung pada kematian tragis. Itu urusan Tuhan, sungut Gokma.
Ya, termasuk penyakit yang mendera Daulat, menurut Gokma turun dari Tuhan, bukan kuasa kutukan. Lagi pula, sebelum menikah pun Daulat sudah menanggung penyakit tersebut. Gokma tak menyesal, dan tak akan pernah menyesal. Kalaupun ada penyesalan, karena tak bisa membantu Daulat menggalah nafkah. Pekerjaan berat tentu kian menggirangkan penyakit Daulat. Tapi hidup harus memilih. Ketimbang sering menahankan kelebat caci-maki keluarga Daulat, Gokma memilih suaminya tetap pergi ke bahu bukit. Ia tinggal banyak berdoa: Tuhan, kuasa Engkau yang menurunkan penyakit, kuasa Engkau pula yang mengangkatnya.
Sejatinya, Daulat acap melerai Gokma pergi ke rumah Ibunya. Meski beberapa kali pula Gokma mengabaikannya.
”Tak usah lagi kau pergi ke sana!”
”Terpaksa, Bang,” jawab Gokma.
”Makanya jangan dipaksa.”
”Ah, sudahlah, Bang.”
”Kalau begitu, jangan kau mengeluh. Inilah, itulah. Kau tahankanlah sendiri,” Daulat mendadak meletuskan kata-kata ketus.
”Kalau Abang mau kita mati kelaparan, tak apalah, aku tak ‘kan ke rumah bou lagi,” Gokma menangkis, tak kalah sengit.
Tapi tak kuat ia menolak janin tangis.
”Bah, kasar kali kau ngomong, Gokma!”
”Abang kira omongan Abang tadi tak kasar? Aku terpaksa lakukan ini karena kondisi kita. Untuk kesehatan Abang juga,” Suara Gokma bergetar, ”Meski pedas telingaku karena sindiran bou, aku tahankan. Tapi kepada siapa lagi aku mengadu kalau bukan kepada Abang?” Gokma terdesak menghadang isak. Adapun Daulat, kesulitan menyeret udara ke dadanya. Hening.
”Aku sehat-sehat saja, Gokma. Biarkan aku pergi ke bukit. Pikirkan saja kandunganmu. Jangan lupa kau makan. Banyak-banyak istirahat,” Daulat memilih merundukkan amarahnya. Gokma menggigit bibir. Daulat benar, ia memang sering lupa makan, acap pula lupa istirahat.
Iyalah, Gokma makin pelupa sekarang! Namun ia tak bakal lupa cara meracik lauk daun ubi tumbuk terbaik bagi suaminya.
Dengan sigap Gokma mendongakkan lesung kayu yang telungkup di pojok dapur, sekalian meraih alu. Penyedap lain sudah disiapkannya dari tadi: bawang merah, cabai, segenggam rimbang, serta kincung merah jambuósudah dicuci bersih, dan siap dicincang mata alu di rahang lesung.
Sungguh, ada kenikmatan tersendiri ketika ayun alu perlahan berdegap ke jantung lesung. Sehujam demi sehujam, menjelma bunyi-bunyi benturan yang terpendam. Seperti debam jantung Gokma menunggu kepulangan Daulat. Sesekali, tumpuk daun ubi luput tertumbuk, melahirkan suara berdetuk-berdentang. Suara kepala kayu beradu dengan perut kayu. Tapi mengapa suaminya belum juga mengetuk pintu? Terkadang rimbang sebesar pucuk kelingking, atau bawang yang linang terpental-pental dari liang lesung. Sesekali pula, kepal-kepal daun ubi turut terjungkal. Adakah di luar sana Daulat sedang tersengal?
Namun Gokma terus melanjutkan pekerjaannya. Sambil menumbuk daun ubi, Gokma mengaduk-aduk saripati kelapa tua yang dijerang di belanga. Diaduk agar tidak pecah santan. Hendaknya, seperti nasihat Daulat, ketika santan sudah menggelegak, daun ubi juga sudah siap diangkut ke belanga penjerangan. Daun ubi yang sudah ditumbuk tidak boleh lama-lama duduk di pangkuan lesung, karena rasa pahit perlahan-lahan akan menggerogotinya.
Mmh, Gokma tiba-tiba dirangkul malu. Daulat memang lebih mahir memasak daun ubi tumbuk ketimbang dirinya. Pada masa mula perkawinan, Daulat begitu sabar membunuh kegamangan Gokma dalam meracik lauk daun ubi tumbuk. Kadang, Daulat turut membantu, bahkan pernah memaksakan diri menumbuk daun ubi, padahal penyakit sedang mencengkeram kekuatan tubuhnya.
Ah, Gokma kerap ditodong tangis setiap pulang ke peristiwa itu. Pun seperti ia sering disayat kepedihan air mata terkenang sindiran bou atas ketakmahirannya memasak lauk kegemaran Daulat. Ia sering mencoba maklum, karena lauk daun ubi tumbuk adalah makanan turun-temurun orang Selatan di tanah Tapanuli. Tapi Gokma merasa beling sindiran bou terlampau runcing.
”Hei, pindahkan ke belanga sesegera mungkin!” gema suara Daulat memantul ke telinganya.
Gokma tersentak. Ia memaling ke sekeliling. Ei, begitu jauh ia terseret ke lembah lamunan. Maka, Gokma pun berupaya kembali ke bukit kesadaran. Ia tak mau lalai memindahkan jabang santapan ke atas belanga, selekas mungkin. Gokma pun memastikan hasil tumbukannya: apakah daun ubi sudah sebenar lumat, sudah menyatu dengan pecahan bawang, rimbang, dan cabai yang menyembulkan biji-bijiannya? Pun sudah seraga dengan kincung yang telah terberai serat-seratnya?
Tapi, pernah —bahkan tak sekali dua kali terjadi, santan di pangkuan belanga menguap nyaris tak tersisa. Saat itu, ia sibuk menimang-nimang wangi daun ubi sehabis ditumbuk. Gokma pun lupa, bahwa menumbuk dan menjerang-mengaduk santan harus ditunaikan seapi-selegak.
Dasar, Gokma pelupa! Namun, kali ini —tepatnya beberapa hari belakangan, ia tak bakal lupa menderetkan sajian yang sempurna untuk Daulat.
Ya, belasan hari terakhir, Gokma senantiasa menyuguhkan hidangan daun ubi tumbuk ke hadapan Daulat. Mungkin, ini adalah wujud syukurnya kepada Tuhan. Entah Daulat sudah sepenuhnya sembuh atau belum. Yang pasti, tubuh Daulat kelihatan lebih berdaging, lebih bersih. Rona muka suaminya berseri. Memang, Daulat tidak banyak berbicara kepadanya. Tapi, senyum dan cahaya mata suaminya begitu melegakan Gokma. Adakah karena tak berapa lama lagi anak pertama mereka akan lahir?
Mmh, mengembang kelopak hati Gokma menikmati saat-saat daun ubi tumbuk mentah diceburkan ke geriak santan. Hidungnya mekar merengkuh aroma yang khas. Ia sering mengibaratkan aromanya seperti uap tanah basah usai dicangkul, atau batang leher padi yang tertebas sabit.
Namun, menemani Daulat menyantap makan malam, jauh lebih membahagiakan dirinya. Ia sengaja tak mengusik Daulat dengan keluhan-keluhannya: perutnya sering sakit, pinggang tegang, dan dadanya sesak. Gokma tak mau suaminya berpikir keras, lantas sakit lagi. Ia biarkan Daulat menebus lapar setelah seharian bekerja. Meski sesekali Gokma memegangi perut, senyum tak surut dari bibirnya. Lantas, setiap kali menyaksikan Daulat tambah-tambah, ia mengalirkan bisikan kepada kandungannya, ”Lihat, kuat sekali Ayahmu makan. Kau harus tiru Ayahmu, biar simbur magodang, sehat dan gemuk.”
Gokma terkesima! Mulut suaminya bergelimang nasi. Pada terjal leher Daulat, seperti ada anak neraca yang sibuk menimbang kelezatan. Maka tak ada alasan bagi Gokma untuk tak menyaksikan Daulat menyelesaikan suapan terakhir. Pun tatkala sendawa Daulat susul-menyusul, Gokma terpukau!
”Kalau laki-laki, kau musti rajin bantu Ayahmu bekerja. Nah, kalau perempuan, kau harus bantu Ibu masak daun ubi tumbuk,” petik batin Gokma sambil memberesi piring kotor ke dapur. Inilah puncak kegembiraan Gokma beberapa malam ini: mendapati piring bekas Daulat makan, bersih dan licin. Tak ada sisa nasi, tak ada ampas daun ubi tumbuk. ”Lahap kali makanmu, suamiku,” bisik Gokma berkali-kali, tergeli-geli. Meski ketika kembali ke ruang tengah, ia sering kecewa lantaran tak menemukan suaminya.
Kekenyangan tak pernah mampu menghadang Daulat untuk bangkit ke luar rumah. Memang, selepas makan, Daulat sering ke luar rumah. Entah membeli rokok, atau sekadar duduk di kedai kopi. Namun ia tak pernah lupa pamit. Nian, belakangan ini, Gokma kerap lupa, pamit ke mana suaminya..?
Ah, pelupa betul Gokma. Kini makin parah malah. Dari mana jalannya ia bisa lupa soal sesusut jenazah —dengan perut pecah— yang terbujur di rumahnya belasan hari silam?
Gokma, Gokma...
Medan, 2009
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Jumat, 27 Mei 2011
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Khoirul Anam
A Qorib Hidayatullah
A Rodhi Murtadho
A. Yusrianto Elga
A. Zakky Zulhazmi
A.S. Laksana
Aang Fatihul Islam
Aba Mardjani
Abd. Mun’im
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Gaffar Ruskhan
Abdul Hadi W. M.
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Malik
Abdul Muis
Abdul Wachid BS
Abdullah Khusairi
Abidah El Khalieqy
Abimardha Kurniawan
Abroorza A. Yusra
Abu Salman
Acep Iwan Saidi
Achmad Farid Tuasikal
Adek Alwi
Adi Marsiela
Adian Husaini
Adib Muttaqin Asfar
Adji Subela
Afandi Sido
Afriza Hanifa
Afrizal Malna
Ageng Wuri R. A.
Ags. Arya Dipayana
Aguk Irawan M.N.
Agus B. Harianto
Agus Bing
Agus Noor
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Sri Danardana
Agus Sulton
Agus Sunyoto
Agus Wibowo
Agus Wirawan
Agusri Junaidi
AH J Khuzaini
Ahda Imran
Ahid Hidayat
Ahm Soleh
Ahmad Asyhar
Ahmad Farid Yahya
Ahmad Fuadi
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Musthofa Haroen
Ahmad Rofiq
Ahmad Suhendra
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Aini Aviena Violeta
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Muhaimin Azzet
Akhmad Sekhu
Al Azhar Riau
Al-Fairish
Alex R. Nainggolan
Alexander G.B.
Alfian Zainal
Aliansyah
Alimuddin
Almania Rohmah
Alunk Estohank
Amien Kamil
Amien Wangsitalaja
Anata Siregar
Andi Sutisno
Andy Riza Hidayat
Anies Baswedan
Anindita S Thayf
Anis Ceha
Anis Faridatur Rofiah
Anjrah Lelono Broto
Anna Subekti
Anton Kurnia
Ari Hidayat
Ari Kristianawati
Arie MP Tamba
Arief Junianto
Aris Kurniawan
Arti Bumi Intaran
Arul Arista
AS Sumbawi
Asarpin
Asep Sambodja
Atiqurrahman
Awalludin GD Mualif
Ayu Purwaningsih
Babe Derwan
Bakdi Soemanto
Balada
Bale Aksara
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Bayu Dwi Mardana
Bellanissa Zoditama
Beni Setia
Benny Arnas
Beno Siang Pamungkas
Berita
Berita Duka
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Bokor Hutasuhut
Brunel University London
BSW Adjikoesoemo
Budaya
Budhi Setyawan
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budiawan Dwi Santoso
Bur Rasuanto
Burhanuddin Bella
Bustan Basir Maras
Catatan
Catullus
CB. Ismulyadi
Cerbung
Cerita Rakyat
Cerpen
Chavchay Syaifullah
Cikie Wahab
Cunong Nunuk Suraja
D Zawawi Imron
Dad Murniah
Dadang Ari Murtono
Dahlia Rasyad
Damhuri Muhammad
Damiri Mahmud
Danarto
Daniel Paranamesa
Darju Prasetya
Darman Djamaluddin
Darman Moenir
Dasman Djamaluddin
David Krisna Alka
Dea Anugrah
Dedy Tri Riyadi
Denny JA
Denny Mizhar
Desi Sommalia Gustina
Dewi Anggraeni
Dharma Setyawan
Dian Hartati
Didi Arsandi
Dina Oktaviani
Dipo Handoko
Djenar Maesa Ayu
Djoko Pitono
Doddi Ahmad Fauji
Doddy Hidayatullah
Dodi Chandra
Dodiek Adyttya Dwiwanto
Dody Kristianto
Donny Anggoro
Dony P. Herwanto
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Klik Santosa
Dwi Pranoto
Dwicipta
Edy A Effendi
Edy Firmansyah
Eka Budianta
Eka Fendri Putra
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Ellyzan Katan
Elnisya Mahendra
Emha Ainun Nadjib
Endah Imawati
Eni Suryanti
Eny Rose
Eriyandi Budiman
Eriyanti
Erwin Edhi Prasetya
Erwin Setia
Esai
Evan Ys
Evi Idawati
F Rahardi
Fadly Rahman
Fahrudin Nasrulloh
Faizah Sirajuddin
Faizal Syahreza
Fajar Alayubi
Fakhrunnas M.A. Jabbar
Fanny Chotimah
Fariz al-Nizar
Fariz Alneizar
Faruk HT
Fatah Anshori
Fatah Yasin Noor
Fathurrahman Karyadi
Fatimah Wahyu Sundari
Fauzan Santa
Fazabinal Alim
Festival Sastra Gresik
Fikri MS
Fiksi Mini
Fransisca Dewi Ria Utari
Franz Kafka
Fuad Anshori
Furqon Abdi
Fuska Sani Evani
Gendhotwukir
Gendut Riyanto
Gerson Poyk
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Gola Gong
Grathia Pitaloka
Gregorio Lopez y’ Fuentes
Gugun El-Guyanie
Gunawan Budi Susanto
Gus Noy
H.H. Tokoro
Hadi Napster
Hamberan Syahbana
Hamdy Salad
Hamsad Rangkuti
Han Gagas
Hang Kafrawi
Hani Pudjiarti
Hanna Fransisca
Hardi Hamzah
Hardjono WS
Haris del Hakim
Haris Priyatna
Harris Maulana
Hary B. Kori'un
Hasan Al Banna
Hasan Junus
Hasbullah Said
Hasnan Bachtiar
HE. Benyamine
Heidi Arbuckle
Helmi Y Haska
Helvy Tiana Rosa
Hendra Junaedi
Hendri Nova
Herdoni Syafriansyah
Heri Kurniawan
Heri Latief
Heri Ruslan
Herman RN
Hermawan Aksan
Hermien Y. Kleden
Herry Lamongan
Holy Adib
Humaidiy AS
Husni Anshori
I Nyoman Darma Putra
I Nyoman Tingkat
I Wayan Artika
Ibnu Wahyudi
Ida Farida
Ignas Kleden
Ilham Khoiri
Imam Cahyono
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Tohari
Indra Tranggono
Indrian Koto
Irwan Kelana
Isbedy Stiawan Z.S.
Iskandar Noe
Isma Swastiningrum
Ismi Wahid
Iwan Gardono Sujatmiko
Iwan Gunadi
Iwan Kurniawan
Iwan Nurdaya Djafar
Iwank
J.S. Badudu
Janoary M Wibowo
Javed Paul Syatha
JILFest 2008
JJ. Kusni
Jodhi Yudono
Joko Novianto Bp
Joko Pinurbo
Jones Gultom
Jual Buku Paket Hemat
Jusuf AN
Kadek Suartaya
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kasnadi
Kedung Darma Romansha
Kenedi Nurhan
Khaerudin Kurniawan
Khaerul Anwar
Ki Sugito Ha Es
Kirana Kejora
Komunitas Deo Gratias
Korrie Layun Rampan
Kritik Sastra
Kunthi Hastorini
Kuntowijoyo
Kurie Suditomo
Kurnia Effendi
Kurniawan
Kuswinarto
La Ode Rabbani
Lathifa Akmaliyah
Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember
Leon Agusta
Lily Siti Multatuliana
Lily Yulianti Farid
Lina Kelana
Liza Wahyuninto
Lona Olavia
Lugiena Dé
M Fadjroel Rachman
M Farid W Makkulau
M Syakir
M. Dawam Rahardjo
M. Faizi
M. Mustafied
M. Raudah Jambak
M. Taufan Musonip
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
M.Th. Krishdiana Putri
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Maklumat Sastra Profetik
Malkan Junaidi
Maman S. Mahayana
Mangun Kuncoro
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria D. Andriana
Maria Magdalena Bhoernomo
Mariana Amiruddin
Maryati
Marzuzak SY
Mashuri
Maulana Syamsuri
Media: Crayon on Paper
Mega Vristian
MG. Sungatno
Misbahus Surur
Mofik el-abrar
Moh. Amir Sutaarga
Moh. Ghufron Cholid
Mohammad Hatta
Mohammad Kh. Azad
Mohammad Takdir Ilahi
Much. Khoiri
Muhamad Taslim Dalma
Muhammad Rain
Muhammad Subhan
Muhammad Yasir
Muhammadun A.S
Muhidin M Dahlan
Mujtahid
Mulyawan Karim
Musa Ismail
Musfi Efrizal
Mustafa Ismail
Mustofa W Hasyim
N Teguh Prasetyo
N. Mursidi
Nadhi Kiara Zifen
Nana Riskhi Susanti
Nanang Suryadi
Naskah Teater
Nasrulloh Habibi
Neva Tuhella
Nietzsche
Nirwan Dewanto
Nizar Qabbani
Noor H. Dee
Nova Christina
Novelet
Nunung Nurdiah
Nur Wachid
Nurani Soyomukti
Nurel Javissyarqi
Nurman Hartono
Nuryana Asmaudi
Nyoman Tusthi Eddy
Obrolan
Oky Sanjaya
Oyos Saroso HN
P Ari Subagyo
Pagelaran Musim Tandur
Pamusuk Eneste
Panji Satrio
PDS H.B. Jassin
Penerbit dan Toko Buku PUstaka puJAngga
Pipiet Senja
Pramoedya Ananta Toer
Pringadi AS
Pringgo HR
Prosa
Puisi
Puji Santosa
Purnawan Andra
PUstaka puJAngga
Putu Fajar Arcana
Putu Satria Kusuma
Putu Wijaya
R Masri Sareb Putra
R. Adhi Kusumaputra
R. Timur Budi Raja
R.N. Bayu Aji
Radhar Panca Dahana
Ragdi F. Daye
Rahmi Hattani
Raja Ali Haji
Raju Febrian
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Rama Dira J
Rama Prabu
Ramadhan KH
Ramon Magsaysay
Ramses Ohee
Ratih Kumala
Raudal Tanjung Banua
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Resensi
Ressa Novita
Ressa Sagitariana Putri
Ria Ristiana Dewi
Rialita Fithra Asmara
Ribut Wijoto
Rida K Liamsi
Rifka Sibarani
Rilda A. Oe. Taneko
Rilda A.Oe. Taneko
Rimbun Natamarga
Rinto Andriono
Risang Anom Pujayanto
Rita Zahara
Riyon Fidwar
Robin Al Kautsar
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rohman Budijanto
Rukardi
S Yoga
S. Jai
S. Takdir Alisyahbana
S.W. Teofani
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Sajak
Sajak Sebatang Lisong
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Salman S. Yoga
Salyaputra
Samson Rambah Pasir
Samsudin Adlawi
Sanie B. Kuncoro
Santy Novaria
Sapardi Djoko Damono
Sarabunis Mubarok
Sartika Dian Nuraini
Sasti Gotama
Sastra Nusantara
Satmoko Budi Santoso
Satriani
Saut Poltak Tambunan
Saut Situmorang
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
Selasih
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Shadiqin Sudirman
Shiny.ane el’poesya
Shourisha Arashi
Sidik Nugroho
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sindu Putra
Siska Afriani
Siti Sa’adah
Sitok Srengenge
Siwi Dwi Saputro
Slamet Samsoerizal
Sobih Adnan
Sofyan RH. Zaid
Solihin
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sony Wibisono
Sosiawan Leak
Sri Wintala Achmad
Sri Wulan Rujiati Mulyadi
Stevani Elisabeth
Suci Ayu Latifah
Sucipto Hadi Purnomo
Sudarmoko
Sudirman HN
Suhadi Mukhan
Suharsono
Sukar
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Sunudyantoro
Supriyadi
Suriani
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Sutan Iwan Soekri Munaf
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Syahruddin El-Fikri
Syaripudin Zuhri
Syifa Aulia
Syu’bah Asa
T.A. Sakti
Tammalele
Tan Lioe Ie
Tasyriq Hifzhillah
Taufik Abdullah
Taufik Effendi Aria
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Wr. Hidayat
TE. Priyono
Teguh Winarsho AS
Tenas Effendy
Tengsoe Tjahjono
Thayeb Loh Angen
Theresia Purbandini
Tia Setiadi
Tias Tatanka
Tito Sianipar
Tjahjono EP
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Tjut Zakiyah Anshari
Topik Mulyana
Tosa Poetra
Tri Harun Syafii
TS Pinang
Tu-ngang Iskandar
Udo Z. Karzi
Uly Giznawati
Umar Fauzi Ballah
Umbu Landu Paranggi
Umi Kulsum
Uniawati
Universitas Indonesia
Usman Arrumy
Usman D.Ganggang
Utada Kamaru
UU Hamidy
Viddy AD Daery
W.S. Rendra
Wa Ode Wulan Ratna
Wahib Muthalib
Wahyudi Akmaliah Muhammad
Wardjito Soeharso
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Sunarta
Weli Meinindartato
Wicaksono
Widodo DS
Wina Karnie
Wisran Hadi
Wong Wing King
Yan Maniani
Yanti Mulatsih
Yanuar Arifin
Yasser Arafat
Yaumu Roikha
Yetti A. KA
Yohanes Padmo Adi Nugroho
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yudhi Ms
Yudhistira ANM Massardi
Yulianna
Yurnaldi
Yusi A. Pareanom
Yusi Avianto Pareanom
Yusri Fajar
Yusrizal KW
Yuyun Ifa Naliah
Zaim Rofiqi
Zainal Arifin Thoha
Zakki Amali
Zakky Zulhazmi
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zelfeni Wimra
Zuarman Ahmad
Zulfikar Akbar
Tidak ada komentar:
Posting Komentar