Rabu, 01 Desember 2010

Tarian Hujan

Uniawati
http://kendaripos.co.id/

Hujan pagi ini telah membuat tubuhku beku oleh rasa dingin yang menusuk semua persendian tulangku. Hariku terasa lebih cepat berkurang dengan datangnya titik hujan. Hujan sepertinya mengantarkan vonis itu lebih cepat tiba. Semua jenis obat yang diberikan dokter padaku tidak juga dapat melenyapkan rasa ngilu ini yang rutin membuatku tidak berkutik setiap kali hujan turun. Entah kenapa setiap hujan datang, aku tidak akan pernah bisa menyambutnya dengan bersuka ria.

Sejak kecil aku hanya dapat menatap titik-titik air hujan yang turun melalui titiran atap rumah dari balik kaca jendela kamar. Padahal aku sangat ingin bergabung dengan teman-temanku, kakak-kakakku, beserta saudara-saudaraku yang lain dan turut menarikan tarian hujan dengan khidmat. Keinginan itu muncul setiap kali bumi ini basah oleh hujan dan setiap kali itu pula ibu akan duduk mengawasiku di dekat pintu kamar. Ibu sangat tidak menginginkan kulitku dibasahi oleh air hujan bahkan sepercik pun.

Entah kenapa ibu begitu berkeras untuk tidak mengenalkanku pada sebuah tarian yang hanya bisa dilakukan di bawah guyuran air hujan. Dalam hal ini, aku merasa ibu telah berlaku tidak adil padaku dibandingkan dengan kakak-kakakku. Pernah suatu kali ketika hujan baru saja turun dan seperti biasa ibu telah duduk manis di dekat pintu, aku menanyakan dengan sedikit memprotes sikap ibu yang tidak pernah bisa kompromi untuk mengijinkanku sekali saja merasakan nikmatnya mandi beratapkan langit. Aku mengharapkan ibu dapat menjelaskan dan memberi alasan yang tepat kenapa aku dilarang sementara kakak-kakakku yang lain bebas menarikan tarian hujan sambil saling bercanda, siram siraman, dan kejar-kejaran.

Apakah karena aku anak yang paling bontot di antara saudaraku ataukah karena aku satu-satunya anak perempuan di keluarga ini? Tapi Heny yang juga anak perempuan satu-satu dalam keluarganya tidak pernah mendapatkan larangan dari ibunya sama seperti aku. Protes yang kulontarkan pada ibu kuharap dapat mengobati rasa kecewa yang sudah menumpuk di dadaku atas setiap omelan ibu jika aku ingin turut bersama kakak-kakakku. Kuharapkan ibu akan mengatakan bahwa kali ini kamu boleh ikut bersama kakak-kakakmu dan belajarlah menarikan tarian hujan karena kesempatan ini datangnya hanya sekali saja. Ibu akan mengantarkanku sampai di teras depan dan menyuruh kakak-kakakku untuk mengajariku tarian hujan. Ibu akan menunggu dengan sabar sampai kami puas dan berlari kedinginan masuk ke dalam rumah.

Tapi yang terjadi kemudian sungguh membuat semua khayalanku itu buyar laksana percikan kembang api. Tanpa aku duga kemarahan ibu meledak mendengar pertanyaanku. Ibu lalu menyeretku masuk ke dalam kamar dan menguncikanku dari luar. Aku yang kaget dan ketakutan mendapatkan kemarahan ibu yang demikian hebat hanya bisa menangis keras dalam ketidakmengertian. Kutumpahkan semua airmataku di atas bantal yang spreinya baru saja diganti. Hatiku sangat sakit diperlakukan tidak adil. Aku jadi membenci ibu saat itu. Ibu yang begitu lembut, sayang, dan perhatian padaku tiba-tiba berubah jadi sosok yang keras, pemarah, dan tidak menaruh belas kasihan sedikit pun padaku hanya gara-gara aku sedikit memprotes sikap ibu yang melarangku menikmati dinginnya air hujan.

Sekali waktu, ibu pernah berkata bahwa air hujan tidak baik untuk anak perempuan seusia saya. Air hujan dapat membuat tubuh kita demam dan kejang-kejang. Tapi menurutku, itu bukanlah alasan yang tepat sehingga ibu begitu keras melarangku untuk bermain bersama hujan. Toh, kakak-kakakku tidak pernah mendapat larangan sama seperti aku. Meskipun demikian, aku tidak berani lagi membantah setiap perkataan ibu tentang hujan. Kutanamkan dalam hati bahwa aku tidak akan pernah menyentuh hujan demi untuk tidak membuat ibu memurkaiku lagi. Kubuang jauh-jauh hasrat dan seluruh keinginanku untuk merasakan kenikmatan seperti yang selalu dirasakan oleh teman-teman dan kakak-kakakku acapkali hujan turun.

Sejak peristiwa ketika ibu begitu murka gara-gara aku memprotes larangan ibu, aku tidak pernah lagi berani menyinggung tentang itu. Aku tidak mau ibu memurkaiku lagi seperti waktu itu. Biarlah ibu tetap menjadi ibu yang lembut, perhatian, dan penuh kasih sayang padaku. Setiap hujan turun, ibu masih saja suka duduk di dekat pintu menungguiku memandangi hujan melalui kaca jendela. Aku tidak perlu mengetahui kenapa ibu begitu teguh dengan larangannya. Aku sangat paham kalau ibu begitu sayang padaku sehingga ibu tidak ingin aku terkena demam dan kejang-kejang gara-gara mandi air hujan. Biarlah saat-saat turunnya hujan menjadi memori tersendiri yang menyimpan sejuta makna bagiku. Tentang canda kakak-kakakku, tentang kilat di balik awan yang sekali-kali muncul menyilaukan mata, tentang riuh suara kodok menyambut musim kawin bagi komunitasnya, dan tentang aku yang terpaku di dekat kaca jendela dengan pikiran yang mengembara. Hujan akan tetap bersamaku meski aku hanya dapat menatapnya melalui kaca jendela tanpa harus bisa menyentuhnya. Dengan menatap hujan, aku dapat menarikan sebuah tarian yang hanya ada dalam benakku. Suatu tarian yang menyimbolkan penyambutan terhadap kekasih yang begitu dirindukan. Tarian Hujan.

Hingga usiaku beranjak dewasa, aku tetap tidak berani menyentuh air hujan meski keinginan itu hampir sama jumlahnya dengan usahaku untuk menahan diri tiap kali hujan datang. Ketika hujan datang, terkadang sebuah pikiran nekad terlintas untuk menikmati air hujan tanpa sepengetahuan ibu. Toh, selama ini aku tidak pernah tahu kenapa tidak diperbolehkan mandi air hujan. Aku bukan lagi anak kecil yang mudah terkena demam dan kejang-kejang hanya gara-gara terkena air hujan. Kalau aku bisa membersihkan diri dengan baik, ibu juga tidak akan pernah tahu kalau aku telah mandi air hujan. Tapi, pikiran-pikiran seperti itu segera kutepis dan menggantikannya dengan senyuman ibu yang menjanjikan begitu banyak kedamaian dan kasih sayang. Sanggupkah aku mengecewakan wajah teduh itu? Tidak! Biarlah keinginan itu kusimpan rapat-rapat di dalam hati. Keinginan ini tidaklah seberapa jika dibandingkan dengan semua pengorbanan ibu yang dilakukannya untukku.

Aku memang berhasil mengatasi godaan itu setiap kali hujan datang menuntaskan kerinduannya pada bumi. Aku cukup bisa merasakan kebahagiaan hanya dengan menatapnya dari balik kisi jendela. Sampai pada suatu hari, sosok kekasih mengantarkanku mewujudkan impianku yang telah kukubur dalam-dalam. Hasrat itu demikian besar. Hingga akhirnya…
***

Antoni, Juni 2008

Payung merah muda itu masih setia menempati sudut kamar ini. Setiap kali ketika aku hendak ke luar dan menutup pintu kamar, aku selalu menyempatkan untuk melirik payung itu. Dulu, entah kenapa hati ini begitu berbunga tiap kali payung itu tertangkap masuk dalam retina mataku. Rasanya ada sesuatu yang kurang jika tidak melihat payung itu dalam sehari. Pernah suatu kali ketika teman-teman kelompok pecinta alam di kampus sedang melakukan pendakian ke Gunung Bawakaraeng, aku merasakan gelisah yang amat sangat di sepanjang perjalanan. Gara-gara aku terburu-buru berangkat, aku sampai lupa pada keberadaan payung itu. Aku berangkat meninggalkan rumah tanpa sempat mengucapkan salam perpisahan pada si merah muda itu. Pendakian yang seharusnya menjadi perjalanan yang menarik terasa begitu lama dan membosankan bagiku. Aku tidak dapat menikmati keindahan panorama alam Bawakaraeng karena pikiranku terus tertuju pada payung itu. Canda yang dilontarkan oleh teman-teman terasa tidak menarik bagiku. Aku berjalan dalam kediaman di tengah riuhnya tawa teman-teman seperjalanan. Seorang teman yang iseng menggodaku hanya kutanggapi dengan senyuman malas. Kulihat teman-teman yang lain pada mengangkat bahu. Entah apa yang mereka bingungkan. Aku tidak begitu peduli. Yang jelas setelah itu, tidak ada lagi yang iseng menggodaku. Tidak juga kudengar tawa cekakan mereka. Mungkin mereka mencoba untuk menunjukkan sikap solidaritas di tengah hutan yang mencekam ini dengan ikut diam semua.

Di tengah suasana sunyi itu, hujan tiba-tiba turun. Kulihat teman-teman berusaha mencari tempat perlindungan. Aku pun turut berteduh bersama teman-teman. Untungnya hujan tidak begitu deras sehingga tubuh kami tidak sampai basah kuyup. Di tengah hujan seperti itu, aku makin teringat akan payung itu. Pikiranku makin kaca dibuatnya. Bahkan ketika hujan reda dan kami melanjutkan kembali pendakian hingga ke puncak, pikiranku masih saja tetap tertuju pada benda itu. Udara dingin yang membuat tulang serasa kaku tidak sedikitpun mampu membuatku untuk bergeming. Aku hanya mampu menatap luruh pada tebing-tebing curam yang mengelilingi kami. Kutatapi kabut yang terbang rendah dan sebagian menempel pada permukaan tebing dengan pandangan yang kosong. Padahal sebelumnya akulah yang menjadi pencetus untuk mendaki gunung ini. Mungkin karena melihatku kebanyakan melamun dan tidak begitu bersemangat, maka teman-teman kemudian memutuskan untuk segera turun gunung tidak lama setelah kami berhasil menaklukkan Gunung Bawakaraeng. Gunung yang menjadi kebanggaan masyarakat Gowa. Gunung yang menyimpan berjuta misteri di balik rerimbunan pohon pinus yang mengitarinya.

Masih jelas terbayang dalam ingatanku begitu bersuka citanya aku menyambut keputusan teman-teman untuk segera kembali. Perjalanan pulang terasa begitu cepat dibanding pada saat kami baru akan mendaki. Teman-teman yang melihat perubahan sikapku kulihat sedikit diliputi tanda tanya, tetapi kembali aku tidak begitu peduli dengan mereka. Aku hanya memikirkan untuk segera bisa sampai di rumah dan mendapatkan payung itu. Karena payung itulah, aku tidak dapat menikmati pendakianku kali ini. Terasa ada sesuatu yang begitu kuat memanggil-manggil jiwaku untuk segera pulang dan melihat payung itu. Hingga ketika aku sampai di rumah dan segera menyerbu kamar, kulihat payung itu telah tidak ada ditempatnya. Aku menjadi panik, marah, dan geram. Semua orang yang ada di rumah menjadi sasaran kemarahanku. Ibu yang bahkan sama sekali tidak tahu menahu tentang payung itu kebingungan mendapatkan kemarahanku yang begitu besar. Hingga senja turun, payung itu belum juga dapat kutemukan. Hatiku begitu nelangsa. Serasa ada sesuatu yang hilang dari dalam hati ini.

Aku hampir saja terlelap dalam lelah yang menyerang tubuhku ketika kudengar suara ribut-ribut di luar kamar. Meski enggan, kupaksakan tubuh ini untuk bangun dan melangkah ke luar kamar. Rasa penasaran membuatku menangguhkan tidur sejenak. Ketika kubuka pintu kamar, langkahku langsung terhenti menatap adik semata wayangku tengah cengar-cengir sambil menyodorkan sebuah payung padaku.

“Tadi pagi waktu mau ke kampus hujan. Pas aku masuk ke kamar kakak, kutemukan payung itu.”

Tidak sedikitpun kutemukan rasa bersalah lewat sepasang mata lucunya karena telah berani mengambil barang kesayanganku tanpa izin sehingga membuatku kalang kabut. Rasa amarah yang sudah siap kuledakkan segera tertahan tatkala dengan secepat kilat dia mencium pipiku lalu ngacir ke kamarnya. Dengan perasaan gondok, aku memungut payung yang tidak sempat kuraih sebelum adikku menjatuhkannya lalu berlari meninggalkanku. Aku kembali menutup pintu kamar dengan gemas lalu membawa payung itu ke sudut kamar. Kuletakkan dengan sangat hati-hati seakan hendak meletakkan sebuah barang yang mudah pecah. Payung itu, adalah amanah sekaligus kenangan bagiku. Kenangan terhadap seorang kekasih yang berada jauh di atas surga.

Titik-titik air hujan yang menerpa atap rumah menyadarkanku pada sepenggal cerita tentang payung itu. Dengan malas, kuhampiri jendela kamar lalu menutupnya rapat-rapat. Kupandangi jalan di depan rumah melalui kaca jendela yang belum sempat kututup gordennya. Jauh di bawah sana kulihat sekelompok anak sedang tertawa riang merasakan guyuran air hujan yang bagai sengaja ditumpahkan dari langit. Tawa keceriaan tampaknya begitu lekat dalam diri mereka. Mereka berputar-putar sambil menaikkan kedua tangan seakan hendak menggapai langit.

“Masih ingatkah kamu dengan tarian itu?”

Pertanyaan itu menyentak gendang telingaku. Aku terpaku memandang sekelompok anak-anak yang sedang berpesta hujan di bawah sana. Ada sesak yang tiba-tiba hinggap menyergap sudut hatiku yang paling dalam. Rasa perih kembali membuat kerongkonganku tercekat sehingga tidak dapat bersuara. Aku hanya dapat menatap nanar jauh ke bawah melalui celah jeruji besi yang membatasi jendela kamar. Kembali aku disergap akan sebuah kenangan.

Pada musim semi satu setengah tahun yang lalu, seorang gadis imut berwajah manis menyodorkan sebuah payung berwarna merah muda padaku.

“Simpanlah payung ini, Ton. Sekedar untuk berjaga-jaga apabila hujan turun. Aku tidak mau tubuhmu sampai basah terkena siraman air hujan. Kata ibuku, hujan tidak baik buat tubuh kita”
“Kenapa? Sekali-kali kena hujan kan gak papa. Itung-itung bisa sekalian mengenang masa-masa kecil,” kataku menggodanya.

Ucapanku yang hanya bernada canda ditanggapinya dengan serius. Tanpa kuminta dia lalu bercerita tentang hujan. Tentang masa kecilnya yang tidak pernah sekalipun menikmati belaian air hujan. Tentang larangan-larangan ibunya. Tentang keinginan-keinginannya untuk bergabung bersama-kakak-kakaknya bermain di bawah guyuran air hujan dan tentang ketidakadilan ibunya.

“Aku ingin sekali menari di bawah guyuran hujan, tetapi ibu tidak pernah mengizinkan bahkan ketika aku sudah beranjak dewasa.”

Percakapan itu kusimpan rapi dalam hatiku. Pada suatu senja ketika kami sedang berjalan-jalan di pesisir pantai, hujan turun dengan tiba-tiba. Kulihat wajahnya begitu panik. Dia hendak berlari mencari tempat berteduh, tetapi tangannya sengaja kupegang sehingga dia tidak bisa lari.

“Bukankah sejak kecil kamu sangat ingin menari di bawah hujan? Ayo kita menari bersama,” kataku.
“Tapi, aku takut ibu akan marah,” katanya ragu.

Aku tidak mempedulikan kesan keragu-raguan dalam wajahnya. Aku terus membujuknya setengah memaksa. Selanjutnya, kami larut bersama dalam kegembiraan yang belum pernah kami rasakan di bawah siraman air hujan. Kami seakan lupa diri, seperti anak kecil yang sangat senang memperoleh hadiah mainan yang begitu lama didambakannya. Dia berputar-putar sambil menaikkan kedua tangannya. Katanya, itu adalah tarian hujan ciptannya. Aku tersenyum saja mendengarnya dan mengikuti gerakannya. Kami terus saja berputar tanpa mempedulikan keadaan di sekitar. Di tengah kegembiraan kami, tiba-tiba dia terjatuh dan tidak sadarkan diri. Aku jadi panik dengan keadaan itu dan segera membawanya ke rumah sakit.

“Ah….” Aku tidak kuasa melanjutkan kenangan itu. Aku memilih kembali ke atas tempat tidur. Kulihat payung itu masih setia meringkuk di sudut kamar.

“Adel, aku hanya ingin mewujudkan impianmu. Andai aku tahu…”
***

Uniawati lahir 25 April 1981. Alumnus S1 Universitas Negeri Makassar (2003) dan S2 Universitas Diponegoro (2007) ini mulai berkecimpung sejak menjadi mahasiswa. Pernah aktif di Bengkel Sastra dan sempat mengikuti Festamasio di Samarinda. Karya puisinya antara lain dimuat dalam antologi Kendari (2004). Bekerja di Kantor Bahasa Provinsi Sulawesi Tenggara, tinggal di Kendari.

Tidak ada komentar:

A Khoirul Anam A Qorib Hidayatullah A Rodhi Murtadho A. Yusrianto Elga A. Zakky Zulhazmi A.S. Laksana Aang Fatihul Islam Aba Mardjani Abd. Mun’im Abdul Aziz Rasjid Abdul Gaffar Ruskhan Abdul Hadi W. M. Abdul Kadir Ibrahim Abdul Malik Abdul Muis Abdul Wachid BS Abdullah Khusairi Abidah El Khalieqy Abimardha Kurniawan Abroorza A. Yusra Abu Salman Acep Iwan Saidi Achmad Farid Tuasikal Adek Alwi Adi Marsiela Adian Husaini Adib Muttaqin Asfar Adji Subela Afandi Sido Afriza Hanifa Afrizal Malna Ageng Wuri R. A. Ags. Arya Dipayana Aguk Irawan M.N. Agus B. Harianto Agus Bing Agus Noor Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sri Danardana Agus Sulton Agus Sunyoto Agus Wibowo Agus Wirawan Agusri Junaidi AH J Khuzaini Ahda Imran Ahid Hidayat Ahm Soleh Ahmad Asyhar Ahmad Farid Yahya Ahmad Fuadi Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musthofa Haroen Ahmad Rofiq Ahmad Suhendra Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Aini Aviena Violeta Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sekhu Al Azhar Riau Al-Fairish Alex R. Nainggolan Alexander G.B. Alfian Zainal Aliansyah Alimuddin Almania Rohmah Alunk Estohank Amien Kamil Amien Wangsitalaja Anata Siregar Andi Sutisno Andy Riza Hidayat Anies Baswedan Anindita S Thayf Anis Ceha Anis Faridatur Rofiah Anjrah Lelono Broto Anna Subekti Anton Kurnia Ari Hidayat Ari Kristianawati Arie MP Tamba Arief Junianto Aris Kurniawan Arti Bumi Intaran Arul Arista AS Sumbawi Asarpin Asep Sambodja Atiqurrahman Awalludin GD Mualif Ayu Purwaningsih Babe Derwan Bakdi Soemanto Balada Bale Aksara Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Bayu Dwi Mardana Bellanissa Zoditama Beni Setia Benny Arnas Beno Siang Pamungkas Berita Berita Duka Bernando J. Sujibto Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Bokor Hutasuhut Brunel University London BSW Adjikoesoemo Budaya Budhi Setyawan Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiawan Dwi Santoso Bur Rasuanto Burhanuddin Bella Bustan Basir Maras Catatan Catullus CB. Ismulyadi Cerbung Cerita Rakyat Cerpen Chavchay Syaifullah Cikie Wahab Cunong Nunuk Suraja D Zawawi Imron Dad Murniah Dadang Ari Murtono Dahlia Rasyad Damhuri Muhammad Damiri Mahmud Danarto Daniel Paranamesa Darju Prasetya Darman Djamaluddin Darman Moenir Dasman Djamaluddin David Krisna Alka Dea Anugrah Dedy Tri Riyadi Denny JA Denny Mizhar Desi Sommalia Gustina Dewi Anggraeni Dharma Setyawan Dian Hartati Didi Arsandi Dina Oktaviani Dipo Handoko Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Doddi Ahmad Fauji Doddy Hidayatullah Dodi Chandra Dodiek Adyttya Dwiwanto Dody Kristianto Donny Anggoro Dony P. Herwanto Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Klik Santosa Dwi Pranoto Dwicipta Edy A Effendi Edy Firmansyah Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Eko Darmoko Ellyzan Katan Elnisya Mahendra Emha Ainun Nadjib Endah Imawati Eni Suryanti Eny Rose Eriyandi Budiman Eriyanti Erwin Edhi Prasetya Erwin Setia Esai Evan Ys Evi Idawati F Rahardi Fadly Rahman Fahrudin Nasrulloh Faizah Sirajuddin Faizal Syahreza Fajar Alayubi Fakhrunnas M.A. Jabbar Fanny Chotimah Fariz al-Nizar Fariz Alneizar Faruk HT Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fathurrahman Karyadi Fatimah Wahyu Sundari Fauzan Santa Fazabinal Alim Festival Sastra Gresik Fikri MS Fiksi Mini Fransisca Dewi Ria Utari Franz Kafka Fuad Anshori Furqon Abdi Fuska Sani Evani Gendhotwukir Gendut Riyanto Gerson Poyk Gita Pratama Goenawan Mohamad Gola Gong Grathia Pitaloka Gregorio Lopez y’ Fuentes Gugun El-Guyanie Gunawan Budi Susanto Gus Noy H.H. Tokoro Hadi Napster Hamberan Syahbana Hamdy Salad Hamsad Rangkuti Han Gagas Hang Kafrawi Hani Pudjiarti Hanna Fransisca Hardi Hamzah Hardjono WS Haris del Hakim Haris Priyatna Harris Maulana Hary B. Kori'un Hasan Al Banna Hasan Junus Hasbullah Said Hasnan Bachtiar HE. Benyamine Heidi Arbuckle Helmi Y Haska Helvy Tiana Rosa Hendra Junaedi Hendri Nova Herdoni Syafriansyah Heri Kurniawan Heri Latief Heri Ruslan Herman RN Hermawan Aksan Hermien Y. Kleden Herry Lamongan Holy Adib Humaidiy AS Husni Anshori I Nyoman Darma Putra I Nyoman Tingkat I Wayan Artika Ibnu Wahyudi Ida Farida Ignas Kleden Ilham Khoiri Imam Cahyono Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Tohari Indra Tranggono Indrian Koto Irwan Kelana Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Isma Swastiningrum Ismi Wahid Iwan Gardono Sujatmiko Iwan Gunadi Iwan Kurniawan Iwan Nurdaya Djafar Iwank J.S. Badudu Janoary M Wibowo Javed Paul Syatha JILFest 2008 JJ. Kusni Jodhi Yudono Joko Novianto Bp Joko Pinurbo Jones Gultom Jual Buku Paket Hemat Jusuf AN Kadek Suartaya Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Kedung Darma Romansha Kenedi Nurhan Khaerudin Kurniawan Khaerul Anwar Ki Sugito Ha Es Kirana Kejora Komunitas Deo Gratias Korrie Layun Rampan Kritik Sastra Kunthi Hastorini Kuntowijoyo Kurie Suditomo Kurnia Effendi Kurniawan Kuswinarto La Ode Rabbani Lathifa Akmaliyah Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember Leon Agusta Lily Siti Multatuliana Lily Yulianti Farid Lina Kelana Liza Wahyuninto Lona Olavia Lugiena Dé M Fadjroel Rachman M Farid W Makkulau M Syakir M. Dawam Rahardjo M. Faizi M. Mustafied M. Raudah Jambak M. Taufan Musonip M. Yoesoef M.D. Atmaja M.Th. Krishdiana Putri Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Maklumat Sastra Profetik Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mangun Kuncoro Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria D. Andriana Maria Magdalena Bhoernomo Mariana Amiruddin Maryati Marzuzak SY Mashuri Maulana Syamsuri Media: Crayon on Paper Mega Vristian MG. Sungatno Misbahus Surur Mofik el-abrar Moh. Amir Sutaarga Moh. Ghufron Cholid Mohammad Hatta Mohammad Kh. Azad Mohammad Takdir Ilahi Much. Khoiri Muhamad Taslim Dalma Muhammad Rain Muhammad Subhan Muhammad Yasir Muhammadun A.S Muhidin M Dahlan Mujtahid Mulyawan Karim Musa Ismail Musfi Efrizal Mustafa Ismail Mustofa W Hasyim N Teguh Prasetyo N. Mursidi Nadhi Kiara Zifen Nana Riskhi Susanti Nanang Suryadi Naskah Teater Nasrulloh Habibi Neva Tuhella Nietzsche Nirwan Dewanto Nizar Qabbani Noor H. Dee Nova Christina Novelet Nunung Nurdiah Nur Wachid Nurani Soyomukti Nurel Javissyarqi Nurman Hartono Nuryana Asmaudi Nyoman Tusthi Eddy Obrolan Oky Sanjaya Oyos Saroso HN P Ari Subagyo Pagelaran Musim Tandur Pamusuk Eneste Panji Satrio PDS H.B. Jassin Penerbit dan Toko Buku PUstaka puJAngga Pipiet Senja Pramoedya Ananta Toer Pringadi AS Pringgo HR Prosa Puisi Puji Santosa Purnawan Andra PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Satria Kusuma Putu Wijaya R Masri Sareb Putra R. Adhi Kusumaputra R. Timur Budi Raja R.N. Bayu Aji Radhar Panca Dahana Ragdi F. Daye Rahmi Hattani Raja Ali Haji Raju Febrian Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Dira J Rama Prabu Ramadhan KH Ramon Magsaysay Ramses Ohee Ratih Kumala Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Ressa Novita Ressa Sagitariana Putri Ria Ristiana Dewi Rialita Fithra Asmara Ribut Wijoto Rida K Liamsi Rifka Sibarani Rilda A. Oe. Taneko Rilda A.Oe. Taneko Rimbun Natamarga Rinto Andriono Risang Anom Pujayanto Rita Zahara Riyon Fidwar Robin Al Kautsar Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Rohman Budijanto Rukardi S Yoga S. Jai S. Takdir Alisyahbana S.W. Teofani Sabrank Suparno Sahaya Santayana Sajak Sajak Sebatang Lisong Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Salman S. Yoga Salyaputra Samson Rambah Pasir Samsudin Adlawi Sanie B. Kuncoro Santy Novaria Sapardi Djoko Damono Sarabunis Mubarok Sartika Dian Nuraini Sasti Gotama Sastra Nusantara Satmoko Budi Santoso Satriani Saut Poltak Tambunan Saut Situmorang Sekolah Literasi Gratis (SLG) Selasih Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Shadiqin Sudirman Shiny.ane el’poesya Shourisha Arashi Sidik Nugroho Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sindu Putra Siska Afriani Siti Sa’adah Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Slamet Samsoerizal Sobih Adnan Sofyan RH. Zaid Solihin Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sony Wibisono Sosiawan Leak Sri Wintala Achmad Sri Wulan Rujiati Mulyadi Stevani Elisabeth Suci Ayu Latifah Sucipto Hadi Purnomo Sudarmoko Sudirman HN Suhadi Mukhan Suharsono Sukar Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sunudyantoro Supriyadi Suriani Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syahruddin El-Fikri Syaripudin Zuhri Syifa Aulia Syu’bah Asa T.A. Sakti Tammalele Tan Lioe Ie Tasyriq Hifzhillah Taufik Abdullah Taufik Effendi Aria Taufik Ikram Jamil Taufiq Wr. Hidayat TE. Priyono Teguh Winarsho AS Tenas Effendy Tengsoe Tjahjono Thayeb Loh Angen Theresia Purbandini Tia Setiadi Tias Tatanka Tito Sianipar Tjahjono EP Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tjut Zakiyah Anshari Topik Mulyana Tosa Poetra Tri Harun Syafii TS Pinang Tu-ngang Iskandar Udo Z. Karzi Uly Giznawati Umar Fauzi Ballah Umbu Landu Paranggi Umi Kulsum Uniawati Universitas Indonesia Usman Arrumy Usman D.Ganggang Utada Kamaru UU Hamidy Viddy AD Daery W.S. Rendra Wa Ode Wulan Ratna Wahib Muthalib Wahyudi Akmaliah Muhammad Wardjito Soeharso Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Sunarta Weli Meinindartato Wicaksono Widodo DS Wina Karnie Wisran Hadi Wong Wing King Yan Maniani Yanti Mulatsih Yanuar Arifin Yasser Arafat Yaumu Roikha Yetti A. KA Yohanes Padmo Adi Nugroho Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yudhi Ms Yudhistira ANM Massardi Yulianna Yurnaldi Yusi A. Pareanom Yusi Avianto Pareanom Yusri Fajar Yusrizal KW Yuyun Ifa Naliah Zaim Rofiqi Zainal Arifin Thoha Zakki Amali Zakky Zulhazmi Zawawi Se Zehan Zareez Zelfeni Wimra Zuarman Ahmad Zulfikar Akbar