Selasa, 08 Maret 2011

Menikmati Puisi Dunia Maya

Hamberan Syahbana
http://lina-kelana.blogspot.com/

Membaca sebuah puisi berarti kita menyelami sebuah karya hasil imajinansi pengarang yang dituangkannya dalam: tatanan bunyi, baris, bait, suasana perasaan dan imaji/gambaran pengalaman, baik imaji visual [penglihatan], auditif [pendengaran], maupun imaji taktil [rasa/cecap]. Yang di dalamnya terkandung pesan moral yang ingin disampaikan penulis kepada khalayak.

Ibarat membangun sebuah rumah, maka bahan matrial pada sebuah puisi adalah diksi [pemilihan kata], rima [persamaan bunyi], Ritme [irama] yang biasa ditandai dengan adanya pengulangan kata frase bahkan kalimat, selanjutnya ada imaji [gambaran pengalaman] dan majas [gaya bahasa], bunyi, judul, tema dan amanat. Kesemuanya itu biasa disebut dengan “unsur intrinsik”

Di luar itu semua ada juga matrial lain yaitu: aspek historis, psikologis, filosofis, ekonomis, politis dan religis. Yang ini biasa disebut dengan “unsur ekstrinsik”

Kedua unsur pembangun tsb dapat menambah dan meningkatkan nilai estetika sebuah puisi, sehingga puisi itu akan lebih berasa. Tetapi bukan berarti harus menggunakan semua unsur itu. Lagi pula, umumnya orang menulis puisi hanya mengungkapkan perasaan yang ada di hati lewat puisi, tanpa mempertimbangkan teori-teori tsb.

***
Dalam catatan Menikmati Puisi Dunia Maya bagian 2 ini, tulisan ini bertujuan berbagi rasa dalam menikmati sebuah puisi. Dan saya memposisikan diri sebagai penyuka dan nikmat puisi, bukan sebagai kritikus. Sehingga fokus dalam tulisan ini adalah sebuah upaya mengungkapkan sejauh mana puisi ini dapat dinikmati.
Adapun puisi yang akan kita bicarakan ada 2 buah puisi, yaitu:

1. “Puisi Ngilu” karya Muhammad Faried dari kota Kandangan Kalimantan Selatan.
2. “Demi Masa” karya Lina Kelana dari Kota Babat Jawa Timur.
Marilah kita cermati puisi yang pertama, yaitu “Puisi Ngilu” karya Muhammad Faried berikut di bawah ini:

PUISI NGILU
Muhammad Faried

Suaramu mengalir daun-daun basah
Akal pikiranku di atas bumi gerimis

Duhai …
Mimpi manakah yang membuka peta rahasia
untuk menelaah
perih riwayat manusia?

Sedangkan kenangan tercipta
dari musim basah
dan ngilu kabut
mengapung di benak

Tipografi puisi ini sudah pas. Tidak terlalu panjang dan tidak terlalu pendek. Sehingga mudah dibaca dinikmati dihayati dan sekaligus direnungkan. Membaca sepintas lalu puisi ini tidak menggunakan rima atau persajakan. Padahal rima itu mempunya kekuatan dalam meningkatkan rasa nuansa sebuah puisi. Di dalam puisi ini juga tidak ada pengulangan kata, frase, atau kalimat. Padahal pengulangan-pengulangan tsb. bisa menimbulkan irama atau yang biasa disebut ritme. Puisi tanpa ritme/irama akan terasa hambar, tidak ada pesona, dan tentu tidak dapat menggugah dan memukau audiens.

Tetapi, aneh? Setelah kubaca kucermati ternyata aku jadi terkesan. Aku merasa ada pesona di dalam puisi ini. Aku jadi terharu tergugah dan terpukau karenanya. Ternyata di dalam pusi ini ada rima tersembunyi, tidak nampak tapi terasa Kenapa?
Di dalam puisi ini ada rima yang tidak sempurna yaitu bunyi vocal [a] pada kata [basah], [Duhai], [rahasia], [menelaah], [manusia], [tercipta], [basah] dan kata [benak]. Satu-satunya bait yang mempunyai rima adalah bait ke 2 yaitu pada kata [rahasia] di ujung baris ke 4 bersajak dengan kata [manusia] di ujung baris ke 6 sama-sama berakhir dengan bunyi [sia]. Aku jadi ingat waktu di SMA, persajakan pada bait ke 2 ini dikenal dengan pola persajakan abcb.

Memahami “Puisi Ngilu” karya Muhammad Faried di atas, kita juga harus memahami arti dan makna kata-kata yang digunakannya. Baik arti secara tersurat maupun tersirat, secara denotatif maupun secara konotatif.

Puisi ini harus dipahami melalui proses perenungan. Karena memang puisi ini adalah puisi renungan. Kata [ngilu] secara denotatif berarti nyeri khusus untuk gigi dan tulang. Hal ini penting juga dicermati. Gigi adalah bagian terdepan dari alat pencernaan. Sedangkan tulang adalah organ tubuh yang menyebabkan tubuh bisa tegak. Bayangkan kalau gigi terasa ngilu. Tidak hanya kesulitan memotong mengerat dan mengunyah makanan, tetapi juga keseluruhan tubuh merasa sakit. Demikian pula jika tulang terasa ngilu, semua aktivitas bisa macet total.

Tetapi di dalam puisi ini sedikitpun Muhammad Farief tidak sedang membicarakan ngilu gigi dan tulang. Berarti ada “ngilu” yang lain yang sangat mengusik pikirannya. Sehingga puisi ini menjadi sangat menarik untuk dibicarakan.

Puisi ini diawali dengan kata [Suaramu]. Secara denotatif kata [suara] berarti ucapan seseorang, selanjutnya bisa berarti seruan, himbawan, suruhan, ajakan, permintaan, perintah, keputusan, yang ditujukan kepada orang perorangan, kelompok, golongan, bahkan keseluruhan manusia lainnya. Sedangkan kata [mu] adalah orang yang bersuara itu sendiri.

Selanjutnya ada kata [mengalir] dan [daun-daun basah]. Kata [suaramu] berfungsi sebagai subyek atau pokok kalimat, kata [mengalir] adalah predikat, dan obyeknya adalah [daun-daun basah]. Kata [daun-daun] bisa berarti bagian atau kumpulan orang dari suatu komunitas. Sedangkan kata [mengalir] sendiri adalah kata kerja sifatnya yang alamiyah, tenang, angun, lembut, tidak arogan. Yang dicermati oleh Muhammad Faried di kala [bumi] sedang [gerimis].

Kata [bumi] bisa berarti dirinya sendiri, bisa juga keluarga kerabat, atau lingkungan sekitar. Lebih luas lagi bisa diartikan Indonesia secara keseluruhan. Hal ini sejalan dengan sifat ambiguitas sebuah puisi. Maksudnya kata-kata dalam puisi bersifat makna ganda, karenanya bisa dimaknai dengan berbagai makna.

Sedangkan kata [gerimis] dikaitkan dengan konteks kata [ngilu] bisa berarti sedang menangis, sedang bersedih. Lalu: Siapa yang menangis? Siapa yang bersedih? Mengapa ia menangis? Mengapa ia bersedih? Jawabnya ada pada bait-bait berikutnya.

Duhai …
Mimpi manakah yang membuka peta rahasia
untuk menelaah
perih riwayat manusia?

Bait ini adalah sebuah kalimat yang disusun menggunakan majas erotesis/ kalimat tanya. Kalimat ini seutuhnya berbunyi: “Duhai, mimpi manakah yang membuka peta rahasia untuk menelaah perih riwayat manusia?” Kata-kata kunci dalam kalimat ini “ [mimpi manakah], [peta rahasia], [perih riwayat manusia] dengan kata-kata penunjang makna: [Duhai] dan [menelaah].

Kata [mimpi] biasanya dimaknai dengan keinginan, harapan, obsesi. Kata [peta rahasia] bisa bermakna lokasi atau kawasan yang perlu diungkapkan. Terutama dalam konteks [perih riwayat manusia]. Bait ini merupakan sebuah pertanyaan tentang berita-berita penderitaan sedang melanda di negeri ini.

Selanjutnya diringi dengan bait berikutnya:

Sedangkan kenangan tercipta
dari musim basah
dan ngilu kabut
mengapung di benak

Bait ini juga adalah sebuah kalimat yang berbunyi: “Sedangkan kenangan tercipta dari musim basah dan ngilu kabut mengapung di benak.” Kata-kata kunci dalam kalimat ini adalah: [kenangan tercipta], [musim basah], [ngilu kabut], [benak]. Dengan kata-kata penunjang makna: [sedangkan] dan [mengapung].

Secara sederhana kalimat ini berbicara tentang [kenangan] atau kesan duka yang timbul dari atau pada [musim basah] dan [ngilu kabut]. Kata [basah] mengingatkan kita pada air, air mengingatkan kita pada hujan, hujan mengingatkan kita pada banjir dan tanah longsor. Sedangkan kata [kabut] mengingatkan kita pada asap. Asap yang berasal dari dapur rumah tangga dan lingkungan sekitar, kendaraan bermotor, pembakaran hutan yang mengakibatkan kabut dan pencermaran lingkungan di mana-mana, sekaligus menambah masalah pemanasan global. Permasalahan itulah yang menimbulkan [ngilu] [mengapung di benak] yang membuat pusing kepala dibuatnya.

Pada skala kecil puisi ini dapat dimaknai sebagai ungkapan perasaan Muhammad Faried terhadap lingkungan sekitar. Boleh jadi itu dirinya sendiri, atau lingkungan keluarga dan kerabatnya. Lingkungan RT RW tempat di mana hidupnya terganggu. Yang kesemuanya kait berkait menjadi satu, membuat diri dan jiwanya merintih merasa ngilu.

Pada skala besar puisi ini dapat dimaknai sebagai rintihan Indonesia. Khususnya kata [Suaramu] bisa dimaknai sebagai peringatan berupa fakta: banjir, tanah longsor, gempa bumi dan bencana-bencana akibat dari pencemaran dan perusakan lingkungan yang tidak bertanggng jawab. Selain itu ada fakta lain berupa musibah demi musibah yang melanda seakan tiada henti, kemudian ada issue globle warning. Yang kesemuanya itu membuat [bumi gerimis] bumi menangis disebabkan semua perstiwa-peristiwa tsb..

***
Berikutnya marilah kita lanjutkan dengan mencermati puisi kedua, yakni puisi yang berjudul: “Demi Masa” karya Lina Kelana dari Tanah Babat Jawa Timur.
Demi Masa
Lina Kelana
Demi
masa

bumi yang menggelinding
laksana gundu yang mengejar bayang
menampik sentuhan centil sang jari mungil

Demi
masa
aku mengambil cahya mentari
ku selipkan di lipatan siangku,
malamku,
di antaraku

Demi
masa
ku hitung rakitan tulang belulang yang semakin merapuh
terasa sungguh digerogoti kuman jaman

Demi
masa
masa berdemi
: berdharma

Demi masa

Membaca judul puisi karya Lina Kelana ini, kesan pertama yang tertangkap adalah: bahwa puisi ini berbicara tentang waktu. Selanjutnya berturut-turut kita ingat: [1] ayat dalam surah Al Ashri: bahwa sesungguhmya manusia itu dalam merugi, kecuali orang-orang yang beriman dan beramal shaleh, [2] kata-kata bijak orang-orang barat: The time is money, waktu adalah uang, dan [3] kata-kata bijak dalam bahasa Arab: Al waktu kasysyaif, waktu itu laksana pedang. Kesemuanya itu menggambarkan bahwa betapa pentingnya sang waktu. Dan tidak seorangpun diantara kita yang tidak terkait dengan waktu. Seperti yang terlihat dalam puisi ini bahwa sang waktu itu juga telah mengusik jiwa, pikiran dan perasaan Lina Kelana. Sehingga Lina Kelana mengganggap perlu mengungkapkannya dalam sebuah puisi.

Puisi Lina Kelana ini dibangun dan diperkaya dengan diksi atau pemilihan kata-kata berkias, penuh pesona, enak dibaca, enak didengar, memiliki nilai keindahan, mempunyai makna ambiguitas yang luas. Di samping itu puisi ini juga diperkuat dengan rima yang tertata rapi. Lihatlah pada bait berikut ini.

baris ke 3 – bumi [yang] menggelinding – [ng]
baris ke 4 – laksana gundu [yang] mengejar bayang – [ng]
baris ke 5 – menampik sentuhan centil [sang] jari mungil

Pada bait diatas terdapat kata [yang] pada baris ke 3 dan baris ke 4, dan kata [sang] pada baris ke 5 yang membentuk rima tengah. Dan pada akhir baris ke 3 ada kata [menggelinding] dan di baris ke 4 ada kata [bayang] kedua kata tsb membentuk rima tidak sempurna yang tandai dengan bunyi sengau [ng]. Pengulangan bunyi sengau [ng] tsb menghasilkan ritme atau irama yang mengalun indah menaik dan menurun. Irama ini akan terasa dengan jelas bila bait ini dibacakan dengan intonasi, penekanan kata, dan tempo.

Bait di atas, di samping dibangun dengan diksi atau pemilihan kata yang memukau, juga diperkuat dengan penggunaan majas simile: “bumi yang menggelinding [laksana] gundu yang mengejar bayang” yang di dalam majas ini juga ada majas personifikasi: gundu yang [mengejar] bayang.

Secara denotatif yang dimaksud dengan [bumi] disini memang benar-benar bumi, yang menggelinding laksana gundu yang mengejar bayang. Maksudnya bumi yang berputar pada porosnya pada pergantian siang dan malam. Yang menampik sentuhan centil sang jari mungil. Pemilihan kata dan penggunaan majas simile “laksana gundu yang mengejar bayang” membuat bait ini jadi sangat menarik untuk dicermati.

Pada skala kecil [bumi yang menggelinding] bisa bermakna diri pribadi Lina sendiri [laksana gundu yang mengejar bayang]. Kata [bayang] bisa berarti suatu keinginan. Keinginan itu bisa berarti orang yang dicintanya, atau sesuatu yang dicita-citakannya, sekurang-kurangnya sesuatu yang diangan-angankannya. Sayangnya ia hanya mengejar bayang tanpa mempertimbangkan [sentuhan centil sang jari mungil]. Bayang yang dikejarnya hanya bisa dilihat tetapi tidak bisa diraba apalagi ditangkap.

Pada skala besar [bumi yang menggelinding] bisa berarti suatu kehidupan yang terus berjalan, atau kehidupan bangsa yang berjuang mengejar keberhasilan semu. Menampik sentuhan centil sang jari mungil, maksudnya: tanpa mempertimbangkan usul dan saran dan pendapat serta suara-suara dari orang-orang lain yang fianggap kecil.

Kesan pertama yang tertangkap pada bait ini adalah suatu “kesia-siaan.” Mana mungkin gundu itu dapat mengejar bayangannya sendiri? Karena bayang itu semakin dikejar semakin menjauh. Karena bayang itu adalah sesuatu yang hanya dapat dilihat, tidak dapat dipegang. Kita boleh saja berjuang mengejar kehidupan yang lebih layak, tetapi tentunya harus lebih bijaksana dengan perhitungan dan pertimbangan yang matang. Bukan malah sebaliknya menampik sentuhan centil sang jari mungil. Sekecil apapun saran dan arahan dari orang lain dapat dijadikan bahan pertimbangan yang berguna.

Berikutnya mari kita cermati rima pada bait berikut ini:

baris ke 6 – Demi
baris ke 7 – masa
baris ke 8 – aku mengambil cahaya mentari
baris ke 9 – ku selipkan di lipatan siangku,
baris ke 10 – malamku,
baris ke 11 – di antaraku

Pada bait di atas jelas terlihat ada rima pengulangan bunyi pada kata [siangku] di baris ke 9, kata [malamku] di baris ke 10, dan kata [antaraku] di baris ke 11 yang semuanya berakhir dengan bunyi [ku]. Dan pada kata [demi] di baris ke 6 dan kata [mentari] di baris ke 7 terdapat rima tidak sempurna yaitu persajakan bunyi [mi] dan [ri]. Pada baris ke 9 terdapat majas pengulangan bunyi vocal [i]. Secara teknis bait ini menjadi lebih berasa dengan adanya irama yang dihasilkan dari pengulangan-pengulangan bunyi tsb.

Bait ini dibangun dan diperkuat dengan pengulangan kata [demi masa], dan juga dibagun dengan diksi ungkapan kata berkias yang memukau: [mengambil cahaya mentari], [ku selipkan di lipatan siangku], [malamku], dan [diantaraku]. Kata [cahaya mentari] bisa berarti suatu harapan atau keinginan. Harapan di sini bisa berarti apa saja, tergantung dari sisi mana dan sudut pandang siapa yang mengharapkannya. Mengambil cahaya mentari bisa berarti mewujudkan harapan atau keinginan menjadi kenyataan. Yang diselipkan atau ditaruh disimpan di lipatan siang, lipatan malam, dan diantara aku dan lipatan-lipatan tsb. Kata di[selipkan di lipatan] mengingatkan kita pada kebiasaan menyimpan uang, surat rahasia, surat berharga, perhiasan dll di lipatan pakaian dalam lemari.

Pesan yang dapat kita tangkap pada bait ini adalah: sebuah peringatan agar kita harus dapat menggunakan waktu untuk mewujudkan harapan, keinginan, dan sesuatu yang kita cita-citakan.
Selanjutnya marilah kita cermati bait berikutnya:

baris ke 12 – Demi
baris ke 13 – masa
baris ke 14 – ku hitung rakitan tulang belulang yang semakin merapuh
baris ke 15 – terasa sungguh digerogoti kuman jaman

Pada bait ini nampaknya Lina Kelana tidak menggunaan rima di akhir baris dan tidak juga di awal baris. Tetapi ia bermain dengan rima yang tersembunyi di dalam kalimat yang biasa disebut asonansi dan aliterasi. Lihatlah pada baris ke 14: “ku hitung rakitan tulang belulang yang semakin merapuh” terdapat rima asonansi persajakan bunyi vocal [u] pada kata [ku], [hitung], [tulang belulang], [merapuh]. Sedangkan pada kata [hitung], kata [rakitan], dan kata [semakin] ada persajakan bunyi vokal [i]. dan pada kata [hitung], [tulang], [belulang], dan kata [yang] ada persajakan bunyi sengau [ng]. Bukan itu saja di sini juga ada rima aliterasi bunyi konsonan [t] pada kata [hitung], kata [rakitan], kata [tulang]. Dan pada baris ke 15 ada aliterasi bunyi [t] pada kata [terasa] dan [digerogoti], serta pengulangan bunyi [man] pada kata [kuman] dan [jaman]. Sehingga pengulangan bunyi itu menjadi ritme atau irama yang memperkuat bait ini.

Bait ini dibangun dan diperkuat kembali dengan pengulangan kata [demi masa], dan juga dibagun dengan diksi ungkapan kata berkias yang memukau: pada baris ke 14 ada kata [rakitan tulang belulang] dan [semakin merapuh], pada baris ke 15 ada frase [terasa sungguh] dan [digerogoti kuman jaman].

Pada skala kecil kata [rakitan tulang belulang] itu benar-benar susunan tulang atau kerangka tubuh manusia yang [semakin merapuh] karena [digerogoti] oleh [kuman jaman]. Hal ini sesuai dengan kondisi seiring dengan usia yang semakin menua. Pada skala lain ini bisa dikiaskan dengan kehidupan. Kehidupan tsb bisa berarti kehidupan penulisnya sendiri. Atau sesuatu yang lain yang menarik dan perlu diungkapkan dalam sebuah puisi. Kesan yang tertangkap dalam bait ini adalah: sebuah pesan moral yang mengingatkan kita bahwa seiring dengan berlalunya waktu, sesuatu yang dulunya tegar, kuat, kini sudah mulai rapuh, sudah mulai uzur, sudah sepuh, yang pada gilirannya nanti pasti akan berakhir.

Selanjutnya marilah pula kita cermati bait terakhir berikut ni.
baris ke 16 – Demi
baris ke 17 – masa
baris ke 18 – masa berdemi
baris ke 19 -: berdharma
baris ke 20 – Demi masa

Puisi ini diakhiri dengan rima konvensional dengan pola abab. Pada baris ke 16 kata [Demi] bersajak dengan kata [berdemi] di baris ke 18, sama-sama diakhiri dengan bunyi [mi]. Dan pada kata [masa] di baris ke 17 ada rima tidak sempurna bersajak dengan kata [berdharma] di baris ke 19, keduanya sama-sama diakhiri dengan bunyi vocal [a].

Pada bait ini bukan hanya ada rima atau persajakan, tetapi juga ada ritme atau irama yang kuat terasa alunannya. Irama itu terjadi karena ada pengulangan bunyi sengau [m] yang berulang-ulang di setiap kata pada bait tsb.

Akhirnya Lina Kelana mengakhiri puisi ini dengan permainan diksi [demi], [masa], dan [dharma] dengan pesan moral yang jelas yaitu: gunakanlah waktu demi waktu yang ada dengan hal-hal yang berguna [berdharma], baik bagi diri kita sendiri maupun bagi sesame, dan lebih luas lagi bagi Indonsia tercinta.

Banjarmasin, 28 Mei 2010

Tidak ada komentar:

A Khoirul Anam A Qorib Hidayatullah A Rodhi Murtadho A. Yusrianto Elga A. Zakky Zulhazmi A.S. Laksana Aang Fatihul Islam Aba Mardjani Abd. Mun’im Abdul Aziz Rasjid Abdul Gaffar Ruskhan Abdul Hadi W. M. Abdul Kadir Ibrahim Abdul Malik Abdul Muis Abdul Wachid BS Abdullah Khusairi Abidah El Khalieqy Abimardha Kurniawan Abroorza A. Yusra Abu Salman Acep Iwan Saidi Achmad Farid Tuasikal Adek Alwi Adi Marsiela Adian Husaini Adib Muttaqin Asfar Adji Subela Afandi Sido Afriza Hanifa Afrizal Malna Ageng Wuri R. A. Ags. Arya Dipayana Aguk Irawan M.N. Agus B. Harianto Agus Bing Agus Noor Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sri Danardana Agus Sulton Agus Sunyoto Agus Wibowo Agus Wirawan Agusri Junaidi AH J Khuzaini Ahda Imran Ahid Hidayat Ahm Soleh Ahmad Asyhar Ahmad Farid Yahya Ahmad Fuadi Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musthofa Haroen Ahmad Rofiq Ahmad Suhendra Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Aini Aviena Violeta Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sekhu Al Azhar Riau Al-Fairish Alex R. Nainggolan Alexander G.B. Alfian Zainal Aliansyah Alimuddin Almania Rohmah Alunk Estohank Amien Kamil Amien Wangsitalaja Anata Siregar Andi Sutisno Andy Riza Hidayat Anies Baswedan Anindita S Thayf Anis Ceha Anis Faridatur Rofiah Anjrah Lelono Broto Anna Subekti Anton Kurnia Ari Hidayat Ari Kristianawati Arie MP Tamba Arief Junianto Aris Kurniawan Arti Bumi Intaran Arul Arista AS Sumbawi Asarpin Asep Sambodja Atiqurrahman Awalludin GD Mualif Ayu Purwaningsih Babe Derwan Bakdi Soemanto Balada Bale Aksara Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Bayu Dwi Mardana Bellanissa Zoditama Beni Setia Benny Arnas Beno Siang Pamungkas Berita Berita Duka Bernando J. Sujibto Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Bokor Hutasuhut Brunel University London BSW Adjikoesoemo Budaya Budhi Setyawan Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiawan Dwi Santoso Bur Rasuanto Burhanuddin Bella Bustan Basir Maras Catatan Catullus CB. Ismulyadi Cerbung Cerita Rakyat Cerpen Chavchay Syaifullah Cikie Wahab Cunong Nunuk Suraja D Zawawi Imron Dad Murniah Dadang Ari Murtono Dahlia Rasyad Damhuri Muhammad Damiri Mahmud Danarto Daniel Paranamesa Darju Prasetya Darman Djamaluddin Darman Moenir Dasman Djamaluddin David Krisna Alka Dea Anugrah Dedy Tri Riyadi Denny JA Denny Mizhar Desi Sommalia Gustina Dewi Anggraeni Dharma Setyawan Dian Hartati Didi Arsandi Dina Oktaviani Dipo Handoko Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Doddi Ahmad Fauji Doddy Hidayatullah Dodi Chandra Dodiek Adyttya Dwiwanto Dody Kristianto Donny Anggoro Dony P. Herwanto Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Klik Santosa Dwi Pranoto Dwicipta Edy A Effendi Edy Firmansyah Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Eko Darmoko Ellyzan Katan Elnisya Mahendra Emha Ainun Nadjib Endah Imawati Eni Suryanti Eny Rose Eriyandi Budiman Eriyanti Erwin Edhi Prasetya Erwin Setia Esai Evan Ys Evi Idawati F Rahardi Fadly Rahman Fahrudin Nasrulloh Faizah Sirajuddin Faizal Syahreza Fajar Alayubi Fakhrunnas M.A. Jabbar Fanny Chotimah Fariz al-Nizar Fariz Alneizar Faruk HT Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fathurrahman Karyadi Fatimah Wahyu Sundari Fauzan Santa Fazabinal Alim Festival Sastra Gresik Fikri MS Fiksi Mini Fransisca Dewi Ria Utari Franz Kafka Fuad Anshori Furqon Abdi Fuska Sani Evani Gendhotwukir Gendut Riyanto Gerson Poyk Gita Pratama Goenawan Mohamad Gola Gong Grathia Pitaloka Gregorio Lopez y’ Fuentes Gugun El-Guyanie Gunawan Budi Susanto Gus Noy H.H. Tokoro Hadi Napster Hamberan Syahbana Hamdy Salad Hamsad Rangkuti Han Gagas Hang Kafrawi Hani Pudjiarti Hanna Fransisca Hardi Hamzah Hardjono WS Haris del Hakim Haris Priyatna Harris Maulana Hary B. Kori'un Hasan Al Banna Hasan Junus Hasbullah Said Hasnan Bachtiar HE. Benyamine Heidi Arbuckle Helmi Y Haska Helvy Tiana Rosa Hendra Junaedi Hendri Nova Herdoni Syafriansyah Heri Kurniawan Heri Latief Heri Ruslan Herman RN Hermawan Aksan Hermien Y. Kleden Herry Lamongan Holy Adib Humaidiy AS Husni Anshori I Nyoman Darma Putra I Nyoman Tingkat I Wayan Artika Ibnu Wahyudi Ida Farida Ignas Kleden Ilham Khoiri Imam Cahyono Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Tohari Indra Tranggono Indrian Koto Irwan Kelana Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Isma Swastiningrum Ismi Wahid Iwan Gardono Sujatmiko Iwan Gunadi Iwan Kurniawan Iwan Nurdaya Djafar Iwank J.S. Badudu Janoary M Wibowo Javed Paul Syatha JILFest 2008 JJ. Kusni Jodhi Yudono Joko Novianto Bp Joko Pinurbo Jones Gultom Jual Buku Paket Hemat Jusuf AN Kadek Suartaya Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Kedung Darma Romansha Kenedi Nurhan Khaerudin Kurniawan Khaerul Anwar Ki Sugito Ha Es Kirana Kejora Komunitas Deo Gratias Korrie Layun Rampan Kritik Sastra Kunthi Hastorini Kuntowijoyo Kurie Suditomo Kurnia Effendi Kurniawan Kuswinarto La Ode Rabbani Lathifa Akmaliyah Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember Leon Agusta Lily Siti Multatuliana Lily Yulianti Farid Lina Kelana Liza Wahyuninto Lona Olavia Lugiena Dé M Fadjroel Rachman M Farid W Makkulau M Syakir M. Dawam Rahardjo M. Faizi M. Mustafied M. Raudah Jambak M. Taufan Musonip M. Yoesoef M.D. Atmaja M.Th. Krishdiana Putri Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Maklumat Sastra Profetik Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mangun Kuncoro Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria D. Andriana Maria Magdalena Bhoernomo Mariana Amiruddin Maryati Marzuzak SY Mashuri Maulana Syamsuri Media: Crayon on Paper Mega Vristian MG. Sungatno Misbahus Surur Mofik el-abrar Moh. Amir Sutaarga Moh. Ghufron Cholid Mohammad Hatta Mohammad Kh. Azad Mohammad Takdir Ilahi Much. Khoiri Muhamad Taslim Dalma Muhammad Rain Muhammad Subhan Muhammad Yasir Muhammadun A.S Muhidin M Dahlan Mujtahid Mulyawan Karim Musa Ismail Musfi Efrizal Mustafa Ismail Mustofa W Hasyim N Teguh Prasetyo N. Mursidi Nadhi Kiara Zifen Nana Riskhi Susanti Nanang Suryadi Naskah Teater Nasrulloh Habibi Neva Tuhella Nietzsche Nirwan Dewanto Nizar Qabbani Noor H. Dee Nova Christina Novelet Nunung Nurdiah Nur Wachid Nurani Soyomukti Nurel Javissyarqi Nurman Hartono Nuryana Asmaudi Nyoman Tusthi Eddy Obrolan Oky Sanjaya Oyos Saroso HN P Ari Subagyo Pagelaran Musim Tandur Pamusuk Eneste Panji Satrio PDS H.B. Jassin Penerbit dan Toko Buku PUstaka puJAngga Pipiet Senja Pramoedya Ananta Toer Pringadi AS Pringgo HR Prosa Puisi Puji Santosa Purnawan Andra PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Satria Kusuma Putu Wijaya R Masri Sareb Putra R. Adhi Kusumaputra R. Timur Budi Raja R.N. Bayu Aji Radhar Panca Dahana Ragdi F. Daye Rahmi Hattani Raja Ali Haji Raju Febrian Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Dira J Rama Prabu Ramadhan KH Ramon Magsaysay Ramses Ohee Ratih Kumala Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Ressa Novita Ressa Sagitariana Putri Ria Ristiana Dewi Rialita Fithra Asmara Ribut Wijoto Rida K Liamsi Rifka Sibarani Rilda A. Oe. Taneko Rilda A.Oe. Taneko Rimbun Natamarga Rinto Andriono Risang Anom Pujayanto Rita Zahara Riyon Fidwar Robin Al Kautsar Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Rohman Budijanto Rukardi S Yoga S. Jai S. Takdir Alisyahbana S.W. Teofani Sabrank Suparno Sahaya Santayana Sajak Sajak Sebatang Lisong Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Salman S. Yoga Salyaputra Samson Rambah Pasir Samsudin Adlawi Sanie B. Kuncoro Santy Novaria Sapardi Djoko Damono Sarabunis Mubarok Sartika Dian Nuraini Sasti Gotama Sastra Nusantara Satmoko Budi Santoso Satriani Saut Poltak Tambunan Saut Situmorang Sekolah Literasi Gratis (SLG) Selasih Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Shadiqin Sudirman Shiny.ane el’poesya Shourisha Arashi Sidik Nugroho Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sindu Putra Siska Afriani Siti Sa’adah Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Slamet Samsoerizal Sobih Adnan Sofyan RH. Zaid Solihin Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sony Wibisono Sosiawan Leak Sri Wintala Achmad Sri Wulan Rujiati Mulyadi Stevani Elisabeth Suci Ayu Latifah Sucipto Hadi Purnomo Sudarmoko Sudirman HN Suhadi Mukhan Suharsono Sukar Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sunudyantoro Supriyadi Suriani Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syahruddin El-Fikri Syaripudin Zuhri Syifa Aulia Syu’bah Asa T.A. Sakti Tammalele Tan Lioe Ie Tasyriq Hifzhillah Taufik Abdullah Taufik Effendi Aria Taufik Ikram Jamil Taufiq Wr. Hidayat TE. Priyono Teguh Winarsho AS Tenas Effendy Tengsoe Tjahjono Thayeb Loh Angen Theresia Purbandini Tia Setiadi Tias Tatanka Tito Sianipar Tjahjono EP Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tjut Zakiyah Anshari Topik Mulyana Tosa Poetra Tri Harun Syafii TS Pinang Tu-ngang Iskandar Udo Z. Karzi Uly Giznawati Umar Fauzi Ballah Umbu Landu Paranggi Umi Kulsum Uniawati Universitas Indonesia Usman Arrumy Usman D.Ganggang Utada Kamaru UU Hamidy Viddy AD Daery W.S. Rendra Wa Ode Wulan Ratna Wahib Muthalib Wahyudi Akmaliah Muhammad Wardjito Soeharso Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Sunarta Weli Meinindartato Wicaksono Widodo DS Wina Karnie Wisran Hadi Wong Wing King Yan Maniani Yanti Mulatsih Yanuar Arifin Yasser Arafat Yaumu Roikha Yetti A. KA Yohanes Padmo Adi Nugroho Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yudhi Ms Yudhistira ANM Massardi Yulianna Yurnaldi Yusi A. Pareanom Yusi Avianto Pareanom Yusri Fajar Yusrizal KW Yuyun Ifa Naliah Zaim Rofiqi Zainal Arifin Thoha Zakki Amali Zakky Zulhazmi Zawawi Se Zehan Zareez Zelfeni Wimra Zuarman Ahmad Zulfikar Akbar