Editor: Jodhi Yudono
Ilham Khoiri
http://oase.kompas.com/
D Zawawi Imron, penyair asal Madura, Jawa Timur, itu sudah lama mengembangkan puisi modern yang bertolak dari khazanah budaya tradisional Pulau Garam itu. Tak hanya memperkaya ekspresi seni sastra modern Indonesia, karya-karyanya yang memuliakan kemanusiaan juga diapresiasi dunia internasional.
Dengan menyelami budaya Madura, saya justru menemukan wajah Indonesia. Bagi saya, Madura itu bukan satu nama pulau, tetapi semangat yang membebaskan saya untuk melihat dunia secara lebih luas,” katanya saat ngobrol di Taman Ismail Marzuki (TIM), akhir Januari.
Bagaimana Madura mengantarnya pada kesadaran akan Indonesia? Jawabnya merujuk pada proses kreatifnya yang panjang dalam menggeluti dunia sastra.
Lahir di Batang-Batang Laok, Kecamatan Batang-Batang, Kabupaten Sumenep, Madura, sejak kecil Zawawi menyerap alam dan khazanah budaya pulau itu. Saat remaja, dia dibesarkan bersama lagu dolanan (mainan) anak-anak, lagu para nelayan dan petani, karapan sapi, dan musik tradisional. Itu menanamkan kesan mendalam.
Pengalaman bersastra lebih konkret dicecapnya saat nyantri di Pondok Pesantren Lambi Cabboi di Sumenep. Kebetulan, sembari mengaji kitab-kitab kuning, para santri banyak menulis puisi-puisi berbahasa Madura. Zawawi muda pun mulai akrab dengan sajak-sajak lokal itu.
Selepas dari pesantren, dia banyak membaca puisi-puisi dari para penyair Indonesia tahun 1960-an, seperti WS Rendra atau Ajip Rosidi. Diam-diam dia mulai menulis puisinya sendiri dalam bahasa Indonesia. ”Awalnya ngawur-ngawuran. Bentuknya seenaknya saja,” katanya.
Kian lama, Zawawi kian serius mengasah kemampuannya membuat puisi. Dia terus menulis karena itu memberinya sarana untuk mengekspresikan isi batin. ”Puisi itu kejujuran nurani dan estetik,” katanya.
Tanpa disadari, puisi-puisi itu diwarnai sentuhan budaya lokal yang digumulinya sejak kecil. Lagu dolanan anak, syair nelayan, lagu petani, pantun, musik karapan sapi, atau seni tradisional lain merasuk dalam bait-bait puisinya. Entah itu sebagai imajinasi, irama, pilihan kata, metafora, atau unsur lain.
Simak saja lagu-lagu dolanan (mainan) anak-anak yang tumbuh di Madura ini: Ghai bintang gaggar bulan/ Paghai’na jhanor kuneng/ Kak’ elang sajan jhau/ pajhauna gan lon alon (Menjolok bintang, yang jatuh bulan/ penjoloknya janur kuning/ kakak hilang makin jauh/ jauh (dijumpa) di alun-alun).
”Bagi saya, lagu itu sangat surealistik. Ada imajinasi yang meloncat-loncat dari jauh ke dekat. Itu memengaruhi corak puisi saya sejak tahun 1980-an, seperti puisi ’Bulan Tertusuk Ilalang’,” katanya.
Zawawi bercerita, puisi yang kemudian diangkat menjadi film oleh sutradara Garin Nugroho itu lahir dari proses unik. Pada suatu dini hari, dia berdiri di tengah alam. Menjelang pagi, bulan yang terbenam di horizon tampak seperti tertusuk ilalang. Dia pun segera menangkap momen itu sebagai bahasa puisinya.
Contoh lain, tradisi karapan sapi. Balapan sapi itu biasanya diiringi saronan (tiupan serunai) yang cenderung berulang, ritmis, sekaligus melayang-layang. Irama ini serupa benar dengan zikir yang mentradisi di pesantren. Dua budaya itu juga ikut meresap dalam irama puisinya.
Untuk soal metafor, Zawawi juga banyak membangunnya dari khazanah paparegen (pantun) dan lagu Madura yang sangat luwes, bebas, bahkan misterius. Di pulau itu, ada ungkapan terkenal, yaitu abhental omba’ asapo angen/ alako berra’ apello koneng (berbantal ombak, berselimut angin/ bekerja berat, berkeringat kuning). Ungkapan itu kemudian memberi inspirasi bagi lahirnya puisi ”Bantalku Ombak Selimutku Angin”.
Celurit
Zawawi juga mengambil idiom lokal dengan tafsir baru. Celurit, alat pertanian yang kadang identik sebagai senjata tajam, justru dimanfaatkan untuk membangun idiom yang sama sekali tak terkait dengan citra kekerasan. Dia buat puisi ”Celurit Emas”, yang kemudian melambungkan namanya sebagai ”Si Celurit Emas”.
Puisi itu lahir tahun 1980-an ketika pemerintah mau melancarkan operasi memberangus celurit di Madura karena kerap dikaitkan dengan kekerasan. Zawawi gelisah. ”Kenapa begitu? Kekerasan itu lahir dari celurit atau manusianya?”
Dia lantas memperoleh gagasan untuk membuat celurit yang lain. Celurit yang diasah dengan lembaran-lembaran kitab suci, ilmu pengetahuan, dan teknologi. Celurit yang berpegang pada nilai-nilai perdamaian, kebenaran, dan kebudayaan. Itulah ”Celurit Emas”.
Puisi-puisi Zawawi yang berhasil mengembangkan kekayaan lokal Madura dianggap memperkaya praktik seni sastra modern di Indonesia. Sejumlah penghargaan pun diraihnya, seperti penghargaan Balai Pustaka untuk buku puisi Celurit Emas (1986), Yayasan Buku Utama Departemen P & K untuk buku puisi Nenek Moyangku Airmata (1985), dan Sastra Majlis Sastra Asia Tenggara dari Kerajaan Malaysia untuk puisi Kelenjar Laut.
Apa arti Madura bagi Anda?
Madura itu detak jantung dan irama hidup saya. Saya lahir di Madura. Meminum airnya menjadi darah saya. Makan beras dan jagungnya menjadi daging. Menghirup udaranya menjadi napas. Buminya menjadi sajadah dan kalau nanti mati, saya akan dikubur di sana.
Tapi, saya inginkan Madura yang tidak membelenggu dan membuat saya terjebak dalam primordialisme. Madura yang membebaskan saya. Saya bisa ke mana-mana untuk menjadi Indonesia.
Bagaimana Anda menjadi Indonesia?
Setelah saya cek, sebenarnya asal usul saya itu campuran. Nenek moyang saya konon dari Kudus, Jawa Tengah. Waktu di pesantren, kitab kuning berbahasa Arab itu diterjemahkan dengan bahasa Jawa.
Saya juga punya darah China. Nenek saya yang kelima itu Tionghoa yang dipanggil ”Kaeng”. Teman-teman saya juga memanggil saya ”Engkong”. Itu panggilan khas China.
Saya juga banyak bepergian ke daerah lain di Nusantara. Saya pernah ke Makassar, Sulawesi Selatan, di mana saya menemukan abhental omba’ asapo angen yang lain. Saya juga menikmati lagu atau puisi lama Bugis, bahkan nama-nama di sana terdengar puitis. Ada Sungai Walannai, Gunung Rante Kohpala, atau nama orang seumpama Lantodaeng Basewan. Bugis seperti Tanah Air yang lain bagi saya.
Sekarang, kesadaran saya tidak lagi berpusat pada Madura, melainkan berkembang menjadi Indonesia. Saya lahir di Indonesia. Meminum airnya menjadi darah. Makan beras dan buah- buahannya menjadi daging saya. Menghirup udaranya menjadi napas. Saya berpijak pada buminya menjadi sajadah. Bila dipanggil Tuhan, saya mungkin juga akan dikubur di Indonesia.
Spirit pesantren
Selain identik dengan Madura, Zawawi juga mewakili penyair yang lahir dari pesantren. Dia pernah belajar di pesantren dan kini juga menjadi pengasuh beberapa pesantren di Madura. Lingkungan ini memberi pengaruh besar pada proses kreatifnya.
Bagi seniman ini, salah satu kekuatan pesantren adalah keluwesannya dalam menerima budaya luar. Para wali penyebar Islam yang banyak mendirikan pesantren juga mengadaptasi seni lokal untuk mengembangkan dakwah lewat jalur seni yang damai dan indah.
Beberapa wali menciptakan tembang-tembang Jawa. Nama Sunan Bonang, misalnya, diambil dari alat musik gamelan, ”bonang”. Para santri melantunkan sifat-sifat Tuhan dalam tembang yang disebut nadzam. Karakter ini juga banyak terserap dalam puisi-puisi Zawawi. Salah satunya, puisi Alif yang mengulang- ulang kata alif seperti zikir.
Spirit apa yang Anda ambil dari para wali?
Saya berpegang pada nasihat, konon dari Sunan Kalijaga. Katanya: katentremaning bathin gumantung rasa panarima. Sing bejo bisa rumongso. Ojo rumongso biso. Banda kuwi titipan, deni pangkat mung sampiran… Narimo ing pandum, titipane Ilahi (Ketenteraman jiwa bergantung pada rasa menerima. Orang yang beruntung adalah yang bisa merasa. Jangan merasa bisa. Harta itu titipan, sedangkan pangkat hanya sampiran…. Terima pada pembagian, titipan dari Tuhan).
Dengan menjadi orang yang bisa merasa, kita akan menyadari bahwa kita ini makhluk sosial. Kita tidak bisa lepas dari peran orang lain karena banyak kebutuhan yang dipenuhi orang lain, seperti komputer, celana, atau alat lain. Meski saya tinggal di Madura, saya menyadari untuk berterima kasih pada seluruh bumi Indonesia.
Ini selaras dengan spirit Islam yang bersifat rahmatan lil’alamin. Keislaman saya mesti memberi manfaat bagi manusia lain.
Apakah puisi-puisi Anda juga bisa memberi manfaat bagi orang lain?
Saya hanya bisa berharap semoga puisi saya masih berguna bagi orang lain. Masih ada orang-orang yang mengundang saya untuk membaca puisi atau berceramah. Paling tidak, lewat puisi saya bisa punya banyak teman dan saudara.
***
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Khoirul Anam
A Qorib Hidayatullah
A Rodhi Murtadho
A. Yusrianto Elga
A. Zakky Zulhazmi
A.S. Laksana
Aang Fatihul Islam
Aba Mardjani
Abd. Mun’im
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Gaffar Ruskhan
Abdul Hadi W. M.
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Malik
Abdul Muis
Abdul Wachid BS
Abdullah Khusairi
Abidah El Khalieqy
Abimardha Kurniawan
Abroorza A. Yusra
Abu Salman
Acep Iwan Saidi
Achmad Farid Tuasikal
Adek Alwi
Adi Marsiela
Adian Husaini
Adib Muttaqin Asfar
Adji Subela
Afandi Sido
Afriza Hanifa
Afrizal Malna
Ageng Wuri R. A.
Ags. Arya Dipayana
Aguk Irawan M.N.
Agus B. Harianto
Agus Bing
Agus Noor
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Sri Danardana
Agus Sulton
Agus Sunyoto
Agus Wibowo
Agus Wirawan
Agusri Junaidi
AH J Khuzaini
Ahda Imran
Ahid Hidayat
Ahm Soleh
Ahmad Asyhar
Ahmad Farid Yahya
Ahmad Fuadi
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Musthofa Haroen
Ahmad Rofiq
Ahmad Suhendra
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Aini Aviena Violeta
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Muhaimin Azzet
Akhmad Sekhu
Al Azhar Riau
Al-Fairish
Alex R. Nainggolan
Alexander G.B.
Alfian Zainal
Aliansyah
Alimuddin
Almania Rohmah
Alunk Estohank
Amien Kamil
Amien Wangsitalaja
Anata Siregar
Andi Sutisno
Andy Riza Hidayat
Anies Baswedan
Anindita S Thayf
Anis Ceha
Anis Faridatur Rofiah
Anjrah Lelono Broto
Anna Subekti
Anton Kurnia
Ari Hidayat
Ari Kristianawati
Arie MP Tamba
Arief Junianto
Aris Kurniawan
Arti Bumi Intaran
Arul Arista
AS Sumbawi
Asarpin
Asep Sambodja
Atiqurrahman
Awalludin GD Mualif
Ayu Purwaningsih
Babe Derwan
Bakdi Soemanto
Balada
Bale Aksara
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Bayu Dwi Mardana
Bellanissa Zoditama
Beni Setia
Benny Arnas
Beno Siang Pamungkas
Berita
Berita Duka
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Bokor Hutasuhut
Brunel University London
BSW Adjikoesoemo
Budaya
Budhi Setyawan
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budiawan Dwi Santoso
Bur Rasuanto
Burhanuddin Bella
Bustan Basir Maras
Catatan
Catullus
CB. Ismulyadi
Cerbung
Cerita Rakyat
Cerpen
Chavchay Syaifullah
Cikie Wahab
Cunong Nunuk Suraja
D Zawawi Imron
Dad Murniah
Dadang Ari Murtono
Dahlia Rasyad
Damhuri Muhammad
Damiri Mahmud
Danarto
Daniel Paranamesa
Darju Prasetya
Darman Djamaluddin
Darman Moenir
Dasman Djamaluddin
David Krisna Alka
Dea Anugrah
Dedy Tri Riyadi
Denny JA
Denny Mizhar
Desi Sommalia Gustina
Dewi Anggraeni
Dharma Setyawan
Dian Hartati
Didi Arsandi
Dina Oktaviani
Dipo Handoko
Djenar Maesa Ayu
Djoko Pitono
Doddi Ahmad Fauji
Doddy Hidayatullah
Dodi Chandra
Dodiek Adyttya Dwiwanto
Dody Kristianto
Donny Anggoro
Dony P. Herwanto
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Klik Santosa
Dwi Pranoto
Dwicipta
Edy A Effendi
Edy Firmansyah
Eka Budianta
Eka Fendri Putra
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Ellyzan Katan
Elnisya Mahendra
Emha Ainun Nadjib
Endah Imawati
Eni Suryanti
Eny Rose
Eriyandi Budiman
Eriyanti
Erwin Edhi Prasetya
Erwin Setia
Esai
Evan Ys
Evi Idawati
F Rahardi
Fadly Rahman
Fahrudin Nasrulloh
Faizah Sirajuddin
Faizal Syahreza
Fajar Alayubi
Fakhrunnas M.A. Jabbar
Fanny Chotimah
Fariz al-Nizar
Fariz Alneizar
Faruk HT
Fatah Anshori
Fatah Yasin Noor
Fathurrahman Karyadi
Fatimah Wahyu Sundari
Fauzan Santa
Fazabinal Alim
Festival Sastra Gresik
Fikri MS
Fiksi Mini
Fransisca Dewi Ria Utari
Franz Kafka
Fuad Anshori
Furqon Abdi
Fuska Sani Evani
Gendhotwukir
Gendut Riyanto
Gerson Poyk
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Gola Gong
Grathia Pitaloka
Gregorio Lopez y’ Fuentes
Gugun El-Guyanie
Gunawan Budi Susanto
Gus Noy
H.H. Tokoro
Hadi Napster
Hamberan Syahbana
Hamdy Salad
Hamsad Rangkuti
Han Gagas
Hang Kafrawi
Hani Pudjiarti
Hanna Fransisca
Hardi Hamzah
Hardjono WS
Haris del Hakim
Haris Priyatna
Harris Maulana
Hary B. Kori'un
Hasan Al Banna
Hasan Junus
Hasbullah Said
Hasnan Bachtiar
HE. Benyamine
Heidi Arbuckle
Helmi Y Haska
Helvy Tiana Rosa
Hendra Junaedi
Hendri Nova
Herdoni Syafriansyah
Heri Kurniawan
Heri Latief
Heri Ruslan
Herman RN
Hermawan Aksan
Hermien Y. Kleden
Herry Lamongan
Holy Adib
Humaidiy AS
Husni Anshori
I Nyoman Darma Putra
I Nyoman Tingkat
I Wayan Artika
Ibnu Wahyudi
Ida Farida
Ignas Kleden
Ilham Khoiri
Imam Cahyono
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Tohari
Indra Tranggono
Indrian Koto
Irwan Kelana
Isbedy Stiawan Z.S.
Iskandar Noe
Isma Swastiningrum
Ismi Wahid
Iwan Gardono Sujatmiko
Iwan Gunadi
Iwan Kurniawan
Iwan Nurdaya Djafar
Iwank
J.S. Badudu
Janoary M Wibowo
Javed Paul Syatha
JILFest 2008
JJ. Kusni
Jodhi Yudono
Joko Novianto Bp
Joko Pinurbo
Jones Gultom
Jual Buku Paket Hemat
Jusuf AN
Kadek Suartaya
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kasnadi
Kedung Darma Romansha
Kenedi Nurhan
Khaerudin Kurniawan
Khaerul Anwar
Ki Sugito Ha Es
Kirana Kejora
Komunitas Deo Gratias
Korrie Layun Rampan
Kritik Sastra
Kunthi Hastorini
Kuntowijoyo
Kurie Suditomo
Kurnia Effendi
Kurniawan
Kuswinarto
La Ode Rabbani
Lathifa Akmaliyah
Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember
Leon Agusta
Lily Siti Multatuliana
Lily Yulianti Farid
Lina Kelana
Liza Wahyuninto
Lona Olavia
Lugiena Dé
M Fadjroel Rachman
M Farid W Makkulau
M Syakir
M. Dawam Rahardjo
M. Faizi
M. Mustafied
M. Raudah Jambak
M. Taufan Musonip
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
M.Th. Krishdiana Putri
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Maklumat Sastra Profetik
Malkan Junaidi
Maman S. Mahayana
Mangun Kuncoro
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria D. Andriana
Maria Magdalena Bhoernomo
Mariana Amiruddin
Maryati
Marzuzak SY
Mashuri
Maulana Syamsuri
Media: Crayon on Paper
Mega Vristian
MG. Sungatno
Misbahus Surur
Mofik el-abrar
Moh. Amir Sutaarga
Moh. Ghufron Cholid
Mohammad Hatta
Mohammad Kh. Azad
Mohammad Takdir Ilahi
Much. Khoiri
Muhamad Taslim Dalma
Muhammad Rain
Muhammad Subhan
Muhammad Yasir
Muhammadun A.S
Muhidin M Dahlan
Mujtahid
Mulyawan Karim
Musa Ismail
Musfi Efrizal
Mustafa Ismail
Mustofa W Hasyim
N Teguh Prasetyo
N. Mursidi
Nadhi Kiara Zifen
Nana Riskhi Susanti
Nanang Suryadi
Naskah Teater
Nasrulloh Habibi
Neva Tuhella
Nietzsche
Nirwan Dewanto
Nizar Qabbani
Noor H. Dee
Nova Christina
Novelet
Nunung Nurdiah
Nur Wachid
Nurani Soyomukti
Nurel Javissyarqi
Nurman Hartono
Nuryana Asmaudi
Nyoman Tusthi Eddy
Obrolan
Oky Sanjaya
Oyos Saroso HN
P Ari Subagyo
Pagelaran Musim Tandur
Pamusuk Eneste
Panji Satrio
PDS H.B. Jassin
Penerbit dan Toko Buku PUstaka puJAngga
Pipiet Senja
Pramoedya Ananta Toer
Pringadi AS
Pringgo HR
Prosa
Puisi
Puji Santosa
Purnawan Andra
PUstaka puJAngga
Putu Fajar Arcana
Putu Satria Kusuma
Putu Wijaya
R Masri Sareb Putra
R. Adhi Kusumaputra
R. Timur Budi Raja
R.N. Bayu Aji
Radhar Panca Dahana
Ragdi F. Daye
Rahmi Hattani
Raja Ali Haji
Raju Febrian
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Rama Dira J
Rama Prabu
Ramadhan KH
Ramon Magsaysay
Ramses Ohee
Ratih Kumala
Raudal Tanjung Banua
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Resensi
Ressa Novita
Ressa Sagitariana Putri
Ria Ristiana Dewi
Rialita Fithra Asmara
Ribut Wijoto
Rida K Liamsi
Rifka Sibarani
Rilda A. Oe. Taneko
Rilda A.Oe. Taneko
Rimbun Natamarga
Rinto Andriono
Risang Anom Pujayanto
Rita Zahara
Riyon Fidwar
Robin Al Kautsar
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rohman Budijanto
Rukardi
S Yoga
S. Jai
S. Takdir Alisyahbana
S.W. Teofani
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Sajak
Sajak Sebatang Lisong
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Salman S. Yoga
Salyaputra
Samson Rambah Pasir
Samsudin Adlawi
Sanie B. Kuncoro
Santy Novaria
Sapardi Djoko Damono
Sarabunis Mubarok
Sartika Dian Nuraini
Sasti Gotama
Sastra Nusantara
Satmoko Budi Santoso
Satriani
Saut Poltak Tambunan
Saut Situmorang
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
Selasih
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Shadiqin Sudirman
Shiny.ane el’poesya
Shourisha Arashi
Sidik Nugroho
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sindu Putra
Siska Afriani
Siti Sa’adah
Sitok Srengenge
Siwi Dwi Saputro
Slamet Samsoerizal
Sobih Adnan
Sofyan RH. Zaid
Solihin
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sony Wibisono
Sosiawan Leak
Sri Wintala Achmad
Sri Wulan Rujiati Mulyadi
Stevani Elisabeth
Suci Ayu Latifah
Sucipto Hadi Purnomo
Sudarmoko
Sudirman HN
Suhadi Mukhan
Suharsono
Sukar
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Sunudyantoro
Supriyadi
Suriani
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Sutan Iwan Soekri Munaf
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Syahruddin El-Fikri
Syaripudin Zuhri
Syifa Aulia
Syu’bah Asa
T.A. Sakti
Tammalele
Tan Lioe Ie
Tasyriq Hifzhillah
Taufik Abdullah
Taufik Effendi Aria
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Wr. Hidayat
TE. Priyono
Teguh Winarsho AS
Tenas Effendy
Tengsoe Tjahjono
Thayeb Loh Angen
Theresia Purbandini
Tia Setiadi
Tias Tatanka
Tito Sianipar
Tjahjono EP
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Tjut Zakiyah Anshari
Topik Mulyana
Tosa Poetra
Tri Harun Syafii
TS Pinang
Tu-ngang Iskandar
Udo Z. Karzi
Uly Giznawati
Umar Fauzi Ballah
Umbu Landu Paranggi
Umi Kulsum
Uniawati
Universitas Indonesia
Usman Arrumy
Usman D.Ganggang
Utada Kamaru
UU Hamidy
Viddy AD Daery
W.S. Rendra
Wa Ode Wulan Ratna
Wahib Muthalib
Wahyudi Akmaliah Muhammad
Wardjito Soeharso
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Sunarta
Weli Meinindartato
Wicaksono
Widodo DS
Wina Karnie
Wisran Hadi
Wong Wing King
Yan Maniani
Yanti Mulatsih
Yanuar Arifin
Yasser Arafat
Yaumu Roikha
Yetti A. KA
Yohanes Padmo Adi Nugroho
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yudhi Ms
Yudhistira ANM Massardi
Yulianna
Yurnaldi
Yusi A. Pareanom
Yusi Avianto Pareanom
Yusri Fajar
Yusrizal KW
Yuyun Ifa Naliah
Zaim Rofiqi
Zainal Arifin Thoha
Zakki Amali
Zakky Zulhazmi
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zelfeni Wimra
Zuarman Ahmad
Zulfikar Akbar
Tidak ada komentar:
Posting Komentar