Sunlie Thomas Alexander
suaramerdeka.com
Nujum Iblis Buta
”…AKU tak akan mati selama dosa dan kejahatan masih ada di dunia ini. Aku telah bersumpah demi arwah nenek moyangku, untuk membunuhmu lalu menghisap darahmu!”
Begitulah nujummu jatuh atas diri sendiri, Iblis Buta! Lalt serupa manusia pertama dijadikan dari debu tanah, jasadmu yang telah mengabu pun perlahan bergerak menyatu kembali bersamaan dengan berembusnya angin kencang di dasar Lembah Jagat Pangeran. Udara begitu dingin menusuk pori-pori, serasa menanggalkan tulang-belulang. Ah, segalanya memang seperti berhasrat membeku pada malam yang jahanam itu.
Kau tahu, betapa menakjubkan sekaligus menakutkan —di bawah terang purnama yang mencemaskan— menyaksikan butir-butir debu itu memadat lagi jadi tetulang dan dagingmu yang fana. Lantas kau pun beranjak berdiri dari kematianmu yang kedua. Telanjang bulat seperti manusia pertama yang terpana melihat fajar perdana.
Tetapi malam susut kelabu, Iblis Buta… Meski bintang-bintang tak gentar berkerdip. Dengan angin yang membawakan aroma liang lahat. Busuk menyengat, bagai hendak membongkar seisi perut. Ah, seorang peladang malang yang sejak mula bersembunyi ketakutan di balik kerapatan pohon pisang, lari lintang-pukang ketika tiba-tiba kau meraung keras. Air kencingnya bercucuran membasahi celana!
Tentu, tentu ini bukanlah kejadian yang bisa dinalar. Bagaimana mungkin manusia yang telah mati, dengan tubuh tinggal abu bisa bangkit lagi? Nyali siapakah yang tak lumer melihat semua kegilaan ini dengan mata kepala sendiri?
Namun begitulah, Iblis Buta. Kepada iblis neraka yang telah memberimu keabadian, kau telah bersumpah hanya akan hidup dengan meminum darah. Berkarib dendam dan kebencian!
Bukankah telah lama bagimu nyawa manusia tak ada lagi harganya? Sejak bertahun-tahun lalu, ketika kedua orang tuamu membuangmu selayaknya seekor anjing kudisan karena tak sudi punya anak buta. Ketika semua orang meremehkan dan menghinamu, mengusir dan meludahimu. Dan tak seorang anak pun di kolong kampung yang sudi berada di dekatmu, apalagi berteman denganmu.
Karena itulah, riwayat mengerikan ini pun tergores di lembar-lembar cerita bergambar: ke mana pun tongkat dengan gantungan tengkorak itu menuntunmu, maka darah bisa dipastikan bakal tercecer dari setiap jejak langkahmu. Teror demi teror bagi setiap yang bernyawa. Dari kota-kota karesiden hingga kampung-kampung terpencil, demikianlah bertahun-tahun kau menjelajahi seantero rimba persilatan seraya menebar bencana. Ah, konon bayang-bayangmu lebih menakutkan dari wabah penyakit menular yang paling mematikan sekalipun. Kendati tak punya biji mata, siapa nyana mata tongkatmu lebih tajam dari mata sekalian setan. Mengincar setiap urat leher, yang lena maupun terjaga!
Ai, maut layaknya orang buta yang lewat sambil meraba-raba dengan tongkatnya…
Mencari Barda Mandrawata
“AKU tidak tahu kuasa apa yang telah membangkitkan engkau dari liang kubur. Tetapi yang pasti kuasa yang melawan kodrat Ilahi pasti akan hancur…,” begitulah tukas putra Paksi Sakti Indrawatara, pemimpin Perguruan Elang Putih itu dingin. Suaranya terdengar dalam namun tenang.
Hari itu, lagi-lagi di dasar Lembah Jagat Pangeran, kalian kembali mesti berhadapan. Namun hingga matahari tergelincir ke barat; selain kesiur angin yang membuat daun-daun pepohonan bergemerisik riuh, belum juga ada di antara kalian yang bergerak. Tegak bertopang tongkat, terpisah dalam jarak dua tombak, kalian sepertinya saling mengukur kekuatan. Seratus dua puluh purnama berlalu, terang bukanlah waktu yang singkat. Tentu sudah banyak ilmu kesaktian bertambah. Jika saja masih punya mata, barangkali ia akan menatapmu lekat-lekat dengan pandangan menusuk. Dan bila punya biji mata, kau mungkin akan menantang kedua matanya dengan tatapan membesi. Tapi toh, kalian sama butanya.
Ya, itulah pertemuan kalian yang kedua setelah ratusan purnama. Ah, betapa sudah begitu lamanya kau menantikan waktu ini tiba untuk menyelesaikan segala hutang nyawa. Kau tahu, sebagaimana telah kau nujumkan, pertarungan itu memang tak bakal terelakkan. Entahlah siapa duluan yang membuka jurus, tahu-tahu tubuh kalian telah menjelma jadi kelebat bayang-bayang. Saling menggulung dan membelit, tongkat kalian begitu sebatnya menusuk dan menangkis dan menyabet.
Konon, hanya mata para pendekar kawakan nomor satulah yang mampu melihat jalannya pertarungan. Jurus berganti jurus, tak juga salah satu dari kalian tampak terdesak. Debu-debu dan bebatuan berterbangan, rumput-rumput tercerabut, daun-daun melayang berguguran, dan pohon-pohon besar-kecil pun tumbang satu persatu. Ai, begitulah aku mengingat gambar-gambar itu dulu berkisah, Iblis Buta. Hingga memasuki jurus ke sekian ratus —tentu tak kuingat lagi pada halaman berapa— dalam satu kesempatan kau berhasil menyelinap ke belakang pendekar buta berpakaian kulit ular itu dan bersiap menghujamkan tongkatmu!
Tetapi, sebelum ajal berpantang mati, begitulah ujar-ujar yang lazim berlaku di rimba persilatan, Iblis Buta. Maka, sebagaimana dulu kau dibangkitkan oleh petir, demikianlah pula kematianmu yang kedua ini ditakdirkan. Lidah-lidah api mengerikan itu menyambar dan menghanguskan tubuhmu hingga luluh-lantak, sekaligus menyelamatkan nyawa si pendekar kelana.
Karenanya, pada kebangkitan kedua dari abu, tentu kini bakal kau cari lagi jejaknya untuk menuntaskan pertarungan yang tak usai. Sebab, bukankah hanya satu jawara buta yang boleh tegak di kolong jagat ini?
Malaikat Maut Tanpa Asal
YA, maut memang orang buta yang berjalan lewat dengan tongkatnya. Karena itu, tak seorang pun tahu dari mana asalmu, sebagaimana tak seorang pun yang bisa memberitahumu di mana beradanya Si Buta dari Goa Hantu. Begitu saja kau muncul menggegerkan rimba persilatan, seolah-olah tanpa latar belakang.
Tentu saja masih kuingat bagaimana kau pertama kali hadir dan mengobrak-abrik desa tempat tinggal Barda Mandrawata yang tentram. Ratusan penduduk tak berdosa mesti merenggang nyawa di ujung tongkatmu yang (tak) bermata. Padahal tujuanmu hanyalah satu: Mencari dan menantang pemimpin Perguruan Silat Elang Putih, Paksi Sakti Indrawatara yang kesohor itu demi membuktikan siapa yang lebih digdaya.
Ah, seandai saja kau tahu, kalau hari itu —hari terbunuhnya Ki Paksi— sebuah babak baru sejarah pun dimulai: Ya, Iblis buta. Ya, kaulah pembawa kunci takdir bagi kehidupan Barda Mandrawata menjadi Si Buta dari Goa Hantu…
Pulang menemukan kedua orang tua, semua saudara dan seluruh murid perguruan tewas menggenaskan, hati siapa yang tak koyak, dendam siapa tak menetas? Namun, jika seluruh riwayat kebengisanmu berpangkal dan berujung pada kemarahan tak kunjung reda kepadaNya yang telah menakdirkanmu lahir tanpa biji mata —barangkali Bardalah satu-satunya orang di muka bumi ini yang memilih buta!
“Buta mungkin lebih baik, agar tak perlu lagi melihat segala kekejian di dunia,” begitulah ujarnya lirih usai menghujamkan kedua matanya pada paku yang tertancap di sebatang pohon. Tetapi kau paham, semua itu dilakukannya demi mempelajari ‘Ilmu Membedakan Gerak dan Suara’, lantaran hanya orang butalah yang sanggup mempelajari ilmu tak tertandingi yang kau kuasai itu…
Ah, kalian mungkin layaknya sekeping mata uang dengan dua sisi, Iblis Buta. Demikianlah takdir jatuhkan pilihan kepadamu dan kepadanya. Seperti dua kutub saling bertolak dalam kehidupan. Saling ada dan mengadakan. Tanpa dirimu dalam kehidupannya, kisah panjang ini memang tak bakal ada, Iblis Buta… Ya, seperti halnya lahir dan mati, sesungguhnya memang telah ditentukan bagi kalian menjadi dua musuh bebuyutan selamanya!
Tapi apa yang sebetulnya kau cari, Iblis Buta? Apa yang kau inginkan dari dunia yang keparat ini? Kekuasaan? Raja diraja rimba persilatan? Atau hanya sekadar rasa takut dari makhluk-makhluk malang?
Sampai kapan kau hendak membalaskan dendam kesumatmu pada hidup yang tak ramah? Sampai kapan pula kau hendak menggugatNya? Hingga lonceng pengadilan terakhir berdentang?
Bersama angin buruk yang menyelinap masuk ke setiap rumah yang lena merapatkan pintu dan jendela, kau pun kembali menggembara sembari mencabut setiap nyawa. Ya, sebagaimana bertahun-tahun silam, kau kembali berjalan dari kutuk ke kutuk, dari kebencian ke kebencian. Tapi ke mana gerangan kau harus mencari pendekar buta yang malang-melintang mengikuti hembusan angin itu, Iblis?
Ingatan pada dua kematian, membuat dadamu kian membara oleh dendam. Terang masih lekat, bagaimana kepalamu terpenggal oleh sabetan tongkatnya dalam pertarungan kalian yang pertama. Bagaimana pula manusia sial Si Maung Lugai membawa lari kepalamu untuk memenuhi persyaratan cinta Marni Dewiyanti. Sehingga, setelah dibangkitkan oleh petir yang menyambar makammu, kau pun menghantui rimba persilatan tanpa kepala!
Interlude: Dua Kisah Kepala
OH, syahdan kepalamu itu memiliki kisahnya sendiri, Iblis Buta… Entahlah. Barangkali memang begitu istimewanya, sehingga ia mesti mengalami dua versi penceritaan yang berbeda dalam rentang waktu sepuluh tahun lamanya.
Baiklah, ini cuma sekadar mengingatkan pahitnya kekalahanmu saja!
Dalam kisah pertama, tatkala kau terbunuh dalam petarungan dengan Si Buta dari Goa Hantu, sabetan tongkatnya yang membentuk tanda tambah, telah membelah tubuhmu dari atas ke bawah lalu memutuskan pinggangmu. Sesungguhnya tidaklah pernah dikisahkan bahwa ia telah memenggal kepalamu, Iblis Buta. Hal ini pun diperkuat Marni yang mengaku bahwa saat Si Maung Lugai membawakan kutungan kepalamu kepadanya, ia masihlah melihat kepalamu itu dalam kondisi terbelah dua. Ah, adakah Si Maung Lugai keparatlah yang telah memenggal kepalamu tatkala ia menemukan mayatmu? Bukankah ia sempat bertarung dengan Barda sebelum pendekar itu meninggalkan Lembah Jagat Pangeran?
Tetapi dalam episode keenam belas ”Bangkitnya Si Mata Malaikatî yang terbit sepuluh tahun kemudian, nyatanya terpenggalnya kepalamu telah menyimpang dari jalan kisah yang lama, Iblis Buta. Pada episode ini diceritakan bahwasannya sabetan tongkat Bardalah yang telah pisahkan kepalamu dari badan dalam pertarungan dashyat di Lembah Jagat Pangeran itu. Dan kemunculan Si Maung Lugai Penyapu Jagat dalam cerita ini pun tatkala Barda sudah tak ada, sehingga dengan demikian tak ada pertarungan di antara mereka… Begitulah!
Dua Perempuan Penyejuk Hati
AH, maut adalah orang buta yang menuding dengan tongkatnya…
Namun toh, hidup nyatanya tak melulu kebencian, Iblis Buta! Dalam pengembaraan panjang mencari Barda, kau tahu, cinta sesekali masih berkenan menyapa hatimu yang telah mengeras oleh lapisan dendam dan kebencian itu. Bukankah terkadang kau masih terkenang pada suara lembut Mandrawati? Ai, harum rambutnya yang beraroma melati! Hmm, perempuan…adakah sedikit saja kau pahami kelembutannya yang mampu meredam panasnya bara dendam di dadamu, Iblis? Seperti setetes demi setetes air yang membuat lubang di atas kerasnya batu goa. Entahlah.
Tapi di desa Cibarusa, tempat langkahmu terhenti sejenak untuk mengumbar bencana kepada para penduduk yang tak berdosa, Iblis Buta, sekali lagi kau mesti kembali menemui sentuhan lembut itu di hatimu yang gersang berdebu.
Rosiana, Rosiana! Kecantikan seperti apa yang kau miliki hingga mampu menghentikan keganasan seorang pendekar buta yang paling durjana? Adakah kau benar-benar jatuh hati pada pembunuh biadab itu, atau semata-mata hanya niat tulus untuk menyelamatkan kedua orang tuamu dan warga desa dari pembantaian kejinya? Ataukah berkat petunjuk sesederhana kata-kata halus Uwak Kiwul-lah, kau nekat mengorbankan diri?
Barangkali dalam kisah ini, takdir memang terlalu berkuasa dan lancang bicara. Ia mempermainkan setiap tokoh seperti wayang di tangan seorang ki dalang yang dingin namun fasih membawakan kisah sedih memukau. Bahkan kerapkali begitu licinnya ia mengelakkan nujummu, Iblis Buta.
Tentu awalnya kau tak menduga, bila pada akhirnya kau bertekuk lutut juga di hadapan anak gadis juragan Kowara yang cantik jelita itu. Gadis yang sudah berpenampilan kelondo-londoan lantaran terlalu lama tinggal di Batavia. Tapi begitulah kau rasakan getar itu sesayup sampai, serupa getar yang dulu dikirimkan Mandrawati ke mata hatimu. Getar yang melumpuhkan, pun setiapkali kau mendesiskan namanya, mengingat suara dan aroma melati di rambutnya.
Ya, mungkin ini memang takdir bagi si jelita, yang begitu dicintai oleh para pemuda di desanya, namun toh memilih menjadi bagian dari riwayat hidupmu yang durjana.
Sejak itu, kau mulai berubah, Iblis Buta! Perlahan, selapis demi selapis karatan kebencian dan dendam di hatimu pun mulai menggelupas. Perlahan, kau mulai menurut pada Rosiana. Kau tak lagi membunuh, tak lagi menghisap darah para korbanmu. Selama beberapa waktu, kau hanya menggantungkan hidup dari tetes demi tetes darah yang dikucurkannya dengan rela untukmu dari goresan tipis di pergelangan tangannya. Bahkan bukan cuma darah, tapi juga tubuh dan jiwanya ia korbankan agar kau tak lagi menebar malapetaka. Hingga akhirnya benihmu pun tumbuh subur di rahimnya. Ah, toh kau tak juga berhenti membandingkannya dengan si manis Mandrawati. Belum juga berhenti dari menyebut-nyebut nama gadis kecil itu dan mengenang masa-masa kalian bersua…
Oh, Mata Malaikat, iblis buta tanpa nama tanpa asal! Oh, hati membutakan diri dari kasih, kini mampuslah kau dikoyak moyak cinta!*)
Karena itu, hanya satu ilmu kesaktian di bawah kolong langit ini yang bisa melenyapkanmu, Iblis Buta. Ilmu itu, kau tahu, bernama Pamungkas Asmara. Pukulan api cinta! Kobaran api yang meletup dashyat dari hati sepasang insan yang dimabuk asmara…
***
AI, tentu aku tak berhasrat menjadi juru cerita baru bagi kisah jahanammu, Iblis Buta!
Kulihat Uwak Kiwul berdiri termenung. Wajahnya tampak keruh meski jari-jari tangannya yang kurus tak henti-hentinya menghitung butir-butir tasbih melafadzkan kebesaran namaNya. Jurus silat Karno dan Surti memang kian teruji, tenaga dalam kedua muridnya itu pun meningkat dengan tajam. Tetapi Pamungkas Asmara, ia tahu, ilmu aneh bin langka itu hanyalah dapat dikuasai oleh sepasang insan yang tulus saling mencinta!
Ah, inilah perkara peliknya. Siapa nyana hati Karno, pemuda tampan itu telah terpikat demikian dalam pada Rosiana, putri majikannya, teman semasa kanak-kanaknyaÖ Dan Surti, perawan ranum dengan mata sebening embun di atas daun talas itu hanyalah bertepuk sebelah.
Kulihat sepasang mata Uwak Kiwul memandang jauh ke kerimbunan bukit di utara desa, di mana Rosiana dilarikan olehmu. Kedua mata itu tampak begitu lelah, wajahnya terlihat dua kali lipat lebih tua.
Gaten, Yogyakarta, 2007-2010
__________________
Cerita ini merupakan interpretasi ulang atas cergam serial Si Buta dari Goa Hantu karya Ganes Th, episode “Bangkitnya Si Mata Malaikat” dan “Pamungkas Asmara” berdasarkan ingatan dan sejumlah catatan Damuh Bening.
*) terilhami sepenggal sajak Chairil.
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Selasa, 08 Maret 2011
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Khoirul Anam
A Qorib Hidayatullah
A Rodhi Murtadho
A. Yusrianto Elga
A. Zakky Zulhazmi
A.S. Laksana
Aang Fatihul Islam
Aba Mardjani
Abd. Mun’im
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Gaffar Ruskhan
Abdul Hadi W. M.
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Malik
Abdul Muis
Abdul Wachid BS
Abdullah Khusairi
Abidah El Khalieqy
Abimardha Kurniawan
Abroorza A. Yusra
Abu Salman
Acep Iwan Saidi
Achmad Farid Tuasikal
Adek Alwi
Adi Marsiela
Adian Husaini
Adib Muttaqin Asfar
Adji Subela
Afandi Sido
Afriza Hanifa
Afrizal Malna
Ageng Wuri R. A.
Ags. Arya Dipayana
Aguk Irawan M.N.
Agus B. Harianto
Agus Bing
Agus Noor
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Sri Danardana
Agus Sulton
Agus Sunyoto
Agus Wibowo
Agus Wirawan
Agusri Junaidi
AH J Khuzaini
Ahda Imran
Ahid Hidayat
Ahm Soleh
Ahmad Asyhar
Ahmad Farid Yahya
Ahmad Fuadi
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Musthofa Haroen
Ahmad Rofiq
Ahmad Suhendra
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Aini Aviena Violeta
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Muhaimin Azzet
Akhmad Sekhu
Al Azhar Riau
Al-Fairish
Alex R. Nainggolan
Alexander G.B.
Alfian Zainal
Aliansyah
Alimuddin
Almania Rohmah
Alunk Estohank
Amien Kamil
Amien Wangsitalaja
Anata Siregar
Andi Sutisno
Andy Riza Hidayat
Anies Baswedan
Anindita S Thayf
Anis Ceha
Anis Faridatur Rofiah
Anjrah Lelono Broto
Anna Subekti
Anton Kurnia
Ari Hidayat
Ari Kristianawati
Arie MP Tamba
Arief Junianto
Aris Kurniawan
Arti Bumi Intaran
Arul Arista
AS Sumbawi
Asarpin
Asep Sambodja
Atiqurrahman
Awalludin GD Mualif
Ayu Purwaningsih
Babe Derwan
Bakdi Soemanto
Balada
Bale Aksara
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Bayu Dwi Mardana
Bellanissa Zoditama
Beni Setia
Benny Arnas
Beno Siang Pamungkas
Berita
Berita Duka
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Bokor Hutasuhut
Brunel University London
BSW Adjikoesoemo
Budaya
Budhi Setyawan
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budiawan Dwi Santoso
Bur Rasuanto
Burhanuddin Bella
Bustan Basir Maras
Catatan
Catullus
CB. Ismulyadi
Cerbung
Cerita Rakyat
Cerpen
Chavchay Syaifullah
Cikie Wahab
Cunong Nunuk Suraja
D Zawawi Imron
Dad Murniah
Dadang Ari Murtono
Dahlia Rasyad
Damhuri Muhammad
Damiri Mahmud
Danarto
Daniel Paranamesa
Darju Prasetya
Darman Djamaluddin
Darman Moenir
Dasman Djamaluddin
David Krisna Alka
Dea Anugrah
Dedy Tri Riyadi
Denny JA
Denny Mizhar
Desi Sommalia Gustina
Dewi Anggraeni
Dharma Setyawan
Dian Hartati
Didi Arsandi
Dina Oktaviani
Dipo Handoko
Djenar Maesa Ayu
Djoko Pitono
Doddi Ahmad Fauji
Doddy Hidayatullah
Dodi Chandra
Dodiek Adyttya Dwiwanto
Dody Kristianto
Donny Anggoro
Dony P. Herwanto
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Klik Santosa
Dwi Pranoto
Dwicipta
Edy A Effendi
Edy Firmansyah
Eka Budianta
Eka Fendri Putra
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Ellyzan Katan
Elnisya Mahendra
Emha Ainun Nadjib
Endah Imawati
Eni Suryanti
Eny Rose
Eriyandi Budiman
Eriyanti
Erwin Edhi Prasetya
Erwin Setia
Esai
Evan Ys
Evi Idawati
F Rahardi
Fadly Rahman
Fahrudin Nasrulloh
Faizah Sirajuddin
Faizal Syahreza
Fajar Alayubi
Fakhrunnas M.A. Jabbar
Fanny Chotimah
Fariz al-Nizar
Fariz Alneizar
Faruk HT
Fatah Anshori
Fatah Yasin Noor
Fathurrahman Karyadi
Fatimah Wahyu Sundari
Fauzan Santa
Fazabinal Alim
Festival Sastra Gresik
Fikri MS
Fiksi Mini
Fransisca Dewi Ria Utari
Franz Kafka
Fuad Anshori
Furqon Abdi
Fuska Sani Evani
Gendhotwukir
Gendut Riyanto
Gerson Poyk
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Gola Gong
Grathia Pitaloka
Gregorio Lopez y’ Fuentes
Gugun El-Guyanie
Gunawan Budi Susanto
Gus Noy
H.H. Tokoro
Hadi Napster
Hamberan Syahbana
Hamdy Salad
Hamsad Rangkuti
Han Gagas
Hang Kafrawi
Hani Pudjiarti
Hanna Fransisca
Hardi Hamzah
Hardjono WS
Haris del Hakim
Haris Priyatna
Harris Maulana
Hary B. Kori'un
Hasan Al Banna
Hasan Junus
Hasbullah Said
Hasnan Bachtiar
HE. Benyamine
Heidi Arbuckle
Helmi Y Haska
Helvy Tiana Rosa
Hendra Junaedi
Hendri Nova
Herdoni Syafriansyah
Heri Kurniawan
Heri Latief
Heri Ruslan
Herman RN
Hermawan Aksan
Hermien Y. Kleden
Herry Lamongan
Holy Adib
Humaidiy AS
Husni Anshori
I Nyoman Darma Putra
I Nyoman Tingkat
I Wayan Artika
Ibnu Wahyudi
Ida Farida
Ignas Kleden
Ilham Khoiri
Imam Cahyono
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Tohari
Indra Tranggono
Indrian Koto
Irwan Kelana
Isbedy Stiawan Z.S.
Iskandar Noe
Isma Swastiningrum
Ismi Wahid
Iwan Gardono Sujatmiko
Iwan Gunadi
Iwan Kurniawan
Iwan Nurdaya Djafar
Iwank
J.S. Badudu
Janoary M Wibowo
Javed Paul Syatha
JILFest 2008
JJ. Kusni
Jodhi Yudono
Joko Novianto Bp
Joko Pinurbo
Jones Gultom
Jual Buku Paket Hemat
Jusuf AN
Kadek Suartaya
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kasnadi
Kedung Darma Romansha
Kenedi Nurhan
Khaerudin Kurniawan
Khaerul Anwar
Ki Sugito Ha Es
Kirana Kejora
Komunitas Deo Gratias
Korrie Layun Rampan
Kritik Sastra
Kunthi Hastorini
Kuntowijoyo
Kurie Suditomo
Kurnia Effendi
Kurniawan
Kuswinarto
La Ode Rabbani
Lathifa Akmaliyah
Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember
Leon Agusta
Lily Siti Multatuliana
Lily Yulianti Farid
Lina Kelana
Liza Wahyuninto
Lona Olavia
Lugiena Dé
M Fadjroel Rachman
M Farid W Makkulau
M Syakir
M. Dawam Rahardjo
M. Faizi
M. Mustafied
M. Raudah Jambak
M. Taufan Musonip
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
M.Th. Krishdiana Putri
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Maklumat Sastra Profetik
Malkan Junaidi
Maman S. Mahayana
Mangun Kuncoro
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria D. Andriana
Maria Magdalena Bhoernomo
Mariana Amiruddin
Maryati
Marzuzak SY
Mashuri
Maulana Syamsuri
Media: Crayon on Paper
Mega Vristian
MG. Sungatno
Misbahus Surur
Mofik el-abrar
Moh. Amir Sutaarga
Moh. Ghufron Cholid
Mohammad Hatta
Mohammad Kh. Azad
Mohammad Takdir Ilahi
Much. Khoiri
Muhamad Taslim Dalma
Muhammad Rain
Muhammad Subhan
Muhammad Yasir
Muhammadun A.S
Muhidin M Dahlan
Mujtahid
Mulyawan Karim
Musa Ismail
Musfi Efrizal
Mustafa Ismail
Mustofa W Hasyim
N Teguh Prasetyo
N. Mursidi
Nadhi Kiara Zifen
Nana Riskhi Susanti
Nanang Suryadi
Naskah Teater
Nasrulloh Habibi
Neva Tuhella
Nietzsche
Nirwan Dewanto
Nizar Qabbani
Noor H. Dee
Nova Christina
Novelet
Nunung Nurdiah
Nur Wachid
Nurani Soyomukti
Nurel Javissyarqi
Nurman Hartono
Nuryana Asmaudi
Nyoman Tusthi Eddy
Obrolan
Oky Sanjaya
Oyos Saroso HN
P Ari Subagyo
Pagelaran Musim Tandur
Pamusuk Eneste
Panji Satrio
PDS H.B. Jassin
Penerbit dan Toko Buku PUstaka puJAngga
Pipiet Senja
Pramoedya Ananta Toer
Pringadi AS
Pringgo HR
Prosa
Puisi
Puji Santosa
Purnawan Andra
PUstaka puJAngga
Putu Fajar Arcana
Putu Satria Kusuma
Putu Wijaya
R Masri Sareb Putra
R. Adhi Kusumaputra
R. Timur Budi Raja
R.N. Bayu Aji
Radhar Panca Dahana
Ragdi F. Daye
Rahmi Hattani
Raja Ali Haji
Raju Febrian
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Rama Dira J
Rama Prabu
Ramadhan KH
Ramon Magsaysay
Ramses Ohee
Ratih Kumala
Raudal Tanjung Banua
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Resensi
Ressa Novita
Ressa Sagitariana Putri
Ria Ristiana Dewi
Rialita Fithra Asmara
Ribut Wijoto
Rida K Liamsi
Rifka Sibarani
Rilda A. Oe. Taneko
Rilda A.Oe. Taneko
Rimbun Natamarga
Rinto Andriono
Risang Anom Pujayanto
Rita Zahara
Riyon Fidwar
Robin Al Kautsar
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rohman Budijanto
Rukardi
S Yoga
S. Jai
S. Takdir Alisyahbana
S.W. Teofani
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Sajak
Sajak Sebatang Lisong
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Salman S. Yoga
Salyaputra
Samson Rambah Pasir
Samsudin Adlawi
Sanie B. Kuncoro
Santy Novaria
Sapardi Djoko Damono
Sarabunis Mubarok
Sartika Dian Nuraini
Sasti Gotama
Sastra Nusantara
Satmoko Budi Santoso
Satriani
Saut Poltak Tambunan
Saut Situmorang
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
Selasih
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Shadiqin Sudirman
Shiny.ane el’poesya
Shourisha Arashi
Sidik Nugroho
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sindu Putra
Siska Afriani
Siti Sa’adah
Sitok Srengenge
Siwi Dwi Saputro
Slamet Samsoerizal
Sobih Adnan
Sofyan RH. Zaid
Solihin
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sony Wibisono
Sosiawan Leak
Sri Wintala Achmad
Sri Wulan Rujiati Mulyadi
Stevani Elisabeth
Suci Ayu Latifah
Sucipto Hadi Purnomo
Sudarmoko
Sudirman HN
Suhadi Mukhan
Suharsono
Sukar
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Sunudyantoro
Supriyadi
Suriani
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Sutan Iwan Soekri Munaf
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Syahruddin El-Fikri
Syaripudin Zuhri
Syifa Aulia
Syu’bah Asa
T.A. Sakti
Tammalele
Tan Lioe Ie
Tasyriq Hifzhillah
Taufik Abdullah
Taufik Effendi Aria
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Wr. Hidayat
TE. Priyono
Teguh Winarsho AS
Tenas Effendy
Tengsoe Tjahjono
Thayeb Loh Angen
Theresia Purbandini
Tia Setiadi
Tias Tatanka
Tito Sianipar
Tjahjono EP
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Tjut Zakiyah Anshari
Topik Mulyana
Tosa Poetra
Tri Harun Syafii
TS Pinang
Tu-ngang Iskandar
Udo Z. Karzi
Uly Giznawati
Umar Fauzi Ballah
Umbu Landu Paranggi
Umi Kulsum
Uniawati
Universitas Indonesia
Usman Arrumy
Usman D.Ganggang
Utada Kamaru
UU Hamidy
Viddy AD Daery
W.S. Rendra
Wa Ode Wulan Ratna
Wahib Muthalib
Wahyudi Akmaliah Muhammad
Wardjito Soeharso
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Sunarta
Weli Meinindartato
Wicaksono
Widodo DS
Wina Karnie
Wisran Hadi
Wong Wing King
Yan Maniani
Yanti Mulatsih
Yanuar Arifin
Yasser Arafat
Yaumu Roikha
Yetti A. KA
Yohanes Padmo Adi Nugroho
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yudhi Ms
Yudhistira ANM Massardi
Yulianna
Yurnaldi
Yusi A. Pareanom
Yusi Avianto Pareanom
Yusri Fajar
Yusrizal KW
Yuyun Ifa Naliah
Zaim Rofiqi
Zainal Arifin Thoha
Zakki Amali
Zakky Zulhazmi
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zelfeni Wimra
Zuarman Ahmad
Zulfikar Akbar
Tidak ada komentar:
Posting Komentar