Rabu, 01 Desember 2010

Sebastio

Sudirman HN
http://www.sinarharapan.co.id/

Namanya Sebastio. Sebastio Gomez. Kulitnya legam, matanya sering kali kelam. Ia datang dari sebuah negeri kecil dan gersang di selatan. Suaranya kerap bergetar ketika bercerita tentang masa lalunya. Jemarinya kurus, wajahnya tirus.

Ia sekali lagi meraih kretek yang aku letakkan di atas meja di sebuah kafe yang lengang pada sebuah senja yang murung. Kusodorkan korek api yang menyala dan ia menyedotnya kuat-kuat. Asapnya berkesiur ditiup angin samudera Pasifik di kota yang asing ini. Kami cukup lama saling berdiam diri. Meresapi suara angin, cericit burung yang beranjak ke sarang dan percakapan tergesa orang-orang yang usai bekerja seharian, yang seperti kami singgah di sini sekedar membunuh waktu dan kebosanan sebelum pulang ke rumah.

Juni 2002, Brisbane mulai disergap musim dingin. Desau angin agak kencang menyisakan gigil bagi kami, dua orang anak muda yang terbiasa dengan matahari tropika. Langit mendung. Kami berhadap-hadapan, masing-masing dengan segelas espresso yang kental dan pahit. Ia menyeruputnya dengan segumpal rasa kecewa. ”Tak seharum aroma kopi Timor. Kopi yang kupetik, kujemur dan kuolah dengan tanganku sendiri,” tandasnya dengan mata menerawang jauh.

”Musim dingin seperti ini selalu membuatku semakin rindu kampung halaman,” masih juga ia meneruskan keluh-kesahnya. Mati-matian aku berusaha membayangkan kampung halamannya di Los Palos sana. Mungkin sebuah kampung kusam dengan anak-anak kecil bertelanjang dada berlarian memburu capung di padang-padang yang gersang. Anak-anak bermata bening bermain perang-perangan. Mungkin tidak menyadari betapa perang sesungguhnya baru saja berlalu di negerinya. Betapa perang telah mencekam negeri mereka bahkan jauh sebelum mereka lahir.

”Kamu terlalu sentimental. Apalah arti musim dingin di Brisbane ini. Tak seberapa dingin sebenarnya. Melbourne dan Hobart jauh lebih dingin.” Aku menghiburnya dengan nada kurang meyakinkan. Aku tiba-tiba merasa heran, ke mana gerangan ketangguhan anak muda legam ini. Bukankah dulu ia pejuang bawah tanah Timor yang teruji menghadapi segala macam penderitaan dan kesusahan. Inilah dia anak muda yang ikut melompati pagar kedutaan besar sebuah negeri adidaya ketika seorang jenderal tua pemimpin di negeriku sedang jumawa menjamu tamu-tamunya yang berdatangan dari segenap penjuru angin. Tamu-tamu yang datang dengan burung-burung besi raksasa yang mendengung sekedar untuk menyimak kisah-kisah hebat berlumur bualan dari sang orang tua. Inilah dia anak muda yang pernah menggemparkan buana dan mempercepat terteranya sebuah negara baru di peta dunia itu.

Aksi lompat pagar anak muda dan kawan-kawannya itu tentu saja membuat orang tua renta itu sangat berang, dan ia harus mendekam sembilan bulan dalam bui karenanya. Ah, kini aksi lompat pagar itu bahkan telah menjadi legenda di negerinya, memesona anak-anak kecil yang berlarian di lorong-lorong kota Dili dan di kampung-kampung pulau kecil itu.

Lalu kami dipertemukan nasib di benua ini. Mungkin pula dipertemukan sebuah kebetulan belaka. Sebagai mantan pejuang bawah tanah ia termasuk barisan pertama anak muda Timor yang melampiaskan kegembiraannya setelah jajak pendapat yang menjadi tapal batas masa lalu dan masa depan di negerinya. Sejak dulu ia memang sangat yakin jajak pendapat itu cepat atau lambat akan terwujud dan pasti dimenangkan negerinya. Namun setahun setelah jajak pendapat itu ia menjadi lebih sadar bahwa kemerdekaan bukan obat yang bisa serta merta menyembuhkan segenap luka negerinya. Ia pun menjadi barisan pertama anak-anak muda yang kecewa terhadap elite-elite dari kalangan tua di negerinya yang begitu cepat kembali saling bertikai. Maka ketika ada tawaran beasiswa melanjutkan kuliah di benua kering ini, ia segera menyambarnya. Ia mengambil kuliah jurnalisme, membayangkan dirinya suatu hari nanti menjadi seorang pemimpin redaksi harian ternama di negerinya.

”Jurnalisme senantiasa membuat darah dan adrenalinku menggelegak” ujarnya berapi-api.
”Jurnalisme pun bisa membuatmu muak,” kalimat itu aku tahan di tenggorokan. Tak sampai hati merusak semangatnya. Sebagai anak muda yang nyaris putus asa melihat pertikaian, kerakusan dan nasib buruk yang tak henti-henti menderai negeriku, aku rasanya tidak punya hak memberangus mimpi-mimpinya. Apalagi dulu orang-orang tua dari negeriku sempat pula menularkan nasib buruk dan kerakusan ke negerinya.

Maka aku kenang kembali perkenalan kami dalam sebuah aksi damai menentang perang di depan balai kota, pada sebuah senja yang kelabu. Ia menyapaku dengan nada keras setelah menghirup aroma kretek yang kuhisap.

”Rokok kretek. Rokok yang sering diisap tentara-tentara yang dulu membakari kampungku,” katanya setengah berteriak di tengah keriuhan orang-orang yang memadati lapangan. Tanpa basa-basi ia pun meminta sebatang yang lantas ia isap dengan mata menyipit penuh kenikmatan. Seperti mengejek kepenatanku mencari rokok kretek di kota asing ini dan menebusnya dengan harga mahal. Asapnya ia hembuskan ke mukaku, lalu kami pun terbahak dan ikut menyoraki seorang perempuan orator berambut pirang yang tengah mengutip kalimat-kalimat Gandhi. ”Ah, di zaman seperti ini, di manakah sukma Gandhi?”, keluhku diam-diam.

Sering aku merasa iri melihat semangat dan energinya yang terus meluap-luap. Usia yang lebih muda jelas bukan alasan. Ia baru saja berulang tahun yang kedua puluh enam, sedangkan aku akan menginjak usia ketiga puluh akhir tahun ini. Tetapi mengapa mimpi-mimpiku nyaris telah menguap rasanya? Lalu apa yang kukerjakan di benua asing ini?

Art residency? Apa pula gerangan? Hidup dari belas kasihan penduduk negeri ini? Penduduk yang nenek-moyangnya datang dengan perahu dan bedil di tangan mengusiri pribumi yang berabad hidup di padang berburu binatang-binatang melata dan beranak pinak tanpa rasa cemas? Apalah arti lukisan bagi para pribumi yang senantiasa menggambari tubuhnya dengan tanah liat, yang tak pernah kenal dengan peta dunia itu? Lalu sebagai pelukis yang dibiayai berbulan-bulan hidup di benua ini, apa yang telah kulakukan?

Melukis seadanya. Menyimak orang-orang yang terus berbicara tentang lukisan, tentang dewi kesenian sepanjang hari. Memelototi berita-berita tentang pertikaian tak henti-henti di negeriku lewat layar komputer yang memerihkan mata. Tidak sabaran menunggu akhir pekan, untuk sekedar berpesta di pub-pub yang dipenuhi orang-orang yang tak henti-hentinya memaki dan bergegas ke kamar mandi dan muntah di kloset.

”Tapi apalah pula bedanya dengan Sebastio? Ia pun seperti aku, hidup dari belas kasihan?”, aku berusaha menghibur diri. Bedanya hanya ia masih memiliki mimpi. Dan aku nyaris tak….

Ah, tanah air, tak bisakah kita hidup tanpa mencintaimu. Aku tiba-tiba teringat sepenggal sajak itu. Sajak seorang kawan lama yang kini entah di mana. Masihkah ia memiliki mimpi? Mimpi-mimpi apa gerangan? Bukankah ia telah kawin dengan seorang gadis manis dan konon telah pula memiliki seorang putri yang mungil?

Lalu Sebastio? Sebastio Gomez. Bukankah sebentar lagi ia akan pulang ke negerinya, dengan segenap mimpi dan harapannya. Bukankah ia begitu gelisah menanti-nanti hari kepulangannya? Bukankah ia akan disambut kawan-kawannya, juga bocah-bocah yang mengaguminya? Ia pasti akan melahirkan dan membesarkan surat kabarnya, seperti membesarkan bayinya yang pertama.

Lalu aku si pelukis yang tak sanggup lagi bermimpi ini, justru sedang tergoda melamar menjadi permanent resident di benua ini? Mencoba melarikan diri dari kesumpekan, kesusahan hidup dan kesia-siaan negeriku? Negeri yang setiap saat memaksaku melukis dengan warna-warna kelam itu.

Lalu Sebastio, ah Sebastio! Tuluskah kau mengajakku ke negerimu?. ”Negeri di mana impian sedang dilayarkan,” katamu.. Dan katamu lagi kau akan sanggup bertarung hingga berdarah-darah dengan penyamun-penyamun yang setiap saat mengintai dan siap membajak mimpi-mimpimu itu.

Sebastio, mengapa pula kau selalu yakin bahwa aku pun tak akan betah di benua ini? Apakah lantaran kita sama-sama anak-anak muda yang dibesarkan angin, laut, gunung dan matahari tropika? Ah Sebastio, mestinya kamu mengajari aku kembali bermimpi?

Dan Sebastio pun kemudian terbang dengan burung besi raksasa pulang ke negerinya. Di kafe bandara seusai melepasnya, aku masih termangu memandangi gelas espressonya yang hanya ia teguk sekali. Bayangan sepasang matanya yang menyala-nyala penuh mimpi membuatku begitu kesepian.

Januari, 2002

Tidak ada komentar:

A Khoirul Anam A Qorib Hidayatullah A Rodhi Murtadho A. Yusrianto Elga A. Zakky Zulhazmi A.S. Laksana Aang Fatihul Islam Aba Mardjani Abd. Mun’im Abdul Aziz Rasjid Abdul Gaffar Ruskhan Abdul Hadi W. M. Abdul Kadir Ibrahim Abdul Malik Abdul Muis Abdul Wachid BS Abdullah Khusairi Abidah El Khalieqy Abimardha Kurniawan Abroorza A. Yusra Abu Salman Acep Iwan Saidi Achmad Farid Tuasikal Adek Alwi Adi Marsiela Adian Husaini Adib Muttaqin Asfar Adji Subela Afandi Sido Afriza Hanifa Afrizal Malna Ageng Wuri R. A. Ags. Arya Dipayana Aguk Irawan M.N. Agus B. Harianto Agus Bing Agus Noor Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sri Danardana Agus Sulton Agus Sunyoto Agus Wibowo Agus Wirawan Agusri Junaidi AH J Khuzaini Ahda Imran Ahid Hidayat Ahm Soleh Ahmad Asyhar Ahmad Farid Yahya Ahmad Fuadi Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musthofa Haroen Ahmad Rofiq Ahmad Suhendra Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Aini Aviena Violeta Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sekhu Al Azhar Riau Al-Fairish Alex R. Nainggolan Alexander G.B. Alfian Zainal Aliansyah Alimuddin Almania Rohmah Alunk Estohank Amien Kamil Amien Wangsitalaja Anata Siregar Andi Sutisno Andy Riza Hidayat Anies Baswedan Anindita S Thayf Anis Ceha Anis Faridatur Rofiah Anjrah Lelono Broto Anna Subekti Anton Kurnia Ari Hidayat Ari Kristianawati Arie MP Tamba Arief Junianto Aris Kurniawan Arti Bumi Intaran Arul Arista AS Sumbawi Asarpin Asep Sambodja Atiqurrahman Awalludin GD Mualif Ayu Purwaningsih Babe Derwan Bakdi Soemanto Balada Bale Aksara Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Bayu Dwi Mardana Bellanissa Zoditama Beni Setia Benny Arnas Beno Siang Pamungkas Berita Berita Duka Bernando J. Sujibto Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Bokor Hutasuhut Brunel University London BSW Adjikoesoemo Budaya Budhi Setyawan Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiawan Dwi Santoso Bur Rasuanto Burhanuddin Bella Bustan Basir Maras Catatan Catullus CB. Ismulyadi Cerbung Cerita Rakyat Cerpen Chavchay Syaifullah Cikie Wahab Cunong Nunuk Suraja D Zawawi Imron Dad Murniah Dadang Ari Murtono Dahlia Rasyad Damhuri Muhammad Damiri Mahmud Danarto Daniel Paranamesa Darju Prasetya Darman Djamaluddin Darman Moenir Dasman Djamaluddin David Krisna Alka Dea Anugrah Dedy Tri Riyadi Denny JA Denny Mizhar Desi Sommalia Gustina Dewi Anggraeni Dharma Setyawan Dian Hartati Didi Arsandi Dina Oktaviani Dipo Handoko Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Doddi Ahmad Fauji Doddy Hidayatullah Dodi Chandra Dodiek Adyttya Dwiwanto Dody Kristianto Donny Anggoro Dony P. Herwanto Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Klik Santosa Dwi Pranoto Dwicipta Edy A Effendi Edy Firmansyah Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Eko Darmoko Ellyzan Katan Elnisya Mahendra Emha Ainun Nadjib Endah Imawati Eni Suryanti Eny Rose Eriyandi Budiman Eriyanti Erwin Edhi Prasetya Erwin Setia Esai Evan Ys Evi Idawati F Rahardi Fadly Rahman Fahrudin Nasrulloh Faizah Sirajuddin Faizal Syahreza Fajar Alayubi Fakhrunnas M.A. Jabbar Fanny Chotimah Fariz al-Nizar Fariz Alneizar Faruk HT Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fathurrahman Karyadi Fatimah Wahyu Sundari Fauzan Santa Fazabinal Alim Festival Sastra Gresik Fikri MS Fiksi Mini Fransisca Dewi Ria Utari Franz Kafka Fuad Anshori Furqon Abdi Fuska Sani Evani Gendhotwukir Gendut Riyanto Gerson Poyk Gita Pratama Goenawan Mohamad Gola Gong Grathia Pitaloka Gregorio Lopez y’ Fuentes Gugun El-Guyanie Gunawan Budi Susanto Gus Noy H.H. Tokoro Hadi Napster Hamberan Syahbana Hamdy Salad Hamsad Rangkuti Han Gagas Hang Kafrawi Hani Pudjiarti Hanna Fransisca Hardi Hamzah Hardjono WS Haris del Hakim Haris Priyatna Harris Maulana Hary B. Kori'un Hasan Al Banna Hasan Junus Hasbullah Said Hasnan Bachtiar HE. Benyamine Heidi Arbuckle Helmi Y Haska Helvy Tiana Rosa Hendra Junaedi Hendri Nova Herdoni Syafriansyah Heri Kurniawan Heri Latief Heri Ruslan Herman RN Hermawan Aksan Hermien Y. Kleden Herry Lamongan Holy Adib Humaidiy AS Husni Anshori I Nyoman Darma Putra I Nyoman Tingkat I Wayan Artika Ibnu Wahyudi Ida Farida Ignas Kleden Ilham Khoiri Imam Cahyono Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Tohari Indra Tranggono Indrian Koto Irwan Kelana Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Isma Swastiningrum Ismi Wahid Iwan Gardono Sujatmiko Iwan Gunadi Iwan Kurniawan Iwan Nurdaya Djafar Iwank J.S. Badudu Janoary M Wibowo Javed Paul Syatha JILFest 2008 JJ. Kusni Jodhi Yudono Joko Novianto Bp Joko Pinurbo Jones Gultom Jual Buku Paket Hemat Jusuf AN Kadek Suartaya Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Kedung Darma Romansha Kenedi Nurhan Khaerudin Kurniawan Khaerul Anwar Ki Sugito Ha Es Kirana Kejora Komunitas Deo Gratias Korrie Layun Rampan Kritik Sastra Kunthi Hastorini Kuntowijoyo Kurie Suditomo Kurnia Effendi Kurniawan Kuswinarto La Ode Rabbani Lathifa Akmaliyah Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember Leon Agusta Lily Siti Multatuliana Lily Yulianti Farid Lina Kelana Liza Wahyuninto Lona Olavia Lugiena Dé M Fadjroel Rachman M Farid W Makkulau M Syakir M. Dawam Rahardjo M. Faizi M. Mustafied M. Raudah Jambak M. Taufan Musonip M. Yoesoef M.D. Atmaja M.Th. Krishdiana Putri Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Maklumat Sastra Profetik Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mangun Kuncoro Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria D. Andriana Maria Magdalena Bhoernomo Mariana Amiruddin Maryati Marzuzak SY Mashuri Maulana Syamsuri Media: Crayon on Paper Mega Vristian MG. Sungatno Misbahus Surur Mofik el-abrar Moh. Amir Sutaarga Moh. Ghufron Cholid Mohammad Hatta Mohammad Kh. Azad Mohammad Takdir Ilahi Much. Khoiri Muhamad Taslim Dalma Muhammad Rain Muhammad Subhan Muhammad Yasir Muhammadun A.S Muhidin M Dahlan Mujtahid Mulyawan Karim Musa Ismail Musfi Efrizal Mustafa Ismail Mustofa W Hasyim N Teguh Prasetyo N. Mursidi Nadhi Kiara Zifen Nana Riskhi Susanti Nanang Suryadi Naskah Teater Nasrulloh Habibi Neva Tuhella Nietzsche Nirwan Dewanto Nizar Qabbani Noor H. Dee Nova Christina Novelet Nunung Nurdiah Nur Wachid Nurani Soyomukti Nurel Javissyarqi Nurman Hartono Nuryana Asmaudi Nyoman Tusthi Eddy Obrolan Oky Sanjaya Oyos Saroso HN P Ari Subagyo Pagelaran Musim Tandur Pamusuk Eneste Panji Satrio PDS H.B. Jassin Penerbit dan Toko Buku PUstaka puJAngga Pipiet Senja Pramoedya Ananta Toer Pringadi AS Pringgo HR Prosa Puisi Puji Santosa Purnawan Andra PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Satria Kusuma Putu Wijaya R Masri Sareb Putra R. Adhi Kusumaputra R. Timur Budi Raja R.N. Bayu Aji Radhar Panca Dahana Ragdi F. Daye Rahmi Hattani Raja Ali Haji Raju Febrian Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Dira J Rama Prabu Ramadhan KH Ramon Magsaysay Ramses Ohee Ratih Kumala Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Ressa Novita Ressa Sagitariana Putri Ria Ristiana Dewi Rialita Fithra Asmara Ribut Wijoto Rida K Liamsi Rifka Sibarani Rilda A. Oe. Taneko Rilda A.Oe. Taneko Rimbun Natamarga Rinto Andriono Risang Anom Pujayanto Rita Zahara Riyon Fidwar Robin Al Kautsar Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Rohman Budijanto Rukardi S Yoga S. Jai S. Takdir Alisyahbana S.W. Teofani Sabrank Suparno Sahaya Santayana Sajak Sajak Sebatang Lisong Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Salman S. Yoga Salyaputra Samson Rambah Pasir Samsudin Adlawi Sanie B. Kuncoro Santy Novaria Sapardi Djoko Damono Sarabunis Mubarok Sartika Dian Nuraini Sasti Gotama Sastra Nusantara Satmoko Budi Santoso Satriani Saut Poltak Tambunan Saut Situmorang Sekolah Literasi Gratis (SLG) Selasih Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Shadiqin Sudirman Shiny.ane el’poesya Shourisha Arashi Sidik Nugroho Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sindu Putra Siska Afriani Siti Sa’adah Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Slamet Samsoerizal Sobih Adnan Sofyan RH. Zaid Solihin Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sony Wibisono Sosiawan Leak Sri Wintala Achmad Sri Wulan Rujiati Mulyadi Stevani Elisabeth Suci Ayu Latifah Sucipto Hadi Purnomo Sudarmoko Sudirman HN Suhadi Mukhan Suharsono Sukar Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sunudyantoro Supriyadi Suriani Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syahruddin El-Fikri Syaripudin Zuhri Syifa Aulia Syu’bah Asa T.A. Sakti Tammalele Tan Lioe Ie Tasyriq Hifzhillah Taufik Abdullah Taufik Effendi Aria Taufik Ikram Jamil Taufiq Wr. Hidayat TE. Priyono Teguh Winarsho AS Tenas Effendy Tengsoe Tjahjono Thayeb Loh Angen Theresia Purbandini Tia Setiadi Tias Tatanka Tito Sianipar Tjahjono EP Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tjut Zakiyah Anshari Topik Mulyana Tosa Poetra Tri Harun Syafii TS Pinang Tu-ngang Iskandar Udo Z. Karzi Uly Giznawati Umar Fauzi Ballah Umbu Landu Paranggi Umi Kulsum Uniawati Universitas Indonesia Usman Arrumy Usman D.Ganggang Utada Kamaru UU Hamidy Viddy AD Daery W.S. Rendra Wa Ode Wulan Ratna Wahib Muthalib Wahyudi Akmaliah Muhammad Wardjito Soeharso Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Sunarta Weli Meinindartato Wicaksono Widodo DS Wina Karnie Wisran Hadi Wong Wing King Yan Maniani Yanti Mulatsih Yanuar Arifin Yasser Arafat Yaumu Roikha Yetti A. KA Yohanes Padmo Adi Nugroho Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yudhi Ms Yudhistira ANM Massardi Yulianna Yurnaldi Yusi A. Pareanom Yusi Avianto Pareanom Yusri Fajar Yusrizal KW Yuyun Ifa Naliah Zaim Rofiqi Zainal Arifin Thoha Zakki Amali Zakky Zulhazmi Zawawi Se Zehan Zareez Zelfeni Wimra Zuarman Ahmad Zulfikar Akbar