Jumat, 18 Maret 2011

Hikayat Prapanca

Dwicipta
http://suaramerdeka.com/

BILA suatu saat anak cucuku bertanya kenapa aku menuliskan kakawin ini, adakah mereka tahu jika telah kusuling dendam kesumatku menjadi puji-pujian memabukkan dalam kakawin ini?”

Dadanya berdegup kencang menyaksikan hasil karyanya selama ini. Udara pegunungan sore hari terasa semilir. Mestinya bisa mendamaikan kekisruhan dalam dirinya. Sayang, ia diliput bayang-bayang kelam masa lalu. Pertanyaannya lesap begitu saja pada angin semilir yang tak juga mendamaikan hatinya, pada keping demi keping penghinaan seperti yang ia terima pada sidang para pujangga di depan Baginda beberapa tahun lalu, peristiwa pahit yang kini tetap saja bagai tiada berjarak dan terus meluapkan amarah. Di tiap keping penghinaan itu seolah terdedah rabu, memanaskan darah dan mendesirkan hati. Kulit mukanya terasa terus menerus terkelupas bila membayangkannya.

“Demi tujuh turunanku kelak, aku, yang oleh mereka disebut Prapanca, tak akan melupakan ucapan mereka di depan Baginda Raja. Hanya aku seorang yang memamah dendam ini, selamanya,” ikrarnya ketika ia meninggalkan istana.

Sungguh menggelikan bila dipikir-pikir sekarang. Ia putar kedua biji mata tuanya menikmati alam pegunungan. Ia biarkan cantrik-nya, seorang remaja tanggung yang menemani di kaki gunung ini, pergi entah ke mana. Tak biasanya ia membiarkan cantrik polos itu bermain-main tiada guna. Bila telah selesai melakukan berbagai pekerjaan, ia meminta pada remaja tanggung itu membaca kitab-kitab kuno di dalam ruangan belajarnya atau menyalin tulisannya ke kain sutera. Ah, kenapa ia harus memaksakan sesuatu hal yang belum tentu bisa diterima oleh orang seusianya? Dunia anak kecil seperti cantriknya itu adalah ladang dan teman-teman sebaya, bukan pekerjaan serius seperti yang ia lakukan saat ini. Aih, betapa waktu membuatnya makin tak menyadari segala hal, Semakin uzur ia merasa makin takut kehilangan segala hal sementara pada saat bersamaan ia telah banyak kehilangan berbagai hal tersebut. Sungguh menjengkelkan.

Berpuluh tahun ia telah bersusah payah mengikuti setiap anjangsana baginda Hayam Wuruk ke wilayah-wilayah bawahan, bahkan sampai ke mancanegara. Tiada kurang ia menjelaskan pada Sang Putra Langit betapa seluruh negeri telah makmur di bawah dulinya, betapa rakyat tenang dan berwajah sumringah selalu, tiada peperangan atau pencurian. Gemah ripah loh jinawi. Ia haturkan tembang-tembang terbaik yang mampu ia ciptakan, tentang air hujan yang menjadi tirai mutiara, atau matahari yang laksana cahaya gaib raja dan tunduk pada titah paduka. Tapi apa kata mereka semua dalam persidangan para pujangga itu.

“Tampaksara, Tampaksara, kau tak bisa membuat kakawin! Kau tetap lelaki kasar dari desa. Yang meluncur dari mulutmu hanya lagu-lagu pujian rakyat jelata. Tak layak dihaturkan kepada duli paduka,” seru Mpu Dwipayana.

Nada suaranya menggelegar bagai petir, meresap ke liang telinganya seperti amukan Dewa Agni.

“Kau mau mencari muka di depan Baginda? Ah, mengimpi! Kau bukan dari kelas brahmana. Tiada sedikit pun kau mewarisi kesaktian dan mantra dari jalinan kata-kata seperti kami. Kau hanya cantrik gagal Resi Sedapati, brahmana gunung yang hanya tahu bertapa itu,” ujar Wikana.

Ketika ia berani mencuri pandang ke arah sang Baginda, ia mengunci mulut, menatap lurus padanya tanpa menghakimi ataupun membela. Dewa Batara, duka apa yang harus kutanggungkan ini? Di hadapan para pujangga, hanya Resi Jagat Maya yang bisa mendinginkan suasana, dan menatap lembut padanya yang telah menjadi kambing congek.

“Sudahlah. Tampaksara, sekarang pergilah ke pertapaan gurumu, dan mawas diri di sana agar kau bisa memahami laku raja dan dunia, memahami dunia seluruh kaum,” katanya.

Kini getir di mulutnya terasa makin keras oleh warna-warna kelam dan jingga langit.

“Jagad Dewa Batara, Penguasa Alam Raya, bumi Jawa tiada lagi memiliki penghargaan layak pada para kawula yang mengabdi dan memberikan sembah bakti pada Sang Raja. Setelah Sang Airlangga wafat, siapa lagi yang mampu menghidupkan pandangan bahwa semua manusia setara? Prabu Hayam Wuruk kuharapkan mewarisi kebesaran Sang Airlangga. Namun apa mau dikata? Ia dikelilingi oleh para pujangga dan kaum brahmana, golongan yang memiliki keagungan pejal dengan menistakan kaum di bawahnya. Betapa diri ini tersiksa!”

“Kau pantas mendapat sebutan baru, wahai Pertapa Gunung. Prapanca, ya, kaulah Prapanca. Tahukah engkau arti Prapanca? Cakapnya lucu, pipinya sembab, matanya ngeliyap dan gelaknya terbahak-bahak. Kau terlalu kurang ajar, tidak pantas ditiru atau menjadi panutan. Sifatmu adalah bodoh, tak menurut ajaran tutur, dan pantasnya dipukul berulang-ulang,” sebut Mpu Dwipayana.

Sembari berbicara, ia menirukan segala mimik wajahnya seperti badut, membuat seluruh hadirin di istana tertawa-tawa seperti melihat sebuah pementasan para pelawak.

Ibu, kutuk apa yang kau timpakan padaku? Bukankah ketika aku berada dalam kandunganmu, Sang Hyang Jagat telah mewariskan dalam diriku cahaya keagungan yang terpancar ketika kau mengandungku, cahaya yang berpendar-pendar ketika kau hendak tidur. Ibu, apakah kau telah timpakan kutuk padaku sebab telah meninggalkanmu tanpa pulang, tak menyembah kaki sucimu dan menyambangi abu sucimu. Oh, betapa swargaloka di bawah telapak kakimu itu telah menistakan aku.

Ia menyentuh seloka terakhir yang dituliskan. Semuanya ada sembilan puluh empat seloka. Dari tiap seloka, seolah darah mengalir dari tubuhnya, membuka kembali luka-luka yang berusaha ia kubur dalam ketenangan yoga, namun juga luka yang tak pernah bisa terobati. Air menderas dari kedua kelopak matanya, menghilir di wajah perempuan bermata mutiara yang terbayang di pelupuk matanya. Berpuluh-puluh tahun sudah ia melupakan di mana kuburnya. Panggilan pulang lewat mimpi demi mimpi hanya singgah sebentar dalam pertimbangannya. Ia terlalu suka bertualang, menghamba pada kekosongan, takhta yang tak memberi apa-apa padanya selain penghinaan.

Sekali dalam hidupnya, pernah ia menemani Mpu Winada yang tinggal di kaki Gunung Mahameru. Betapa ia baru memahami palapa yang ditakutkan oleh Winada. Lelaki itu tiada silau oleh gemerlap kuasa, tak lekang oleh goda dunia dan selalu bertekun dalam tapa. Sepuluh musim tinggal bersamanya, ia tahu bagaimana lelaki itu membalas dengan cinta kasih perbuatan mereka yang senang menghina, tak mendebat atau meremehkan orang-orang yang puas dalam ketenangan dan menjauhkan diri dari dari kesukaan pada sesuatu benda maupun kewibawaan, tiada mau mencacat.

Kini, apa yang ditulis, mengapa kulit mukanya terasa terbakar? Ia diliput dendam, dan menghina diri sendiri karena dendam pada semua dan segala?

“Jagad Dewa Batara, setelah kutuliskan kakawin ini, apalagikah yang bisa kulakukan untuk membersihkan diri dari segala cacat dunia? Ibu, Mpu Winada, ampunkan ketamakanku dalam memuaskan dendam,” ia terus merintih dalam selimut senja.

Mulutnya makin getir. Ia tiada terdorong sedikit pun atas suatu perasaan cinta bakti kepada Baginda dalam menuliskan kisah perjalanan Sang Raja. Lagipula, untuk apa menghamba pada raja tanpa alasan? Ia membuat puja sastra ini dengan berkorban rasa, dan walaupun bersiap akan kembali ditertawakan, lebih dikarenakan oleh balas dendam. Jauh pada masa kecil, ia telah mendengar dari mulut ibunya tali tak putus yang telah menghanguskan dan meluluh-lantakkan bumi Jawa.

“Tiada lain, Nak, karena tali dendam mengikat kita semua, terutama orang-orang di lingkar kuasa dan kata. Tiada hari bagi mereka tanpa memikirkan bagaimana mengagulkan diri di hadapan orang, sembari mematikan orang lain. Tiada mereka menggunakan pedang atau tombak kecuali atas nama darah keluarga dan kemegahan kuasa. Manusia alangkah menyakitkannya hidup dalam temali dendam semacam itu.”

“Apakah tali itu menakutkan dan menyesatkan kita semua?” ia bertanya dengan bola mata membeliak karena tak mampu menjangkau apa yang dikatakan perempuan bermata mutiara itu.

“Aku bertahan hidup karena dibiayai oleh dendam, Nak. Semenjak ayahmu tiada, kau mesti tahu bagaimana aku dihinakan oleh kerabat dan sanak saudara. Kau tahu muka-muka mereka. Ingatlah, manusia semakin cantik, ia semakin licik. Manusia semakin tampan, ia semakin kejam tiada tandingan. Makin berkuasa, makin lihai ia menindas kita. Dalam satu masa hidupku, aku bersumpah atas nama Hyang Widhi supaya bisa meruntuhkan mereka. Namun seiring waktu, aku tahu perasaan semacam itu hanya merusak batin kita,” katanya.

Alangkah benarnya. Ia ragu untuk apakah semua daya upayanya selama ini. Apakah untuk membungkam mulut Dwipayana, Mpu Agung istana yang telah merendahkan swarga loka di bawah nafsu-nafsu serakahnya?

Ia telah melarikan diri dari lingkar kemunafikan, lari oleh nasib badan terhinakan. Kemewahan istana telah membuatnya canggung dari rakyat jelata. Hatinya gundah selama bertahun-tahun karena ketidaksenangan tinggal di dusun terpencil, berhadapan dengan kata-kata kasar dan kepolosan bagai telanjang. Tiada jarang ia nelangsa, rugi tiada mendengar ujar manis…

“Ujar manis, betapa itu juga membelenggu. Aku telah menjadi buta, tuli, tak mampu memancarkan sinar memancar dalam kesedihan seperti Mpu Winada.”

Ia teringat ajaran sang Mahamuni. Sampai sekarang tidak pernah ia resapkan ajaran sang Mahamuni akan kerendahan diri dan pengabian pada yang kecil dalam hidupnya.

“Berharap kasih sayang yang tak kunjung datang akan membuat kau cepat layu, mati sebelum sempat memiliki keturunan.”

Duh, Gusti, Jagad Dewa Batara, kenapa semua pemahaman ini baru datang setelah aku menyelesaikan kakawin ini? Ingin rasanya membakar semua kemunafikan yang telah ia tulia itu. Ia melirik pada kakawin itu dan melihat pupuh terakhir, pupuh ke sembilan puluh empat.

Kelam senja menebalkan warna jingga terakhir, membuarkan aroma kematian yang sangit di lubang hidungnya. Gegap gempita istana dan sampur di sepanjang perjalanan membahana di telinganya. Wajah-wajah angkara yang semula begitu amat dibenci sekaligus dirindukannya. Tiba-tiba ia tertawa-tawa.

?Winada, Ibu, dan sang Mahamuni, aku ini disebut Prapanca oleh para pembesar istana! Akulah memang Prapanca itu, manusia yang terus munafik, penggubah kakawin demi tujuan memuja diri sendiri! Jika tiada kutambahkan sedikit lagi pada kakawin ini dengan membubuhkan siapa aku, akan terkutuklah aku selama-lamanya. Swargaloka tiada mau menerimaku. Demi Jagad Dewa Bathara, akan kuberanikan diri membubuhkan jati diriku. Akan kuberitahukan kepada anak cucuku kelak siapa sebenarnya aku ini!? katanya pada diri sendiri, setengah berteriak di depan pondoknya.

Ia membawa masuk kakawin yang terkumpul dalam bilah-bilah bambu itu dan mulai menyalakan api, mempersiapkan alat tulisnya. Tangannya bergerak-gerak tanpa berhenti, menambahkan empat pupuh tanpa membutuhkan waktu lama.

Hari telah sempurna malam ketika ia meletakkan alat tulis terakhirnya. Baru disadari tenaganya telah luruh semua dalam karya yang telah ia dedahkan selama mengasingkan diri. Ia tak merindukan lagi gegap gempita istana, seloka-seloka yang diperdengarkan di depan baginda, gegap gempita para kawula di sepanjang anjangsana, atau perubahan musim yang tak boleh ia luputkan demi kebahagiaan pembesar kerajaan.

Angin meniup dingin. Cantriknya, seorang anak lelaki muda belia dengan raut muka cemas, masuk dan berniat membasuh kakinya. Ia merebut tempayan air dan membasuh kakinya sendiri.

“Kau dan aku sama. Kita bukan siapa-siapa. Mulai besok bantulah aku menyalin ini ke dalam daun-daun lontar atau kain sutera simpananku yang dihaiahkan seorang saudagar China. Sedapat-dapatnya tidak ada kesalahan. Ambil makanan dan kita makan bersama,” katanya dengan nada lembut.

Anak lelaki yang beranjak dewasa itu ternganga oleh sikapnya, dan hanya mengikuti perintahnya dengan gerakan tubuh tanpa roh. Malam turun di kaki gunung itu, dingin dan senyap. Keduanya bersiap makan malam, dalam satu piring. Lelaki tua itu kini merasa api panas dalam dadanya menyurut, perlahan-lahan bagai api kecil, berlenggak-lenggok tertiup angin keras.

Yogyakarta, 11 Februari 2006

Tidak ada komentar:

A Khoirul Anam A Qorib Hidayatullah A Rodhi Murtadho A. Yusrianto Elga A. Zakky Zulhazmi A.S. Laksana Aang Fatihul Islam Aba Mardjani Abd. Mun’im Abdul Aziz Rasjid Abdul Gaffar Ruskhan Abdul Hadi W. M. Abdul Kadir Ibrahim Abdul Malik Abdul Muis Abdul Wachid BS Abdullah Khusairi Abidah El Khalieqy Abimardha Kurniawan Abroorza A. Yusra Abu Salman Acep Iwan Saidi Achmad Farid Tuasikal Adek Alwi Adi Marsiela Adian Husaini Adib Muttaqin Asfar Adji Subela Afandi Sido Afriza Hanifa Afrizal Malna Ageng Wuri R. A. Ags. Arya Dipayana Aguk Irawan M.N. Agus B. Harianto Agus Bing Agus Noor Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sri Danardana Agus Sulton Agus Sunyoto Agus Wibowo Agus Wirawan Agusri Junaidi AH J Khuzaini Ahda Imran Ahid Hidayat Ahm Soleh Ahmad Asyhar Ahmad Farid Yahya Ahmad Fuadi Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musthofa Haroen Ahmad Rofiq Ahmad Suhendra Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Aini Aviena Violeta Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sekhu Al Azhar Riau Al-Fairish Alex R. Nainggolan Alexander G.B. Alfian Zainal Aliansyah Alimuddin Almania Rohmah Alunk Estohank Amien Kamil Amien Wangsitalaja Anata Siregar Andi Sutisno Andy Riza Hidayat Anies Baswedan Anindita S Thayf Anis Ceha Anis Faridatur Rofiah Anjrah Lelono Broto Anna Subekti Anton Kurnia Ari Hidayat Ari Kristianawati Arie MP Tamba Arief Junianto Aris Kurniawan Arti Bumi Intaran Arul Arista AS Sumbawi Asarpin Asep Sambodja Atiqurrahman Awalludin GD Mualif Ayu Purwaningsih Babe Derwan Bakdi Soemanto Balada Bale Aksara Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Bayu Dwi Mardana Bellanissa Zoditama Beni Setia Benny Arnas Beno Siang Pamungkas Berita Berita Duka Bernando J. Sujibto Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Bokor Hutasuhut Brunel University London BSW Adjikoesoemo Budaya Budhi Setyawan Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiawan Dwi Santoso Bur Rasuanto Burhanuddin Bella Bustan Basir Maras Catatan Catullus CB. Ismulyadi Cerbung Cerita Rakyat Cerpen Chavchay Syaifullah Cikie Wahab Cunong Nunuk Suraja D Zawawi Imron Dad Murniah Dadang Ari Murtono Dahlia Rasyad Damhuri Muhammad Damiri Mahmud Danarto Daniel Paranamesa Darju Prasetya Darman Djamaluddin Darman Moenir Dasman Djamaluddin David Krisna Alka Dea Anugrah Dedy Tri Riyadi Denny JA Denny Mizhar Desi Sommalia Gustina Dewi Anggraeni Dharma Setyawan Dian Hartati Didi Arsandi Dina Oktaviani Dipo Handoko Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Doddi Ahmad Fauji Doddy Hidayatullah Dodi Chandra Dodiek Adyttya Dwiwanto Dody Kristianto Donny Anggoro Dony P. Herwanto Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Klik Santosa Dwi Pranoto Dwicipta Edy A Effendi Edy Firmansyah Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Eko Darmoko Ellyzan Katan Elnisya Mahendra Emha Ainun Nadjib Endah Imawati Eni Suryanti Eny Rose Eriyandi Budiman Eriyanti Erwin Edhi Prasetya Erwin Setia Esai Evan Ys Evi Idawati F Rahardi Fadly Rahman Fahrudin Nasrulloh Faizah Sirajuddin Faizal Syahreza Fajar Alayubi Fakhrunnas M.A. Jabbar Fanny Chotimah Fariz al-Nizar Fariz Alneizar Faruk HT Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fathurrahman Karyadi Fatimah Wahyu Sundari Fauzan Santa Fazabinal Alim Festival Sastra Gresik Fikri MS Fiksi Mini Fransisca Dewi Ria Utari Franz Kafka Fuad Anshori Furqon Abdi Fuska Sani Evani Gendhotwukir Gendut Riyanto Gerson Poyk Gita Pratama Goenawan Mohamad Gola Gong Grathia Pitaloka Gregorio Lopez y’ Fuentes Gugun El-Guyanie Gunawan Budi Susanto Gus Noy H.H. Tokoro Hadi Napster Hamberan Syahbana Hamdy Salad Hamsad Rangkuti Han Gagas Hang Kafrawi Hani Pudjiarti Hanna Fransisca Hardi Hamzah Hardjono WS Haris del Hakim Haris Priyatna Harris Maulana Hary B. Kori'un Hasan Al Banna Hasan Junus Hasbullah Said Hasnan Bachtiar HE. Benyamine Heidi Arbuckle Helmi Y Haska Helvy Tiana Rosa Hendra Junaedi Hendri Nova Herdoni Syafriansyah Heri Kurniawan Heri Latief Heri Ruslan Herman RN Hermawan Aksan Hermien Y. Kleden Herry Lamongan Holy Adib Humaidiy AS Husni Anshori I Nyoman Darma Putra I Nyoman Tingkat I Wayan Artika Ibnu Wahyudi Ida Farida Ignas Kleden Ilham Khoiri Imam Cahyono Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Tohari Indra Tranggono Indrian Koto Irwan Kelana Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Isma Swastiningrum Ismi Wahid Iwan Gardono Sujatmiko Iwan Gunadi Iwan Kurniawan Iwan Nurdaya Djafar Iwank J.S. Badudu Janoary M Wibowo Javed Paul Syatha JILFest 2008 JJ. Kusni Jodhi Yudono Joko Novianto Bp Joko Pinurbo Jones Gultom Jual Buku Paket Hemat Jusuf AN Kadek Suartaya Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Kedung Darma Romansha Kenedi Nurhan Khaerudin Kurniawan Khaerul Anwar Ki Sugito Ha Es Kirana Kejora Komunitas Deo Gratias Korrie Layun Rampan Kritik Sastra Kunthi Hastorini Kuntowijoyo Kurie Suditomo Kurnia Effendi Kurniawan Kuswinarto La Ode Rabbani Lathifa Akmaliyah Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember Leon Agusta Lily Siti Multatuliana Lily Yulianti Farid Lina Kelana Liza Wahyuninto Lona Olavia Lugiena Dé M Fadjroel Rachman M Farid W Makkulau M Syakir M. Dawam Rahardjo M. Faizi M. Mustafied M. Raudah Jambak M. Taufan Musonip M. Yoesoef M.D. Atmaja M.Th. Krishdiana Putri Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Maklumat Sastra Profetik Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mangun Kuncoro Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria D. Andriana Maria Magdalena Bhoernomo Mariana Amiruddin Maryati Marzuzak SY Mashuri Maulana Syamsuri Media: Crayon on Paper Mega Vristian MG. Sungatno Misbahus Surur Mofik el-abrar Moh. Amir Sutaarga Moh. Ghufron Cholid Mohammad Hatta Mohammad Kh. Azad Mohammad Takdir Ilahi Much. Khoiri Muhamad Taslim Dalma Muhammad Rain Muhammad Subhan Muhammad Yasir Muhammadun A.S Muhidin M Dahlan Mujtahid Mulyawan Karim Musa Ismail Musfi Efrizal Mustafa Ismail Mustofa W Hasyim N Teguh Prasetyo N. Mursidi Nadhi Kiara Zifen Nana Riskhi Susanti Nanang Suryadi Naskah Teater Nasrulloh Habibi Neva Tuhella Nietzsche Nirwan Dewanto Nizar Qabbani Noor H. Dee Nova Christina Novelet Nunung Nurdiah Nur Wachid Nurani Soyomukti Nurel Javissyarqi Nurman Hartono Nuryana Asmaudi Nyoman Tusthi Eddy Obrolan Oky Sanjaya Oyos Saroso HN P Ari Subagyo Pagelaran Musim Tandur Pamusuk Eneste Panji Satrio PDS H.B. Jassin Penerbit dan Toko Buku PUstaka puJAngga Pipiet Senja Pramoedya Ananta Toer Pringadi AS Pringgo HR Prosa Puisi Puji Santosa Purnawan Andra PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Satria Kusuma Putu Wijaya R Masri Sareb Putra R. Adhi Kusumaputra R. Timur Budi Raja R.N. Bayu Aji Radhar Panca Dahana Ragdi F. Daye Rahmi Hattani Raja Ali Haji Raju Febrian Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Dira J Rama Prabu Ramadhan KH Ramon Magsaysay Ramses Ohee Ratih Kumala Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Ressa Novita Ressa Sagitariana Putri Ria Ristiana Dewi Rialita Fithra Asmara Ribut Wijoto Rida K Liamsi Rifka Sibarani Rilda A. Oe. Taneko Rilda A.Oe. Taneko Rimbun Natamarga Rinto Andriono Risang Anom Pujayanto Rita Zahara Riyon Fidwar Robin Al Kautsar Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Rohman Budijanto Rukardi S Yoga S. Jai S. Takdir Alisyahbana S.W. Teofani Sabrank Suparno Sahaya Santayana Sajak Sajak Sebatang Lisong Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Salman S. Yoga Salyaputra Samson Rambah Pasir Samsudin Adlawi Sanie B. Kuncoro Santy Novaria Sapardi Djoko Damono Sarabunis Mubarok Sartika Dian Nuraini Sasti Gotama Sastra Nusantara Satmoko Budi Santoso Satriani Saut Poltak Tambunan Saut Situmorang Sekolah Literasi Gratis (SLG) Selasih Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Shadiqin Sudirman Shiny.ane el’poesya Shourisha Arashi Sidik Nugroho Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sindu Putra Siska Afriani Siti Sa’adah Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Slamet Samsoerizal Sobih Adnan Sofyan RH. Zaid Solihin Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sony Wibisono Sosiawan Leak Sri Wintala Achmad Sri Wulan Rujiati Mulyadi Stevani Elisabeth Suci Ayu Latifah Sucipto Hadi Purnomo Sudarmoko Sudirman HN Suhadi Mukhan Suharsono Sukar Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sunudyantoro Supriyadi Suriani Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syahruddin El-Fikri Syaripudin Zuhri Syifa Aulia Syu’bah Asa T.A. Sakti Tammalele Tan Lioe Ie Tasyriq Hifzhillah Taufik Abdullah Taufik Effendi Aria Taufik Ikram Jamil Taufiq Wr. Hidayat TE. Priyono Teguh Winarsho AS Tenas Effendy Tengsoe Tjahjono Thayeb Loh Angen Theresia Purbandini Tia Setiadi Tias Tatanka Tito Sianipar Tjahjono EP Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tjut Zakiyah Anshari Topik Mulyana Tosa Poetra Tri Harun Syafii TS Pinang Tu-ngang Iskandar Udo Z. Karzi Uly Giznawati Umar Fauzi Ballah Umbu Landu Paranggi Umi Kulsum Uniawati Universitas Indonesia Usman Arrumy Usman D.Ganggang Utada Kamaru UU Hamidy Viddy AD Daery W.S. Rendra Wa Ode Wulan Ratna Wahib Muthalib Wahyudi Akmaliah Muhammad Wardjito Soeharso Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Sunarta Weli Meinindartato Wicaksono Widodo DS Wina Karnie Wisran Hadi Wong Wing King Yan Maniani Yanti Mulatsih Yanuar Arifin Yasser Arafat Yaumu Roikha Yetti A. KA Yohanes Padmo Adi Nugroho Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yudhi Ms Yudhistira ANM Massardi Yulianna Yurnaldi Yusi A. Pareanom Yusi Avianto Pareanom Yusri Fajar Yusrizal KW Yuyun Ifa Naliah Zaim Rofiqi Zainal Arifin Thoha Zakki Amali Zakky Zulhazmi Zawawi Se Zehan Zareez Zelfeni Wimra Zuarman Ahmad Zulfikar Akbar