Maria D. Andriana
http://www.sinarharapan.co.id/
Kedai kopi di seberang danau memutar lagu Moonriver yang dilantunkan Shirley Bassey, bunyinya melengking menyapu permukaan danau, menggoyang daun-daun willow yang menjuntai ke air. Ingin ia mematikan lagu itu. Ingin juga ia mematikan suara-suara lain sehingga tak ada sepotong suara pun yang memasuki telinganya. Tapi itu tak mungkin. Pasti tak mungkin!
Kawanan gagak berkumpul dan ribut. Oh… ia benci burung gagak. Bulunya hitam berkilat, matanya jalang, paruh kuning menyala. Burung-burung gagak terbang berkoar-koar, kepak sayapnya mengembuskan angin, mengirimkan suara kelepak….kelepak … kelepak dan mata jalangnya mengancam mangsa. Ia selalu curiga pada gagak. Ia benci pada ulahnya yang suka mengais-ngais sampah.
Gagak tak pernah menghargai jerih payah orang yang membuang sampah dengan rapi, membungkusnya dengan kantung-kantung plastik secara terpisah, sampah basah; sampah kertas; sampah plastik; logam juga kaca. Gagak mana tahu hal semacam itu? Mereka mengaduk semua plastik sampah, mengorek-ngoreknya dan memungut sisa makanan lalu meninggalkan sisa sampah berserakan, menyebarkan bau busuk yang mengundang lalat. Ah lalat terlalu sedikit di Tokyo. Keberadaan mereka tidak berarti, tidak seperti di negaranya, lalat sangat menjijikkan dan menyebar penyakit.
Bayangan Yoshio berkelebat. Mula-mula wajahnya yang tirus berbingkai rambut hitam itu tersenyum tetapi lama-lama matanya mengancam, mirip mata gagak yang berusaha merebut remah roti dari burung gereja!
Ia mengembuskan napas, penuh kesal dan memalingkan wajah ke kanan danau, tepat saat angin bertiup membawa bau dupa dari kuil Shinto di seberang jalan. Kuil itu tersembunyi di bawah rimbunnya pohon-pohon Cedar dan Ginko. Di atas dahan ada satu-dua, tiga ekor gagak. Ah gagak lagi. Ia benci gagak dan mungkin ia benci Yoshio juga.
Perasaannya begitu kesal pada Yoshio, pria yang seharusnya dicintainya. Baru tadi malam mereka bertengkar hebat, Yoshio terlalu cemburu. Yoshio banyak menuntut perhatian, juga banyak melarang dirinya. Yoshio merentangkan tali cinta yang membelenggu, bukan tali cinta yang melindunginya. Bukankah hanya kebetulan ketika di isakaya tadi malam mereka bertemu dan berkenalan dengan seorang pria Bali. Ardisa membangkitkan kenangannya akan tanah air, Ardisa mengingatkannya pada kehangatan pantai Kuta. Senyumnya menawan. Matanya bulat, ramah dan senyumnya memang menawan. Yoshio adalah kekasih yang akan dinikahinya dua bulan lagi dan Ardisa baru mereka kenal dalam satu-dua jam, bagaimana bisa dicemburui?
Tiga ekor bebek dengan bulu musim panas yang baru tumbuh, berenang tenang tepat di depannya sambil sesekali mencelupkan kepala ke dalam air untuk mencari makan. Ah bebek-bebek lebih manis ketimbang gagak. Mereka juga tak pernah mengganggu manusia. Mereka bahkan bisa membuat anak-anak tertawa gembira karena melihat tingkahnya yang lucu. Cara jalan bebek-bebek mengingatkannya pada mbak Hanna, meninggalkan pantat yang egal-egol . Ia hampir tersenyum, tetapi bayangan Yoshio telah menyerobot senyumnya yang belum sempat mekar. Ia kembali melihat ke arah kuil. Yoshio mengajaknya menikah di kuil itu, dengan upacara adat. Ia malah meminta ibunya untuk meminjamkan kimono terindah bagi dirinya.
Beberapa hari lalu rencana itu merupakan mimpi indah, tetapi tidak lagi hari ini, ketika cintanya telah bercampur rasa benci. Ia mencoba mencari-cari, mungkin kegundahan ini akibat senyum Ardisa yang menawan atau sikap kekanak-kanakan Yoshio yang membiarkan diri mabuk, mencolek pantat pelayan perempuan di depan matanya dan berusaha merebut setiap kesempatan bicara bahkan untuk topik-topik yang tidak dikuasainya.
Yoshio menyerobot bicara, membelokkan percakapan tentang penari kecak dengan kenangan liburannya untuk bermain golf di dekat Tanah Lot. Sikapnya tuna tatakrama. Ia muak oleh teriakan gagak-gagak yang tiada henti: gak… gak… gak… Suara Shirley Bassey juga masih melengking tinggi : I’ll never , never, never… ”. Ingin ia mematikan lagu itu lalu menggantinya dengan senandung lullaby yang lembut. Tentu lebih cocok dengan suasana di ambang senja seperti ini.
Ia mencoba memilih mendengarkan nyanyian semi , kumbang yang muncul di awal Juli. Kehadiran semi yang musiman bisa menimbulkan kerinduan, seperti rindu air hujan di musim kemarau, rindu makan rambutan, bukan apel. Jangan-jangan ia rindu pria Indonesia, bukan Yoshio yang ditemuinya setiap hari. Jika menikah, mereka akan tinggal satu atap dan bertemu setiap hari.
Bosankah nanti? Lebih baik ia membatalkan pernikahan saja! Yoshio terlalu mengaturnya: tak boleh merokok; tak boleh pakai rok; tak boleh pergi dengan si A. atau B. Yoshio memaksanya ikut memancing, padahal ia benci memancing — kesenangan yang sadis, melukai dan menyakiti mulut ikan. Yoshio juga mengajaknya bermain bowling, padahal ia lebih suka jogging di taman atau pesiar ke Kawagoe dan mengunjungi mbak Hanna di kota kecil itu.
Ia menoleh dengan gelisah ke arah kuil yang tampak gelap, kusam dan sunyi. Gelisah itu menyelinap makin dalam. Ia tak bisa menyelami seberapa besar cintanya pada Yoshio, seperti ia tak bisa melihat dasar danau dengan air yang keruh oleh algae hijau. Ia melihat perempuan setengah baya, bimbo, mungkin juga setengah tak waras.
Perempuan itu menggenggam biji-bijian makanan burung, tapi ia mengusir gagak, seolah-olah tak rela jika burung-burung hitam itu ikut menikmati santapan gratis darinya. Ia miskin, terlihat pakaiannya kumal, rambut awut-awutan, sepatu murah dan mantel musim semi yang membalut tubuh tipisnya. Tapi perempuan itu mampu membeli biji-bijian untuk memelihara burung-burung liar. Mengertilah ia akan isi Alkitab: ”… dan burung-burung (gagak) tidak menanam tetapi ikut menuai, bunga bakung tidak merajut tetapi berpakaian indah .” Hidup memang rumit, serumit dirinya dalam memahami Yoshio.
Tangannya meraba bangku kayu yang keras. Musim dingin tahun lalu, dia duduk di bangku ini yang menghadap danau. Hari itu cerah dan ia tak menyia-nyiakan sinar matahari yang langka di musim dingin. Ia jogging dan beristirahat di bangku itu dengan terengah-engah. Yoshio datang menuntun seekor anjing, golden retriever yang disapanya dengan nama ”Haru-chan”. Hewan itu mendatangi dan mengendus kakinya, sementara Yoshio membungkuk-bungkuk minta maaf . Ia tidak keberatan dengan ulah Haru-chan. Begitulah mereka berkenalan; bertemu; bertegur sapa; membicarakan cuaca; makanan dan banyak hal lain. Yoshio selalu antusias menanyakan tentang Indonesia dan pulau Bali. Ia juga bersemangat mempromosikan negaranya yang saat itu dirundung krisis ekonomi, krisis politik, krisis sosial dan semua hal mengenai Indonesia. Ibu Yoshio bersimpati padanya dan pada keadaan Indonesia yang kini memburuk. ”Kudengar bangsamu sedang sengsara, harga beras mahal ya? Apakah beras Jepang enak? Terlalu mahal?”
Pertanyaan dan pernyataan itu terasa mengiris harga dirinya. Ia merasa miskin tak berdaya, disumbang beras. Negaranya disumbang beras oleh Jepang –tapi digerogoti tikus-tikus, berkepala besar ataupun kecil. Negaranya diserbu bantuan pakaian bekas, diperdaya membeli kereta api bekas juga bis bekas. Sumbangan mulia itu menutupi kenyataan, bahwa ongkos pemusnahan gerbong-gerbong KRL dan bus akan lebih mahal dan mencemari lingkungan Jepang, ketimbang disumbangkan ke Indonesia. Ia tak berdaya menerima bantuan dari ibu Yoshio, karena ketulusan perempuan itu. Mungkin Indonesia juga tak berdaya menerima sumbangan-sumbangan dari sang ”saudara tua”. Adiknya bilang KRL bekas itu jadi angkutan umum yang eksklusif di Jabotabek, hanya dapat dinikmati oleh karyawan yang bergaji besar. Ia menanak nasi Jepang dan menelannya dengan hati pedih, mengingat banyak orang sebangsanya ketika itu sulit makan, sampai harus menjarah, mempertaruhkan nyawa dalam kobaran api yang menghanguskan pertokoan dan tubuh-tubuh mereka. Ia terguguk menyaksikan siaran televisi di Jepang yang menayangkan suasana departement Store di Klender yang terbakar hangus dan memerangkap ratusan orang di dalamnya. Nasi Jepang melengket di tenggorokan dan butir-butir air matanya menggelincir tak terkendali. Saat itu Yoshio memeluknya, menentramkannya dengan kata-kata dan tepukan tangan di punggung. Saat itu ia pun memeluk Yoshio dan menjatuhkan cintanya. Semudah itu.
Ia hanya merintih diam-diam menyaksikan ibu-ibu pejabat Indonesia berbelanja Chinaware, perhiasan mutiara, hiasan batu, memborong baju juga sepatu yang terkenal empuk dan awet itu. Bagi mereka, krisis keuangan sebenarnya tak ada. Simpanan dolar malah berbunga-bunga! Yang krisis biar krisis, yang nganggur biar nganggur, yang mau belanja juga punya hak belanja, nasib orang beda-beda kok!
Suara kanak-kanak dan ibu mereka yang tadi bermain di taman sudah lama hilang. Senja memerah dan burung-burung bernyanyi lirih, memberi salam perpisahan sebelum beranjak tidur.
Perempuan gembel itu masih memegang kantung plastik, menebar habis biji-bijian ke atas tanah hitam yang lembab dan lembut oleh humus. Alam terasa mengantuk. Gagak-gagakpun menguap lesu dan daun-daun willow diam saat angin mati.
Ia merasa sepi sendiri. Sepi menggigit. Haruskah ia melanjutkan rencana pernikahan mereka? Mbak Hanna menasihati: ”Mertua Jepang sangat cerewet dan posesif. Apalagi Yoshio anak semata wayang, tak ada saudara dan ayahnya sudah meninggal. Kau berkewajiban mengurus ibunya, tapi jangan heran kalau dia akan mengatur hidup kalian sampai mengatur warna sprei kalian. Aku sudah pengalaman jadi istri orang Jepang, menantu orang Jepang dan ibu dari tiga anak Jepang.” Mbak Hanna bercerai dari suaminya karena tak tahan dengan tekanan mertuanya yang selalu mencela ”cara hidup Indonesianya”. Bukankah mertua Indonesia juga begitu? Banyak cerita serupa didengarnya dari orang Indonesia. Apakah ibunya juga menderita akibat kenyinyiran nenek?
Ia mencoba mengingat-ingat kelembutan calon mertuanya. Okasan, begitu ia ikut memanggil, meneleponnya suatu hari menjelang badai untuk mengingatkannya agar tidak keluar rumah. Okasan datang merawatnya ketika ia tiga hari tak bisa bangun akibat flu. Yoshio yang sabar meladeninya, meneleponnya berkali-kali dalam sehari, menyemangatinya untuk menyelesaikan kuliah, menyejukkan jiwanya yang lelah belajar dan arubaito sebagai pencuci piring di kedai makan.
Kedua orang itu mengenal sosoknya sebagai mahasiswa asing yang hidup pas-pasan. Ia tak pernah bercerita orang tuanya punya tiga pembantu dan seorang sopir. Kedua anak-beranak itu tidak bertanya, mungkin tak pernah membayangkan keluarga di Indonesia punya pembantu dan sopir. Mereka tak bertanya, seperti bebek-bebek yang cuek dengan hidupnya sendiri, makan, bercinta, bertelur, berenang … mana mungkin bebek memikirkan nasib petani, peternak atau buruh yang kini sulit mencari nafkah dan tercekik harga-harga kebutuhan yang terus melambung.
Gagak-gagak sudah pergi, burung dara, perkutut dan burung gereja juga sudah tak tampak. Kedai kopi itu sekarang melantunkan lagu-lagu enka kesukaan Yoshio. Apa sebenarnya keberatan dirinya jika menikah dengan Yoshio? Apakah karena perdebatan untuk menentukan tata cara pernikahan, nikah gereja atau di kuil? Apakah karena Yoshio melarangnya bergaul dengan teman-teman laki-lakinya yang lain?
Hilang akalnya untuk membuat Yoshio bisa membebaskan dirinya dalam memilih pekerjaan, memilih kehidupan dan teman. Belum menikah saja, Yoshio sudah banyak melarangnya, bagaimana kelak? Ia juga tersinggung ketika Yoshio menyarankannya untuk pindah kewarganegaraan setelah mereka menikah kelak.
Apa yang salah dengan kewarganegaraan Indonesia? Apa hebat dan pentingnya bangsa Jepang? Ia mengeluh karena mencintai orang Jepang yang bernama Yoshio itu. Belum ada kata sepakat mengenai perdebatan mereka. Kenapa Yoshio pencemburu dan menginginkan dirinya untuk Yoshio seorang? Kenapa mereka berbeda? Ini seperti gagak dan burung dara, hidup di satu taman, tetapi tak pernah bersatu. Bisakah gagak hidup bersama burung dara? Kenapa dulu dia jatuh cinta pada pria ini, tidak pada pria Indonesia saja? Bukankah jatuh cinta tak bisa dipaksakan? Meski disebut dekat, ternyata budaya Jepang dan Indonesia punya banyak perbedaan. Berkali-kali ia mencari tahu pada pasangan campuran Jepang-Indonesia mengenai kunci keberhasilan hidup mereka, tapi jawabannya beranekaragam. Keputusan ada pada mereka sendiri, tak bisa meniru orang lain.
Matahari merah tinggal segaris, menyisakan kehangatan yang lembut. Sejenak ia ingin bermanja dengan senja, menikmati bau dedaunan, bau tanah, bau air danau yang sarat tahi ikan, burung dan bebek. Tiba-tiba tercium bau ikan bakar berbumbu soyu, membangunkan rasa lapar.
Ia ingat senyum Ardisa. Gila! Apakah kebimbangan menghadapi pernikahan ini hanya karena senyum itu? Ardisa tidak berkata apa-apa mengenai cinta dan pernikahan. Mereka hanya bertemu dua jam itu pun dengan Yoshio. Bagaimana cara mengukur cinta pada Yoshio? Sanggupkah ia meninggalkannya? Apa yang terjadi jika mereka berpisah? Perasaannya beku seperti malam yang mulai menggantung. Ia setengah berharap Yoshio menelepon, menghiburnya dan meminta maaf.
Hari sudah semakin petang dan ia harus meninggalkan taman yang mulai gelap dan dingin. Ia bangkit dari kursi, memasukkan bacaan yang sedari tadi dipangkunya ke dalam tas tangan dan berbalik. Seketika ia melihat Yoshio duduk di atas gundukan tanah pembatas jalan, hanya sekitar dua puluh langkah di belakangnya. Mata Yoshio teduh, penuh kasih. Cintanya mekar lagi dengan cepat seperti balon yang diisi angin, kembang dan kempis. Cinta yang rawan karena sewaktu-waktu bisa meletus, seperti balon yang tipis setelah ditiup berulang-ulang.
” Sudah lama?” sapanya, melupakan kejadian semalam. Pria itu bangkit menghampirinya.
”Aku khawatir kau akan menjadi patung, atau kau latihan pantomim?” Yoshio memeluk erat, tubuhnya hangat. Ia menelan pertanyaan-pertanyaan yang seharusnya diucapkan, cintakah Yoshio padanya, maukah Yoshio menikah di gereja? Sanggupkah menunggu lima tahun untuk menunda punya anak? Ia menangguhkan pertanyaan penting itu seperti malam menunda cahaya matahari sampai esok pagi.
Mereka berjalan melewati makam Katsu Kaishu, pembaharu yang dikagumi Yoshio, menyusuri tepi perpustakaan dan meninggalkan taman Senzoku Ike. Ia memandang pria di sampingnya untuk mencari cinta, tapi sekelilingnya mulai temaram. Tak ada yang bisa dilihatnya lagi. Tiba-tiba ia merasa hampa. Tidakkah kau dengar suara balon meletus? ***
Bekasi, Januari 2003
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Rabu, 01 Desember 2010
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Khoirul Anam
A Qorib Hidayatullah
A Rodhi Murtadho
A. Yusrianto Elga
A. Zakky Zulhazmi
A.S. Laksana
Aang Fatihul Islam
Aba Mardjani
Abd. Mun’im
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Gaffar Ruskhan
Abdul Hadi W. M.
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Malik
Abdul Muis
Abdul Wachid BS
Abdullah Khusairi
Abidah El Khalieqy
Abimardha Kurniawan
Abroorza A. Yusra
Abu Salman
Acep Iwan Saidi
Achmad Farid Tuasikal
Adek Alwi
Adi Marsiela
Adian Husaini
Adib Muttaqin Asfar
Adji Subela
Afandi Sido
Afriza Hanifa
Afrizal Malna
Ageng Wuri R. A.
Ags. Arya Dipayana
Aguk Irawan M.N.
Agus B. Harianto
Agus Bing
Agus Noor
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Sri Danardana
Agus Sulton
Agus Sunyoto
Agus Wibowo
Agus Wirawan
Agusri Junaidi
AH J Khuzaini
Ahda Imran
Ahid Hidayat
Ahm Soleh
Ahmad Asyhar
Ahmad Farid Yahya
Ahmad Fuadi
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Musthofa Haroen
Ahmad Rofiq
Ahmad Suhendra
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Aini Aviena Violeta
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Muhaimin Azzet
Akhmad Sekhu
Al Azhar Riau
Al-Fairish
Alex R. Nainggolan
Alexander G.B.
Alfian Zainal
Aliansyah
Alimuddin
Almania Rohmah
Alunk Estohank
Amien Kamil
Amien Wangsitalaja
Anata Siregar
Andi Sutisno
Andy Riza Hidayat
Anies Baswedan
Anindita S Thayf
Anis Ceha
Anis Faridatur Rofiah
Anjrah Lelono Broto
Anna Subekti
Anton Kurnia
Ari Hidayat
Ari Kristianawati
Arie MP Tamba
Arief Junianto
Aris Kurniawan
Arti Bumi Intaran
Arul Arista
AS Sumbawi
Asarpin
Asep Sambodja
Atiqurrahman
Awalludin GD Mualif
Ayu Purwaningsih
Babe Derwan
Bakdi Soemanto
Balada
Bale Aksara
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Bayu Dwi Mardana
Bellanissa Zoditama
Beni Setia
Benny Arnas
Beno Siang Pamungkas
Berita
Berita Duka
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Bokor Hutasuhut
Brunel University London
BSW Adjikoesoemo
Budaya
Budhi Setyawan
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budiawan Dwi Santoso
Bur Rasuanto
Burhanuddin Bella
Bustan Basir Maras
Catatan
Catullus
CB. Ismulyadi
Cerbung
Cerita Rakyat
Cerpen
Chavchay Syaifullah
Cikie Wahab
Cunong Nunuk Suraja
D Zawawi Imron
Dad Murniah
Dadang Ari Murtono
Dahlia Rasyad
Damhuri Muhammad
Damiri Mahmud
Danarto
Daniel Paranamesa
Darju Prasetya
Darman Djamaluddin
Darman Moenir
Dasman Djamaluddin
David Krisna Alka
Dea Anugrah
Dedy Tri Riyadi
Denny JA
Denny Mizhar
Desi Sommalia Gustina
Dewi Anggraeni
Dharma Setyawan
Dian Hartati
Didi Arsandi
Dina Oktaviani
Dipo Handoko
Djenar Maesa Ayu
Djoko Pitono
Doddi Ahmad Fauji
Doddy Hidayatullah
Dodi Chandra
Dodiek Adyttya Dwiwanto
Dody Kristianto
Donny Anggoro
Dony P. Herwanto
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Klik Santosa
Dwi Pranoto
Dwicipta
Edy A Effendi
Edy Firmansyah
Eka Budianta
Eka Fendri Putra
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Ellyzan Katan
Elnisya Mahendra
Emha Ainun Nadjib
Endah Imawati
Eni Suryanti
Eny Rose
Eriyandi Budiman
Eriyanti
Erwin Edhi Prasetya
Erwin Setia
Esai
Evan Ys
Evi Idawati
F Rahardi
Fadly Rahman
Fahrudin Nasrulloh
Faizah Sirajuddin
Faizal Syahreza
Fajar Alayubi
Fakhrunnas M.A. Jabbar
Fanny Chotimah
Fariz al-Nizar
Fariz Alneizar
Faruk HT
Fatah Anshori
Fatah Yasin Noor
Fathurrahman Karyadi
Fatimah Wahyu Sundari
Fauzan Santa
Fazabinal Alim
Festival Sastra Gresik
Fikri MS
Fiksi Mini
Fransisca Dewi Ria Utari
Franz Kafka
Fuad Anshori
Furqon Abdi
Fuska Sani Evani
Gendhotwukir
Gendut Riyanto
Gerson Poyk
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Gola Gong
Grathia Pitaloka
Gregorio Lopez y’ Fuentes
Gugun El-Guyanie
Gunawan Budi Susanto
Gus Noy
H.H. Tokoro
Hadi Napster
Hamberan Syahbana
Hamdy Salad
Hamsad Rangkuti
Han Gagas
Hang Kafrawi
Hani Pudjiarti
Hanna Fransisca
Hardi Hamzah
Hardjono WS
Haris del Hakim
Haris Priyatna
Harris Maulana
Hary B. Kori'un
Hasan Al Banna
Hasan Junus
Hasbullah Said
Hasnan Bachtiar
HE. Benyamine
Heidi Arbuckle
Helmi Y Haska
Helvy Tiana Rosa
Hendra Junaedi
Hendri Nova
Herdoni Syafriansyah
Heri Kurniawan
Heri Latief
Heri Ruslan
Herman RN
Hermawan Aksan
Hermien Y. Kleden
Herry Lamongan
Holy Adib
Humaidiy AS
Husni Anshori
I Nyoman Darma Putra
I Nyoman Tingkat
I Wayan Artika
Ibnu Wahyudi
Ida Farida
Ignas Kleden
Ilham Khoiri
Imam Cahyono
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Tohari
Indra Tranggono
Indrian Koto
Irwan Kelana
Isbedy Stiawan Z.S.
Iskandar Noe
Isma Swastiningrum
Ismi Wahid
Iwan Gardono Sujatmiko
Iwan Gunadi
Iwan Kurniawan
Iwan Nurdaya Djafar
Iwank
J.S. Badudu
Janoary M Wibowo
Javed Paul Syatha
JILFest 2008
JJ. Kusni
Jodhi Yudono
Joko Novianto Bp
Joko Pinurbo
Jones Gultom
Jual Buku Paket Hemat
Jusuf AN
Kadek Suartaya
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kasnadi
Kedung Darma Romansha
Kenedi Nurhan
Khaerudin Kurniawan
Khaerul Anwar
Ki Sugito Ha Es
Kirana Kejora
Komunitas Deo Gratias
Korrie Layun Rampan
Kritik Sastra
Kunthi Hastorini
Kuntowijoyo
Kurie Suditomo
Kurnia Effendi
Kurniawan
Kuswinarto
La Ode Rabbani
Lathifa Akmaliyah
Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember
Leon Agusta
Lily Siti Multatuliana
Lily Yulianti Farid
Lina Kelana
Liza Wahyuninto
Lona Olavia
Lugiena Dé
M Fadjroel Rachman
M Farid W Makkulau
M Syakir
M. Dawam Rahardjo
M. Faizi
M. Mustafied
M. Raudah Jambak
M. Taufan Musonip
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
M.Th. Krishdiana Putri
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Maklumat Sastra Profetik
Malkan Junaidi
Maman S. Mahayana
Mangun Kuncoro
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria D. Andriana
Maria Magdalena Bhoernomo
Mariana Amiruddin
Maryati
Marzuzak SY
Mashuri
Maulana Syamsuri
Media: Crayon on Paper
Mega Vristian
MG. Sungatno
Misbahus Surur
Mofik el-abrar
Moh. Amir Sutaarga
Moh. Ghufron Cholid
Mohammad Hatta
Mohammad Kh. Azad
Mohammad Takdir Ilahi
Much. Khoiri
Muhamad Taslim Dalma
Muhammad Rain
Muhammad Subhan
Muhammad Yasir
Muhammadun A.S
Muhidin M Dahlan
Mujtahid
Mulyawan Karim
Musa Ismail
Musfi Efrizal
Mustafa Ismail
Mustofa W Hasyim
N Teguh Prasetyo
N. Mursidi
Nadhi Kiara Zifen
Nana Riskhi Susanti
Nanang Suryadi
Naskah Teater
Nasrulloh Habibi
Neva Tuhella
Nietzsche
Nirwan Dewanto
Nizar Qabbani
Noor H. Dee
Nova Christina
Novelet
Nunung Nurdiah
Nur Wachid
Nurani Soyomukti
Nurel Javissyarqi
Nurman Hartono
Nuryana Asmaudi
Nyoman Tusthi Eddy
Obrolan
Oky Sanjaya
Oyos Saroso HN
P Ari Subagyo
Pagelaran Musim Tandur
Pamusuk Eneste
Panji Satrio
PDS H.B. Jassin
Penerbit dan Toko Buku PUstaka puJAngga
Pipiet Senja
Pramoedya Ananta Toer
Pringadi AS
Pringgo HR
Prosa
Puisi
Puji Santosa
Purnawan Andra
PUstaka puJAngga
Putu Fajar Arcana
Putu Satria Kusuma
Putu Wijaya
R Masri Sareb Putra
R. Adhi Kusumaputra
R. Timur Budi Raja
R.N. Bayu Aji
Radhar Panca Dahana
Ragdi F. Daye
Rahmi Hattani
Raja Ali Haji
Raju Febrian
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Rama Dira J
Rama Prabu
Ramadhan KH
Ramon Magsaysay
Ramses Ohee
Ratih Kumala
Raudal Tanjung Banua
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Resensi
Ressa Novita
Ressa Sagitariana Putri
Ria Ristiana Dewi
Rialita Fithra Asmara
Ribut Wijoto
Rida K Liamsi
Rifka Sibarani
Rilda A. Oe. Taneko
Rilda A.Oe. Taneko
Rimbun Natamarga
Rinto Andriono
Risang Anom Pujayanto
Rita Zahara
Riyon Fidwar
Robin Al Kautsar
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rohman Budijanto
Rukardi
S Yoga
S. Jai
S. Takdir Alisyahbana
S.W. Teofani
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Sajak
Sajak Sebatang Lisong
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Salman S. Yoga
Salyaputra
Samson Rambah Pasir
Samsudin Adlawi
Sanie B. Kuncoro
Santy Novaria
Sapardi Djoko Damono
Sarabunis Mubarok
Sartika Dian Nuraini
Sasti Gotama
Sastra Nusantara
Satmoko Budi Santoso
Satriani
Saut Poltak Tambunan
Saut Situmorang
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
Selasih
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Shadiqin Sudirman
Shiny.ane el’poesya
Shourisha Arashi
Sidik Nugroho
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sindu Putra
Siska Afriani
Siti Sa’adah
Sitok Srengenge
Siwi Dwi Saputro
Slamet Samsoerizal
Sobih Adnan
Sofyan RH. Zaid
Solihin
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sony Wibisono
Sosiawan Leak
Sri Wintala Achmad
Sri Wulan Rujiati Mulyadi
Stevani Elisabeth
Suci Ayu Latifah
Sucipto Hadi Purnomo
Sudarmoko
Sudirman HN
Suhadi Mukhan
Suharsono
Sukar
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Sunudyantoro
Supriyadi
Suriani
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Sutan Iwan Soekri Munaf
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Syahruddin El-Fikri
Syaripudin Zuhri
Syifa Aulia
Syu’bah Asa
T.A. Sakti
Tammalele
Tan Lioe Ie
Tasyriq Hifzhillah
Taufik Abdullah
Taufik Effendi Aria
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Wr. Hidayat
TE. Priyono
Teguh Winarsho AS
Tenas Effendy
Tengsoe Tjahjono
Thayeb Loh Angen
Theresia Purbandini
Tia Setiadi
Tias Tatanka
Tito Sianipar
Tjahjono EP
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Tjut Zakiyah Anshari
Topik Mulyana
Tosa Poetra
Tri Harun Syafii
TS Pinang
Tu-ngang Iskandar
Udo Z. Karzi
Uly Giznawati
Umar Fauzi Ballah
Umbu Landu Paranggi
Umi Kulsum
Uniawati
Universitas Indonesia
Usman Arrumy
Usman D.Ganggang
Utada Kamaru
UU Hamidy
Viddy AD Daery
W.S. Rendra
Wa Ode Wulan Ratna
Wahib Muthalib
Wahyudi Akmaliah Muhammad
Wardjito Soeharso
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Sunarta
Weli Meinindartato
Wicaksono
Widodo DS
Wina Karnie
Wisran Hadi
Wong Wing King
Yan Maniani
Yanti Mulatsih
Yanuar Arifin
Yasser Arafat
Yaumu Roikha
Yetti A. KA
Yohanes Padmo Adi Nugroho
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yudhi Ms
Yudhistira ANM Massardi
Yulianna
Yurnaldi
Yusi A. Pareanom
Yusi Avianto Pareanom
Yusri Fajar
Yusrizal KW
Yuyun Ifa Naliah
Zaim Rofiqi
Zainal Arifin Thoha
Zakki Amali
Zakky Zulhazmi
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zelfeni Wimra
Zuarman Ahmad
Zulfikar Akbar
Tidak ada komentar:
Posting Komentar