Senin, 07 Maret 2011

D ZAWAWI IMRON, Dari Madura Menemukan Indonesia

Editor: Jodhi Yudono
Ilham Khoiri
http://oase.kompas.com/

D Zawawi Imron, penyair asal Madura, Jawa Timur, itu sudah lama mengembangkan puisi modern yang bertolak dari khazanah budaya tradisional Pulau Garam itu. Tak hanya memperkaya ekspresi seni sastra modern Indonesia, karya-karyanya yang memuliakan kemanusiaan juga diapresiasi dunia internasional.

Dengan menyelami budaya Madura, saya justru menemukan wajah Indonesia. Bagi saya, Madura itu bukan satu nama pulau, tetapi semangat yang membebaskan saya untuk melihat dunia secara lebih luas,” katanya saat ngobrol di Taman Ismail Marzuki (TIM), akhir Januari.

Bagaimana Madura mengantarnya pada kesadaran akan Indonesia? Jawabnya merujuk pada proses kreatifnya yang panjang dalam menggeluti dunia sastra.

Lahir di Batang-Batang Laok, Kecamatan Batang-Batang, Kabupaten Sumenep, Madura, sejak kecil Zawawi menyerap alam dan khazanah budaya pulau itu. Saat remaja, dia dibesarkan bersama lagu dolanan (mainan) anak-anak, lagu para nelayan dan petani, karapan sapi, dan musik tradisional. Itu menanamkan kesan mendalam.

Pengalaman bersastra lebih konkret dicecapnya saat nyantri di Pondok Pesantren Lambi Cabboi di Sumenep. Kebetulan, sembari mengaji kitab-kitab kuning, para santri banyak menulis puisi-puisi berbahasa Madura. Zawawi muda pun mulai akrab dengan sajak-sajak lokal itu.

Selepas dari pesantren, dia banyak membaca puisi-puisi dari para penyair Indonesia tahun 1960-an, seperti WS Rendra atau Ajip Rosidi. Diam-diam dia mulai menulis puisinya sendiri dalam bahasa Indonesia. ”Awalnya ngawur-ngawuran. Bentuknya seenaknya saja,” katanya.

Kian lama, Zawawi kian serius mengasah kemampuannya membuat puisi. Dia terus menulis karena itu memberinya sarana untuk mengekspresikan isi batin. ”Puisi itu kejujuran nurani dan estetik,” katanya.

Tanpa disadari, puisi-puisi itu diwarnai sentuhan budaya lokal yang digumulinya sejak kecil. Lagu dolanan anak, syair nelayan, lagu petani, pantun, musik karapan sapi, atau seni tradisional lain merasuk dalam bait-bait puisinya. Entah itu sebagai imajinasi, irama, pilihan kata, metafora, atau unsur lain.

Simak saja lagu-lagu dolanan (mainan) anak-anak yang tumbuh di Madura ini: Ghai bintang gaggar bulan/ Paghai’na jhanor kuneng/ Kak’ elang sajan jhau/ pajhauna gan lon alon (Menjolok bintang, yang jatuh bulan/ penjoloknya janur kuning/ kakak hilang makin jauh/ jauh (dijumpa) di alun-alun).

”Bagi saya, lagu itu sangat surealistik. Ada imajinasi yang meloncat-loncat dari jauh ke dekat. Itu memengaruhi corak puisi saya sejak tahun 1980-an, seperti puisi ’Bulan Tertusuk Ilalang’,” katanya.

Zawawi bercerita, puisi yang kemudian diangkat menjadi film oleh sutradara Garin Nugroho itu lahir dari proses unik. Pada suatu dini hari, dia berdiri di tengah alam. Menjelang pagi, bulan yang terbenam di horizon tampak seperti tertusuk ilalang. Dia pun segera menangkap momen itu sebagai bahasa puisinya.

Contoh lain, tradisi karapan sapi. Balapan sapi itu biasanya diiringi saronan (tiupan serunai) yang cenderung berulang, ritmis, sekaligus melayang-layang. Irama ini serupa benar dengan zikir yang mentradisi di pesantren. Dua budaya itu juga ikut meresap dalam irama puisinya.

Untuk soal metafor, Zawawi juga banyak membangunnya dari khazanah paparegen (pantun) dan lagu Madura yang sangat luwes, bebas, bahkan misterius. Di pulau itu, ada ungkapan terkenal, yaitu abhental omba’ asapo angen/ alako berra’ apello koneng (berbantal ombak, berselimut angin/ bekerja berat, berkeringat kuning). Ungkapan itu kemudian memberi inspirasi bagi lahirnya puisi ”Bantalku Ombak Selimutku Angin”.

Celurit

Zawawi juga mengambil idiom lokal dengan tafsir baru. Celurit, alat pertanian yang kadang identik sebagai senjata tajam, justru dimanfaatkan untuk membangun idiom yang sama sekali tak terkait dengan citra kekerasan. Dia buat puisi ”Celurit Emas”, yang kemudian melambungkan namanya sebagai ”Si Celurit Emas”.

Puisi itu lahir tahun 1980-an ketika pemerintah mau melancarkan operasi memberangus celurit di Madura karena kerap dikaitkan dengan kekerasan. Zawawi gelisah. ”Kenapa begitu? Kekerasan itu lahir dari celurit atau manusianya?”

Dia lantas memperoleh gagasan untuk membuat celurit yang lain. Celurit yang diasah dengan lembaran-lembaran kitab suci, ilmu pengetahuan, dan teknologi. Celurit yang berpegang pada nilai-nilai perdamaian, kebenaran, dan kebudayaan. Itulah ”Celurit Emas”.

Puisi-puisi Zawawi yang berhasil mengembangkan kekayaan lokal Madura dianggap memperkaya praktik seni sastra modern di Indonesia. Sejumlah penghargaan pun diraihnya, seperti penghargaan Balai Pustaka untuk buku puisi Celurit Emas (1986), Yayasan Buku Utama Departemen P & K untuk buku puisi Nenek Moyangku Airmata (1985), dan Sastra Majlis Sastra Asia Tenggara dari Kerajaan Malaysia untuk puisi Kelenjar Laut.

Apa arti Madura bagi Anda?

Madura itu detak jantung dan irama hidup saya. Saya lahir di Madura. Meminum airnya menjadi darah saya. Makan beras dan jagungnya menjadi daging. Menghirup udaranya menjadi napas. Buminya menjadi sajadah dan kalau nanti mati, saya akan dikubur di sana.

Tapi, saya inginkan Madura yang tidak membelenggu dan membuat saya terjebak dalam primordialisme. Madura yang membebaskan saya. Saya bisa ke mana-mana untuk menjadi Indonesia.

Bagaimana Anda menjadi Indonesia?

Setelah saya cek, sebenarnya asal usul saya itu campuran. Nenek moyang saya konon dari Kudus, Jawa Tengah. Waktu di pesantren, kitab kuning berbahasa Arab itu diterjemahkan dengan bahasa Jawa.

Saya juga punya darah China. Nenek saya yang kelima itu Tionghoa yang dipanggil ”Kaeng”. Teman-teman saya juga memanggil saya ”Engkong”. Itu panggilan khas China.

Saya juga banyak bepergian ke daerah lain di Nusantara. Saya pernah ke Makassar, Sulawesi Selatan, di mana saya menemukan abhental omba’ asapo angen yang lain. Saya juga menikmati lagu atau puisi lama Bugis, bahkan nama-nama di sana terdengar puitis. Ada Sungai Walannai, Gunung Rante Kohpala, atau nama orang seumpama Lantodaeng Basewan. Bugis seperti Tanah Air yang lain bagi saya.

Sekarang, kesadaran saya tidak lagi berpusat pada Madura, melainkan berkembang menjadi Indonesia. Saya lahir di Indonesia. Meminum airnya menjadi darah. Makan beras dan buah- buahannya menjadi daging saya. Menghirup udaranya menjadi napas. Saya berpijak pada buminya menjadi sajadah. Bila dipanggil Tuhan, saya mungkin juga akan dikubur di Indonesia.

Spirit pesantren

Selain identik dengan Madura, Zawawi juga mewakili penyair yang lahir dari pesantren. Dia pernah belajar di pesantren dan kini juga menjadi pengasuh beberapa pesantren di Madura. Lingkungan ini memberi pengaruh besar pada proses kreatifnya.

Bagi seniman ini, salah satu kekuatan pesantren adalah keluwesannya dalam menerima budaya luar. Para wali penyebar Islam yang banyak mendirikan pesantren juga mengadaptasi seni lokal untuk mengembangkan dakwah lewat jalur seni yang damai dan indah.

Beberapa wali menciptakan tembang-tembang Jawa. Nama Sunan Bonang, misalnya, diambil dari alat musik gamelan, ”bonang”. Para santri melantunkan sifat-sifat Tuhan dalam tembang yang disebut nadzam. Karakter ini juga banyak terserap dalam puisi-puisi Zawawi. Salah satunya, puisi Alif yang mengulang- ulang kata alif seperti zikir.

Spirit apa yang Anda ambil dari para wali?

Saya berpegang pada nasihat, konon dari Sunan Kalijaga. Katanya: katentremaning bathin gumantung rasa panarima. Sing bejo bisa rumongso. Ojo rumongso biso. Banda kuwi titipan, deni pangkat mung sampiran… Narimo ing pandum, titipane Ilahi (Ketenteraman jiwa bergantung pada rasa menerima. Orang yang beruntung adalah yang bisa merasa. Jangan merasa bisa. Harta itu titipan, sedangkan pangkat hanya sampiran…. Terima pada pembagian, titipan dari Tuhan).

Dengan menjadi orang yang bisa merasa, kita akan menyadari bahwa kita ini makhluk sosial. Kita tidak bisa lepas dari peran orang lain karena banyak kebutuhan yang dipenuhi orang lain, seperti komputer, celana, atau alat lain. Meski saya tinggal di Madura, saya menyadari untuk berterima kasih pada seluruh bumi Indonesia.

Ini selaras dengan spirit Islam yang bersifat rahmatan lil’alamin. Keislaman saya mesti memberi manfaat bagi manusia lain.

Apakah puisi-puisi Anda juga bisa memberi manfaat bagi orang lain?

Saya hanya bisa berharap semoga puisi saya masih berguna bagi orang lain. Masih ada orang-orang yang mengundang saya untuk membaca puisi atau berceramah. Paling tidak, lewat puisi saya bisa punya banyak teman dan saudara.
***

Tidak ada komentar:

A Khoirul Anam A Qorib Hidayatullah A Rodhi Murtadho A. Yusrianto Elga A. Zakky Zulhazmi A.S. Laksana Aang Fatihul Islam Aba Mardjani Abd. Mun’im Abdul Aziz Rasjid Abdul Gaffar Ruskhan Abdul Hadi W. M. Abdul Kadir Ibrahim Abdul Malik Abdul Muis Abdul Wachid BS Abdullah Khusairi Abidah El Khalieqy Abimardha Kurniawan Abroorza A. Yusra Abu Salman Acep Iwan Saidi Achmad Farid Tuasikal Adek Alwi Adi Marsiela Adian Husaini Adib Muttaqin Asfar Adji Subela Afandi Sido Afriza Hanifa Afrizal Malna Ageng Wuri R. A. Ags. Arya Dipayana Aguk Irawan M.N. Agus B. Harianto Agus Bing Agus Noor Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sri Danardana Agus Sulton Agus Sunyoto Agus Wibowo Agus Wirawan Agusri Junaidi AH J Khuzaini Ahda Imran Ahid Hidayat Ahm Soleh Ahmad Asyhar Ahmad Farid Yahya Ahmad Fuadi Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musthofa Haroen Ahmad Rofiq Ahmad Suhendra Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Aini Aviena Violeta Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sekhu Al Azhar Riau Al-Fairish Alex R. Nainggolan Alexander G.B. Alfian Zainal Aliansyah Alimuddin Almania Rohmah Alunk Estohank Amien Kamil Amien Wangsitalaja Anata Siregar Andi Sutisno Andy Riza Hidayat Anies Baswedan Anindita S Thayf Anis Ceha Anis Faridatur Rofiah Anjrah Lelono Broto Anna Subekti Anton Kurnia Ari Hidayat Ari Kristianawati Arie MP Tamba Arief Junianto Aris Kurniawan Arti Bumi Intaran Arul Arista AS Sumbawi Asarpin Asep Sambodja Atiqurrahman Awalludin GD Mualif Ayu Purwaningsih Babe Derwan Bakdi Soemanto Balada Bale Aksara Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Bayu Dwi Mardana Bellanissa Zoditama Beni Setia Benny Arnas Beno Siang Pamungkas Berita Berita Duka Bernando J. Sujibto Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Bokor Hutasuhut Brunel University London BSW Adjikoesoemo Budaya Budhi Setyawan Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiawan Dwi Santoso Bur Rasuanto Burhanuddin Bella Bustan Basir Maras Catatan Catullus CB. Ismulyadi Cerbung Cerita Rakyat Cerpen Chavchay Syaifullah Cikie Wahab Cunong Nunuk Suraja D Zawawi Imron Dad Murniah Dadang Ari Murtono Dahlia Rasyad Damhuri Muhammad Damiri Mahmud Danarto Daniel Paranamesa Darju Prasetya Darman Djamaluddin Darman Moenir Dasman Djamaluddin David Krisna Alka Dea Anugrah Dedy Tri Riyadi Denny JA Denny Mizhar Desi Sommalia Gustina Dewi Anggraeni Dharma Setyawan Dian Hartati Didi Arsandi Dina Oktaviani Dipo Handoko Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Doddi Ahmad Fauji Doddy Hidayatullah Dodi Chandra Dodiek Adyttya Dwiwanto Dody Kristianto Donny Anggoro Dony P. Herwanto Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Klik Santosa Dwi Pranoto Dwicipta Edy A Effendi Edy Firmansyah Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Eko Darmoko Ellyzan Katan Elnisya Mahendra Emha Ainun Nadjib Endah Imawati Eni Suryanti Eny Rose Eriyandi Budiman Eriyanti Erwin Edhi Prasetya Erwin Setia Esai Evan Ys Evi Idawati F Rahardi Fadly Rahman Fahrudin Nasrulloh Faizah Sirajuddin Faizal Syahreza Fajar Alayubi Fakhrunnas M.A. Jabbar Fanny Chotimah Fariz al-Nizar Fariz Alneizar Faruk HT Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fathurrahman Karyadi Fatimah Wahyu Sundari Fauzan Santa Fazabinal Alim Festival Sastra Gresik Fikri MS Fiksi Mini Fransisca Dewi Ria Utari Franz Kafka Fuad Anshori Furqon Abdi Fuska Sani Evani Gendhotwukir Gendut Riyanto Gerson Poyk Gita Pratama Goenawan Mohamad Gola Gong Grathia Pitaloka Gregorio Lopez y’ Fuentes Gugun El-Guyanie Gunawan Budi Susanto Gus Noy H.H. Tokoro Hadi Napster Hamberan Syahbana Hamdy Salad Hamsad Rangkuti Han Gagas Hang Kafrawi Hani Pudjiarti Hanna Fransisca Hardi Hamzah Hardjono WS Haris del Hakim Haris Priyatna Harris Maulana Hary B. Kori'un Hasan Al Banna Hasan Junus Hasbullah Said Hasnan Bachtiar HE. Benyamine Heidi Arbuckle Helmi Y Haska Helvy Tiana Rosa Hendra Junaedi Hendri Nova Herdoni Syafriansyah Heri Kurniawan Heri Latief Heri Ruslan Herman RN Hermawan Aksan Hermien Y. Kleden Herry Lamongan Holy Adib Humaidiy AS Husni Anshori I Nyoman Darma Putra I Nyoman Tingkat I Wayan Artika Ibnu Wahyudi Ida Farida Ignas Kleden Ilham Khoiri Imam Cahyono Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Tohari Indra Tranggono Indrian Koto Irwan Kelana Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Isma Swastiningrum Ismi Wahid Iwan Gardono Sujatmiko Iwan Gunadi Iwan Kurniawan Iwan Nurdaya Djafar Iwank J.S. Badudu Janoary M Wibowo Javed Paul Syatha JILFest 2008 JJ. Kusni Jodhi Yudono Joko Novianto Bp Joko Pinurbo Jones Gultom Jual Buku Paket Hemat Jusuf AN Kadek Suartaya Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Kedung Darma Romansha Kenedi Nurhan Khaerudin Kurniawan Khaerul Anwar Ki Sugito Ha Es Kirana Kejora Komunitas Deo Gratias Korrie Layun Rampan Kritik Sastra Kunthi Hastorini Kuntowijoyo Kurie Suditomo Kurnia Effendi Kurniawan Kuswinarto La Ode Rabbani Lathifa Akmaliyah Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember Leon Agusta Lily Siti Multatuliana Lily Yulianti Farid Lina Kelana Liza Wahyuninto Lona Olavia Lugiena Dé M Fadjroel Rachman M Farid W Makkulau M Syakir M. Dawam Rahardjo M. Faizi M. Mustafied M. Raudah Jambak M. Taufan Musonip M. Yoesoef M.D. Atmaja M.Th. Krishdiana Putri Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Maklumat Sastra Profetik Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mangun Kuncoro Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria D. Andriana Maria Magdalena Bhoernomo Mariana Amiruddin Maryati Marzuzak SY Mashuri Maulana Syamsuri Media: Crayon on Paper Mega Vristian MG. Sungatno Misbahus Surur Mofik el-abrar Moh. Amir Sutaarga Moh. Ghufron Cholid Mohammad Hatta Mohammad Kh. Azad Mohammad Takdir Ilahi Much. Khoiri Muhamad Taslim Dalma Muhammad Rain Muhammad Subhan Muhammad Yasir Muhammadun A.S Muhidin M Dahlan Mujtahid Mulyawan Karim Musa Ismail Musfi Efrizal Mustafa Ismail Mustofa W Hasyim N Teguh Prasetyo N. Mursidi Nadhi Kiara Zifen Nana Riskhi Susanti Nanang Suryadi Naskah Teater Nasrulloh Habibi Neva Tuhella Nietzsche Nirwan Dewanto Nizar Qabbani Noor H. Dee Nova Christina Novelet Nunung Nurdiah Nur Wachid Nurani Soyomukti Nurel Javissyarqi Nurman Hartono Nuryana Asmaudi Nyoman Tusthi Eddy Obrolan Oky Sanjaya Oyos Saroso HN P Ari Subagyo Pagelaran Musim Tandur Pamusuk Eneste Panji Satrio PDS H.B. Jassin Penerbit dan Toko Buku PUstaka puJAngga Pipiet Senja Pramoedya Ananta Toer Pringadi AS Pringgo HR Prosa Puisi Puji Santosa Purnawan Andra PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Satria Kusuma Putu Wijaya R Masri Sareb Putra R. Adhi Kusumaputra R. Timur Budi Raja R.N. Bayu Aji Radhar Panca Dahana Ragdi F. Daye Rahmi Hattani Raja Ali Haji Raju Febrian Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Dira J Rama Prabu Ramadhan KH Ramon Magsaysay Ramses Ohee Ratih Kumala Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Ressa Novita Ressa Sagitariana Putri Ria Ristiana Dewi Rialita Fithra Asmara Ribut Wijoto Rida K Liamsi Rifka Sibarani Rilda A. Oe. Taneko Rilda A.Oe. Taneko Rimbun Natamarga Rinto Andriono Risang Anom Pujayanto Rita Zahara Riyon Fidwar Robin Al Kautsar Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Rohman Budijanto Rukardi S Yoga S. Jai S. Takdir Alisyahbana S.W. Teofani Sabrank Suparno Sahaya Santayana Sajak Sajak Sebatang Lisong Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Salman S. Yoga Salyaputra Samson Rambah Pasir Samsudin Adlawi Sanie B. Kuncoro Santy Novaria Sapardi Djoko Damono Sarabunis Mubarok Sartika Dian Nuraini Sasti Gotama Sastra Nusantara Satmoko Budi Santoso Satriani Saut Poltak Tambunan Saut Situmorang Sekolah Literasi Gratis (SLG) Selasih Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Shadiqin Sudirman Shiny.ane el’poesya Shourisha Arashi Sidik Nugroho Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sindu Putra Siska Afriani Siti Sa’adah Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Slamet Samsoerizal Sobih Adnan Sofyan RH. Zaid Solihin Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sony Wibisono Sosiawan Leak Sri Wintala Achmad Sri Wulan Rujiati Mulyadi Stevani Elisabeth Suci Ayu Latifah Sucipto Hadi Purnomo Sudarmoko Sudirman HN Suhadi Mukhan Suharsono Sukar Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sunudyantoro Supriyadi Suriani Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syahruddin El-Fikri Syaripudin Zuhri Syifa Aulia Syu’bah Asa T.A. Sakti Tammalele Tan Lioe Ie Tasyriq Hifzhillah Taufik Abdullah Taufik Effendi Aria Taufik Ikram Jamil Taufiq Wr. Hidayat TE. Priyono Teguh Winarsho AS Tenas Effendy Tengsoe Tjahjono Thayeb Loh Angen Theresia Purbandini Tia Setiadi Tias Tatanka Tito Sianipar Tjahjono EP Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tjut Zakiyah Anshari Topik Mulyana Tosa Poetra Tri Harun Syafii TS Pinang Tu-ngang Iskandar Udo Z. Karzi Uly Giznawati Umar Fauzi Ballah Umbu Landu Paranggi Umi Kulsum Uniawati Universitas Indonesia Usman Arrumy Usman D.Ganggang Utada Kamaru UU Hamidy Viddy AD Daery W.S. Rendra Wa Ode Wulan Ratna Wahib Muthalib Wahyudi Akmaliah Muhammad Wardjito Soeharso Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Sunarta Weli Meinindartato Wicaksono Widodo DS Wina Karnie Wisran Hadi Wong Wing King Yan Maniani Yanti Mulatsih Yanuar Arifin Yasser Arafat Yaumu Roikha Yetti A. KA Yohanes Padmo Adi Nugroho Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yudhi Ms Yudhistira ANM Massardi Yulianna Yurnaldi Yusi A. Pareanom Yusi Avianto Pareanom Yusri Fajar Yusrizal KW Yuyun Ifa Naliah Zaim Rofiqi Zainal Arifin Thoha Zakki Amali Zakky Zulhazmi Zawawi Se Zehan Zareez Zelfeni Wimra Zuarman Ahmad Zulfikar Akbar