Rabu, 01 Desember 2010

Nyanyian Penggali Kubur

Gunawan Budi Susanto
http://suaramerdeka.com/

PENGGALI Kubur! Itu pekerjaannya dan itu pula yang kemudian menjadi namanya. Sudah 44 tahun dia bekerja. Setiap hari, setidaknya dia menggali satu liang kubur. Jadi selama 44 tahun, total jenderal dia sudah menggali 16.060 liang kubur.

Dia menggali kubur setiap hari sejak berusia 15 tahun. Dia menggali di setiap pekuburan di kota kami. Tak cuma menggali, dia juga terlibat penguburan. Dalam beberapa kasus, dia sendirian mengubur si mati. Itulah mayat orang yang semula dikenal sebagai orang gila. (Mengherankan, orang-orang gila seperti tak habis-habis berdatangan ke kota kami. Satu mati, tumbuh seribu. Satu hilang, seribu terbilang. Mereka muncul, silih berganti, entah dari mana. Konon, sesekali ada truk menurunkan mereka di tengah hutan jati di perbatasan kota).

Kau mungkin berpikir, jika setiap hari dia menggali satu liang kubur, boleh jadi lantaran serakah, ingin memperoleh upah dari setiap galian. Jangan salah. Tidak setiap kali menggali kubur dia beroleh upah. Acap kali dia cuma beroleh sebungkus nasi, sekantong plastik minuman, dan ucapan terima kasih. Bahkan beberapa kali sekadar ucapan terima kasih pun tidak.

Namun apa pula yang bisa dilakukan Penggali Kubur jika bukan menggali kubur? Jadi, ada upah atau tidak, ada ucapan terima kasih atau tidak, setiap hari selama 44 tahun dia terus menggali kubur. Siapa pun yang mati, di mana pun mereka mati, tak peduli kematian macam apa yang menjemput mereka, dia tetap dan terus menggali kubur.

Dan, dengarlah. Seraya mengayunkan cangkul, dia selalu menembangkan lagu. Lagu yang itu-itu juga.

Ilir-ilir lir-ilir
tandure wus sumilir
tak-ijo royo-royo
taksengguh penganten anyar

Cah angon, cah angon
penekna blimbing kuwi
lunyu-lunyu penekna
kanggo mbasuh dodotira

Dodotira, dodotira
kumitir bedhah ing pinggir
dondomana jlumatana
kanggo seba mengko sore

Mumpung padhang rembulane
mumpung jembar kalangane
yo suraka
surak hore. 1)

Ah, sebenarnya tak tepat menyebut dia menembang. Bahkan sekadar rengeng-rengeng sekalipun tidak. Lebih pas: dia menggumamkan lagu. Ya, dia selalu menggumamkan lagu, yang konon ciptaan Sunan Kalijaga, itu. Tanpa cengkok, tanpa irama. Nyaris datar dan monoton, seperti merapal mantra. Berulang-ulang sampai penggalian lubang kubur usai, sampai penguburan selesai. Lalu, dia bergegas pergi setelah gumpalan tanah terakhir dilemparkan pentakziah, sebelum berkeranjang-keranjang kembang ditaburkan ke atas gundukan tanah.

Tak ada yang tahu ke mana dia pergi. Tak ada yang peduli. Kata orang, dia pergi mengikuti kesiur angin yang tersibak sayap-sayap malaikat pencabut nyawa. Dia pergi menjemba kabar kematian.

Banyak orang percaya, dia tahu belaka siapa bakal mati hari ini. Terbukti, kapan pun, di mana pun, dan siapa pun yang mati —bahkan sebelum kabar kematian seseorang menyebar, dia sudah datang dan menggali kubur sembari menggumamkan tembang. Nyaris datar, monoton, tanpa cengkok, tanpa irama. Berulang-ulang. Ilir-ilir, ilir-ilir… Empat puluh empat tahun sudah, 16.060 liang kubur.

***

NAMUN, pagi ini, di pekuburan kampung kami, orang-orang geger. “Ada yang aneh,” ujar seseorang.
Kini, tak seperti biasa, sembari menggali kubur dia bernyanyi. Ya, dia bernyanyi sesungguh benar bernyanyi. Tak keras, tetapi hampir setiap pentakziah mendengar belaka: dia bernyanyi! Bukan lagi menggumamkan tembang Ilir-ilir tandure wus sumilir!

Dan, dengarlah, dia menyanyikan lagu lain. Suaranya terdengar sendu, terdengar pilu.

Di mana akan kucari
aku menangis seorang diri
hatiku slalu ingin bertemu
untukmu aku bernyanyi

Untuk Ayah tercinta
aku ingin bernyanyi
walau air mata di pipiku

Ayah, dengarlah
aku ingin berjumpa
walau hanya dalam mimpi

Lihatlah, hari berganti
namun tiada seindah dulu
datanglah, aku ingin bertemu
untukmu aku bernyanyi. 2)

Orang-orang menggeremang. Berdebat dengan suara tertahan. Apalagi ketika dia tak cuma menyanyikan lagu yang dipopulerkan Charles Hutagalung itu. Dengar, dengarlah, kini dia menyanyikan balada Ebiet G Ade pula.

Dari pintu ke pintu
kucoba tawarkan nama
demi terhenti tangis anakku
dan keluh ibunya
Tetapi nampaknya semua mata
memandangku curiga
seperti hendak telanjangi
dan kuliti jiwaku

Apakah buku diri ini
harus selalu hitam pekat
apakah dalam sejarah
orang mesti jadi pahlawan
sedang Tuhan di atas sana
tak pernah menghukum
dengan sinar matanya yang lebih tajam
dari matahari

Ke manakah sirnanya
nurani embun pagi
yang biasanya ramah
kini membakar hati
apakah bila terlanjur salah
akan tetap dianggap salah
tak ada waktu lagi benahi diri
tak ada tempat lagi untuk kembali

Kembali dari keterasingan
ke bumi beradab
ternyata lebih menyakitkan
dari derita panjang
Tuhan bimbinglah batin ini
agar tak gelap mata
dan sampaikanlah rasa inginku
kembali bersatu. 3)

Bisik-bisik mengeras menjelang akhir penguburan. Orang-orang tak tahan. Sebelum lemparan tanah terakhir dan kembang tertabur di gundukan tanah, seseorang menghalangi langkah Penggali Kubur, yang seperti biasa bersigegas pergi.

“Tunggu! Aku cuma mau bertanya,” kata orang itu. “Kenapa kau bernyanyi? Kenapa bukan Ilir-ilir lagi? Ada apa? Mengapa?”

Penggali Kubur membisu. Dia menyimpang jalan, terus melangkah. Orang-orang adu argumentasi. Berdebat. Ramai. Tanpa simpulan yang bisa mereka percayai sebagai kebenaran.

Diam-diam aku memisahkan diri dari para pentakziah. Dari jarak yang kuanggap aman, aku menguntit Penggali Kubur. Dia terus melangkah tanpa menengok atau menoleh kiri-kanan. Langkah kakinya tetap, tak berkesan terburu-buru. Juga tak seperti orang sedang berjalan-jalan mencuci mata.

Dari kejauhan kulihat dia berbelok, menuruni jalan setapak menuju ke sungai. Tak mungkin terus menguntit dia tanpa ketahuan. Itu satu-satunya jalan yang harus kulalui, kecuali ingin kembali. Kepalang basah. Aku pun bergegas menyusul.

“Duduklah,” ujar Penggali Kubur. Dia duduk di atas batu, mencangkung membelakangi arah kedatanganku, memandangi air sungai.

Dengan menekan ewuh, sungkan, karena ketahuan menguntit, aku pun duduk di atas batu lebih rendah. “Maaf,” kataku seraya menekan debar di dada.

Sembari tetap mencangkung, menekuri permukaan air sungai, dia mengucap. Pelan, tetapi terasa mendengking di kuping.

“Di sungai inilah, dulu, 44 tahun lalu, kulihat mayat Bapak terhanyut entah ke mana. Dia terselip di antara puluhan mayat lain. Namun aku yakin, itulah mayat Bapak. Mereka membunuh dan membuang jasadnya ke sungai ini,” kata dia.

Aku terdiam.
“Tak ada orang berani menepikan mayat-mayat itu agar bisa dikubur secara layak. Tak seorang pun. Puluhan mayat, berpuluh-puluh mayat, sehingga air sungai ini memerah, berlumpur darah.”

Aku tergugu.
“Kau tahu, sepeninggal Bapak, Ibu kehilangan kewarasan. Dia menyusuri jalanan kota, siang-malam. ”Mencari bapakmu,” katanya. Dia makan dengan mengais-ngais setiap timbunan sampah, di bawah terik matahari, di bawah guyuran hujan. Suatu saat, Ibu ditemukan tergeletak di tepian sungai ini. Mati. Aku pun mengubur dia, sendirian. Sejak saat itulah aku memutuskan jadi penggali kubur.”

“Kenapa?” tanyaku, memberanikan diri.
“Aku tak ingin orang-orang itu tak terkuburkan secara layak seperti Bapak. Tak ada alasan bagi siapa pun untuk membiarkan orang mati tanpa dikubur secara semestinya. Apa pun agama mereka, apa pun keyakinan mereka. Tapi kau malah ikut-ikutan orang lain meributkan kenapa aku cuma menggumamkan lagu bertahun-tahun, lalu tiba-tiba kini bernyanyi. Apa tak ada urusan lebih penting, selain mengurusi pedalaman orang lain?” ucap dia.

Sekilas aku melihat kilatan mata setajam silet. Aku tertunduk. “Maaf, aku tak bermaksud….”

Ya, bahkan kau dan seluruh keluargamu sudah menganggap aku gila. Siapa lebih gila? Aku atau bapak dan ibumu serta kalian semua, anak-anak mereka? Bahkan nasib kakekmu yang mati dibunuh dan dibuang di sungai ini, juga nenekmu yang bunuh diri di tepian sungai ini, tak pernah masuk hitunganmu, tak pernah jadi keprihatinan keluargamu. Sekarang, apa pula yang hendak kauminta dariku?” ucap dia, menetak gendang telingaku.

Aku terdiam, mengeriut.
“Pulanglah. Tak perlu kaupedulikan aku. Tak penting pula aku bernyanyi atau tidak. Toh itu tak mengubah apa pun. Aku cuma penggali kubur dan tetap jadi penggali kubur. Sampai kapan pun,” ujar dia seraya bangkit, melangkah, tanpa menoleh.

Aku masih terdiam, menjublak di tepian sungai. Aku memandangi permukaan air, yang makin lama kian merah. Seperti darah. Darah yang membarah.

Catatan:
1) Terima kasih pada Sunan Kalijaga, yang konon telah menciptakan tembang “Ilir-ilir”.
2) Terima kasih pada Charles Hutagalung yang menyanyikan lagu “Ayah”.
3) Terima kasih pada Ebiet G Ade yang menciptakan dan menyanyikan tembang “Kalian Dengarlah Keluhanku”.

Patemon, 26 September 2010

Tidak ada komentar:

A Khoirul Anam A Qorib Hidayatullah A Rodhi Murtadho A. Yusrianto Elga A. Zakky Zulhazmi A.S. Laksana Aang Fatihul Islam Aba Mardjani Abd. Mun’im Abdul Aziz Rasjid Abdul Gaffar Ruskhan Abdul Hadi W. M. Abdul Kadir Ibrahim Abdul Malik Abdul Muis Abdul Wachid BS Abdullah Khusairi Abidah El Khalieqy Abimardha Kurniawan Abroorza A. Yusra Abu Salman Acep Iwan Saidi Achmad Farid Tuasikal Adek Alwi Adi Marsiela Adian Husaini Adib Muttaqin Asfar Adji Subela Afandi Sido Afriza Hanifa Afrizal Malna Ageng Wuri R. A. Ags. Arya Dipayana Aguk Irawan M.N. Agus B. Harianto Agus Bing Agus Noor Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sri Danardana Agus Sulton Agus Sunyoto Agus Wibowo Agus Wirawan Agusri Junaidi AH J Khuzaini Ahda Imran Ahid Hidayat Ahm Soleh Ahmad Asyhar Ahmad Farid Yahya Ahmad Fuadi Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musthofa Haroen Ahmad Rofiq Ahmad Suhendra Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Aini Aviena Violeta Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sekhu Al Azhar Riau Al-Fairish Alex R. Nainggolan Alexander G.B. Alfian Zainal Aliansyah Alimuddin Almania Rohmah Alunk Estohank Amien Kamil Amien Wangsitalaja Anata Siregar Andi Sutisno Andy Riza Hidayat Anies Baswedan Anindita S Thayf Anis Ceha Anis Faridatur Rofiah Anjrah Lelono Broto Anna Subekti Anton Kurnia Ari Hidayat Ari Kristianawati Arie MP Tamba Arief Junianto Aris Kurniawan Arti Bumi Intaran Arul Arista AS Sumbawi Asarpin Asep Sambodja Atiqurrahman Awalludin GD Mualif Ayu Purwaningsih Babe Derwan Bakdi Soemanto Balada Bale Aksara Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Bayu Dwi Mardana Bellanissa Zoditama Beni Setia Benny Arnas Beno Siang Pamungkas Berita Berita Duka Bernando J. Sujibto Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Bokor Hutasuhut Brunel University London BSW Adjikoesoemo Budaya Budhi Setyawan Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiawan Dwi Santoso Bur Rasuanto Burhanuddin Bella Bustan Basir Maras Catatan Catullus CB. Ismulyadi Cerbung Cerita Rakyat Cerpen Chavchay Syaifullah Cikie Wahab Cunong Nunuk Suraja D Zawawi Imron Dad Murniah Dadang Ari Murtono Dahlia Rasyad Damhuri Muhammad Damiri Mahmud Danarto Daniel Paranamesa Darju Prasetya Darman Djamaluddin Darman Moenir Dasman Djamaluddin David Krisna Alka Dea Anugrah Dedy Tri Riyadi Denny JA Denny Mizhar Desi Sommalia Gustina Dewi Anggraeni Dharma Setyawan Dian Hartati Didi Arsandi Dina Oktaviani Dipo Handoko Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Doddi Ahmad Fauji Doddy Hidayatullah Dodi Chandra Dodiek Adyttya Dwiwanto Dody Kristianto Donny Anggoro Dony P. Herwanto Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Klik Santosa Dwi Pranoto Dwicipta Edy A Effendi Edy Firmansyah Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Eko Darmoko Ellyzan Katan Elnisya Mahendra Emha Ainun Nadjib Endah Imawati Eni Suryanti Eny Rose Eriyandi Budiman Eriyanti Erwin Edhi Prasetya Erwin Setia Esai Evan Ys Evi Idawati F Rahardi Fadly Rahman Fahrudin Nasrulloh Faizah Sirajuddin Faizal Syahreza Fajar Alayubi Fakhrunnas M.A. Jabbar Fanny Chotimah Fariz al-Nizar Fariz Alneizar Faruk HT Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fathurrahman Karyadi Fatimah Wahyu Sundari Fauzan Santa Fazabinal Alim Festival Sastra Gresik Fikri MS Fiksi Mini Fransisca Dewi Ria Utari Franz Kafka Fuad Anshori Furqon Abdi Fuska Sani Evani Gendhotwukir Gendut Riyanto Gerson Poyk Gita Pratama Goenawan Mohamad Gola Gong Grathia Pitaloka Gregorio Lopez y’ Fuentes Gugun El-Guyanie Gunawan Budi Susanto Gus Noy H.H. Tokoro Hadi Napster Hamberan Syahbana Hamdy Salad Hamsad Rangkuti Han Gagas Hang Kafrawi Hani Pudjiarti Hanna Fransisca Hardi Hamzah Hardjono WS Haris del Hakim Haris Priyatna Harris Maulana Hary B. Kori'un Hasan Al Banna Hasan Junus Hasbullah Said Hasnan Bachtiar HE. Benyamine Heidi Arbuckle Helmi Y Haska Helvy Tiana Rosa Hendra Junaedi Hendri Nova Herdoni Syafriansyah Heri Kurniawan Heri Latief Heri Ruslan Herman RN Hermawan Aksan Hermien Y. Kleden Herry Lamongan Holy Adib Humaidiy AS Husni Anshori I Nyoman Darma Putra I Nyoman Tingkat I Wayan Artika Ibnu Wahyudi Ida Farida Ignas Kleden Ilham Khoiri Imam Cahyono Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Tohari Indra Tranggono Indrian Koto Irwan Kelana Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Isma Swastiningrum Ismi Wahid Iwan Gardono Sujatmiko Iwan Gunadi Iwan Kurniawan Iwan Nurdaya Djafar Iwank J.S. Badudu Janoary M Wibowo Javed Paul Syatha JILFest 2008 JJ. Kusni Jodhi Yudono Joko Novianto Bp Joko Pinurbo Jones Gultom Jual Buku Paket Hemat Jusuf AN Kadek Suartaya Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Kedung Darma Romansha Kenedi Nurhan Khaerudin Kurniawan Khaerul Anwar Ki Sugito Ha Es Kirana Kejora Komunitas Deo Gratias Korrie Layun Rampan Kritik Sastra Kunthi Hastorini Kuntowijoyo Kurie Suditomo Kurnia Effendi Kurniawan Kuswinarto La Ode Rabbani Lathifa Akmaliyah Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember Leon Agusta Lily Siti Multatuliana Lily Yulianti Farid Lina Kelana Liza Wahyuninto Lona Olavia Lugiena Dé M Fadjroel Rachman M Farid W Makkulau M Syakir M. Dawam Rahardjo M. Faizi M. Mustafied M. Raudah Jambak M. Taufan Musonip M. Yoesoef M.D. Atmaja M.Th. Krishdiana Putri Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Maklumat Sastra Profetik Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mangun Kuncoro Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria D. Andriana Maria Magdalena Bhoernomo Mariana Amiruddin Maryati Marzuzak SY Mashuri Maulana Syamsuri Media: Crayon on Paper Mega Vristian MG. Sungatno Misbahus Surur Mofik el-abrar Moh. Amir Sutaarga Moh. Ghufron Cholid Mohammad Hatta Mohammad Kh. Azad Mohammad Takdir Ilahi Much. Khoiri Muhamad Taslim Dalma Muhammad Rain Muhammad Subhan Muhammad Yasir Muhammadun A.S Muhidin M Dahlan Mujtahid Mulyawan Karim Musa Ismail Musfi Efrizal Mustafa Ismail Mustofa W Hasyim N Teguh Prasetyo N. Mursidi Nadhi Kiara Zifen Nana Riskhi Susanti Nanang Suryadi Naskah Teater Nasrulloh Habibi Neva Tuhella Nietzsche Nirwan Dewanto Nizar Qabbani Noor H. Dee Nova Christina Novelet Nunung Nurdiah Nur Wachid Nurani Soyomukti Nurel Javissyarqi Nurman Hartono Nuryana Asmaudi Nyoman Tusthi Eddy Obrolan Oky Sanjaya Oyos Saroso HN P Ari Subagyo Pagelaran Musim Tandur Pamusuk Eneste Panji Satrio PDS H.B. Jassin Penerbit dan Toko Buku PUstaka puJAngga Pipiet Senja Pramoedya Ananta Toer Pringadi AS Pringgo HR Prosa Puisi Puji Santosa Purnawan Andra PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Satria Kusuma Putu Wijaya R Masri Sareb Putra R. Adhi Kusumaputra R. Timur Budi Raja R.N. Bayu Aji Radhar Panca Dahana Ragdi F. Daye Rahmi Hattani Raja Ali Haji Raju Febrian Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Dira J Rama Prabu Ramadhan KH Ramon Magsaysay Ramses Ohee Ratih Kumala Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Ressa Novita Ressa Sagitariana Putri Ria Ristiana Dewi Rialita Fithra Asmara Ribut Wijoto Rida K Liamsi Rifka Sibarani Rilda A. Oe. Taneko Rilda A.Oe. Taneko Rimbun Natamarga Rinto Andriono Risang Anom Pujayanto Rita Zahara Riyon Fidwar Robin Al Kautsar Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Rohman Budijanto Rukardi S Yoga S. Jai S. Takdir Alisyahbana S.W. Teofani Sabrank Suparno Sahaya Santayana Sajak Sajak Sebatang Lisong Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Salman S. Yoga Salyaputra Samson Rambah Pasir Samsudin Adlawi Sanie B. Kuncoro Santy Novaria Sapardi Djoko Damono Sarabunis Mubarok Sartika Dian Nuraini Sasti Gotama Sastra Nusantara Satmoko Budi Santoso Satriani Saut Poltak Tambunan Saut Situmorang Sekolah Literasi Gratis (SLG) Selasih Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Shadiqin Sudirman Shiny.ane el’poesya Shourisha Arashi Sidik Nugroho Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sindu Putra Siska Afriani Siti Sa’adah Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Slamet Samsoerizal Sobih Adnan Sofyan RH. Zaid Solihin Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sony Wibisono Sosiawan Leak Sri Wintala Achmad Sri Wulan Rujiati Mulyadi Stevani Elisabeth Suci Ayu Latifah Sucipto Hadi Purnomo Sudarmoko Sudirman HN Suhadi Mukhan Suharsono Sukar Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sunudyantoro Supriyadi Suriani Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syahruddin El-Fikri Syaripudin Zuhri Syifa Aulia Syu’bah Asa T.A. Sakti Tammalele Tan Lioe Ie Tasyriq Hifzhillah Taufik Abdullah Taufik Effendi Aria Taufik Ikram Jamil Taufiq Wr. Hidayat TE. Priyono Teguh Winarsho AS Tenas Effendy Tengsoe Tjahjono Thayeb Loh Angen Theresia Purbandini Tia Setiadi Tias Tatanka Tito Sianipar Tjahjono EP Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tjut Zakiyah Anshari Topik Mulyana Tosa Poetra Tri Harun Syafii TS Pinang Tu-ngang Iskandar Udo Z. Karzi Uly Giznawati Umar Fauzi Ballah Umbu Landu Paranggi Umi Kulsum Uniawati Universitas Indonesia Usman Arrumy Usman D.Ganggang Utada Kamaru UU Hamidy Viddy AD Daery W.S. Rendra Wa Ode Wulan Ratna Wahib Muthalib Wahyudi Akmaliah Muhammad Wardjito Soeharso Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Sunarta Weli Meinindartato Wicaksono Widodo DS Wina Karnie Wisran Hadi Wong Wing King Yan Maniani Yanti Mulatsih Yanuar Arifin Yasser Arafat Yaumu Roikha Yetti A. KA Yohanes Padmo Adi Nugroho Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yudhi Ms Yudhistira ANM Massardi Yulianna Yurnaldi Yusi A. Pareanom Yusi Avianto Pareanom Yusri Fajar Yusrizal KW Yuyun Ifa Naliah Zaim Rofiqi Zainal Arifin Thoha Zakki Amali Zakky Zulhazmi Zawawi Se Zehan Zareez Zelfeni Wimra Zuarman Ahmad Zulfikar Akbar