Wa Ode Wulan Ratna
http://kendaripos.co.id/
Hampir selama tiga tahun, semua perempuan cantik yang ia lihat di televisi adalah Ara. Sebelumnya, masa-masa sebelum bertemu gadis itu adalah saat-saat tersulitnya. Ia pulang ke Kendari tanpa pernah menyelesaikan akhir kuliahnya saat orang tuanya tewas dalam kecelakaan mobil dan menyisakan dokumen-dokumen warisan kepada pengacaranya. Harta peninggalan keluarganya pun jatuh ke tangannya. Sebuah rumah besar di Kemaraya dan perkebunan cokelat di Puwatu.
Itu adalah masa-masa sepinya sebagai anak tunggal yang jauh dari keramaian, pergaulan yang diinginkannya, juga perempuan-perempuan kota. Waktunya habis di perkebunan. Ia pulang pergi ke kebun itu untuk mengawasi setiap pekerja. Mengomando mereka untuk memetik cokelat yang telah matang, membantu menjemur biji-biji cokelat, menimbang dan menghitung karung-karung cokelat yang telah jadi, mengecek buku pemasukan, dan membayar upah para buruh.
Awalnya, meski kegiatan itu terasa menjemukan dan memang bukan keinginannya mendadak menjadi kaya dengan menjadi kepala kebun, ia masihlah seorang mahasiswa yang senantiasa disiplin mematuhi jadwal. Ia juga masih bergaya layaknya orang kota yang rapi dan gengsi. Ia sering mencukur kumisnya tiga hari sekali. Mandi dua kali sehari, dan sedapat mungkin menghindari matahari yang mengelamkan warna kulitnya. Ia masih ingin terlihat terpelajar sebagaimana kota agung itu mengajarinya bersolek. Dengan deodoran dan parfum laki-laki ia menjadi segar dan lebih percaya diri. Ia memakai minyak rambut hingga membuat rambutnya licin dan klimis. Ia pun menjaga otot-ototnya agar tetap kencang tanpa membuat urat-uratnya keluar.
Namun nampaknya ia memang tak akan kembali lagi ke kota besar itu dan meneruskan kuliahnya. Ia merasa seperti babi peliharaan yang manja. Kerapiannya tidak pernah membuatnya nampak berwibawa di depan buruh-buruhnya, bahkan beberapa penjaga kebunnya. Ia mendengar sendiri suaranya kurang lantang sehingga seperti hilang ditiup angin saat memerintah ini itu kepada pekerjanya. Mungkin, buruh-buruh itu menganggapnya memang seperti babi yang manja.
“Tak pernah terpikirkan olehku tinggal di kampung bersama nyamuk-nyamuk hutan.” Katanya di meja makan kepada pembantunya yang sedang menyiapkan makan malam. “Duduk di situ! Campurkan sinongginya dengan air ikan itu dan telan bersama-sama denganku!” Malam itu, di atas meja makan ia makan malam dengan pembantunya.
Setelah kejadian itu ia pun melupakan mimpinya hidup di kota, mendapat kekasih seorang terpelajar yang cantik dan kaya, atau mungkin pemain sinetron atau bintang iklan sabun mandi yang memiliki kulit putih dan lencir. Ia juga mulai mengabaikan jadwal-jadwalnya juga kebiasaannya membaca buku menjelang tidur. Suatu upaya yang dulu ia biasakan sebagai syarat menjadi orang terpelajar.
Ia mulai menerima lingkungannya, kampungnya, dengan segala bentuk kekerasan yang ia punya. Ia belajar dari orang-orang bajo yang dulu ia temui di masa kecilnya. Orang-orang teluk itu mengangkut barang-barang berat ke kapal-kapal pada dermaga yang mengapung sampai malam. Suara mereka keras, lantang menantang deru gelombang dan menghancurkan karang. Kulit mereka matang tersengat matahari. Keringat mereka rata melumeri seluruh tubuh mereka dan membuat ketiak mereka senantiasa basah dan berbau asam. Ada bau amis yang melekat pada rambut mereka yang kasar dan kumis serta jenggot mereka yang panjang tak beraturan. Mereka membiarkan otot mereka menonjol dengan urat-urat tebal keluar. Dan mata mereka yang selalu menyipit karena sengatan matahari membuat pandangan mereka seperti menyelidik.
Ia pun menjadi jarang bercukur dan kadang tidak mandi. Ia ingin mendapatkan warna kulit yang ia inginkan untuk membuatnya menjadi garang, juga bau ketiak dan matahari yang membuat tubuhnya asam. Ia membuang semua peralatan kerapiannya, doedoran, parfum, minyak rambut, dan pelembab kulit. Ia menjadi lebih banyak merokok. Menghabiskan waktu liburannya di beranda rumah sambil membaca koran, mengamati ayam-ayam yang dilepaskan, atau memanggil tetangga untuk bermain catur dengannya.
Di perkebunannya ia menjadi lebih banyak marah-marah dan mengancam menurunkan gaji para buruhnya. Tak jarang ia melakukan sendiri pekerjaan kasar dengan bertelanjang dada untuk memberikan contoh kerja yang tidak lambat. Ia pun menjadi lebih sering memaki dan memukul buruh perempuan yang tidak becus memilih cokelat atau yang datang terlambat. Ia juga mengangkat beberapa orang sebagai kepala penjaga di malam hari untuk mengawasi kebun cokelatnya dari para pencuri atau babi hutan. Sebenarnya ia melakukan itu semua tentu agar ia tidak terlalu sering ke kebun itu dan menghabiskan seluruh umurnya di sana.
“Sekarang dia sudah seperti babi betulan.” Ia cuma cekikikan mencuri dengar perkataan seorang pekerja laki-lakinya di gudang penyimpanan.
Sebenarnya ia merasa telah kehilangan warna hidupnya. Dulu memang ia sering melihat Ayahnya bekerja sekasar itu juga tetapi orang tua itu menyukainya. Kini di dalam rumah ia hanya menghabiskan waktu menonton televisi sambil menyalakan kipas angin besar-besar. Kadang mimpinya kembali melayang-layang saat sebuah stasiun televisi menampilkan perempuan-perempuan kota dengan tubuh sintal dan molek. Ia menjadi terinspirasi untuk menjual kebun dan rumahnya untuk kembali ke kota padat itu dan memperistri satu atau dua di antara sekian perempuan cantik yang pernah tampil di televisi. Tapi pikiran itu hanya selintas. Ia pun telah lama menyudahi membuang pulsa telepon rumahnya untuk mengobrol panjang-panjang dengan teman-teman perempuannya.
Entah di rumah atau di kebun, ia tetap marah-marah dan sering memaki-maki tanpa alasan yang jelas. Ia minum terlalu banyak kopi, bergadang berhari-hari, dan terus terjaga sampai pagi dengan mata merah dan lingkar hitam di pelupuknya. Insomnia telah menodai matanya seperti jelaga.
Pada suatu pagi yang sejuk ia terbangun tiba-tiba dan menyadari ia masih terduduk di beranda rumahnya dengan masih dirubung nyamuk kebun. Ia memperhatikan ayam-ayam itu sudah berkeok-keok dengan anak-anaknya. Fantasinya mulai tidak karuan. Paha ayam betina itu dilihatnya sama sekali tidak cocok untuk dimakan dalam keadaan matang. Tak karuan ia berlari mengambil kunci mobil pick upnya dan membawa dirinya dalam guncangan yang berat menuju pantai Kendari. Dan ketika melihat laut, tanpa berpikir lagi ia pun menyemplungkan dirinya di sana dan memuntahkan segala imajinasi dan penderitaannya yang telah membatu dalam air asin itu. Ia kembali ke rumah dengan memaki-maki sambil menendang-nendangi pintu mobilnya karena sulit tertutup. Ia merasa begitu konyol dan telah lengkap menjadi hewan liar.
Ia membuang dahak dan berteriak, “Ambilkan aku kopi! Cepat!” pembantu itu keluar cepat-cepat dengan segelas kopi panas. Ia menjadi merasa cukup tenang hanya dengan melihat kopi itu mengantarkan aroma sedapnya lewat kepulannya yang mengambang di udara.
“Jangan pergi dulu. Temani aku.” Katanya perlahan dan mulai menyeruput kopinya. Ia memandangi pembantunya. Pahanya yang besar dan perutnya yang lebar. Sepasang dadanya bergelantungan terlalu jatuh karena telah banyak yang disusuinya. Kaki dan lengannya kecil, suatu hal yang semestinya tidak proporsional. Ia mendehem dan memperhatikan rahang di wajah perempuan itu. Pipinya dulu pernah montok, ia dapat menafsirkan itu dan memang masih mengenangnya. Tapi ternyata mungkin ia memang telah menjadi gila. Ia masih lebih bernafsu melihat paha ayam betina pagi tadi dibanding perempuan tua seperti pembantunya.
“Coba katakan, aku kenapa?” katanya dengan nada sedikit rendah sambil memperhatikan jalan yang tidak rata di luar pagar rumahnya.
“Tidak tahu, Pak.” Katanya pelan. Ia telah mengenal pembantunya sejak lama. Ia tahu perempuan itu tidak seperti pembantu kebanyakan yang memendam rasa takut dan gemetarnya kepada tuan rumahnya.
“Anggap saja aku anakmu. Aku dulu pernah kecil dan kau biarkan bergelendot seperti anak kambing di antara dadamu itu. Cepat bilang saja apa yang kau lihat tentang aku.” Katanya mendesis tapi darahnya tidak tersirat dan tidak mendidih. Begitulah cara ia menghargai pembantunya yang dulu juga mengasuhnya.
“Anak kesepian.”
“Lalu?”
“Jadi stres. Perlu jalan-jalan dan berpikir.”
“Berpikir?” ia merasakan pikirannya goyang. Selalu goyang seperti pohon-pohon di pinggir laut itu. Gamang dan berbayang-bayang bila ditiup angin. “Sudah.” Katanya, seakan-akan dirinya sudah mulai tenang.
“Ke mana?”
“Laut.”
“Laut selalu menenangkan. Cobalah pergi ke Batu Gong sering-sering. Di sana tidak seramai di pantai Kendari,” Ia mendehem. “Lagi pula lebih dekat dengan kebun.” Ia mendehem lagi.
“Aku mau mati terima kenyataan ini. Di sini aku cepat tua dan susah mimpi basah. Coba carikan aku perempuan.”
“Apa?”
“Buat istri. Tapi yang seperti kau waktu masih muda.”
“Apa?”
“Ya, cari yang tidak terlalu manja. Kulitnya putih mulus, cantik. Rambut hitam panjang. Bisa bercanda dan sedikit membual. Keibuan. E…, apa lagi? Ya, yang menggairahkanku. Dengan dada penuh berputing seperti anggur. Sempurna seperti punyamu dulu.” Ia masih memerhatikan jalan sambil menghisap rokoknya. Pembantunya hanya berdiri dan mendengar celotehannya. Diam-diam ia rasai sesuatu yang hangat dan asin jatuh dari matanya dan menyelinap masuk ke dalam bibirnya.
***
Namanya Ara. Ia menjumpai perempuan itu beberapa saat setelah matahari menenggelamkan diri. Saat kabut sore sebentar lagi oranye dan pohon-pohon sepanjang pantai mulai memberikan bayang-bayang kebiruan pada lubang hidung perempuan itu. Dan ia kadung jatuh cinta pada lubang hidung perempuan itu. Siapa pun mungkin tak akan pernah melupakan lubang hidung perempuan itu.
Perempuan itu berumur sembilan belas tahun kala itu dan sedang jatuh cinta. Ia tak yakin bahwa perempuan seperti itu akan datang lagi seumur hidupnya. Matanya besar dengan rambut sebahu. Rambut yang berwana kuning seperti rambut yang terkena matahari. Kulitnya cokelat seperti warna cokelat-cokelatnya yang setengah kering dan memerah dalam jemuran matahari. Perempuan itu berbau seperti matahari.
Ara berdiri dengan kaki telanjang di atas pasir pantai yang hitam keperakan. Roknya setengah basah dan tampak padu dengan sepasang kaki kecilnya yang seperti bambu muda. Pinggangnya seperti lingkar cemara yang ramping dan kokoh dengan sepasang dadanya yang kecil dan menyempil keluar, mengingatkannya pada dada putri-putri duyung dalam dongeng-dongeng itu yang kecil subur dan berwarna keemasan dan terselip di antara helaian rambut mereka yang amis.
Bertemu dengan Ara, membuatnya yakin kalau pembantunya memang benar-benar berguna.
“Mengapa?”
“Aku sudah bilang cintaku ditolak.” Ara terus memandangi cakrawala. Tapi wajahnya jauh bersemu merah dan nampak berseri.
“Bodoh benar ada laki-laki yang menolak cintamu.” Ara memincingkan mata. Perempuan itu menjarah wajahnya dengan pandangan geli lalu tertawa.
“Bukan masalah uang. Kalau hanya untuk hidup senang aku sudah sangat lebih dari senang. Ini masalah umur.”
“Kau masih muda.”
“Aku takut jadi perawan tua.”
“Maksudmu?”
“Aku bukan seperti perempuan di televisi itu yang cantik-cantik dan menawarkan produk-produk kecantikan. Sebab aku tahu kecantikan saja tidak pernah cukup untuk perempuan manapun.”
“Ara, aku tidak mengerti.”
“Kau pasti laki-laki penggombal.”
“Tidak. Kau memang cantik.”
“Patokan cantikmu itu umum, seperti perempuan-perempuan di televisi.” Ara melihat karang-karang yang bisa berbunyi itu. Sekali lagi perempuan itu berjalan ke laut dan membiarkan roknya basah. “Bagaimana kalau kita bunyikan karang itu agar terdengar seperti ‘gong’, ‘gong’.” Ara menirukan suara batu yang bisa menghantarkan bunyi itu dengan mulut yang dimoyong-monyongkan. Dari jauh perempuan itu terlihat seperti menggonggong. Ia menggelengkan kepala tetapi Ara sudah keburu lari ke batu yang paling besar. Ia terpaksa mengejarnya.
“Bagaimana menurutmu?” Ara membunyikannya dengan mengetuknya keras-keras dengan batu. Suaranya terdengar seperti gemuruh benturan dari dasar laut. Begitu dalam dan tidak terlalu keras. Ia pun turut memukul dengan lebih keras di sisi paling keras hingga suara ‘gong’ itu terdengar lebih jelas dan bersih.
“Kata pembantuku di rumah, laut adalah tempat yang menenangkan dan aku harus lebih sering ke sini.”
“Bagus. Jumpai aku di sini saja setiap hari.”
“Setiap hari?”
“Ya. Setiap hari.”
“Apa kekasihmu tidak marah?”
“Aku sudah bilang, cintaku ditolak.”
“Mengapa?”
“Kau tanya lagi. Ia tidak suka melihat darah perawan.”
“Apa?” perempuan itu tidak menyahut. “Begitulah pikiran laki-laki.” Ia melihat pada mata perempuan itu dan tak menemukan pantulan laut yang menenangkan kecuali guratan-guratan kecemasan yang kemudian membuat wajah perempuan itu tegang.
Semenjak itu hampir setiap hari ia datang ke pantai itu. Kadang termenung sendiri, kadang bila Ara datang, mendengarkan keluh-kesah perempuan itu seputar hidupnya atau cerita-cerita tentang kekasihnya.
***
Malam yang hitam turun ke bumi ketika bulan hampir tinggi dan tak ada lagi penerang selain lampu-lampu jalan, mereka pulang dengan mobil pick upnya. Ia berbelok ke lorong Konggoasa. Jalannya kasar karena belum diaspal sehingga mereka terguncang-guncang dalam mobil. Ia memberhentikan dan mematikan lampu mobilnya ketika sampai di sebuah rumah kecil yang dibangunnya di pinggir perkebunannya. Bangunannya tak bertingkat, terbuat dari bata putih yang disemen dan hanya dikapur. Berbeda dengan gudang penyimpanan dan kantornya.
Lampu luar rumah itu menyala. Dan dari jendela terlihat temaram lampu di dalamnya. Bau asap pembakaran daun kering masih meruap dan masih tersisa gemeratak bara yang terdengar merdu entah di mana. Malam pekat selalu membuat manusia benar-benar buta untuk mengimla, bahkan untuk menduga. Ia mengetuk pintu seperti tergesa-gesa dan berteriak keras kepada penjaganya. Ia memberi sekotak rokok kepada kedua penjaga kebunnya itu dan menyuruh mereka pergi berjaga-jaga di luar sampai subuh berubah menjadi cahaya.
Dilihatnya Ara menggosok-gosokkan tangannya dan merasakan hidung perempuan itu mengendus-endus seperti kucing. Embun masih jauh menggantung di atas kepala dan laut telah menjadi jauh. Perempuan itu kedinginan sebab roknya basah. Ia mengunci pintu dari dalam dan menyuruh Ara membersihkan telapak kakinya yang dekil karena masih penuh dengan gumpalan pasir yang kehitaman.
“Terima kasih.” Kata perempuan itu ketika ia mendapatkan tehnya. Mereka pun terlibat pembicaraan yang aneh dan mulai romantis. Lama-kelamaan perempuan itu menjadi kemalu-maluan dan mulai mengantuk. Pembicaraan pun menjadi begitu lirih, seperti bisik-bisik hingga mereka dapat mendengar suara-suara malam yang penuh misteri di antara pepohonan yang mengepung rumah itu.
“Ada apa di luar sana?”
“Hanya lolongan anjing, babi hutan, sunyi yang terusik dan mimpi-mimpi.”
“Kasihan sekali malam.”
“Kasihan sekali kau.” Ara diam. Perempuan itu jadi ingat rumahnya, laut yang dalam. Ia jadi mulai merasa ragu. “Apa yang kau takutkan?”
“Kekasihku.”
“Ia tak akan lagi berani menolakmu setelah ini.” Sedikit demi sedikit lubang hidung perempuan itu merekah.
Di meja makan Ara terjungkal bersama kursinya dengan bunyi yang berat tapi pelan. Ia mendapatkan air matanya luruh dan ceceran darah di lantai. Perempuan itu nampak tak mengerti. Hidungnya hanya mengendus-endus mengusir bau amis yang begitu asing. Di sampingnya, ia memperhatikan perempuan itu kebingungan.
“Kau tidak apa-apa?” perempuan itu menggeleng. Ia membopong perempuan itu ke sofa.
“Terima kasih, aku tidur di sini saja.” Suara perempuan itu terdengar seperti gumam. Seperti suara dari dasar laut.
“Aku suka lubang hidungmu, Ara. Caramu mengendus-endus tidak seperti hewan apa pun, atau siapapun.” Kemudian ia memperhatikan sarang laba-laba yang begitu rumit di atas langit-langit sampai perempuan itu memejamkan mata.
Beberapa hari setelah itu. Tak ada seorang pun yang tahu ke mana Ara pergi. Orang bilang ia lenyap begitu saja di sebuah senja. Orang lain bilang ia menenggelamkan dirinya ke laut bersama matahari. Semua orang selalu mengidentikan Ara dengan laut dan matahari. Dan mungkin ia sendiri menduga perempuan yang memiliki lubang hidung indah itu telah menjelma batu gong dengan suara yang merdu atau putri duyung berdada emas. Ia hanya tak habis pikir, darah itu membebani hidupnya hingga bagaimana pun perempuan itu menghilang, itu sungguh tidak masuk akal.
Ia pun menjadi tidak mengerti, setelah sepeninggalan gadis itu tahun-tahun berganti dengan cepat secepat musim hujan yang jatuh lebih lurus di atas kepalanya. Ia mengenang pertemuan pertamanya dengan Ara. Dan hampir selama tiga tahun, semua perempuan cantik yang ia lihat di televisi adalah Ara.
Bahkan hingga kini, ketika istrinya tengah hamil kedua dengan umur kandungan tujuh bulan, perempuan berkulit putih, berambut hitam, dan tubuh berisi di depannya itu terlihat seperti Ara.
Gading rawan, 13 September 2008
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Rabu, 01 Desember 2010
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Khoirul Anam
A Qorib Hidayatullah
A Rodhi Murtadho
A. Yusrianto Elga
A. Zakky Zulhazmi
A.S. Laksana
Aang Fatihul Islam
Aba Mardjani
Abd. Mun’im
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Gaffar Ruskhan
Abdul Hadi W. M.
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Malik
Abdul Muis
Abdul Wachid BS
Abdullah Khusairi
Abidah El Khalieqy
Abimardha Kurniawan
Abroorza A. Yusra
Abu Salman
Acep Iwan Saidi
Achmad Farid Tuasikal
Adek Alwi
Adi Marsiela
Adian Husaini
Adib Muttaqin Asfar
Adji Subela
Afandi Sido
Afriza Hanifa
Afrizal Malna
Ageng Wuri R. A.
Ags. Arya Dipayana
Aguk Irawan M.N.
Agus B. Harianto
Agus Bing
Agus Noor
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Sri Danardana
Agus Sulton
Agus Sunyoto
Agus Wibowo
Agus Wirawan
Agusri Junaidi
AH J Khuzaini
Ahda Imran
Ahid Hidayat
Ahm Soleh
Ahmad Asyhar
Ahmad Farid Yahya
Ahmad Fuadi
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Musthofa Haroen
Ahmad Rofiq
Ahmad Suhendra
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Aini Aviena Violeta
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Muhaimin Azzet
Akhmad Sekhu
Al Azhar Riau
Al-Fairish
Alex R. Nainggolan
Alexander G.B.
Alfian Zainal
Aliansyah
Alimuddin
Almania Rohmah
Alunk Estohank
Amien Kamil
Amien Wangsitalaja
Anata Siregar
Andi Sutisno
Andy Riza Hidayat
Anies Baswedan
Anindita S Thayf
Anis Ceha
Anis Faridatur Rofiah
Anjrah Lelono Broto
Anna Subekti
Anton Kurnia
Ari Hidayat
Ari Kristianawati
Arie MP Tamba
Arief Junianto
Aris Kurniawan
Arti Bumi Intaran
Arul Arista
AS Sumbawi
Asarpin
Asep Sambodja
Atiqurrahman
Awalludin GD Mualif
Ayu Purwaningsih
Babe Derwan
Bakdi Soemanto
Balada
Bale Aksara
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Bayu Dwi Mardana
Bellanissa Zoditama
Beni Setia
Benny Arnas
Beno Siang Pamungkas
Berita
Berita Duka
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Bokor Hutasuhut
Brunel University London
BSW Adjikoesoemo
Budaya
Budhi Setyawan
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budiawan Dwi Santoso
Bur Rasuanto
Burhanuddin Bella
Bustan Basir Maras
Catatan
Catullus
CB. Ismulyadi
Cerbung
Cerita Rakyat
Cerpen
Chavchay Syaifullah
Cikie Wahab
Cunong Nunuk Suraja
D Zawawi Imron
Dad Murniah
Dadang Ari Murtono
Dahlia Rasyad
Damhuri Muhammad
Damiri Mahmud
Danarto
Daniel Paranamesa
Darju Prasetya
Darman Djamaluddin
Darman Moenir
Dasman Djamaluddin
David Krisna Alka
Dea Anugrah
Dedy Tri Riyadi
Denny JA
Denny Mizhar
Desi Sommalia Gustina
Dewi Anggraeni
Dharma Setyawan
Dian Hartati
Didi Arsandi
Dina Oktaviani
Dipo Handoko
Djenar Maesa Ayu
Djoko Pitono
Doddi Ahmad Fauji
Doddy Hidayatullah
Dodi Chandra
Dodiek Adyttya Dwiwanto
Dody Kristianto
Donny Anggoro
Dony P. Herwanto
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Klik Santosa
Dwi Pranoto
Dwicipta
Edy A Effendi
Edy Firmansyah
Eka Budianta
Eka Fendri Putra
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Ellyzan Katan
Elnisya Mahendra
Emha Ainun Nadjib
Endah Imawati
Eni Suryanti
Eny Rose
Eriyandi Budiman
Eriyanti
Erwin Edhi Prasetya
Erwin Setia
Esai
Evan Ys
Evi Idawati
F Rahardi
Fadly Rahman
Fahrudin Nasrulloh
Faizah Sirajuddin
Faizal Syahreza
Fajar Alayubi
Fakhrunnas M.A. Jabbar
Fanny Chotimah
Fariz al-Nizar
Fariz Alneizar
Faruk HT
Fatah Anshori
Fatah Yasin Noor
Fathurrahman Karyadi
Fatimah Wahyu Sundari
Fauzan Santa
Fazabinal Alim
Festival Sastra Gresik
Fikri MS
Fiksi Mini
Fransisca Dewi Ria Utari
Franz Kafka
Fuad Anshori
Furqon Abdi
Fuska Sani Evani
Gendhotwukir
Gendut Riyanto
Gerson Poyk
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Gola Gong
Grathia Pitaloka
Gregorio Lopez y’ Fuentes
Gugun El-Guyanie
Gunawan Budi Susanto
Gus Noy
H.H. Tokoro
Hadi Napster
Hamberan Syahbana
Hamdy Salad
Hamsad Rangkuti
Han Gagas
Hang Kafrawi
Hani Pudjiarti
Hanna Fransisca
Hardi Hamzah
Hardjono WS
Haris del Hakim
Haris Priyatna
Harris Maulana
Hary B. Kori'un
Hasan Al Banna
Hasan Junus
Hasbullah Said
Hasnan Bachtiar
HE. Benyamine
Heidi Arbuckle
Helmi Y Haska
Helvy Tiana Rosa
Hendra Junaedi
Hendri Nova
Herdoni Syafriansyah
Heri Kurniawan
Heri Latief
Heri Ruslan
Herman RN
Hermawan Aksan
Hermien Y. Kleden
Herry Lamongan
Holy Adib
Humaidiy AS
Husni Anshori
I Nyoman Darma Putra
I Nyoman Tingkat
I Wayan Artika
Ibnu Wahyudi
Ida Farida
Ignas Kleden
Ilham Khoiri
Imam Cahyono
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Tohari
Indra Tranggono
Indrian Koto
Irwan Kelana
Isbedy Stiawan Z.S.
Iskandar Noe
Isma Swastiningrum
Ismi Wahid
Iwan Gardono Sujatmiko
Iwan Gunadi
Iwan Kurniawan
Iwan Nurdaya Djafar
Iwank
J.S. Badudu
Janoary M Wibowo
Javed Paul Syatha
JILFest 2008
JJ. Kusni
Jodhi Yudono
Joko Novianto Bp
Joko Pinurbo
Jones Gultom
Jual Buku Paket Hemat
Jusuf AN
Kadek Suartaya
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kasnadi
Kedung Darma Romansha
Kenedi Nurhan
Khaerudin Kurniawan
Khaerul Anwar
Ki Sugito Ha Es
Kirana Kejora
Komunitas Deo Gratias
Korrie Layun Rampan
Kritik Sastra
Kunthi Hastorini
Kuntowijoyo
Kurie Suditomo
Kurnia Effendi
Kurniawan
Kuswinarto
La Ode Rabbani
Lathifa Akmaliyah
Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember
Leon Agusta
Lily Siti Multatuliana
Lily Yulianti Farid
Lina Kelana
Liza Wahyuninto
Lona Olavia
Lugiena Dé
M Fadjroel Rachman
M Farid W Makkulau
M Syakir
M. Dawam Rahardjo
M. Faizi
M. Mustafied
M. Raudah Jambak
M. Taufan Musonip
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
M.Th. Krishdiana Putri
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Maklumat Sastra Profetik
Malkan Junaidi
Maman S. Mahayana
Mangun Kuncoro
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria D. Andriana
Maria Magdalena Bhoernomo
Mariana Amiruddin
Maryati
Marzuzak SY
Mashuri
Maulana Syamsuri
Media: Crayon on Paper
Mega Vristian
MG. Sungatno
Misbahus Surur
Mofik el-abrar
Moh. Amir Sutaarga
Moh. Ghufron Cholid
Mohammad Hatta
Mohammad Kh. Azad
Mohammad Takdir Ilahi
Much. Khoiri
Muhamad Taslim Dalma
Muhammad Rain
Muhammad Subhan
Muhammad Yasir
Muhammadun A.S
Muhidin M Dahlan
Mujtahid
Mulyawan Karim
Musa Ismail
Musfi Efrizal
Mustafa Ismail
Mustofa W Hasyim
N Teguh Prasetyo
N. Mursidi
Nadhi Kiara Zifen
Nana Riskhi Susanti
Nanang Suryadi
Naskah Teater
Nasrulloh Habibi
Neva Tuhella
Nietzsche
Nirwan Dewanto
Nizar Qabbani
Noor H. Dee
Nova Christina
Novelet
Nunung Nurdiah
Nur Wachid
Nurani Soyomukti
Nurel Javissyarqi
Nurman Hartono
Nuryana Asmaudi
Nyoman Tusthi Eddy
Obrolan
Oky Sanjaya
Oyos Saroso HN
P Ari Subagyo
Pagelaran Musim Tandur
Pamusuk Eneste
Panji Satrio
PDS H.B. Jassin
Penerbit dan Toko Buku PUstaka puJAngga
Pipiet Senja
Pramoedya Ananta Toer
Pringadi AS
Pringgo HR
Prosa
Puisi
Puji Santosa
Purnawan Andra
PUstaka puJAngga
Putu Fajar Arcana
Putu Satria Kusuma
Putu Wijaya
R Masri Sareb Putra
R. Adhi Kusumaputra
R. Timur Budi Raja
R.N. Bayu Aji
Radhar Panca Dahana
Ragdi F. Daye
Rahmi Hattani
Raja Ali Haji
Raju Febrian
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Rama Dira J
Rama Prabu
Ramadhan KH
Ramon Magsaysay
Ramses Ohee
Ratih Kumala
Raudal Tanjung Banua
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Resensi
Ressa Novita
Ressa Sagitariana Putri
Ria Ristiana Dewi
Rialita Fithra Asmara
Ribut Wijoto
Rida K Liamsi
Rifka Sibarani
Rilda A. Oe. Taneko
Rilda A.Oe. Taneko
Rimbun Natamarga
Rinto Andriono
Risang Anom Pujayanto
Rita Zahara
Riyon Fidwar
Robin Al Kautsar
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rohman Budijanto
Rukardi
S Yoga
S. Jai
S. Takdir Alisyahbana
S.W. Teofani
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Sajak
Sajak Sebatang Lisong
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Salman S. Yoga
Salyaputra
Samson Rambah Pasir
Samsudin Adlawi
Sanie B. Kuncoro
Santy Novaria
Sapardi Djoko Damono
Sarabunis Mubarok
Sartika Dian Nuraini
Sasti Gotama
Sastra Nusantara
Satmoko Budi Santoso
Satriani
Saut Poltak Tambunan
Saut Situmorang
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
Selasih
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Shadiqin Sudirman
Shiny.ane el’poesya
Shourisha Arashi
Sidik Nugroho
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sindu Putra
Siska Afriani
Siti Sa’adah
Sitok Srengenge
Siwi Dwi Saputro
Slamet Samsoerizal
Sobih Adnan
Sofyan RH. Zaid
Solihin
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sony Wibisono
Sosiawan Leak
Sri Wintala Achmad
Sri Wulan Rujiati Mulyadi
Stevani Elisabeth
Suci Ayu Latifah
Sucipto Hadi Purnomo
Sudarmoko
Sudirman HN
Suhadi Mukhan
Suharsono
Sukar
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Sunudyantoro
Supriyadi
Suriani
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Sutan Iwan Soekri Munaf
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Syahruddin El-Fikri
Syaripudin Zuhri
Syifa Aulia
Syu’bah Asa
T.A. Sakti
Tammalele
Tan Lioe Ie
Tasyriq Hifzhillah
Taufik Abdullah
Taufik Effendi Aria
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Wr. Hidayat
TE. Priyono
Teguh Winarsho AS
Tenas Effendy
Tengsoe Tjahjono
Thayeb Loh Angen
Theresia Purbandini
Tia Setiadi
Tias Tatanka
Tito Sianipar
Tjahjono EP
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Tjut Zakiyah Anshari
Topik Mulyana
Tosa Poetra
Tri Harun Syafii
TS Pinang
Tu-ngang Iskandar
Udo Z. Karzi
Uly Giznawati
Umar Fauzi Ballah
Umbu Landu Paranggi
Umi Kulsum
Uniawati
Universitas Indonesia
Usman Arrumy
Usman D.Ganggang
Utada Kamaru
UU Hamidy
Viddy AD Daery
W.S. Rendra
Wa Ode Wulan Ratna
Wahib Muthalib
Wahyudi Akmaliah Muhammad
Wardjito Soeharso
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Sunarta
Weli Meinindartato
Wicaksono
Widodo DS
Wina Karnie
Wisran Hadi
Wong Wing King
Yan Maniani
Yanti Mulatsih
Yanuar Arifin
Yasser Arafat
Yaumu Roikha
Yetti A. KA
Yohanes Padmo Adi Nugroho
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yudhi Ms
Yudhistira ANM Massardi
Yulianna
Yurnaldi
Yusi A. Pareanom
Yusi Avianto Pareanom
Yusri Fajar
Yusrizal KW
Yuyun Ifa Naliah
Zaim Rofiqi
Zainal Arifin Thoha
Zakki Amali
Zakky Zulhazmi
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zelfeni Wimra
Zuarman Ahmad
Zulfikar Akbar
Tidak ada komentar:
Posting Komentar