Rabu, 01 Desember 2010

Jizhongya

TE. Priyono
http://www.kr.co.id/

“awan yang terbang, membawa angan angan kita, salju yang turun, menyuburkan tanah harapan kita, lembah Hebei yang subur, tanah kenangan kita, siapa yang pergi kabarkan cerita, kami menjaga tanah kelahiran sampai saatnya buah buah Jizhongya di petik penuhi keranjang di musim panen raya”

BEGITU potongan syair lagu anak-anak yang masih mengental di ingatannya, selalu dilantunkan meskipun dia tidak faham sepenuhnya akan makna syair itu. Usianya sudah berkepala tujuh, di lingkungan orang orang Tionghoa Malang dia sering dipanggil Opa Jizhong, tetapi sama orang kampung di tempatnya tinggal dia dipanggil Mbah Zis. Dia tidak buat soal, pada panggilan itu. Karena sampai saat ini, dia sendiri belum tahu persis apa maksud orangtuanya dulu kasih nama Jizhongya. Hanya penggalan syair nyanyian lagu anak-anak yang dulu sering diajarkan mendiang Engkongnya yang membuatnya bangga, kalau nama itu adalah nama buah.

Sepanjang umur dia sendiri belum pernah melihat apa lagi menikmati buah Jizhongya, selama ini yang dia tahu hanya buah apel Batu yang pohonnya tumbuh subur di kebun dan pekarangan rumahnya di kota Apel itu.

Kalau menyenandungkan penggalan syair lagu itu, Jizhongya seperti diingatkan pada dongengan mendiang Engkongnya yang salah seorang cikal bakal pendatang orang orang Hebei di tanah Jawa ini. Dulu, sewaktu pertama kali datang di tanah Jawa Zhong Han, begitu nama engkongnya itu, ikut kapal niaga Belanda yang kemudian merapat di Surabaya. Kedatangan Zhong Han mengadu untung ke Jawa, semula dibayangi oleh impian ingin mengubah nasib di tanah surga.

“Tanah Jawa ini, dulu dikenal sebagai tanah surga. Karena kesuburannya. Orang gampang cari makan di sini, itulah yang bikin Engkong bertekad meninggalkan tanah Hebei dengan semua keindahannya,” kisah Zhong Han pada Jizhongya kecil ketika itu.

Untuk sampai ke tanah perantauan ini, mereka harus rela dijadikan budak oleh orang orang Belanda terutama para awak kapal, mandor perkebunan, pemilik maskapai pelayaran itu. Mereka harus terima semua perlakuan yang tidak enak sekalipun, karena kebanyakan dari mereka hanyalah menumpang dalam pelayaran itu dengan gratis.

“Kau tahu artinya menumpang itu ?”

“Tidak Engkong”

“Menumpang itu, sama artinya menyerahkan diri, rela dijajah dan tidak punya pilihan untuk membuat keputusan yang merdeka. Sebab menumpang itu semata karena adanya belas kasihan orang lain. Jadi selama dalam pelayaran kami harus rela dijadikan budak orang orang bule. Orang laki disuruh jadi tukang bersih bersih kapal, orang perempuan jadi tukang masak dan kalau yang sial disuruh jadi pelacur, melayani kebutuhan napsu orang orang bule itu. Kami tidak bisa berbuat banyak, meski kekasih, bini, saudara perempuan dibikin mainan tukang kapal itu”.

“Tidak ada yang melawan Engkong ?”

“Melawan sama saja mati. Itulah susahnya orang yang menumpang hidup. Teman Engkong yang tidak rela istrinya dijailin, dibunuh dan dibuang ke laut.”

“Kenapa mereka mau membayar perjalanan itu dengan penderitaan yang begitu hina, Engkong ?”

“Tanah surga, dimana matahari bersinar sepanjang tahun. Tidak ada udara dingin dan badai salju, tidak ada masa penantian panjang menunggu musim buah buah dipetik, udara hangat dan tanah yang subur sepanjang masa, dimana air mengalirkan kesuburan di sepanjang musim, itulah yang kami cari. Jadi betapa beratnya penderitaan dalam perjalanan semua tidak kami rasakan. Untung saja, Engkongmu ketika itu masih bujangan, jadi tidak terlalu repot. “Zhong Han menarik napas panjang, ada beban yang tak sampai hati untuk dikisahkan pada cucu laki-lakinya itu.

“Ketika merapat di pelabuhan Surabaya, orang-orang memanggil kami dengan kata kata yang tidak enak Xing Kei, artinya orang baru atau orang kapal kurang lebih begitu. Dan karena lidah orang Jawa sering main terabas, kata kata itu disebutnya singkek”.

“Singkek, itu orang Cina yang pelit kan Engkong ?” Jizhongya kecil kasih komentar bikin Zhong Han tertawa terkekeh-kekeh, sampai perutnya yang buncit naik turun.

“Bukan, bukan itu. Itu karena kesalnya orang orang yang iri sama keberhasilan kebanyakan orang kita dalam niaga,” jawab Zhong Han.

Jizhongya memang lebih dekat dengan engkongnya. Sejak kecil dia dalam asuhan engkong Zhong Han, ketika umur tiga tahun, kedua orangtuanya harus meninggalkan Batu, karena ada tawaran bagus untuk membuka usaha dagang gula di Madiun. Karena dipandang Jizhongya masih terlalu kecil untuk ikut mengadu nasib di Madiun. Oleh engkongnya, Jizhongya diminta untuk tinggal saja di Batu. Sampai remaja Jizhongya hidup dalam asuhan engkongnya. Sampai ada kabar, kedua orangtua dan adik perempuannya tewas ketika Madiun terjadi kerusuhan tahun 1948. Orang orang PKI Muso telah merampas kekayaan dan membunuh keluarga mereka. Ketika itu Jizhongya sudah masuk laskar Merah Putih Macan Gunung Welirang yang bergerak di sekitar hutan Tretes. Walaupun hancur tetapi hatinya diteguhkan demi mendengar kabar yang menyedihkan itu.

***

DARI Engkongnya, Jizhongya tidak pernah mendapatkan arti yang dimasudkan dari penggalan syair lagu anak anak itu. Cuma menurut engkongnya dulu, lagu itu sering dinyanyikan selama musim salju turun. Karena biasanya di musim itu tidak ada yang bisa dikerjakan, mereka banyak yang meninggalkan daerah untuk merantau cari kerja di luar wilayah dan kembali ketika musim semi untuk bertanam, begitu.

Menjelang ajal, engkong pernah berwasiat padanya. Begitu menderitanya menjalani hidup ini kalau hanya menumpang, cukuplah penderitaan itu jadi pengalaman orang tua-tua saja. Janganlah generasi selanjutnya menjalani kisah yang sangat menyedihkan itu.

“Jadilah orang merdeka, orang yang memiliki harapan dan masa depannya di tanah kelahiran sendiri. Tanah kelahiran bisa dimana saja, tanah kelahiran tidak mengenal kesukuan, warna kulit dan bentuk mata. Kalau dilahirkan dan dibesarkan di sini, inilah tanah airmu. Kebun apel dan kota Batu, itulah Hebei yang Engkong tinggalkan dulu. Tanah air ini adalah tumpah darahmu, maka janganlah kau menganggap dirimu menumpang di tanah ini. Kamu adalah bagian dari mereka yang mengaku sebagai anak negeri ini,” begitu wasiat terakhir yang masih diingat Jizhongya.

Dongengan Engkongnya ternyata begitu merasuki darah mudanya, perlakuan dan penghinaan orang bule terhadap Engkongnya membakar dendamnya pada orang orang Belanda. Semasa perang kemerdekaan, Jizhongya beberapa kali terlibat pertempuran di kota Malang. Begitu pun ketika kota Surabaya diluluhlantakan oleh NICA, Jizhongya ikut membantu di front Porong sampai ke Waru. Bahkan sekembalinya di kota Malang, sepasukan tentara Belanda yang datang dari arah Blitar berhasil mereka habisi di wilayah Pucung. Dan dalam pengembaraan selama perjuangan itu, hatinya tertambat pada gadis asal Tretes. Setelah keadaan aman, dia mengajukan pengunduran diri dari laskar, lantas menikah dengan Setyowati gadis asal Tretes dan hidup sebagai pedagang dan petani Apel di Batu.

Semasa pemerintahan Orde Baru, pemerintah banyak memperhatikan para veteran perang kemerdekaan. Seorang teman semasa perjuangan dulu yang masih mengenalnya dengan baik, menawarkan untuk penguruskan tuvet (tunjangan veteran), tetapi dia menolaknya.

***

Setyowati, istrinya sudah lama meninggal. Dua orang anaknya yang telah memberikan beberapa cucu dan bahkan cicit, tinggal tidak begitu jauh dari rumahnya. Dan di usia yang terbalut romantisme kehidupan alam kota Batu, selalu saja dia terkenang pada mendiang engkongnya. Terlebih di saat saat udara dingin menyusup ke dalam kamarnya lewat jendela yang menghadap ke arah taman wisata Selekta. Penggalan bait lagu anak-anak yang dulu selalu didengar dari engkongnya, dilantunkannya dengan bergumam, bagai menyejukkan hatinya,

“awan yang terbang, membawa angan angan kita,

salju yang turun, menyuburkan tanah harapan kita,

lembah Hebei yang subur, tanah kenangan kita,

siapa yang pergi kabarkan cerita, kami menjaga tanah kelahiran

sampai saatnya buah buah Jizhongya di petik

penuhi keranjang di musim panen raya”

Kepada pramurukti yang selalu merawatnya, dia katakan tidak ingin diganggu selama beberapa hari. Diijinkan gadis itu mengambil cuti. Jizhongya ingin menyemai ketenangan dalam lembah Hebei yang dirindukan. Untuk beberapa hari, memang tetangga dan anaknya tidak melihat Jizhongya dengan kursi dorongnya berada di teras depan.

Sampai akhirnya diketahui, Jizhongya mati di kamar tidurnya dengan tenang. Jendela masih terbuka, udara dingin masuk menembus impiannya, lembah Hebei dan buah Jizhongya yang dirindukan…

Kota Batu, Malang, 2000

Tidak ada komentar:

A Khoirul Anam A Qorib Hidayatullah A Rodhi Murtadho A. Yusrianto Elga A. Zakky Zulhazmi A.S. Laksana Aang Fatihul Islam Aba Mardjani Abd. Mun’im Abdul Aziz Rasjid Abdul Gaffar Ruskhan Abdul Hadi W. M. Abdul Kadir Ibrahim Abdul Malik Abdul Muis Abdul Wachid BS Abdullah Khusairi Abidah El Khalieqy Abimardha Kurniawan Abroorza A. Yusra Abu Salman Acep Iwan Saidi Achmad Farid Tuasikal Adek Alwi Adi Marsiela Adian Husaini Adib Muttaqin Asfar Adji Subela Afandi Sido Afriza Hanifa Afrizal Malna Ageng Wuri R. A. Ags. Arya Dipayana Aguk Irawan M.N. Agus B. Harianto Agus Bing Agus Noor Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sri Danardana Agus Sulton Agus Sunyoto Agus Wibowo Agus Wirawan Agusri Junaidi AH J Khuzaini Ahda Imran Ahid Hidayat Ahm Soleh Ahmad Asyhar Ahmad Farid Yahya Ahmad Fuadi Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musthofa Haroen Ahmad Rofiq Ahmad Suhendra Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Aini Aviena Violeta Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sekhu Al Azhar Riau Al-Fairish Alex R. Nainggolan Alexander G.B. Alfian Zainal Aliansyah Alimuddin Almania Rohmah Alunk Estohank Amien Kamil Amien Wangsitalaja Anata Siregar Andi Sutisno Andy Riza Hidayat Anies Baswedan Anindita S Thayf Anis Ceha Anis Faridatur Rofiah Anjrah Lelono Broto Anna Subekti Anton Kurnia Ari Hidayat Ari Kristianawati Arie MP Tamba Arief Junianto Aris Kurniawan Arti Bumi Intaran Arul Arista AS Sumbawi Asarpin Asep Sambodja Atiqurrahman Awalludin GD Mualif Ayu Purwaningsih Babe Derwan Bakdi Soemanto Balada Bale Aksara Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Bayu Dwi Mardana Bellanissa Zoditama Beni Setia Benny Arnas Beno Siang Pamungkas Berita Berita Duka Bernando J. Sujibto Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Bokor Hutasuhut Brunel University London BSW Adjikoesoemo Budaya Budhi Setyawan Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiawan Dwi Santoso Bur Rasuanto Burhanuddin Bella Bustan Basir Maras Catatan Catullus CB. Ismulyadi Cerbung Cerita Rakyat Cerpen Chavchay Syaifullah Cikie Wahab Cunong Nunuk Suraja D Zawawi Imron Dad Murniah Dadang Ari Murtono Dahlia Rasyad Damhuri Muhammad Damiri Mahmud Danarto Daniel Paranamesa Darju Prasetya Darman Djamaluddin Darman Moenir Dasman Djamaluddin David Krisna Alka Dea Anugrah Dedy Tri Riyadi Denny JA Denny Mizhar Desi Sommalia Gustina Dewi Anggraeni Dharma Setyawan Dian Hartati Didi Arsandi Dina Oktaviani Dipo Handoko Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Doddi Ahmad Fauji Doddy Hidayatullah Dodi Chandra Dodiek Adyttya Dwiwanto Dody Kristianto Donny Anggoro Dony P. Herwanto Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Klik Santosa Dwi Pranoto Dwicipta Edy A Effendi Edy Firmansyah Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Eko Darmoko Ellyzan Katan Elnisya Mahendra Emha Ainun Nadjib Endah Imawati Eni Suryanti Eny Rose Eriyandi Budiman Eriyanti Erwin Edhi Prasetya Erwin Setia Esai Evan Ys Evi Idawati F Rahardi Fadly Rahman Fahrudin Nasrulloh Faizah Sirajuddin Faizal Syahreza Fajar Alayubi Fakhrunnas M.A. Jabbar Fanny Chotimah Fariz al-Nizar Fariz Alneizar Faruk HT Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fathurrahman Karyadi Fatimah Wahyu Sundari Fauzan Santa Fazabinal Alim Festival Sastra Gresik Fikri MS Fiksi Mini Fransisca Dewi Ria Utari Franz Kafka Fuad Anshori Furqon Abdi Fuska Sani Evani Gendhotwukir Gendut Riyanto Gerson Poyk Gita Pratama Goenawan Mohamad Gola Gong Grathia Pitaloka Gregorio Lopez y’ Fuentes Gugun El-Guyanie Gunawan Budi Susanto Gus Noy H.H. Tokoro Hadi Napster Hamberan Syahbana Hamdy Salad Hamsad Rangkuti Han Gagas Hang Kafrawi Hani Pudjiarti Hanna Fransisca Hardi Hamzah Hardjono WS Haris del Hakim Haris Priyatna Harris Maulana Hary B. Kori'un Hasan Al Banna Hasan Junus Hasbullah Said Hasnan Bachtiar HE. Benyamine Heidi Arbuckle Helmi Y Haska Helvy Tiana Rosa Hendra Junaedi Hendri Nova Herdoni Syafriansyah Heri Kurniawan Heri Latief Heri Ruslan Herman RN Hermawan Aksan Hermien Y. Kleden Herry Lamongan Holy Adib Humaidiy AS Husni Anshori I Nyoman Darma Putra I Nyoman Tingkat I Wayan Artika Ibnu Wahyudi Ida Farida Ignas Kleden Ilham Khoiri Imam Cahyono Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Tohari Indra Tranggono Indrian Koto Irwan Kelana Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Isma Swastiningrum Ismi Wahid Iwan Gardono Sujatmiko Iwan Gunadi Iwan Kurniawan Iwan Nurdaya Djafar Iwank J.S. Badudu Janoary M Wibowo Javed Paul Syatha JILFest 2008 JJ. Kusni Jodhi Yudono Joko Novianto Bp Joko Pinurbo Jones Gultom Jual Buku Paket Hemat Jusuf AN Kadek Suartaya Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Kedung Darma Romansha Kenedi Nurhan Khaerudin Kurniawan Khaerul Anwar Ki Sugito Ha Es Kirana Kejora Komunitas Deo Gratias Korrie Layun Rampan Kritik Sastra Kunthi Hastorini Kuntowijoyo Kurie Suditomo Kurnia Effendi Kurniawan Kuswinarto La Ode Rabbani Lathifa Akmaliyah Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember Leon Agusta Lily Siti Multatuliana Lily Yulianti Farid Lina Kelana Liza Wahyuninto Lona Olavia Lugiena Dé M Fadjroel Rachman M Farid W Makkulau M Syakir M. Dawam Rahardjo M. Faizi M. Mustafied M. Raudah Jambak M. Taufan Musonip M. Yoesoef M.D. Atmaja M.Th. Krishdiana Putri Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Maklumat Sastra Profetik Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mangun Kuncoro Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria D. Andriana Maria Magdalena Bhoernomo Mariana Amiruddin Maryati Marzuzak SY Mashuri Maulana Syamsuri Media: Crayon on Paper Mega Vristian MG. Sungatno Misbahus Surur Mofik el-abrar Moh. Amir Sutaarga Moh. Ghufron Cholid Mohammad Hatta Mohammad Kh. Azad Mohammad Takdir Ilahi Much. Khoiri Muhamad Taslim Dalma Muhammad Rain Muhammad Subhan Muhammad Yasir Muhammadun A.S Muhidin M Dahlan Mujtahid Mulyawan Karim Musa Ismail Musfi Efrizal Mustafa Ismail Mustofa W Hasyim N Teguh Prasetyo N. Mursidi Nadhi Kiara Zifen Nana Riskhi Susanti Nanang Suryadi Naskah Teater Nasrulloh Habibi Neva Tuhella Nietzsche Nirwan Dewanto Nizar Qabbani Noor H. Dee Nova Christina Novelet Nunung Nurdiah Nur Wachid Nurani Soyomukti Nurel Javissyarqi Nurman Hartono Nuryana Asmaudi Nyoman Tusthi Eddy Obrolan Oky Sanjaya Oyos Saroso HN P Ari Subagyo Pagelaran Musim Tandur Pamusuk Eneste Panji Satrio PDS H.B. Jassin Penerbit dan Toko Buku PUstaka puJAngga Pipiet Senja Pramoedya Ananta Toer Pringadi AS Pringgo HR Prosa Puisi Puji Santosa Purnawan Andra PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Satria Kusuma Putu Wijaya R Masri Sareb Putra R. Adhi Kusumaputra R. Timur Budi Raja R.N. Bayu Aji Radhar Panca Dahana Ragdi F. Daye Rahmi Hattani Raja Ali Haji Raju Febrian Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Dira J Rama Prabu Ramadhan KH Ramon Magsaysay Ramses Ohee Ratih Kumala Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Ressa Novita Ressa Sagitariana Putri Ria Ristiana Dewi Rialita Fithra Asmara Ribut Wijoto Rida K Liamsi Rifka Sibarani Rilda A. Oe. Taneko Rilda A.Oe. Taneko Rimbun Natamarga Rinto Andriono Risang Anom Pujayanto Rita Zahara Riyon Fidwar Robin Al Kautsar Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Rohman Budijanto Rukardi S Yoga S. Jai S. Takdir Alisyahbana S.W. Teofani Sabrank Suparno Sahaya Santayana Sajak Sajak Sebatang Lisong Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Salman S. Yoga Salyaputra Samson Rambah Pasir Samsudin Adlawi Sanie B. Kuncoro Santy Novaria Sapardi Djoko Damono Sarabunis Mubarok Sartika Dian Nuraini Sasti Gotama Sastra Nusantara Satmoko Budi Santoso Satriani Saut Poltak Tambunan Saut Situmorang Sekolah Literasi Gratis (SLG) Selasih Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Shadiqin Sudirman Shiny.ane el’poesya Shourisha Arashi Sidik Nugroho Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sindu Putra Siska Afriani Siti Sa’adah Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Slamet Samsoerizal Sobih Adnan Sofyan RH. Zaid Solihin Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sony Wibisono Sosiawan Leak Sri Wintala Achmad Sri Wulan Rujiati Mulyadi Stevani Elisabeth Suci Ayu Latifah Sucipto Hadi Purnomo Sudarmoko Sudirman HN Suhadi Mukhan Suharsono Sukar Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sunudyantoro Supriyadi Suriani Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syahruddin El-Fikri Syaripudin Zuhri Syifa Aulia Syu’bah Asa T.A. Sakti Tammalele Tan Lioe Ie Tasyriq Hifzhillah Taufik Abdullah Taufik Effendi Aria Taufik Ikram Jamil Taufiq Wr. Hidayat TE. Priyono Teguh Winarsho AS Tenas Effendy Tengsoe Tjahjono Thayeb Loh Angen Theresia Purbandini Tia Setiadi Tias Tatanka Tito Sianipar Tjahjono EP Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tjut Zakiyah Anshari Topik Mulyana Tosa Poetra Tri Harun Syafii TS Pinang Tu-ngang Iskandar Udo Z. Karzi Uly Giznawati Umar Fauzi Ballah Umbu Landu Paranggi Umi Kulsum Uniawati Universitas Indonesia Usman Arrumy Usman D.Ganggang Utada Kamaru UU Hamidy Viddy AD Daery W.S. Rendra Wa Ode Wulan Ratna Wahib Muthalib Wahyudi Akmaliah Muhammad Wardjito Soeharso Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Sunarta Weli Meinindartato Wicaksono Widodo DS Wina Karnie Wisran Hadi Wong Wing King Yan Maniani Yanti Mulatsih Yanuar Arifin Yasser Arafat Yaumu Roikha Yetti A. KA Yohanes Padmo Adi Nugroho Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yudhi Ms Yudhistira ANM Massardi Yulianna Yurnaldi Yusi A. Pareanom Yusi Avianto Pareanom Yusri Fajar Yusrizal KW Yuyun Ifa Naliah Zaim Rofiqi Zainal Arifin Thoha Zakki Amali Zakky Zulhazmi Zawawi Se Zehan Zareez Zelfeni Wimra Zuarman Ahmad Zulfikar Akbar