Jumat, 28 Januari 2011

Menuju Kematian yang Puitis

Misbahus Surur*
http://www.lampungpost.com/

Manusia jamaknya memang selalu merasa alergi saat berhadapan dengan ihwal kematian. Seolah kematian terus-menerus mengeram dalam ceruk kekhawatiran.

KEDATANGAN maut adalah ujung bagi waktu yang membeku, juga seperti lupa yang merenggut ingatan kita. Maut menderu-deru seperti angin, menjerit di pori-pori nyawa. Berburu waktu dengan manusia, meski akhirnya ia menyeringai di depan dengan genggaman temali kepastian. Maut bagai kutukan yang merangsek ke dalam hidup, berselubung misteri dan teka-teki. Dan Tuhan sengaja tak memberi manusia porsi pengetahuan yang memadai untuk mengungkapnya. Manusia hanya terus diiming-iming, bahwa saatnya nanti ia akan bertemu ajal. Meski ingatan perihal itu tak kunjung membikin manusia takluk.

Hidup hanya menunda kekalahan, kata Chairil Anwar dalam sajak Derai-derai Cemara. Kekalahan yang boleh jadi tersirat di pikiran Chairil saat itu sebagai ketakutan manusia akan tibanya ajal/mati. Sebuah kekalahan telak, karena tak ada ruang di mana manusia dapat melawan atau lari menyingkir. Namun, seorang Chairil agaknya masih berusaha memanfaatkan hidupnya meski manusia akan kalah juga. “Hanya ada satu hal yang nyata, kematian,” kata Najib Mahfud. Kendati ia bukan sebuah kenyataan yang memastikan diri dalam ruang dan waktu yang presisi; karena manusia tak pernah tahu kapan, sebab, dan di mananya. Maka, kita adalah kematian dan anak dari kematian, tambah Mahfud, pada salah satu halaman novel Aulad Haratina.

Kalau kita cermati, akhir-akhir ini, kian jarang orang yang berpikir perihal (ke)mati(an). Alih-alih sekadar krentek dalam pikiran, berkelebat dalam benak saja tidak. Seolah kematian menjadi barang yang terlalu mewah untuk dipikir-renungkan. Kondisi seperti itu, membikin pemaknaannya menjadi dangkal, nirpenghayatan dan jarang sekali diingat-ingat. Apalagi saat-saat sekarang, perkembangan teknologi mutakhir kian memberi dampak serius bagi terenggutnya nilai kesadaran, spiritualitas dan penghayatan. Kehidupan yang serbacepat berakibat turunnya penghayatan manusia akan makna kehidupan. Di sisi lain, sains modern dengan meminjam tangan ilmu biologi, kedokteran, dan keilmuan medis lainnya, tak kalah kuasa mereduksi esensi kematian. Bahkan, saat ini, dominasi besar-besaran paradigma saintifik ke dalam tubuh pengetahuan modern, kerap memiuhkan makna kematian. Akibatnya, makna kematian menjadi dangkal, terkapar dalam simplifikasi. Bahkan ia tak lagi menjadi pengalaman yang menggetarkan hati, tetapi sekadar fragmen kehidupan yang biasa.

Pelibatan ilmu pengetahuan dengan mendayagunakan pengalaman langsung; mencicipi detail lekuk kematian, menyelam dalam denyutnya yang abstrak, kian jarang. Lapisan kesadaran manusia modern gersang tergusur habitus mereka yang absurd. Dulu saat humanitas hanya didudukkan sebagai yang pasif, beberapa filsuf, seperti Kierkegaard, Husserl, juga Hiedegger, pernah menyerukan kembalinya eksistensi manusia beserta segenap keunikannya. Kierkegaard, misalnya, memahkotai humanisme dengan segala makna dan perantinya; hidup-mati, bahagia-sengsara, juga soal kebebasan, yang kemudian memuncak pada dimensi diri dan spritualitas kehidupan. Menurut Kierkegaard, ketika apa yang paling dekat dengan manusia itu (baca: kematian) makin tak dikenali, maka eksistensi manusia perlahan-lahan menjadi redup dan suram.
***

Sungguh memang maut amat misterius. Kemisteriusan itu bukan karena diri kematian itu, melainkan karena tak pernah ada manusia yang mampu mengetahui kedatangannya. Ia hampir selalu datang mendadak, tak pernah berikat janji ataupun kontrak yang serbapasti. Mendiang Chairil Anwar misalnya, pernah menyinggung perihal ajal dalam sajak Yang Terampas dan Yang Putus: Di karet, di Karet (daerahku y.a.d) sampai juga deru angin// Aku berbenah dalam kamar// Dalam diriku jika kau datang// Dan aku bisa lagi lepaskan kisah baru padamu// Tapi hanya tangan yang bergerak lantang. Sajak ini adalah sajak kelam nan muram untuk menyambut derap kematian saat dirasa makin dekat. Kematian yang ditakzimi Chairil dengan ikhtiar melawan. Meski bekal dan persiapan bisa jadi belum matang. Atau taruhlah gegap kematian yang ditebar Pramudya Ananta Toer dalam novel Bukan Pasar Malam : “…Detik demi detik lenyap ditelan malam. Dan dengan tiada terasa umur manusia pun lenyap sedetik demi sedetik ditelan malam dan siang ….Di mana pun juga dia menampakkan dirinya. Di mana pun juga dia menyerbu ke dalam kepala dan dada manusia…” Kemudian diteruskan lewat aforisme lain yang padat nan serasa lebih menyentak, “… dan di dunia ini, manusia bukan berduyun-duyun lahir di dunia dan berduyun-duyun pula kembali pulang. Seorang-seorang mereka datang. Seorang-seorang mereka pergi. Dan yang belum pergi dengan cemas-cemas menunggu saat nyawanya terbang entah ke mana.” Sebuah parafrase, yang seakan terpacak rapi dalam pikiran Pram untuk senantiasa memprotes peran manusia yang kadang dikerdilkan dirinya sendiri; sekadar menjalani hidup dan kemudian menerima begitu saja takdir kematiannya.

Chairil, Pram, juga Mahfud adalah orang-orang yang sanggup menyambut kematian. Tapi mereka bukan manusia yang tak gentar terhadap maut. Mereka hanya punya langkah tepat untuk menghadapi kematian, bahkan ikhtiar melawannya. Tentu saja saat kehidupan menjadi nirmakna dan tak seyogianya, jalan satu-satunya bukankah hanya dengan bekal melawan. Pada titik ini, agaknya mereka menginsafi kematian sebanding dengan menghargai kehidupan; kehidupan yang didedikasikan secara penuh seluruh pada kemanusiaan. Tersebab itu, mereka melawan berbekal keberanian, meski akhinya akan (di)tiada(kan). Mereka sadar, bahwa ketiadaan itulah kebenaran sesungguhnya. Dan kesiapan untuk ditiadakan adalah langkah satu-satunya menyambut keberanian hidup yang tanpa konformitas.

Sebab itu, pada batas tertentu mereka bukanlah barisan manusia kalah. Barangkali keyakinan mereka sebagaimana pemerian Paul Tillich: “Keberanian adalah peng-iya-an dan afirmasi diri ketika kita tidak ber-ada.” Maka, ketiadaan/ kematian akhirnya mereka sambut bukan sebagai afirmasi atas kegentaran terhadap mati, melainkan hanya sebagai satu-satunya langkah sublim menyambut ketiadaan. Mereka seperti orang-orang bebas lainnya, betapa mereka memandang hidup itu bukan hal-hal biasa dan sewajarnya. Kehidupan kadang menjelma bak sebujur jasad sakit yang diluberi limpahan anakronisme; dusta, rekayasa, juga euforia di sekujurnya, di mana kebebasan harus selalu diperjuangkan. Untuk itu, hidup bagi mereka bukan irama harian yang melenggang tenang, melainkan jalan berliku penuh kerikil dan kegelisahan. Siapa berani menantang hidup, harus berani menenteng kematiannya. “Berani hidup tak takut mati, takut hidup mati saja”. Begitulah mungkin aforisma orang bijak yang pantas untuk mereka. Frase ini terasa subtil untuk menyambut tibanya ajal, terlebih saat kematian berbalik menggentarkan. Sekali berarti, sudah itu mati, tegas Chairil.

Kematian memang akhir dari pergulatan hidup. Ending dari drama kehidupan manusia. Tapi bagi Chairil, Pram, juga Mahfud kehidupan yang tunai oleh buah kemanusiaan yang telah disepuh dengan berbagai lembar kisah tragis kehidupan itu, dengan beberapa episode yang berlalu silih berganti, bukanlah akhir yang berkesudahan. Ia tak harus ditangisi dan dirutuki sedih. Biarlah ia lari ke uzurnya, karena memang tak ada guna untuk digerutui. Seperti kata Chairil: kalau sampai waktuku, ku mau tak seorang kan merayu. Karena, sebagai “binatang jalang”, ia ingin tetap meradang menerjang, tanpa rayuan apalagi sedu sedan.
***

Ingat akan mati mungkin memang satu-satunya jalan adiluhung saat perjalanan manusia di dunia ini didapati hanya melacurkan diri dalam dusta-dusta peradaban, kebudayaan, kesejarahan, dan seterusnya yang ujung-ujungnya mendustai dirinya sendiri sebagai makhluk Tuhan yang hakikatnya dibekali beban sekaligus amanah besar (khalifatullah fi al-ardh) menjaga kosmik tetap lestari dan seimbang. Pada tahap ini, ada beberapa momen berharga yang patut dibentangkan dalam gelaran peristiwa kelahiran sekaligus perkabungan manusia -mengutip kata hukama’ (ahli hikmah): “jadikanlah kelahiranmu dipenuhi derai senyum kegembiraan yang mengembang. Dan kelak, saat tiba ajal kematianmu, jadikanlah manusia yang menghadirinya semata berkeinginan merayakan bersama ratap tangis, sembari tak putus-putus mengingat jasa-jasa yang kau toreh pada sejarah hidupmu”. Bisa jadi, inilah kredo puitis bagi yang hidup hendak bersiap mati. Wallahu ‘alam

*) Peminat sastra, mahasiswa S-2 UIN Maliki, Malang.

Tidak ada komentar:

A Khoirul Anam A Qorib Hidayatullah A Rodhi Murtadho A. Yusrianto Elga A. Zakky Zulhazmi A.S. Laksana Aang Fatihul Islam Aba Mardjani Abd. Mun’im Abdul Aziz Rasjid Abdul Gaffar Ruskhan Abdul Hadi W. M. Abdul Kadir Ibrahim Abdul Malik Abdul Muis Abdul Wachid BS Abdullah Khusairi Abidah El Khalieqy Abimardha Kurniawan Abroorza A. Yusra Abu Salman Acep Iwan Saidi Achmad Farid Tuasikal Adek Alwi Adi Marsiela Adian Husaini Adib Muttaqin Asfar Adji Subela Afandi Sido Afriza Hanifa Afrizal Malna Ageng Wuri R. A. Ags. Arya Dipayana Aguk Irawan M.N. Agus B. Harianto Agus Bing Agus Noor Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sri Danardana Agus Sulton Agus Sunyoto Agus Wibowo Agus Wirawan Agusri Junaidi AH J Khuzaini Ahda Imran Ahid Hidayat Ahm Soleh Ahmad Asyhar Ahmad Farid Yahya Ahmad Fuadi Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musthofa Haroen Ahmad Rofiq Ahmad Suhendra Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Aini Aviena Violeta Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sekhu Al Azhar Riau Al-Fairish Alex R. Nainggolan Alexander G.B. Alfian Zainal Aliansyah Alimuddin Almania Rohmah Alunk Estohank Amien Kamil Amien Wangsitalaja Anata Siregar Andi Sutisno Andy Riza Hidayat Anies Baswedan Anindita S Thayf Anis Ceha Anis Faridatur Rofiah Anjrah Lelono Broto Anna Subekti Anton Kurnia Ari Hidayat Ari Kristianawati Arie MP Tamba Arief Junianto Aris Kurniawan Arti Bumi Intaran Arul Arista AS Sumbawi Asarpin Asep Sambodja Atiqurrahman Awalludin GD Mualif Ayu Purwaningsih Babe Derwan Bakdi Soemanto Balada Bale Aksara Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Bayu Dwi Mardana Bellanissa Zoditama Beni Setia Benny Arnas Beno Siang Pamungkas Berita Berita Duka Bernando J. Sujibto Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Bokor Hutasuhut Brunel University London BSW Adjikoesoemo Budaya Budhi Setyawan Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiawan Dwi Santoso Bur Rasuanto Burhanuddin Bella Bustan Basir Maras Catatan Catullus CB. Ismulyadi Cerbung Cerita Rakyat Cerpen Chavchay Syaifullah Cikie Wahab Cunong Nunuk Suraja D Zawawi Imron Dad Murniah Dadang Ari Murtono Dahlia Rasyad Damhuri Muhammad Damiri Mahmud Danarto Daniel Paranamesa Darju Prasetya Darman Djamaluddin Darman Moenir Dasman Djamaluddin David Krisna Alka Dea Anugrah Dedy Tri Riyadi Denny JA Denny Mizhar Desi Sommalia Gustina Dewi Anggraeni Dharma Setyawan Dian Hartati Didi Arsandi Dina Oktaviani Dipo Handoko Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Doddi Ahmad Fauji Doddy Hidayatullah Dodi Chandra Dodiek Adyttya Dwiwanto Dody Kristianto Donny Anggoro Dony P. Herwanto Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Klik Santosa Dwi Pranoto Dwicipta Edy A Effendi Edy Firmansyah Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Eko Darmoko Ellyzan Katan Elnisya Mahendra Emha Ainun Nadjib Endah Imawati Eni Suryanti Eny Rose Eriyandi Budiman Eriyanti Erwin Edhi Prasetya Erwin Setia Esai Evan Ys Evi Idawati F Rahardi Fadly Rahman Fahrudin Nasrulloh Faizah Sirajuddin Faizal Syahreza Fajar Alayubi Fakhrunnas M.A. Jabbar Fanny Chotimah Fariz al-Nizar Fariz Alneizar Faruk HT Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fathurrahman Karyadi Fatimah Wahyu Sundari Fauzan Santa Fazabinal Alim Festival Sastra Gresik Fikri MS Fiksi Mini Fransisca Dewi Ria Utari Franz Kafka Fuad Anshori Furqon Abdi Fuska Sani Evani Gendhotwukir Gendut Riyanto Gerson Poyk Gita Pratama Goenawan Mohamad Gola Gong Grathia Pitaloka Gregorio Lopez y’ Fuentes Gugun El-Guyanie Gunawan Budi Susanto Gus Noy H.H. Tokoro Hadi Napster Hamberan Syahbana Hamdy Salad Hamsad Rangkuti Han Gagas Hang Kafrawi Hani Pudjiarti Hanna Fransisca Hardi Hamzah Hardjono WS Haris del Hakim Haris Priyatna Harris Maulana Hary B. Kori'un Hasan Al Banna Hasan Junus Hasbullah Said Hasnan Bachtiar HE. Benyamine Heidi Arbuckle Helmi Y Haska Helvy Tiana Rosa Hendra Junaedi Hendri Nova Herdoni Syafriansyah Heri Kurniawan Heri Latief Heri Ruslan Herman RN Hermawan Aksan Hermien Y. Kleden Herry Lamongan Holy Adib Humaidiy AS Husni Anshori I Nyoman Darma Putra I Nyoman Tingkat I Wayan Artika Ibnu Wahyudi Ida Farida Ignas Kleden Ilham Khoiri Imam Cahyono Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Tohari Indra Tranggono Indrian Koto Irwan Kelana Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Isma Swastiningrum Ismi Wahid Iwan Gardono Sujatmiko Iwan Gunadi Iwan Kurniawan Iwan Nurdaya Djafar Iwank J.S. Badudu Janoary M Wibowo Javed Paul Syatha JILFest 2008 JJ. Kusni Jodhi Yudono Joko Novianto Bp Joko Pinurbo Jones Gultom Jual Buku Paket Hemat Jusuf AN Kadek Suartaya Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Kedung Darma Romansha Kenedi Nurhan Khaerudin Kurniawan Khaerul Anwar Ki Sugito Ha Es Kirana Kejora Komunitas Deo Gratias Korrie Layun Rampan Kritik Sastra Kunthi Hastorini Kuntowijoyo Kurie Suditomo Kurnia Effendi Kurniawan Kuswinarto La Ode Rabbani Lathifa Akmaliyah Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember Leon Agusta Lily Siti Multatuliana Lily Yulianti Farid Lina Kelana Liza Wahyuninto Lona Olavia Lugiena Dé M Fadjroel Rachman M Farid W Makkulau M Syakir M. Dawam Rahardjo M. Faizi M. Mustafied M. Raudah Jambak M. Taufan Musonip M. Yoesoef M.D. Atmaja M.Th. Krishdiana Putri Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Maklumat Sastra Profetik Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mangun Kuncoro Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria D. Andriana Maria Magdalena Bhoernomo Mariana Amiruddin Maryati Marzuzak SY Mashuri Maulana Syamsuri Media: Crayon on Paper Mega Vristian MG. Sungatno Misbahus Surur Mofik el-abrar Moh. Amir Sutaarga Moh. Ghufron Cholid Mohammad Hatta Mohammad Kh. Azad Mohammad Takdir Ilahi Much. Khoiri Muhamad Taslim Dalma Muhammad Rain Muhammad Subhan Muhammad Yasir Muhammadun A.S Muhidin M Dahlan Mujtahid Mulyawan Karim Musa Ismail Musfi Efrizal Mustafa Ismail Mustofa W Hasyim N Teguh Prasetyo N. Mursidi Nadhi Kiara Zifen Nana Riskhi Susanti Nanang Suryadi Naskah Teater Nasrulloh Habibi Neva Tuhella Nietzsche Nirwan Dewanto Nizar Qabbani Noor H. Dee Nova Christina Novelet Nunung Nurdiah Nur Wachid Nurani Soyomukti Nurel Javissyarqi Nurman Hartono Nuryana Asmaudi Nyoman Tusthi Eddy Obrolan Oky Sanjaya Oyos Saroso HN P Ari Subagyo Pagelaran Musim Tandur Pamusuk Eneste Panji Satrio PDS H.B. Jassin Penerbit dan Toko Buku PUstaka puJAngga Pipiet Senja Pramoedya Ananta Toer Pringadi AS Pringgo HR Prosa Puisi Puji Santosa Purnawan Andra PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Satria Kusuma Putu Wijaya R Masri Sareb Putra R. Adhi Kusumaputra R. Timur Budi Raja R.N. Bayu Aji Radhar Panca Dahana Ragdi F. Daye Rahmi Hattani Raja Ali Haji Raju Febrian Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Dira J Rama Prabu Ramadhan KH Ramon Magsaysay Ramses Ohee Ratih Kumala Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Ressa Novita Ressa Sagitariana Putri Ria Ristiana Dewi Rialita Fithra Asmara Ribut Wijoto Rida K Liamsi Rifka Sibarani Rilda A. Oe. Taneko Rilda A.Oe. Taneko Rimbun Natamarga Rinto Andriono Risang Anom Pujayanto Rita Zahara Riyon Fidwar Robin Al Kautsar Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Rohman Budijanto Rukardi S Yoga S. Jai S. Takdir Alisyahbana S.W. Teofani Sabrank Suparno Sahaya Santayana Sajak Sajak Sebatang Lisong Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Salman S. Yoga Salyaputra Samson Rambah Pasir Samsudin Adlawi Sanie B. Kuncoro Santy Novaria Sapardi Djoko Damono Sarabunis Mubarok Sartika Dian Nuraini Sasti Gotama Sastra Nusantara Satmoko Budi Santoso Satriani Saut Poltak Tambunan Saut Situmorang Sekolah Literasi Gratis (SLG) Selasih Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Shadiqin Sudirman Shiny.ane el’poesya Shourisha Arashi Sidik Nugroho Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sindu Putra Siska Afriani Siti Sa’adah Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Slamet Samsoerizal Sobih Adnan Sofyan RH. Zaid Solihin Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sony Wibisono Sosiawan Leak Sri Wintala Achmad Sri Wulan Rujiati Mulyadi Stevani Elisabeth Suci Ayu Latifah Sucipto Hadi Purnomo Sudarmoko Sudirman HN Suhadi Mukhan Suharsono Sukar Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sunudyantoro Supriyadi Suriani Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syahruddin El-Fikri Syaripudin Zuhri Syifa Aulia Syu’bah Asa T.A. Sakti Tammalele Tan Lioe Ie Tasyriq Hifzhillah Taufik Abdullah Taufik Effendi Aria Taufik Ikram Jamil Taufiq Wr. Hidayat TE. Priyono Teguh Winarsho AS Tenas Effendy Tengsoe Tjahjono Thayeb Loh Angen Theresia Purbandini Tia Setiadi Tias Tatanka Tito Sianipar Tjahjono EP Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tjut Zakiyah Anshari Topik Mulyana Tosa Poetra Tri Harun Syafii TS Pinang Tu-ngang Iskandar Udo Z. Karzi Uly Giznawati Umar Fauzi Ballah Umbu Landu Paranggi Umi Kulsum Uniawati Universitas Indonesia Usman Arrumy Usman D.Ganggang Utada Kamaru UU Hamidy Viddy AD Daery W.S. Rendra Wa Ode Wulan Ratna Wahib Muthalib Wahyudi Akmaliah Muhammad Wardjito Soeharso Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Sunarta Weli Meinindartato Wicaksono Widodo DS Wina Karnie Wisran Hadi Wong Wing King Yan Maniani Yanti Mulatsih Yanuar Arifin Yasser Arafat Yaumu Roikha Yetti A. KA Yohanes Padmo Adi Nugroho Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yudhi Ms Yudhistira ANM Massardi Yulianna Yurnaldi Yusi A. Pareanom Yusi Avianto Pareanom Yusri Fajar Yusrizal KW Yuyun Ifa Naliah Zaim Rofiqi Zainal Arifin Thoha Zakki Amali Zakky Zulhazmi Zawawi Se Zehan Zareez Zelfeni Wimra Zuarman Ahmad Zulfikar Akbar