Marhalim Zaini*
http://www.riaupos.com/
Dari berbagai pengalaman bacaan saya yang serupa itu, maka kini saya sedang berhadapan dengan novel Nubuat karya Gde Agung Lontar. Novel yang mengisahkan tentang perjalanan/petualangan seorang tokoh lelaki muda bernama Awang, dari kampung halamannya (yang oleh pengarang cukup dinamai dengan Parit 0 (?) sampai Parit 40, menuju ke tempat-tempat yang kelak membawa tokoh ini mencapai keinginannya untuk menjadi hulubalang istana. Keinginan ini pun sesungguhnya bukanlah sebuah obsesi yang kuat dari si Awang. Sebab di balik itu tujuan utamanya merantau adalah untuk menghindar dijodohkan dengan perempuan sekampungnya yang tinggal di Parit 19 bernama Zahara, anak Leman Tonjang, sahabat lama ayahnya Awang. Kenapa menghindar? Tak ada gambaran yang kuat untuk dapat menjawabnya dengan lebih “ideologis.” Alasan Awang, karena si Zahara itu, adalah Budak Bingal. Apa itu Budak Bingal? Tak pula dapat kita temukan detil deskripsi yang membuat Zahara dipanggil oleh Awang dengan sebutan demikian, sehingga penolakan/penghindaran Awang menjadi sangat beralasan. Setahu saya, kata “bingal” sendiri adalah khas milik orang Melayu, yang dapat diartikan sebagai “tak mau mendengar nasehat orang” atau “keras kepala” dan sejenisnya. Namun, tak ada deskripsi peristiwa yang dapat jadi referensi pembaca untuk ikut membenarkan si Awang. Lalu, seolah tanpa ada konflik/perdebatan yang lebih luas dan tajam, akhirnya Mak (Ibunya Awang) dengan agak berat hati mengizinkan Awang pergi merantau.
Proses perjalanan Awang menyinggahi satu daerah ke daerah yang lain hingga mendapatkan gelar parjurit laskar hulubalang raja inilah yang nampak menjadi fokus cerita dalam novel Nubuat ini. Mulai dari kota Bandarnibung, lalu ke kota pelabuhan bernama Nemopolis, kemudian kota persinggahan dan dikenal dengan kota para pujangga Wadi Awaliyah, menuju ke kota besar di tengah padang pasir bernama Oasis Nikmah, dan terakhir ke kota indah Metrozamrud tempat di mana Yang Mulia Sultan Maulana bertahta. Lalu, bagaimana dengan kata “nubuat” yang menjadi judul dari novel ini? Bagaimana keterkaitannya dengan kota-kota itu? Siapakah pemilik nubuat tersebut?
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata “nubuat” berarti wahyu yang diturunkan kepada nabi (untuk disampaikan kepada manusia), atau boleh juga berarti ramalan. Saya kira, dalam konteks novel ini, agaknya arti yang kedua lebih tepat. Dan pengarang sendiri, juga sempat menderetkan kata “dinubuatkan” dengan kata “dinujumkan/ditakwilkan/diramalkan” (hal. 238). Nubuat yang tertera dalam novel ini lebih berbentuk semacam syair, yang terdiri dari empat bait yang mewakili empat nubuat. Karena “nubuat” ini dapat dikatakan sebagai intisari dari sejumlah peristiwa dalam novel ini, ada baiknya saya kutipkan secara lengkap. Nubuat pertama: “Pada purnama merah jelaga/Kayu-kayu bersilang membara/Pada sebuah kota peniaga/Dari sebuah ladang kopra.” Nubuat kedua: “Pada purnama pagi cemerlang/Angin dan air saling bersilang/Pada sebuah kota yang terang/Membuang segala belang berbilang.” Nubuat ketiga: “Pada purnama gelap sudah/Batu dan pasir bertikai-sungsang/Pada sebuah kota bermadah/Hilang tiang hilang sagang.” Nubuat keempat: “Pada purnama ketiga belas/Berkatalah sang pujangga di depan tahta/Tentang hati yang sungsang penuh bara/Khianat tiada terkira-kira!/Sayang Laksamana, bersiap merayakan kekalahannya/Pada sebilah pedang bertanjak emas.”
Empat nubuat ini kemudian dinamakan sebagai Nubuat Temberang. Karena yang menulis nubuat ini adalah seseorang yang bernama Temberang. Tokoh ini sempat menyebut nama lengkapnya ketika berkenalan dengan pemimpin serombongan kafilah dengan Temberang bin Tembung. Seorang tokoh yang kemudian bersahabat dengan si Awang, selama hampir sebagian besar masa perjalanan. Awang bertemu dengan Temberang ketika berada di Wadi Awaliyah. Yang dengan banyak serba kebetulan, Awang dan Temberang terus bersama melakukan perjalanan hingga sampai ke kota Metrozamrud. Nah, Nubuat Temberang ini setiap baitnya seolah menjadi semacam ramalan nasib yang akan menimpa negeri yang disinggahi oleh Temberang. Misalnya, negeri Bandarnibung yang terletak di atas rawa-rawa hampir musnah terbakar, kota Nemopolis dilanda Tsunami (meski penulis sendiri tak menyebutnya begittu), kota Wadi Awaliyah terbenam di bawah timbunan batu dan pasir, dan kuil-kuil zagaru di kota Wadi Hidayah banyak bertumbangan. Demikianlah, sosok Temberang kemudian menjadi sosok yang sangat dicari-cari oleh orang-orang yang negerinya telah porak-poranda oleh nubuat. Mereka marah dan menuduh bahwa Temberang adalah pembawa malapetaka.
Selain itu, dalam perjalanan menuju Oasis Nikmah, Temberang dan Awang yang juga bersama serombongan pedagang dari Bandarnibung yang kebetulan bertemu, sempat tertawan oleh sekawanan penyamun. Episode ini juga adalah awal pertemuan dan (langsung jatuh hati) Awang pada seorang perempuan bercadar bernama Hara. Mereka semua dibebaskan setelah serombongan orang dari Metrozamrud yang dipimpin oleh seorang bernama Talon. Tersebab rombongan ini dulu pernah mengalahkan penyamun, dengan melumpuhkan pemimpinnya, maka kini merekalah yang memimpin, dan berupaya membawa para penyamun ke jalan yang benar. Talon, adalah sosok protagonis yang kelak ikut menyelamatkan Sultan dari rongrongan makar yang dilakukan oleh Durona, seorang panglima hulubalang. Keberadaan Temberang dan Awang di kerajaan saat terjadinya proses makar itu, rupanya turut membantu melumpuhkan kelompok Durona. Dan Awang, pada sebuah kesempatan (yang nampaknya banyak serba kebetulan) dapat menikamkan pedang ke tubuh Drona di saat ia sedang lengah. Peristiwa inilah yang membuat Awang dianugerahi sebagai kepala prajurit penggawa istana. Lalu, Awang pun pulang kampung menemui Mak-nya, dan berakhir dengan happy-ending, dapat kawin dengan Hara, yang ternyata adalah Zahara, perempuan yang dulu sempat dijodohkan dengannya.
“Novel Antah-berantah”
Jika cara baca saya terhadap novel ini merujuk kepada apa yang telah saya paparkan di awal tulisan ini tentang keinginan saya untuk mendapatkan “realitas autentik” sekaligus hendak menyelami makna tekstual, dan makna referensial/kontekstual, maka saya akan berhadapan dengan lanskap-lanskap “realitas” yang serba kabur. Upaya saya berkali-kali membuka “pintu-pintu” peristiwa untuk dapat masuk ke dalam makna/nilai yang lebih luas yang terkandung dalam novel ini, dan menjejak ke sebuah akar kebudayaan tertentu, saya selalu tak berhasil. Maka di sini, saya hendak menunjukkan beberapa soal, yang menurut saya, menjadi sebab ketidakberhasilan saya itu.
Pertama, soal ke mana akar sosial-kultural dalam novel Nubuat ini hendak dirujuk, sehingga saya/kita dapat menemukan “realitas autentik” itu? Awalnya, saya hampir percaya bahwa novel ini menempatkan “Melayu” sebagai sebuah rujukan dasar untuk memberi sentuhan “lokal” (bahkan mungkin tawaran estetika) dengan berbagai problematikanya. Awalnya, saya juga hampir percaya dengan salah satu komentar di belakang kulit sampul novel ini yang menyatakan bahwa, “…ingin mengenal lebih dalam budaya Melayu yang menyimpan nilai-nilai “cerdik cendekia”…..” Namun, setelah membaca novel ini, saya justru merasakan Melayu sebagai sebuah entitas kebudayaan, pun peradaban besar, menjadi tak terjangkau nilai-nilainya, menjadi rumpang gagasan-gagasannya, bahkan sangat lemah akurasi empiriknya. Yang menjadi sebab terbesar sehingga hal ini terjadi, saya kira adalah bahwa pengarang tidak menghadirkan deskripsi referensial yang memadai (apalagi detil) tentang sebuah realitas yang dipaparkan. Tidak tampak demikian meyakinkan pembaca, bahwa persoalan yang diusung pengarang adalah persoalan dengan latar belakang dari sebuah kebudayaan yang dikenalkan secara komprehensif. Maka, fakta ini secara tak langsung juga, menampik pernyataan dari salah satu komentar yang lain, yang juga tertera di belakang sampul novel ini, berbunyi, “…jika detil yang diinginkan, novel ini akan memberikannya.”
Hemat saya, simbol ke-Melayu-an dalam novel Nubuat sesungguhnya demikian banyak bertebaran. Namun simbol-simbol itu seolah hadir sebagai “dirinya sendiri” yang tidak berdaya untuk membangun jaringan/relasi secara proporsional dengan peristiwa, sehingga ia lebih terkesan sebagai asesoris yang tak menunjukkan eksistensi nilainya yang penting. Simbol Melayu “Tanjak” misalnya, yang dibawa/dipakai tokoh Awang merantau tidak kemudian menjelaskan identitas.(bersambung)
*) Adalah sastrawan dan pengajar di Akademi Kesenian Melayu Riau. Bersama beberapa teman mengelola Sekolah Menulis Paragraf di bawah Yayasan Paragraf. Tinggal di Pekanbaru.
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Khoirul Anam
A Qorib Hidayatullah
A Rodhi Murtadho
A. Yusrianto Elga
A. Zakky Zulhazmi
A.S. Laksana
Aang Fatihul Islam
Aba Mardjani
Abd. Mun’im
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Gaffar Ruskhan
Abdul Hadi W. M.
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Malik
Abdul Muis
Abdul Wachid BS
Abdullah Khusairi
Abidah El Khalieqy
Abimardha Kurniawan
Abroorza A. Yusra
Abu Salman
Acep Iwan Saidi
Achmad Farid Tuasikal
Adek Alwi
Adi Marsiela
Adian Husaini
Adib Muttaqin Asfar
Adji Subela
Afandi Sido
Afriza Hanifa
Afrizal Malna
Ageng Wuri R. A.
Ags. Arya Dipayana
Aguk Irawan M.N.
Agus B. Harianto
Agus Bing
Agus Noor
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Sri Danardana
Agus Sulton
Agus Sunyoto
Agus Wibowo
Agus Wirawan
Agusri Junaidi
AH J Khuzaini
Ahda Imran
Ahid Hidayat
Ahm Soleh
Ahmad Asyhar
Ahmad Farid Yahya
Ahmad Fuadi
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Musthofa Haroen
Ahmad Rofiq
Ahmad Suhendra
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Aini Aviena Violeta
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Muhaimin Azzet
Akhmad Sekhu
Al Azhar Riau
Al-Fairish
Alex R. Nainggolan
Alexander G.B.
Alfian Zainal
Aliansyah
Alimuddin
Almania Rohmah
Alunk Estohank
Amien Kamil
Amien Wangsitalaja
Anata Siregar
Andi Sutisno
Andy Riza Hidayat
Anies Baswedan
Anindita S Thayf
Anis Ceha
Anis Faridatur Rofiah
Anjrah Lelono Broto
Anna Subekti
Anton Kurnia
Ari Hidayat
Ari Kristianawati
Arie MP Tamba
Arief Junianto
Aris Kurniawan
Arti Bumi Intaran
Arul Arista
AS Sumbawi
Asarpin
Asep Sambodja
Atiqurrahman
Awalludin GD Mualif
Ayu Purwaningsih
Babe Derwan
Bakdi Soemanto
Balada
Bale Aksara
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Bayu Dwi Mardana
Bellanissa Zoditama
Beni Setia
Benny Arnas
Beno Siang Pamungkas
Berita
Berita Duka
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Bokor Hutasuhut
Brunel University London
BSW Adjikoesoemo
Budaya
Budhi Setyawan
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budiawan Dwi Santoso
Bur Rasuanto
Burhanuddin Bella
Bustan Basir Maras
Catatan
Catullus
CB. Ismulyadi
Cerbung
Cerita Rakyat
Cerpen
Chavchay Syaifullah
Cikie Wahab
Cunong Nunuk Suraja
D Zawawi Imron
Dad Murniah
Dadang Ari Murtono
Dahlia Rasyad
Damhuri Muhammad
Damiri Mahmud
Danarto
Daniel Paranamesa
Darju Prasetya
Darman Djamaluddin
Darman Moenir
Dasman Djamaluddin
David Krisna Alka
Dea Anugrah
Dedy Tri Riyadi
Denny JA
Denny Mizhar
Desi Sommalia Gustina
Dewi Anggraeni
Dharma Setyawan
Dian Hartati
Didi Arsandi
Dina Oktaviani
Dipo Handoko
Djenar Maesa Ayu
Djoko Pitono
Doddi Ahmad Fauji
Doddy Hidayatullah
Dodi Chandra
Dodiek Adyttya Dwiwanto
Dody Kristianto
Donny Anggoro
Dony P. Herwanto
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Klik Santosa
Dwi Pranoto
Dwicipta
Edy A Effendi
Edy Firmansyah
Eka Budianta
Eka Fendri Putra
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Ellyzan Katan
Elnisya Mahendra
Emha Ainun Nadjib
Endah Imawati
Eni Suryanti
Eny Rose
Eriyandi Budiman
Eriyanti
Erwin Edhi Prasetya
Erwin Setia
Esai
Evan Ys
Evi Idawati
F Rahardi
Fadly Rahman
Fahrudin Nasrulloh
Faizah Sirajuddin
Faizal Syahreza
Fajar Alayubi
Fakhrunnas M.A. Jabbar
Fanny Chotimah
Fariz al-Nizar
Fariz Alneizar
Faruk HT
Fatah Anshori
Fatah Yasin Noor
Fathurrahman Karyadi
Fatimah Wahyu Sundari
Fauzan Santa
Fazabinal Alim
Festival Sastra Gresik
Fikri MS
Fiksi Mini
Fransisca Dewi Ria Utari
Franz Kafka
Fuad Anshori
Furqon Abdi
Fuska Sani Evani
Gendhotwukir
Gendut Riyanto
Gerson Poyk
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Gola Gong
Grathia Pitaloka
Gregorio Lopez y’ Fuentes
Gugun El-Guyanie
Gunawan Budi Susanto
Gus Noy
H.H. Tokoro
Hadi Napster
Hamberan Syahbana
Hamdy Salad
Hamsad Rangkuti
Han Gagas
Hang Kafrawi
Hani Pudjiarti
Hanna Fransisca
Hardi Hamzah
Hardjono WS
Haris del Hakim
Haris Priyatna
Harris Maulana
Hary B. Kori'un
Hasan Al Banna
Hasan Junus
Hasbullah Said
Hasnan Bachtiar
HE. Benyamine
Heidi Arbuckle
Helmi Y Haska
Helvy Tiana Rosa
Hendra Junaedi
Hendri Nova
Herdoni Syafriansyah
Heri Kurniawan
Heri Latief
Heri Ruslan
Herman RN
Hermawan Aksan
Hermien Y. Kleden
Herry Lamongan
Holy Adib
Humaidiy AS
Husni Anshori
I Nyoman Darma Putra
I Nyoman Tingkat
I Wayan Artika
Ibnu Wahyudi
Ida Farida
Ignas Kleden
Ilham Khoiri
Imam Cahyono
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Tohari
Indra Tranggono
Indrian Koto
Irwan Kelana
Isbedy Stiawan Z.S.
Iskandar Noe
Isma Swastiningrum
Ismi Wahid
Iwan Gardono Sujatmiko
Iwan Gunadi
Iwan Kurniawan
Iwan Nurdaya Djafar
Iwank
J.S. Badudu
Janoary M Wibowo
Javed Paul Syatha
JILFest 2008
JJ. Kusni
Jodhi Yudono
Joko Novianto Bp
Joko Pinurbo
Jones Gultom
Jual Buku Paket Hemat
Jusuf AN
Kadek Suartaya
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kasnadi
Kedung Darma Romansha
Kenedi Nurhan
Khaerudin Kurniawan
Khaerul Anwar
Ki Sugito Ha Es
Kirana Kejora
Komunitas Deo Gratias
Korrie Layun Rampan
Kritik Sastra
Kunthi Hastorini
Kuntowijoyo
Kurie Suditomo
Kurnia Effendi
Kurniawan
Kuswinarto
La Ode Rabbani
Lathifa Akmaliyah
Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember
Leon Agusta
Lily Siti Multatuliana
Lily Yulianti Farid
Lina Kelana
Liza Wahyuninto
Lona Olavia
Lugiena Dé
M Fadjroel Rachman
M Farid W Makkulau
M Syakir
M. Dawam Rahardjo
M. Faizi
M. Mustafied
M. Raudah Jambak
M. Taufan Musonip
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
M.Th. Krishdiana Putri
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Maklumat Sastra Profetik
Malkan Junaidi
Maman S. Mahayana
Mangun Kuncoro
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria D. Andriana
Maria Magdalena Bhoernomo
Mariana Amiruddin
Maryati
Marzuzak SY
Mashuri
Maulana Syamsuri
Media: Crayon on Paper
Mega Vristian
MG. Sungatno
Misbahus Surur
Mofik el-abrar
Moh. Amir Sutaarga
Moh. Ghufron Cholid
Mohammad Hatta
Mohammad Kh. Azad
Mohammad Takdir Ilahi
Much. Khoiri
Muhamad Taslim Dalma
Muhammad Rain
Muhammad Subhan
Muhammad Yasir
Muhammadun A.S
Muhidin M Dahlan
Mujtahid
Mulyawan Karim
Musa Ismail
Musfi Efrizal
Mustafa Ismail
Mustofa W Hasyim
N Teguh Prasetyo
N. Mursidi
Nadhi Kiara Zifen
Nana Riskhi Susanti
Nanang Suryadi
Naskah Teater
Nasrulloh Habibi
Neva Tuhella
Nietzsche
Nirwan Dewanto
Nizar Qabbani
Noor H. Dee
Nova Christina
Novelet
Nunung Nurdiah
Nur Wachid
Nurani Soyomukti
Nurel Javissyarqi
Nurman Hartono
Nuryana Asmaudi
Nyoman Tusthi Eddy
Obrolan
Oky Sanjaya
Oyos Saroso HN
P Ari Subagyo
Pagelaran Musim Tandur
Pamusuk Eneste
Panji Satrio
PDS H.B. Jassin
Penerbit dan Toko Buku PUstaka puJAngga
Pipiet Senja
Pramoedya Ananta Toer
Pringadi AS
Pringgo HR
Prosa
Puisi
Puji Santosa
Purnawan Andra
PUstaka puJAngga
Putu Fajar Arcana
Putu Satria Kusuma
Putu Wijaya
R Masri Sareb Putra
R. Adhi Kusumaputra
R. Timur Budi Raja
R.N. Bayu Aji
Radhar Panca Dahana
Ragdi F. Daye
Rahmi Hattani
Raja Ali Haji
Raju Febrian
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Rama Dira J
Rama Prabu
Ramadhan KH
Ramon Magsaysay
Ramses Ohee
Ratih Kumala
Raudal Tanjung Banua
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Resensi
Ressa Novita
Ressa Sagitariana Putri
Ria Ristiana Dewi
Rialita Fithra Asmara
Ribut Wijoto
Rida K Liamsi
Rifka Sibarani
Rilda A. Oe. Taneko
Rilda A.Oe. Taneko
Rimbun Natamarga
Rinto Andriono
Risang Anom Pujayanto
Rita Zahara
Riyon Fidwar
Robin Al Kautsar
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rohman Budijanto
Rukardi
S Yoga
S. Jai
S. Takdir Alisyahbana
S.W. Teofani
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Sajak
Sajak Sebatang Lisong
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Salman S. Yoga
Salyaputra
Samson Rambah Pasir
Samsudin Adlawi
Sanie B. Kuncoro
Santy Novaria
Sapardi Djoko Damono
Sarabunis Mubarok
Sartika Dian Nuraini
Sasti Gotama
Sastra Nusantara
Satmoko Budi Santoso
Satriani
Saut Poltak Tambunan
Saut Situmorang
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
Selasih
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Shadiqin Sudirman
Shiny.ane el’poesya
Shourisha Arashi
Sidik Nugroho
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sindu Putra
Siska Afriani
Siti Sa’adah
Sitok Srengenge
Siwi Dwi Saputro
Slamet Samsoerizal
Sobih Adnan
Sofyan RH. Zaid
Solihin
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sony Wibisono
Sosiawan Leak
Sri Wintala Achmad
Sri Wulan Rujiati Mulyadi
Stevani Elisabeth
Suci Ayu Latifah
Sucipto Hadi Purnomo
Sudarmoko
Sudirman HN
Suhadi Mukhan
Suharsono
Sukar
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Sunudyantoro
Supriyadi
Suriani
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Sutan Iwan Soekri Munaf
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Syahruddin El-Fikri
Syaripudin Zuhri
Syifa Aulia
Syu’bah Asa
T.A. Sakti
Tammalele
Tan Lioe Ie
Tasyriq Hifzhillah
Taufik Abdullah
Taufik Effendi Aria
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Wr. Hidayat
TE. Priyono
Teguh Winarsho AS
Tenas Effendy
Tengsoe Tjahjono
Thayeb Loh Angen
Theresia Purbandini
Tia Setiadi
Tias Tatanka
Tito Sianipar
Tjahjono EP
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Tjut Zakiyah Anshari
Topik Mulyana
Tosa Poetra
Tri Harun Syafii
TS Pinang
Tu-ngang Iskandar
Udo Z. Karzi
Uly Giznawati
Umar Fauzi Ballah
Umbu Landu Paranggi
Umi Kulsum
Uniawati
Universitas Indonesia
Usman Arrumy
Usman D.Ganggang
Utada Kamaru
UU Hamidy
Viddy AD Daery
W.S. Rendra
Wa Ode Wulan Ratna
Wahib Muthalib
Wahyudi Akmaliah Muhammad
Wardjito Soeharso
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Sunarta
Weli Meinindartato
Wicaksono
Widodo DS
Wina Karnie
Wisran Hadi
Wong Wing King
Yan Maniani
Yanti Mulatsih
Yanuar Arifin
Yasser Arafat
Yaumu Roikha
Yetti A. KA
Yohanes Padmo Adi Nugroho
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yudhi Ms
Yudhistira ANM Massardi
Yulianna
Yurnaldi
Yusi A. Pareanom
Yusi Avianto Pareanom
Yusri Fajar
Yusrizal KW
Yuyun Ifa Naliah
Zaim Rofiqi
Zainal Arifin Thoha
Zakki Amali
Zakky Zulhazmi
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zelfeni Wimra
Zuarman Ahmad
Zulfikar Akbar
Tidak ada komentar:
Posting Komentar