TE. Priyono
http://www.kr.co.id/
“awan yang terbang, membawa angan angan kita, salju yang turun, menyuburkan tanah harapan kita, lembah Hebei yang subur, tanah kenangan kita, siapa yang pergi kabarkan cerita, kami menjaga tanah kelahiran sampai saatnya buah buah Jizhongya di petik penuhi keranjang di musim panen raya”
BEGITU potongan syair lagu anak-anak yang masih mengental di ingatannya, selalu dilantunkan meskipun dia tidak faham sepenuhnya akan makna syair itu. Usianya sudah berkepala tujuh, di lingkungan orang orang Tionghoa Malang dia sering dipanggil Opa Jizhong, tetapi sama orang kampung di tempatnya tinggal dia dipanggil Mbah Zis. Dia tidak buat soal, pada panggilan itu. Karena sampai saat ini, dia sendiri belum tahu persis apa maksud orangtuanya dulu kasih nama Jizhongya. Hanya penggalan syair nyanyian lagu anak-anak yang dulu sering diajarkan mendiang Engkongnya yang membuatnya bangga, kalau nama itu adalah nama buah.
Sepanjang umur dia sendiri belum pernah melihat apa lagi menikmati buah Jizhongya, selama ini yang dia tahu hanya buah apel Batu yang pohonnya tumbuh subur di kebun dan pekarangan rumahnya di kota Apel itu.
Kalau menyenandungkan penggalan syair lagu itu, Jizhongya seperti diingatkan pada dongengan mendiang Engkongnya yang salah seorang cikal bakal pendatang orang orang Hebei di tanah Jawa ini. Dulu, sewaktu pertama kali datang di tanah Jawa Zhong Han, begitu nama engkongnya itu, ikut kapal niaga Belanda yang kemudian merapat di Surabaya. Kedatangan Zhong Han mengadu untung ke Jawa, semula dibayangi oleh impian ingin mengubah nasib di tanah surga.
“Tanah Jawa ini, dulu dikenal sebagai tanah surga. Karena kesuburannya. Orang gampang cari makan di sini, itulah yang bikin Engkong bertekad meninggalkan tanah Hebei dengan semua keindahannya,” kisah Zhong Han pada Jizhongya kecil ketika itu.
Untuk sampai ke tanah perantauan ini, mereka harus rela dijadikan budak oleh orang orang Belanda terutama para awak kapal, mandor perkebunan, pemilik maskapai pelayaran itu. Mereka harus terima semua perlakuan yang tidak enak sekalipun, karena kebanyakan dari mereka hanyalah menumpang dalam pelayaran itu dengan gratis.
“Kau tahu artinya menumpang itu ?”
“Tidak Engkong”
“Menumpang itu, sama artinya menyerahkan diri, rela dijajah dan tidak punya pilihan untuk membuat keputusan yang merdeka. Sebab menumpang itu semata karena adanya belas kasihan orang lain. Jadi selama dalam pelayaran kami harus rela dijadikan budak orang orang bule. Orang laki disuruh jadi tukang bersih bersih kapal, orang perempuan jadi tukang masak dan kalau yang sial disuruh jadi pelacur, melayani kebutuhan napsu orang orang bule itu. Kami tidak bisa berbuat banyak, meski kekasih, bini, saudara perempuan dibikin mainan tukang kapal itu”.
“Tidak ada yang melawan Engkong ?”
“Melawan sama saja mati. Itulah susahnya orang yang menumpang hidup. Teman Engkong yang tidak rela istrinya dijailin, dibunuh dan dibuang ke laut.”
“Kenapa mereka mau membayar perjalanan itu dengan penderitaan yang begitu hina, Engkong ?”
“Tanah surga, dimana matahari bersinar sepanjang tahun. Tidak ada udara dingin dan badai salju, tidak ada masa penantian panjang menunggu musim buah buah dipetik, udara hangat dan tanah yang subur sepanjang masa, dimana air mengalirkan kesuburan di sepanjang musim, itulah yang kami cari. Jadi betapa beratnya penderitaan dalam perjalanan semua tidak kami rasakan. Untung saja, Engkongmu ketika itu masih bujangan, jadi tidak terlalu repot. “Zhong Han menarik napas panjang, ada beban yang tak sampai hati untuk dikisahkan pada cucu laki-lakinya itu.
“Ketika merapat di pelabuhan Surabaya, orang-orang memanggil kami dengan kata kata yang tidak enak Xing Kei, artinya orang baru atau orang kapal kurang lebih begitu. Dan karena lidah orang Jawa sering main terabas, kata kata itu disebutnya singkek”.
“Singkek, itu orang Cina yang pelit kan Engkong ?” Jizhongya kecil kasih komentar bikin Zhong Han tertawa terkekeh-kekeh, sampai perutnya yang buncit naik turun.
“Bukan, bukan itu. Itu karena kesalnya orang orang yang iri sama keberhasilan kebanyakan orang kita dalam niaga,” jawab Zhong Han.
Jizhongya memang lebih dekat dengan engkongnya. Sejak kecil dia dalam asuhan engkong Zhong Han, ketika umur tiga tahun, kedua orangtuanya harus meninggalkan Batu, karena ada tawaran bagus untuk membuka usaha dagang gula di Madiun. Karena dipandang Jizhongya masih terlalu kecil untuk ikut mengadu nasib di Madiun. Oleh engkongnya, Jizhongya diminta untuk tinggal saja di Batu. Sampai remaja Jizhongya hidup dalam asuhan engkongnya. Sampai ada kabar, kedua orangtua dan adik perempuannya tewas ketika Madiun terjadi kerusuhan tahun 1948. Orang orang PKI Muso telah merampas kekayaan dan membunuh keluarga mereka. Ketika itu Jizhongya sudah masuk laskar Merah Putih Macan Gunung Welirang yang bergerak di sekitar hutan Tretes. Walaupun hancur tetapi hatinya diteguhkan demi mendengar kabar yang menyedihkan itu.
***
DARI Engkongnya, Jizhongya tidak pernah mendapatkan arti yang dimasudkan dari penggalan syair lagu anak anak itu. Cuma menurut engkongnya dulu, lagu itu sering dinyanyikan selama musim salju turun. Karena biasanya di musim itu tidak ada yang bisa dikerjakan, mereka banyak yang meninggalkan daerah untuk merantau cari kerja di luar wilayah dan kembali ketika musim semi untuk bertanam, begitu.
Menjelang ajal, engkong pernah berwasiat padanya. Begitu menderitanya menjalani hidup ini kalau hanya menumpang, cukuplah penderitaan itu jadi pengalaman orang tua-tua saja. Janganlah generasi selanjutnya menjalani kisah yang sangat menyedihkan itu.
“Jadilah orang merdeka, orang yang memiliki harapan dan masa depannya di tanah kelahiran sendiri. Tanah kelahiran bisa dimana saja, tanah kelahiran tidak mengenal kesukuan, warna kulit dan bentuk mata. Kalau dilahirkan dan dibesarkan di sini, inilah tanah airmu. Kebun apel dan kota Batu, itulah Hebei yang Engkong tinggalkan dulu. Tanah air ini adalah tumpah darahmu, maka janganlah kau menganggap dirimu menumpang di tanah ini. Kamu adalah bagian dari mereka yang mengaku sebagai anak negeri ini,” begitu wasiat terakhir yang masih diingat Jizhongya.
Dongengan Engkongnya ternyata begitu merasuki darah mudanya, perlakuan dan penghinaan orang bule terhadap Engkongnya membakar dendamnya pada orang orang Belanda. Semasa perang kemerdekaan, Jizhongya beberapa kali terlibat pertempuran di kota Malang. Begitu pun ketika kota Surabaya diluluhlantakan oleh NICA, Jizhongya ikut membantu di front Porong sampai ke Waru. Bahkan sekembalinya di kota Malang, sepasukan tentara Belanda yang datang dari arah Blitar berhasil mereka habisi di wilayah Pucung. Dan dalam pengembaraan selama perjuangan itu, hatinya tertambat pada gadis asal Tretes. Setelah keadaan aman, dia mengajukan pengunduran diri dari laskar, lantas menikah dengan Setyowati gadis asal Tretes dan hidup sebagai pedagang dan petani Apel di Batu.
Semasa pemerintahan Orde Baru, pemerintah banyak memperhatikan para veteran perang kemerdekaan. Seorang teman semasa perjuangan dulu yang masih mengenalnya dengan baik, menawarkan untuk penguruskan tuvet (tunjangan veteran), tetapi dia menolaknya.
***
Setyowati, istrinya sudah lama meninggal. Dua orang anaknya yang telah memberikan beberapa cucu dan bahkan cicit, tinggal tidak begitu jauh dari rumahnya. Dan di usia yang terbalut romantisme kehidupan alam kota Batu, selalu saja dia terkenang pada mendiang engkongnya. Terlebih di saat saat udara dingin menyusup ke dalam kamarnya lewat jendela yang menghadap ke arah taman wisata Selekta. Penggalan bait lagu anak-anak yang dulu selalu didengar dari engkongnya, dilantunkannya dengan bergumam, bagai menyejukkan hatinya,
“awan yang terbang, membawa angan angan kita,
salju yang turun, menyuburkan tanah harapan kita,
lembah Hebei yang subur, tanah kenangan kita,
siapa yang pergi kabarkan cerita, kami menjaga tanah kelahiran
sampai saatnya buah buah Jizhongya di petik
penuhi keranjang di musim panen raya”
Kepada pramurukti yang selalu merawatnya, dia katakan tidak ingin diganggu selama beberapa hari. Diijinkan gadis itu mengambil cuti. Jizhongya ingin menyemai ketenangan dalam lembah Hebei yang dirindukan. Untuk beberapa hari, memang tetangga dan anaknya tidak melihat Jizhongya dengan kursi dorongnya berada di teras depan.
Sampai akhirnya diketahui, Jizhongya mati di kamar tidurnya dengan tenang. Jendela masih terbuka, udara dingin masuk menembus impiannya, lembah Hebei dan buah Jizhongya yang dirindukan…
Kota Batu, Malang, 2000
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Rabu, 01 Desember 2010
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Khoirul Anam
A Qorib Hidayatullah
A Rodhi Murtadho
A. Yusrianto Elga
A. Zakky Zulhazmi
A.S. Laksana
Aang Fatihul Islam
Aba Mardjani
Abd. Mun’im
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Gaffar Ruskhan
Abdul Hadi W. M.
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Malik
Abdul Muis
Abdul Wachid BS
Abdullah Khusairi
Abidah El Khalieqy
Abimardha Kurniawan
Abroorza A. Yusra
Abu Salman
Acep Iwan Saidi
Achmad Farid Tuasikal
Adek Alwi
Adi Marsiela
Adian Husaini
Adib Muttaqin Asfar
Adji Subela
Afandi Sido
Afriza Hanifa
Afrizal Malna
Ageng Wuri R. A.
Ags. Arya Dipayana
Aguk Irawan M.N.
Agus B. Harianto
Agus Bing
Agus Noor
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Sri Danardana
Agus Sulton
Agus Sunyoto
Agus Wibowo
Agus Wirawan
Agusri Junaidi
AH J Khuzaini
Ahda Imran
Ahid Hidayat
Ahm Soleh
Ahmad Asyhar
Ahmad Farid Yahya
Ahmad Fuadi
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Musthofa Haroen
Ahmad Rofiq
Ahmad Suhendra
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Aini Aviena Violeta
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Muhaimin Azzet
Akhmad Sekhu
Al Azhar Riau
Al-Fairish
Alex R. Nainggolan
Alexander G.B.
Alfian Zainal
Aliansyah
Alimuddin
Almania Rohmah
Alunk Estohank
Amien Kamil
Amien Wangsitalaja
Anata Siregar
Andi Sutisno
Andy Riza Hidayat
Anies Baswedan
Anindita S Thayf
Anis Ceha
Anis Faridatur Rofiah
Anjrah Lelono Broto
Anna Subekti
Anton Kurnia
Ari Hidayat
Ari Kristianawati
Arie MP Tamba
Arief Junianto
Aris Kurniawan
Arti Bumi Intaran
Arul Arista
AS Sumbawi
Asarpin
Asep Sambodja
Atiqurrahman
Awalludin GD Mualif
Ayu Purwaningsih
Babe Derwan
Bakdi Soemanto
Balada
Bale Aksara
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Bayu Dwi Mardana
Bellanissa Zoditama
Beni Setia
Benny Arnas
Beno Siang Pamungkas
Berita
Berita Duka
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Bokor Hutasuhut
Brunel University London
BSW Adjikoesoemo
Budaya
Budhi Setyawan
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budiawan Dwi Santoso
Bur Rasuanto
Burhanuddin Bella
Bustan Basir Maras
Catatan
Catullus
CB. Ismulyadi
Cerbung
Cerita Rakyat
Cerpen
Chavchay Syaifullah
Cikie Wahab
Cunong Nunuk Suraja
D Zawawi Imron
Dad Murniah
Dadang Ari Murtono
Dahlia Rasyad
Damhuri Muhammad
Damiri Mahmud
Danarto
Daniel Paranamesa
Darju Prasetya
Darman Djamaluddin
Darman Moenir
Dasman Djamaluddin
David Krisna Alka
Dea Anugrah
Dedy Tri Riyadi
Denny JA
Denny Mizhar
Desi Sommalia Gustina
Dewi Anggraeni
Dharma Setyawan
Dian Hartati
Didi Arsandi
Dina Oktaviani
Dipo Handoko
Djenar Maesa Ayu
Djoko Pitono
Doddi Ahmad Fauji
Doddy Hidayatullah
Dodi Chandra
Dodiek Adyttya Dwiwanto
Dody Kristianto
Donny Anggoro
Dony P. Herwanto
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Klik Santosa
Dwi Pranoto
Dwicipta
Edy A Effendi
Edy Firmansyah
Eka Budianta
Eka Fendri Putra
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Ellyzan Katan
Elnisya Mahendra
Emha Ainun Nadjib
Endah Imawati
Eni Suryanti
Eny Rose
Eriyandi Budiman
Eriyanti
Erwin Edhi Prasetya
Erwin Setia
Esai
Evan Ys
Evi Idawati
F Rahardi
Fadly Rahman
Fahrudin Nasrulloh
Faizah Sirajuddin
Faizal Syahreza
Fajar Alayubi
Fakhrunnas M.A. Jabbar
Fanny Chotimah
Fariz al-Nizar
Fariz Alneizar
Faruk HT
Fatah Anshori
Fatah Yasin Noor
Fathurrahman Karyadi
Fatimah Wahyu Sundari
Fauzan Santa
Fazabinal Alim
Festival Sastra Gresik
Fikri MS
Fiksi Mini
Fransisca Dewi Ria Utari
Franz Kafka
Fuad Anshori
Furqon Abdi
Fuska Sani Evani
Gendhotwukir
Gendut Riyanto
Gerson Poyk
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Gola Gong
Grathia Pitaloka
Gregorio Lopez y’ Fuentes
Gugun El-Guyanie
Gunawan Budi Susanto
Gus Noy
H.H. Tokoro
Hadi Napster
Hamberan Syahbana
Hamdy Salad
Hamsad Rangkuti
Han Gagas
Hang Kafrawi
Hani Pudjiarti
Hanna Fransisca
Hardi Hamzah
Hardjono WS
Haris del Hakim
Haris Priyatna
Harris Maulana
Hary B. Kori'un
Hasan Al Banna
Hasan Junus
Hasbullah Said
Hasnan Bachtiar
HE. Benyamine
Heidi Arbuckle
Helmi Y Haska
Helvy Tiana Rosa
Hendra Junaedi
Hendri Nova
Herdoni Syafriansyah
Heri Kurniawan
Heri Latief
Heri Ruslan
Herman RN
Hermawan Aksan
Hermien Y. Kleden
Herry Lamongan
Holy Adib
Humaidiy AS
Husni Anshori
I Nyoman Darma Putra
I Nyoman Tingkat
I Wayan Artika
Ibnu Wahyudi
Ida Farida
Ignas Kleden
Ilham Khoiri
Imam Cahyono
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Tohari
Indra Tranggono
Indrian Koto
Irwan Kelana
Isbedy Stiawan Z.S.
Iskandar Noe
Isma Swastiningrum
Ismi Wahid
Iwan Gardono Sujatmiko
Iwan Gunadi
Iwan Kurniawan
Iwan Nurdaya Djafar
Iwank
J.S. Badudu
Janoary M Wibowo
Javed Paul Syatha
JILFest 2008
JJ. Kusni
Jodhi Yudono
Joko Novianto Bp
Joko Pinurbo
Jones Gultom
Jual Buku Paket Hemat
Jusuf AN
Kadek Suartaya
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kasnadi
Kedung Darma Romansha
Kenedi Nurhan
Khaerudin Kurniawan
Khaerul Anwar
Ki Sugito Ha Es
Kirana Kejora
Komunitas Deo Gratias
Korrie Layun Rampan
Kritik Sastra
Kunthi Hastorini
Kuntowijoyo
Kurie Suditomo
Kurnia Effendi
Kurniawan
Kuswinarto
La Ode Rabbani
Lathifa Akmaliyah
Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember
Leon Agusta
Lily Siti Multatuliana
Lily Yulianti Farid
Lina Kelana
Liza Wahyuninto
Lona Olavia
Lugiena Dé
M Fadjroel Rachman
M Farid W Makkulau
M Syakir
M. Dawam Rahardjo
M. Faizi
M. Mustafied
M. Raudah Jambak
M. Taufan Musonip
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
M.Th. Krishdiana Putri
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Maklumat Sastra Profetik
Malkan Junaidi
Maman S. Mahayana
Mangun Kuncoro
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria D. Andriana
Maria Magdalena Bhoernomo
Mariana Amiruddin
Maryati
Marzuzak SY
Mashuri
Maulana Syamsuri
Media: Crayon on Paper
Mega Vristian
MG. Sungatno
Misbahus Surur
Mofik el-abrar
Moh. Amir Sutaarga
Moh. Ghufron Cholid
Mohammad Hatta
Mohammad Kh. Azad
Mohammad Takdir Ilahi
Much. Khoiri
Muhamad Taslim Dalma
Muhammad Rain
Muhammad Subhan
Muhammad Yasir
Muhammadun A.S
Muhidin M Dahlan
Mujtahid
Mulyawan Karim
Musa Ismail
Musfi Efrizal
Mustafa Ismail
Mustofa W Hasyim
N Teguh Prasetyo
N. Mursidi
Nadhi Kiara Zifen
Nana Riskhi Susanti
Nanang Suryadi
Naskah Teater
Nasrulloh Habibi
Neva Tuhella
Nietzsche
Nirwan Dewanto
Nizar Qabbani
Noor H. Dee
Nova Christina
Novelet
Nunung Nurdiah
Nur Wachid
Nurani Soyomukti
Nurel Javissyarqi
Nurman Hartono
Nuryana Asmaudi
Nyoman Tusthi Eddy
Obrolan
Oky Sanjaya
Oyos Saroso HN
P Ari Subagyo
Pagelaran Musim Tandur
Pamusuk Eneste
Panji Satrio
PDS H.B. Jassin
Penerbit dan Toko Buku PUstaka puJAngga
Pipiet Senja
Pramoedya Ananta Toer
Pringadi AS
Pringgo HR
Prosa
Puisi
Puji Santosa
Purnawan Andra
PUstaka puJAngga
Putu Fajar Arcana
Putu Satria Kusuma
Putu Wijaya
R Masri Sareb Putra
R. Adhi Kusumaputra
R. Timur Budi Raja
R.N. Bayu Aji
Radhar Panca Dahana
Ragdi F. Daye
Rahmi Hattani
Raja Ali Haji
Raju Febrian
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Rama Dira J
Rama Prabu
Ramadhan KH
Ramon Magsaysay
Ramses Ohee
Ratih Kumala
Raudal Tanjung Banua
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Resensi
Ressa Novita
Ressa Sagitariana Putri
Ria Ristiana Dewi
Rialita Fithra Asmara
Ribut Wijoto
Rida K Liamsi
Rifka Sibarani
Rilda A. Oe. Taneko
Rilda A.Oe. Taneko
Rimbun Natamarga
Rinto Andriono
Risang Anom Pujayanto
Rita Zahara
Riyon Fidwar
Robin Al Kautsar
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rohman Budijanto
Rukardi
S Yoga
S. Jai
S. Takdir Alisyahbana
S.W. Teofani
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Sajak
Sajak Sebatang Lisong
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Salman S. Yoga
Salyaputra
Samson Rambah Pasir
Samsudin Adlawi
Sanie B. Kuncoro
Santy Novaria
Sapardi Djoko Damono
Sarabunis Mubarok
Sartika Dian Nuraini
Sasti Gotama
Sastra Nusantara
Satmoko Budi Santoso
Satriani
Saut Poltak Tambunan
Saut Situmorang
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
Selasih
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Shadiqin Sudirman
Shiny.ane el’poesya
Shourisha Arashi
Sidik Nugroho
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sindu Putra
Siska Afriani
Siti Sa’adah
Sitok Srengenge
Siwi Dwi Saputro
Slamet Samsoerizal
Sobih Adnan
Sofyan RH. Zaid
Solihin
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sony Wibisono
Sosiawan Leak
Sri Wintala Achmad
Sri Wulan Rujiati Mulyadi
Stevani Elisabeth
Suci Ayu Latifah
Sucipto Hadi Purnomo
Sudarmoko
Sudirman HN
Suhadi Mukhan
Suharsono
Sukar
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Sunudyantoro
Supriyadi
Suriani
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Sutan Iwan Soekri Munaf
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Syahruddin El-Fikri
Syaripudin Zuhri
Syifa Aulia
Syu’bah Asa
T.A. Sakti
Tammalele
Tan Lioe Ie
Tasyriq Hifzhillah
Taufik Abdullah
Taufik Effendi Aria
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Wr. Hidayat
TE. Priyono
Teguh Winarsho AS
Tenas Effendy
Tengsoe Tjahjono
Thayeb Loh Angen
Theresia Purbandini
Tia Setiadi
Tias Tatanka
Tito Sianipar
Tjahjono EP
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Tjut Zakiyah Anshari
Topik Mulyana
Tosa Poetra
Tri Harun Syafii
TS Pinang
Tu-ngang Iskandar
Udo Z. Karzi
Uly Giznawati
Umar Fauzi Ballah
Umbu Landu Paranggi
Umi Kulsum
Uniawati
Universitas Indonesia
Usman Arrumy
Usman D.Ganggang
Utada Kamaru
UU Hamidy
Viddy AD Daery
W.S. Rendra
Wa Ode Wulan Ratna
Wahib Muthalib
Wahyudi Akmaliah Muhammad
Wardjito Soeharso
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Sunarta
Weli Meinindartato
Wicaksono
Widodo DS
Wina Karnie
Wisran Hadi
Wong Wing King
Yan Maniani
Yanti Mulatsih
Yanuar Arifin
Yasser Arafat
Yaumu Roikha
Yetti A. KA
Yohanes Padmo Adi Nugroho
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yudhi Ms
Yudhistira ANM Massardi
Yulianna
Yurnaldi
Yusi A. Pareanom
Yusi Avianto Pareanom
Yusri Fajar
Yusrizal KW
Yuyun Ifa Naliah
Zaim Rofiqi
Zainal Arifin Thoha
Zakki Amali
Zakky Zulhazmi
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zelfeni Wimra
Zuarman Ahmad
Zulfikar Akbar
Tidak ada komentar:
Posting Komentar