Asarpin
http://sastra-indonesia.com/
Segalanya ada dalam diri kita. Juga kematian. Tapi bukan mati karena meyakini pandangan yang belum teruji. Karena aku tak percaya bila tiap-tiap perjuangan membutuhkan pengorbanan dan meniscayakan kematian. Untuk apakah kita berkorban ketika tak mesti ada pengorbanan? Untuk apa kematian itu? Mengubah nilai perjuangan? Bahwa pengorbanan nyawa demi membela keadilan dan harkat martabat kemanusian? Bahwa itu sikap luhur dan mulia yang mesti diwariskan pada anak cucu para calon pejuang?
Puan, aku punya pengalaman yang menyedihkan. Dalam sebuah majelis yang sedang mempersiapkan aksi turun ke jalan, terjadi perdebatan sengit mengenai keharusan pengorbanan dalam perjuangan. Bahkan di antara kami ada yang bilang: saya siap menjadi korban pertama dalam demonstrasi nanti. Yang lain bertanya: apakah pengorbanan saya akan didengar dan punya dampak bagi perjuangan, sementara saya bukanlah tokoh publik? Teman satu lagi bilang: kalau kamu tetap paksakan untuk memasang badanmu, itu konyol. Satu lagi langsung mengusulkan agar yang sudah menyandang titel tokoh pejuang yang dicalonkan korban. Si tokoh langsung menimpal: saya khawatir aparat tak berani menyentuh saya karena pasti media akan heboh. Betul, kata yang lain menimpal.
Kisah di atas bisa terjadi dalam lembaga mana saja; lembaga agama atau lembaga yang ngurus soal hak asasi manusia. Alhasil, yang namanya pengorbanan menjadi kenyataan tak terelakkan. Dan ini kian ditegaskan dalam semboyan: setiap perjuangan membutuhkan pengorbanan. Bahkan seorang penulis pernah bilang: setiap perjuangan punya martirnya sendiri.
Saya merinding mendengar kata-kata gagah itu. Hidup harus diakhiri untuk sebuah nilai dan mutu perjuangan, seolah-olah prinsip tersebut sudah teruji kebenarannya. Fakta memang sering memperlihatkan korban dan martir dalam perjuangan, namun bukan berarti bahwa tesis nilai perjuangan dengan pengorbanan itu sudah menjadi ketetapan ilahi yang kebenarannya tak bisa diganggu gugat. Saya bisa menyela dengan tanya: bukankah alasan itu hanya sebuah dalih yang menjadi dalil? Sebuah waham menjadi paham? Suatu kekeliruan yang menjadi tak terhormat adalah kekeliruan yang memiliki satu lagi kharisma yang meninabobokkan. Membius.
Kharisma pembius jauh lebih berbahaya dari seorang pemberontak nilai yang mapan yang karenanya ia mati untuk dirinya sendiri. Lebih berguna bilamana ajaran seseorang datang dari akibat ia sendiri terbakar, tapi tidak sebagaimana pemimpin laron yang mengajak laron-laron lain untuk menutungkan dirinya. Kharismatik pembius memang tak ubahnya laron yang buta oleh cahaya yang berbahaya hingga pikiran waras dan nalurinya rabun oleh kefanatikan.
Seorang Pramoedya Ananta Toer—yang separuh hidupnya menjadi manusia bubu—justru bersikap menghargai hidup ketimbang menampilkan pribadi kharismatik, yang mengingatkan kita bahwa kebenaran belum pernah bergandengan tangan dengan mereka yang fanatik, yang hanya bisa menyalak disaat dunia seharusnya menuntut diam dengan refleksi.
Orang-orang yang menyerahkan segenap jiwa dan raganya demi mengubah realitas sosial-politik yang membelenggu rakyat tak lebih sebagai pemuja pesona dan aura dan karena itu ia menjadi musuh bagi hidup yang mesti dijalani. Mereka adalah para pemuja massa dan pasar dan siang. Pemuja yang menyihir jutaan orang untuk mengorbankan nyawa demi hal serupa tanpa ia sendiri sadari. Tanpa ia sendiri bertanggungjawab. Dan inferensitas ini telah menjadi hambatan terbesar terhadap semangat pencarian kewaspadaan.
Ketololan sejarah perang dunia pertama dan kedua justru terletak pada penampilan terhormat kepada lawan-lawan mereka dalam menganugerahkan kepada mereka ketakjuban terhadap sahid. Sikap lebih menghargai fanatik feodalistik ketimbang kewaspadaan dan kerendahan hati ialah sejenis dengan alienasi diri. Tak menghargai ikhtiar dan anugerah dari Tuhan. Memperkosa martabat sendiri, dan di atas semuanya: patologi yang berbahaya. Sebuah epileptik untuk membikin kagum massa rakyat yang besar, lebih mengedepankan nafsu ketimbang akal sehat, mencibir nalar dan intuisi untuk merayakan gerakan atau demi menjunjung karnaval siang yang kemeriahan. Inilah musuh kebenaran yang paling berbahaya ketimbang sebuah dusta karena sikap tidak ingin melihat sesuatu yang ia melihatnya, ingin tidak mensyukuri dimana seharusnya ia mensyukuri. Dengan kata lain: sebuah kias sahidiah, analogi para idealis kesiangan, silogisme militeristik yang gemar berperang.
Lalu, bagaimana dengan mereka yang sebaliknya? Mereka yang memuja malam, bertafakur dalam diam dan menjunjung puisi liris yang mencekam, gelisah, resah, yang berjalan di keremangan, sunyi senyap, sepi, di saat seharusnya mereka terjun ke dalam siang dan jalan raya, sama saja. Dengan wajah yang terbalik, orang-orang inilah yang meliriskan epidemi para pencari kematian tapi tak mati-mati seperti Nietzsche dan Chairil: dua pemuja malam yang mewariskan kharisma pembius kepada banyak orang.
Aku mencintai siang untuk mencintai malam. Jiwaku terlalu lunak dan halus untuk sekadar mencintai malam. Maka kususuri siang yang terang, jalan-jalan yang gemuruh suara demonstran. Aku terjun ke tengah pasar, ke tempat-tempat pesta dan kubiarkan diriku bergolak diterpa jeritan dan histeria massa. Aku tak pernah tahu nikmatnya malam, o, tanpamu siang yang meradang menghantam jiwaku.
Kujelajahi bentuk dan ruang hingga kedalaman, yang di mata orang-orang pemuja malam dan kebebasan tak pantas dirayakan. Aku menjalani, melintasi satu demi satu kerumunan orang-orang, karena aku tak pernah bisa merasakan kebebasan yang meluap-luap tanpa sakitnya berbenturan dengan batas, jarak dan tali peranti yang mengekang. Kehendakku yang melimpah-ruah kini tak pernah kusadari tanpa keterbatasan dan belenggumu, o ruang, o bentuk, o kedalaman.
Aku gembira karena penaku menari-nari di tengah pasar, di antara sesaknya transaksi. Fantasiku terbang melayang hingga tak lagi kusadari bahwa aku tengah dikerumuni massa yang menuntut keadilan dan pembebasan. Wahai, kalian pemuja malam dan bayang-bayang, apakah kalian tidakj merasakan keterbatasan ruang antara? Kalian hanya bernyanyi sunyi tapi tak pernah seperti nyanyi sunyi seorang bisu yang justru berkumandang nyalang di saat siang, memilih dicabik-cabik suara bising anak-anak muda.
Wahai, kalian yang memilih berjalan di hutan dan lautan, ini aku datang, sang pengelana siang membawakan yang pahit kau dapatkan, lebih gersang dari kau rasakan, lebih lebur dan hancur dari hembusan angin malam. Kalian yang hidup dalam perbatasan, dalam keresahan, kecemasan dan keterkejutan. Kalian para penyair telah lama terperangkap dalam angan-angan yang membuai menghayutkan. Tanpa kalian sendiri sadari, diri kalian hanya boneka mainan yang senantiasa dikendalikan oleh hasrat ingin seperti al-Hallaj, Nietzsche, dan Chairil, oleh para penari jagat, penari tambang, dan binatang jalang. Tataplah wajah-wajah para penari siang ini, masuklah ke dalam rengkuhan terang, kalian akan merasakan nikmat yang kudapatkan. Siang dan malam teori dan aksi inilah ironi si kembar siam. Keduanya sama sebagai kharisma pembius dan epidemi para pencari kematian.
__________
*) ASARPIN, lahir di dekat hilir Teluk Semangka, propinsi Lampung, 08 Januari 1975. Pernah kuliah di jurusan Perbandingan Agama IAIN Raden Intan Bandar Lampung. Setelah kuliah, bergabung dengan Urban Poor Consortium (UPC), 2002-2005. Koordinator Uplink Lampung, 2005-2007. Pada 2009 mengikuti program penulisan Mastera untuk genre Esai di Wisma Arga Mulya, 3-8 Agustus 2009. Tahun 2005 pulang lagi ke Lampung, dengan membuka cabang Urban Poor Linkage (UPLINK). Di UPLINK pernah menjabat koordinator (2005-2007). Menulis esai sudah menjadi bagian perjalanan hidup, yang bukan untuk mengelak dari kebosanan, tapi ingin memuaskan dahaga pengetahuan. Sejak 2005 hampir setiap bulan esai sastra dan keagamaan terbit di Lampung Post. Kini telah beristri Nurmilati dan satu anak Kaila Estetika. Alamat blognya: http://kailaestetika.blogspot.com/
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Khoirul Anam
A Qorib Hidayatullah
A Rodhi Murtadho
A. Yusrianto Elga
A. Zakky Zulhazmi
A.S. Laksana
Aang Fatihul Islam
Aba Mardjani
Abd. Mun’im
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Gaffar Ruskhan
Abdul Hadi W. M.
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Malik
Abdul Muis
Abdul Wachid BS
Abdullah Khusairi
Abidah El Khalieqy
Abimardha Kurniawan
Abroorza A. Yusra
Abu Salman
Acep Iwan Saidi
Achmad Farid Tuasikal
Adek Alwi
Adi Marsiela
Adian Husaini
Adib Muttaqin Asfar
Adji Subela
Afandi Sido
Afriza Hanifa
Afrizal Malna
Ageng Wuri R. A.
Ags. Arya Dipayana
Aguk Irawan M.N.
Agus B. Harianto
Agus Bing
Agus Noor
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Sri Danardana
Agus Sulton
Agus Sunyoto
Agus Wibowo
Agus Wirawan
Agusri Junaidi
AH J Khuzaini
Ahda Imran
Ahid Hidayat
Ahm Soleh
Ahmad Asyhar
Ahmad Farid Yahya
Ahmad Fuadi
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Musthofa Haroen
Ahmad Rofiq
Ahmad Suhendra
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Aini Aviena Violeta
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Muhaimin Azzet
Akhmad Sekhu
Al Azhar Riau
Al-Fairish
Alex R. Nainggolan
Alexander G.B.
Alfian Zainal
Aliansyah
Alimuddin
Almania Rohmah
Alunk Estohank
Amien Kamil
Amien Wangsitalaja
Anata Siregar
Andi Sutisno
Andy Riza Hidayat
Anies Baswedan
Anindita S Thayf
Anis Ceha
Anis Faridatur Rofiah
Anjrah Lelono Broto
Anna Subekti
Anton Kurnia
Ari Hidayat
Ari Kristianawati
Arie MP Tamba
Arief Junianto
Aris Kurniawan
Arti Bumi Intaran
Arul Arista
AS Sumbawi
Asarpin
Asep Sambodja
Atiqurrahman
Awalludin GD Mualif
Ayu Purwaningsih
Babe Derwan
Bakdi Soemanto
Balada
Bale Aksara
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Bayu Dwi Mardana
Bellanissa Zoditama
Beni Setia
Benny Arnas
Beno Siang Pamungkas
Berita
Berita Duka
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Bokor Hutasuhut
Brunel University London
BSW Adjikoesoemo
Budaya
Budhi Setyawan
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budiawan Dwi Santoso
Bur Rasuanto
Burhanuddin Bella
Bustan Basir Maras
Catatan
Catullus
CB. Ismulyadi
Cerbung
Cerita Rakyat
Cerpen
Chavchay Syaifullah
Cikie Wahab
Cunong Nunuk Suraja
D Zawawi Imron
Dad Murniah
Dadang Ari Murtono
Dahlia Rasyad
Damhuri Muhammad
Damiri Mahmud
Danarto
Daniel Paranamesa
Darju Prasetya
Darman Djamaluddin
Darman Moenir
Dasman Djamaluddin
David Krisna Alka
Dea Anugrah
Dedy Tri Riyadi
Denny JA
Denny Mizhar
Desi Sommalia Gustina
Dewi Anggraeni
Dharma Setyawan
Dian Hartati
Didi Arsandi
Dina Oktaviani
Dipo Handoko
Djenar Maesa Ayu
Djoko Pitono
Doddi Ahmad Fauji
Doddy Hidayatullah
Dodi Chandra
Dodiek Adyttya Dwiwanto
Dody Kristianto
Donny Anggoro
Dony P. Herwanto
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Klik Santosa
Dwi Pranoto
Dwicipta
Edy A Effendi
Edy Firmansyah
Eka Budianta
Eka Fendri Putra
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Ellyzan Katan
Elnisya Mahendra
Emha Ainun Nadjib
Endah Imawati
Eni Suryanti
Eny Rose
Eriyandi Budiman
Eriyanti
Erwin Edhi Prasetya
Erwin Setia
Esai
Evan Ys
Evi Idawati
F Rahardi
Fadly Rahman
Fahrudin Nasrulloh
Faizah Sirajuddin
Faizal Syahreza
Fajar Alayubi
Fakhrunnas M.A. Jabbar
Fanny Chotimah
Fariz al-Nizar
Fariz Alneizar
Faruk HT
Fatah Anshori
Fatah Yasin Noor
Fathurrahman Karyadi
Fatimah Wahyu Sundari
Fauzan Santa
Fazabinal Alim
Festival Sastra Gresik
Fikri MS
Fiksi Mini
Fransisca Dewi Ria Utari
Franz Kafka
Fuad Anshori
Furqon Abdi
Fuska Sani Evani
Gendhotwukir
Gendut Riyanto
Gerson Poyk
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Gola Gong
Grathia Pitaloka
Gregorio Lopez y’ Fuentes
Gugun El-Guyanie
Gunawan Budi Susanto
Gus Noy
H.H. Tokoro
Hadi Napster
Hamberan Syahbana
Hamdy Salad
Hamsad Rangkuti
Han Gagas
Hang Kafrawi
Hani Pudjiarti
Hanna Fransisca
Hardi Hamzah
Hardjono WS
Haris del Hakim
Haris Priyatna
Harris Maulana
Hary B. Kori'un
Hasan Al Banna
Hasan Junus
Hasbullah Said
Hasnan Bachtiar
HE. Benyamine
Heidi Arbuckle
Helmi Y Haska
Helvy Tiana Rosa
Hendra Junaedi
Hendri Nova
Herdoni Syafriansyah
Heri Kurniawan
Heri Latief
Heri Ruslan
Herman RN
Hermawan Aksan
Hermien Y. Kleden
Herry Lamongan
Holy Adib
Humaidiy AS
Husni Anshori
I Nyoman Darma Putra
I Nyoman Tingkat
I Wayan Artika
Ibnu Wahyudi
Ida Farida
Ignas Kleden
Ilham Khoiri
Imam Cahyono
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Tohari
Indra Tranggono
Indrian Koto
Irwan Kelana
Isbedy Stiawan Z.S.
Iskandar Noe
Isma Swastiningrum
Ismi Wahid
Iwan Gardono Sujatmiko
Iwan Gunadi
Iwan Kurniawan
Iwan Nurdaya Djafar
Iwank
J.S. Badudu
Janoary M Wibowo
Javed Paul Syatha
JILFest 2008
JJ. Kusni
Jodhi Yudono
Joko Novianto Bp
Joko Pinurbo
Jones Gultom
Jual Buku Paket Hemat
Jusuf AN
Kadek Suartaya
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kasnadi
Kedung Darma Romansha
Kenedi Nurhan
Khaerudin Kurniawan
Khaerul Anwar
Ki Sugito Ha Es
Kirana Kejora
Komunitas Deo Gratias
Korrie Layun Rampan
Kritik Sastra
Kunthi Hastorini
Kuntowijoyo
Kurie Suditomo
Kurnia Effendi
Kurniawan
Kuswinarto
La Ode Rabbani
Lathifa Akmaliyah
Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember
Leon Agusta
Lily Siti Multatuliana
Lily Yulianti Farid
Lina Kelana
Liza Wahyuninto
Lona Olavia
Lugiena Dé
M Fadjroel Rachman
M Farid W Makkulau
M Syakir
M. Dawam Rahardjo
M. Faizi
M. Mustafied
M. Raudah Jambak
M. Taufan Musonip
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
M.Th. Krishdiana Putri
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Maklumat Sastra Profetik
Malkan Junaidi
Maman S. Mahayana
Mangun Kuncoro
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria D. Andriana
Maria Magdalena Bhoernomo
Mariana Amiruddin
Maryati
Marzuzak SY
Mashuri
Maulana Syamsuri
Media: Crayon on Paper
Mega Vristian
MG. Sungatno
Misbahus Surur
Mofik el-abrar
Moh. Amir Sutaarga
Moh. Ghufron Cholid
Mohammad Hatta
Mohammad Kh. Azad
Mohammad Takdir Ilahi
Much. Khoiri
Muhamad Taslim Dalma
Muhammad Rain
Muhammad Subhan
Muhammad Yasir
Muhammadun A.S
Muhidin M Dahlan
Mujtahid
Mulyawan Karim
Musa Ismail
Musfi Efrizal
Mustafa Ismail
Mustofa W Hasyim
N Teguh Prasetyo
N. Mursidi
Nadhi Kiara Zifen
Nana Riskhi Susanti
Nanang Suryadi
Naskah Teater
Nasrulloh Habibi
Neva Tuhella
Nietzsche
Nirwan Dewanto
Nizar Qabbani
Noor H. Dee
Nova Christina
Novelet
Nunung Nurdiah
Nur Wachid
Nurani Soyomukti
Nurel Javissyarqi
Nurman Hartono
Nuryana Asmaudi
Nyoman Tusthi Eddy
Obrolan
Oky Sanjaya
Oyos Saroso HN
P Ari Subagyo
Pagelaran Musim Tandur
Pamusuk Eneste
Panji Satrio
PDS H.B. Jassin
Penerbit dan Toko Buku PUstaka puJAngga
Pipiet Senja
Pramoedya Ananta Toer
Pringadi AS
Pringgo HR
Prosa
Puisi
Puji Santosa
Purnawan Andra
PUstaka puJAngga
Putu Fajar Arcana
Putu Satria Kusuma
Putu Wijaya
R Masri Sareb Putra
R. Adhi Kusumaputra
R. Timur Budi Raja
R.N. Bayu Aji
Radhar Panca Dahana
Ragdi F. Daye
Rahmi Hattani
Raja Ali Haji
Raju Febrian
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Rama Dira J
Rama Prabu
Ramadhan KH
Ramon Magsaysay
Ramses Ohee
Ratih Kumala
Raudal Tanjung Banua
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Resensi
Ressa Novita
Ressa Sagitariana Putri
Ria Ristiana Dewi
Rialita Fithra Asmara
Ribut Wijoto
Rida K Liamsi
Rifka Sibarani
Rilda A. Oe. Taneko
Rilda A.Oe. Taneko
Rimbun Natamarga
Rinto Andriono
Risang Anom Pujayanto
Rita Zahara
Riyon Fidwar
Robin Al Kautsar
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rohman Budijanto
Rukardi
S Yoga
S. Jai
S. Takdir Alisyahbana
S.W. Teofani
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Sajak
Sajak Sebatang Lisong
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Salman S. Yoga
Salyaputra
Samson Rambah Pasir
Samsudin Adlawi
Sanie B. Kuncoro
Santy Novaria
Sapardi Djoko Damono
Sarabunis Mubarok
Sartika Dian Nuraini
Sasti Gotama
Sastra Nusantara
Satmoko Budi Santoso
Satriani
Saut Poltak Tambunan
Saut Situmorang
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
Selasih
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Shadiqin Sudirman
Shiny.ane el’poesya
Shourisha Arashi
Sidik Nugroho
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sindu Putra
Siska Afriani
Siti Sa’adah
Sitok Srengenge
Siwi Dwi Saputro
Slamet Samsoerizal
Sobih Adnan
Sofyan RH. Zaid
Solihin
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sony Wibisono
Sosiawan Leak
Sri Wintala Achmad
Sri Wulan Rujiati Mulyadi
Stevani Elisabeth
Suci Ayu Latifah
Sucipto Hadi Purnomo
Sudarmoko
Sudirman HN
Suhadi Mukhan
Suharsono
Sukar
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Sunudyantoro
Supriyadi
Suriani
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Sutan Iwan Soekri Munaf
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Syahruddin El-Fikri
Syaripudin Zuhri
Syifa Aulia
Syu’bah Asa
T.A. Sakti
Tammalele
Tan Lioe Ie
Tasyriq Hifzhillah
Taufik Abdullah
Taufik Effendi Aria
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Wr. Hidayat
TE. Priyono
Teguh Winarsho AS
Tenas Effendy
Tengsoe Tjahjono
Thayeb Loh Angen
Theresia Purbandini
Tia Setiadi
Tias Tatanka
Tito Sianipar
Tjahjono EP
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Tjut Zakiyah Anshari
Topik Mulyana
Tosa Poetra
Tri Harun Syafii
TS Pinang
Tu-ngang Iskandar
Udo Z. Karzi
Uly Giznawati
Umar Fauzi Ballah
Umbu Landu Paranggi
Umi Kulsum
Uniawati
Universitas Indonesia
Usman Arrumy
Usman D.Ganggang
Utada Kamaru
UU Hamidy
Viddy AD Daery
W.S. Rendra
Wa Ode Wulan Ratna
Wahib Muthalib
Wahyudi Akmaliah Muhammad
Wardjito Soeharso
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Sunarta
Weli Meinindartato
Wicaksono
Widodo DS
Wina Karnie
Wisran Hadi
Wong Wing King
Yan Maniani
Yanti Mulatsih
Yanuar Arifin
Yasser Arafat
Yaumu Roikha
Yetti A. KA
Yohanes Padmo Adi Nugroho
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yudhi Ms
Yudhistira ANM Massardi
Yulianna
Yurnaldi
Yusi A. Pareanom
Yusi Avianto Pareanom
Yusri Fajar
Yusrizal KW
Yuyun Ifa Naliah
Zaim Rofiqi
Zainal Arifin Thoha
Zakki Amali
Zakky Zulhazmi
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zelfeni Wimra
Zuarman Ahmad
Zulfikar Akbar
Tidak ada komentar:
Posting Komentar