Sabrank Suparno
http://sastra-indonesia.com/
Klak, klak, klak. Denting jam di tembok lembab itu kian berdengung di telingaku. Berbeda dengan malam malam sebelumnya, setiap detak jam kini bergema yang gaungnya terngiang merasuk ke sumsum tulangku. Dadaku sesak. Nafasku tersengal. Tubuhku gemetar. Ketegaranku runtuh. Kekuatanku lunglai. Keteguhanku roboh. Nyali-nyaliku raib.
Klak, klak, kak. Detak jam dinding itu berubah menjadi detak-detak langkah sepatu. Ia tidak banyak. Hanya seorang yang langkahnya tegak, pelan dengan ayunan langkah yang dibandul jarak lebarnya dengan kesamaan tepat durasinya, santai, perlahan namun pasti. Ia menyelinap dari keremangan malam yang sunyi. Ia mendekat. Mendekat. Semakin mendekat. Dan tak lama lagi sosok hitamnya dengan wajah samar sudah di depan, samping, atau belakangku.
Pemilik langkah itu adalah seorang berwajah dingin, hati beku, kapala batu. Kerut giginya segera menggerus-gerus ketika melihat orang yang dia cari sudah di depan langkah. Ialah orang yang pernah memutar silet di depan matanya, kemudian menyayat pelipis, dahi, leher, punggung, tangan sampai hampir putus nadinya. Ialah orang yang mengencingi kepalanya sebelum mendadung leher, menyerimpung, kemudian menyeretnya ke bibir kubangan.
Di bibir kubangan yang baru digali itu, ia sengaja membiarkan engos nafas terahirnya. Hirupan hirupan terahir itulah ia nikmati sebagai cawan yang ia reguk bersloki-sloki. Antara remang, sadar dan keliyang, ia membiarkan tawanan mautnya tertekuk sambil memandangi beberapa teman yang mendahului menghuni petak persegi empat itu. Ia segera menjejak tubuh tak berdaya itu hingga terjungkal. Yang ia bayangkan betapa ia akan tersendat sendat menghela nafas ketika serpihan tanah urug sedikit demi sedikit menyumpal hidungnya dan menimbun badannya.
Setelah kubangan itu rata seperti semula, ia masih menunggu kemungkinan yang harus disikat pula. Yakni urugan tanah yang bergera-gerak tanda manusia di dalamnya masih bernyawa. Ia segera mengambil selonjor pring apus yang diruncingkan. Ujung lancipnya kemudian ditancap persis sekitar tanah yang bergerak. Dan itulah kematian yang ia inginkan.
Ia adalah aku. Yang sekarang rebah di pojok bilik sempit jeruji besi. Orang orang memanggilku Rian. Tapi tak tentu. Kadang tiap tempat aku perlu mengganti nama.
***
Mungkin aku titisan ayah, seorang yang tampan, tinggi, santun, dan masa mudanya, ibu adalah salah satu gadis yang kesemsem ketampanannya. Jangankan menggendongku, sejak kecil pun ia tak pernah memperlihatkan wajahnya kepadaku. Mungkin saja ayahku adalah lelaki selingkuhan ibu yang embrionya menjadi jabang bayi kecilku dulu.
Sejak itu aku membenci laki laki. Sosok yang digadang lebar jangkahnya, seenaknya datang dan pergi meninggalkan wanita, meninggalkan ibuku dan janda janda lainnya. Tanpa ayah sang soko guru, aku tak banyak faham bagaimana menjadi laki-laki. Laki laki yang perkasa melindungi keluarganya. Laki laki yang kelaki lakiannya membuat wanita berguna kewanitaannya.
Detak langkah itu menghilang saat wajah para hakim melintas. Mereka berkelebat dengan jubah dan palu godamnya. Aku seperti masih duduk lunglai di depan meja hijau. Namun yang paling jelas dalam bayanganku bukan mereka sedang memaparkan putusan final atas kebiadapanku. Atau pengacaraku yang gigih mempledoiku dengan berkas tebal verbalnya. Melainkan bisikan hakim dan pengacara, bahwa nyawaku seharga 2 hektar sawah ibu di selatan desa.
Aku sengaja tak menjual sawah untuk membeli nyawaku. Sejak muda ibuku sudah sengsara. Aku tak ingin ibuku terlunta saat usia senjanya. Mungkin ini hal yang paling kejam dalam hidupku. Hingga nyawaku sendiri harus kubenci.
***
Klak, klak, klak. Langkah itu datang lagi. Mungkin yang ini sepatu jinjit istri perwira polisi. Ia dan 17 wanita lainnya adalah korban kebiadapanku. Mereka itu para wanita dungu. Yang pasti terjerat jalinan asmara denganku. Dan setiap yang kuhabisi nyawanya adalah yang saat bersamaku pasti berkali-kali kukakahi selakangannya. Tak Cuma itu, mereka juga yang hartanya kukuras dengan kelihaian tipu dayaku. Istri polisi itu akan melampiaskan kecewanya dengan menikamku, senyawang aku masih berbentuk tubuh dan hati yang bisa merasakan sakit.
Aku memang beruntung dilahirkan dengan peringai tampan. Tak sulit bagiku menggaet wanita. Teori imaj building yang menilai kebaikan berdasar apa yang dilihat, seperti menempatkan aku menjadi pangeran kehidupan. Toh mereka tidak peduli walau hatiku busuk, sebab yang mereka cari adalah ketampanan.
Setiap berpacaran dengan wanita wanita itu, aku seringkali dikenalkan kerabat, famili, teman sekolah, juga para tetangga. Yang mereka inginkan adalah agar dipuji beruntung mendapat kekasih tampan. Padahal sesungguhnya aku tertawa diam-diam.
Berbeda dengan Wina dan Kalia. Mereka berdua bekerja sebagai menejer perusahaan. Wina tergaet, karena aku mengaku produser film. Dan Kalia terpikat pengakuanku sebagai intelegen polisi. Mobil mereka dulu sering kupinjam untuk menggaet gadis gadis desa yang kemajaran. Meski dengan mobil pinjaman, aku gampang memanen para perawan yang mahkotanya mulai mekar dan menyeruakkan aroma harum. Lingkungan dan kesusahan yang mereka tanggung bertahun tahun telah menutupi kesejatian yang sejati. Mereka tak seperti burung yang bisa terbang. Keluasan hidup yang ditempuh cukup dirampungkan dengan kibasan sayap. Dalam sekejap, sampailah pada wilayah yang jauh.
Mereka seperti hewan melata. Kesengsaraan merayap di bumi, membuat mereka bertarung keras menaklukkan hujan dan kemarau, banjir dan daun kekeringan, lembah dan tebing tebing curam yang melelahkan. Kelelahan sedemikian payah dan menutupi ketajaman nyalinya.
Mereka adalah wanita yang khatam berguru pada koran dan televisi. Yang programnya mengajarkan kehidupan terhadap apa yang laku dijual. Bukan apa yang baik. Bagi Koran dan televise, jika manusia digigit anjing, itu hal yang lumrah. Tetapi manusia menggigit anjing, itu yang luar biasa dan laris diekspose.
Wanita yang tidak kutarget sebagai mangsaku, ialah wanita yang mampu berkoar membela kaumnya. Kadang suara wanita pembela itu serak berteriak “kenapa wanita selalu dijadikan tawanan sangkar madu?” Tetapi itulah wanita dengan segala kelemahanya. Tanpa dijadikan tawanan, mereka memang kerap berseliweran di sekitar sangkar tawanan. Wanita mewarisi rahim sang Hawa. Yang kemecer melahap sebungkul keabadian dalam dirinya, yang bukan keabadian Tuhan.
***
Klak, klak, klak. Sesungguhnya itu hanyalah suara jam dinding. Tak ada satu langkah pun menghampiriku. “Ngaaa..!” Itupun hanya suara kucing penghuni lapas ini, dan bukan jeritan anak si Windi yang kubunuh sekalian bersama ibunya. Kucing yang keluar masuk tanpa diperiksa Sipir karna tak membawa bingkisan makanan enak seperti para pembesuk kamar sebelah.
Sebetulnya aku ingin tertangkap saat membunuh mangsa ke sepuluhku. Sebab aku yakin setiap nyawa kuculik dari tangan tuhan. Tapi tak bisa. Itulah kepolisian di negaraku, hanya bersungguh sungguh mengusut kasus jika ada bayaran. Negaraku memang bukan layaknya negara. Sebab tak punya pemerintah. Yang punya ialah panitia pengatur aliran dana pinjaman luar negeri. Bahkan, kewenangan kekuasaan dimanfaatkan sebagai bisnis sampingan makelar kasus. Ternyata pejabat di negaraku ini kebiadapannya dalam menjagal mangsa, malabihi kenekatanku. Mangsa terakhir yang membuat ulahku terungkap, bukanlah kepiawaian kinerja polisi. Melainkan aku sengaja meninggalkan jejak tanda yang merujuk identitasku.
***
Dengan terpaksa, aku menyukai takdir hidupku. Dengan begini artinya aku diutus mengingatkan cara berfikir kehidupan bahwa menyukai berdasar fisik semata, sama dengan menjeburkan diri ke jurang kenistaan. Hekk, sungguh inilah yang disebut zaman edan. Bukan zamannya yang edan, tapi manusianya berotak tumpul. Tak mamapu sedikit pun bangkit dari trend hidup yang tengah mengungkungnya. Mereka mencampakkan larik larik puisi sufinya Khalil Gibran: Tubuh bukanlah jiwa / Tubuh hanyalah rumah bagi jiwa / Tubuh yang indah / Belum tentu dihuni jiwa yang indah / Tetapi di jiwa yang indah / Pasti tersirat tubuh yang indah pula. Namun aku juga faham resikonya, yaitu dinista orang, dihukum mati, dan dilempar ke sulutan munclaknya api neraka.
Meski beberapa bulan terahir, Ustad yang mendampingiku mengalihkan pandangan bahwa Tuhan pasti membuka pintu taubatnya jika aku menyadari itu sebagai suatu kesalahan dan lantas memohon ampun. Ustad hanyalah mengamankan hati dan prasangkaku menjelang kematian yang beberapa langkah lagi menghampiriku. Kematian yang waktunya diketukan palu hakim di meja hijau saat aku divonis eksekusi mati.
Klak, klak, klak. Bukan sekedar detik detik jam dinding yang menjemput ajalku. Menurut Ustad, tengah malam nanti waktuku dieksekusi. Langkah langkah sepatu itu kian mendekat. Mataku segera diiakat sehelai kain, dan teropong diselobongkan ke kepalaku. Rombongan bersepatu itu mengajakku ke suatu tempat yang berjarak setu jam setengah mengendarai mobil. Aku dituntun bagai sandera dengan tangan terborgol. Persis waktu kecilku di kampung bersama teman sebaya. Kami bermain perang perang, bedil bedilan dan sandera sanderaan. Aku diikat temanku di pohon Jarak. Ujung senapan laras panjang yang kami buat dari gedebok pisang diacung-acungkan ke jidakku sambil meluapkan amarah kemenangan.
Macam-macam peradaban ada peperangan / Macam-macam zaman ada pertempuran / Macam- macam periode ada pertentangan / Macam- macam musim ada pergolakan / Macam- macam negara ada peperangan / Macam- macam wilayah kerajaan ada pertempuran / Macam- macam keluarga ada pertentangan / Macam- macam diri manusia ada pergolakan / Ada pertempuran, pergolakan, pertentangan dan peperangan yang macam-macam untuk menemukan wilayah dan jati diri /
Namun jangan macam-macam bertempur, berperang, jika engkau belom miliki aji-aji kesaktian yang macam-macam / Salah satu macam kesaktianku bertempur dan berperang adalah : sun malik ajiku, aji sluman slumun slamet / Untuk memenangkan diriku, aku mengalahkan dirimu, dengan cara memenagkan dirimu / Hanya dengan jurus cinta, kasih, sayang, musuh terkapar tanpa tercabik. Tinggallah yang aku lakukan! Jangan sampai kalah walau dalam kemenangan sekalipun. Sebelum 16 regu tembak serempak! Dor! Satu diantara peluru menembus jantung hatiku.
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Rabu, 01 Desember 2010
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Khoirul Anam
A Qorib Hidayatullah
A Rodhi Murtadho
A. Yusrianto Elga
A. Zakky Zulhazmi
A.S. Laksana
Aang Fatihul Islam
Aba Mardjani
Abd. Mun’im
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Gaffar Ruskhan
Abdul Hadi W. M.
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Malik
Abdul Muis
Abdul Wachid BS
Abdullah Khusairi
Abidah El Khalieqy
Abimardha Kurniawan
Abroorza A. Yusra
Abu Salman
Acep Iwan Saidi
Achmad Farid Tuasikal
Adek Alwi
Adi Marsiela
Adian Husaini
Adib Muttaqin Asfar
Adji Subela
Afandi Sido
Afriza Hanifa
Afrizal Malna
Ageng Wuri R. A.
Ags. Arya Dipayana
Aguk Irawan M.N.
Agus B. Harianto
Agus Bing
Agus Noor
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Sri Danardana
Agus Sulton
Agus Sunyoto
Agus Wibowo
Agus Wirawan
Agusri Junaidi
AH J Khuzaini
Ahda Imran
Ahid Hidayat
Ahm Soleh
Ahmad Asyhar
Ahmad Farid Yahya
Ahmad Fuadi
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Musthofa Haroen
Ahmad Rofiq
Ahmad Suhendra
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Aini Aviena Violeta
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Muhaimin Azzet
Akhmad Sekhu
Al Azhar Riau
Al-Fairish
Alex R. Nainggolan
Alexander G.B.
Alfian Zainal
Aliansyah
Alimuddin
Almania Rohmah
Alunk Estohank
Amien Kamil
Amien Wangsitalaja
Anata Siregar
Andi Sutisno
Andy Riza Hidayat
Anies Baswedan
Anindita S Thayf
Anis Ceha
Anis Faridatur Rofiah
Anjrah Lelono Broto
Anna Subekti
Anton Kurnia
Ari Hidayat
Ari Kristianawati
Arie MP Tamba
Arief Junianto
Aris Kurniawan
Arti Bumi Intaran
Arul Arista
AS Sumbawi
Asarpin
Asep Sambodja
Atiqurrahman
Awalludin GD Mualif
Ayu Purwaningsih
Babe Derwan
Bakdi Soemanto
Balada
Bale Aksara
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Bayu Dwi Mardana
Bellanissa Zoditama
Beni Setia
Benny Arnas
Beno Siang Pamungkas
Berita
Berita Duka
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Bokor Hutasuhut
Brunel University London
BSW Adjikoesoemo
Budaya
Budhi Setyawan
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budiawan Dwi Santoso
Bur Rasuanto
Burhanuddin Bella
Bustan Basir Maras
Catatan
Catullus
CB. Ismulyadi
Cerbung
Cerita Rakyat
Cerpen
Chavchay Syaifullah
Cikie Wahab
Cunong Nunuk Suraja
D Zawawi Imron
Dad Murniah
Dadang Ari Murtono
Dahlia Rasyad
Damhuri Muhammad
Damiri Mahmud
Danarto
Daniel Paranamesa
Darju Prasetya
Darman Djamaluddin
Darman Moenir
Dasman Djamaluddin
David Krisna Alka
Dea Anugrah
Dedy Tri Riyadi
Denny JA
Denny Mizhar
Desi Sommalia Gustina
Dewi Anggraeni
Dharma Setyawan
Dian Hartati
Didi Arsandi
Dina Oktaviani
Dipo Handoko
Djenar Maesa Ayu
Djoko Pitono
Doddi Ahmad Fauji
Doddy Hidayatullah
Dodi Chandra
Dodiek Adyttya Dwiwanto
Dody Kristianto
Donny Anggoro
Dony P. Herwanto
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Klik Santosa
Dwi Pranoto
Dwicipta
Edy A Effendi
Edy Firmansyah
Eka Budianta
Eka Fendri Putra
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Ellyzan Katan
Elnisya Mahendra
Emha Ainun Nadjib
Endah Imawati
Eni Suryanti
Eny Rose
Eriyandi Budiman
Eriyanti
Erwin Edhi Prasetya
Erwin Setia
Esai
Evan Ys
Evi Idawati
F Rahardi
Fadly Rahman
Fahrudin Nasrulloh
Faizah Sirajuddin
Faizal Syahreza
Fajar Alayubi
Fakhrunnas M.A. Jabbar
Fanny Chotimah
Fariz al-Nizar
Fariz Alneizar
Faruk HT
Fatah Anshori
Fatah Yasin Noor
Fathurrahman Karyadi
Fatimah Wahyu Sundari
Fauzan Santa
Fazabinal Alim
Festival Sastra Gresik
Fikri MS
Fiksi Mini
Fransisca Dewi Ria Utari
Franz Kafka
Fuad Anshori
Furqon Abdi
Fuska Sani Evani
Gendhotwukir
Gendut Riyanto
Gerson Poyk
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Gola Gong
Grathia Pitaloka
Gregorio Lopez y’ Fuentes
Gugun El-Guyanie
Gunawan Budi Susanto
Gus Noy
H.H. Tokoro
Hadi Napster
Hamberan Syahbana
Hamdy Salad
Hamsad Rangkuti
Han Gagas
Hang Kafrawi
Hani Pudjiarti
Hanna Fransisca
Hardi Hamzah
Hardjono WS
Haris del Hakim
Haris Priyatna
Harris Maulana
Hary B. Kori'un
Hasan Al Banna
Hasan Junus
Hasbullah Said
Hasnan Bachtiar
HE. Benyamine
Heidi Arbuckle
Helmi Y Haska
Helvy Tiana Rosa
Hendra Junaedi
Hendri Nova
Herdoni Syafriansyah
Heri Kurniawan
Heri Latief
Heri Ruslan
Herman RN
Hermawan Aksan
Hermien Y. Kleden
Herry Lamongan
Holy Adib
Humaidiy AS
Husni Anshori
I Nyoman Darma Putra
I Nyoman Tingkat
I Wayan Artika
Ibnu Wahyudi
Ida Farida
Ignas Kleden
Ilham Khoiri
Imam Cahyono
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Tohari
Indra Tranggono
Indrian Koto
Irwan Kelana
Isbedy Stiawan Z.S.
Iskandar Noe
Isma Swastiningrum
Ismi Wahid
Iwan Gardono Sujatmiko
Iwan Gunadi
Iwan Kurniawan
Iwan Nurdaya Djafar
Iwank
J.S. Badudu
Janoary M Wibowo
Javed Paul Syatha
JILFest 2008
JJ. Kusni
Jodhi Yudono
Joko Novianto Bp
Joko Pinurbo
Jones Gultom
Jual Buku Paket Hemat
Jusuf AN
Kadek Suartaya
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kasnadi
Kedung Darma Romansha
Kenedi Nurhan
Khaerudin Kurniawan
Khaerul Anwar
Ki Sugito Ha Es
Kirana Kejora
Komunitas Deo Gratias
Korrie Layun Rampan
Kritik Sastra
Kunthi Hastorini
Kuntowijoyo
Kurie Suditomo
Kurnia Effendi
Kurniawan
Kuswinarto
La Ode Rabbani
Lathifa Akmaliyah
Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember
Leon Agusta
Lily Siti Multatuliana
Lily Yulianti Farid
Lina Kelana
Liza Wahyuninto
Lona Olavia
Lugiena Dé
M Fadjroel Rachman
M Farid W Makkulau
M Syakir
M. Dawam Rahardjo
M. Faizi
M. Mustafied
M. Raudah Jambak
M. Taufan Musonip
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
M.Th. Krishdiana Putri
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Maklumat Sastra Profetik
Malkan Junaidi
Maman S. Mahayana
Mangun Kuncoro
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria D. Andriana
Maria Magdalena Bhoernomo
Mariana Amiruddin
Maryati
Marzuzak SY
Mashuri
Maulana Syamsuri
Media: Crayon on Paper
Mega Vristian
MG. Sungatno
Misbahus Surur
Mofik el-abrar
Moh. Amir Sutaarga
Moh. Ghufron Cholid
Mohammad Hatta
Mohammad Kh. Azad
Mohammad Takdir Ilahi
Much. Khoiri
Muhamad Taslim Dalma
Muhammad Rain
Muhammad Subhan
Muhammad Yasir
Muhammadun A.S
Muhidin M Dahlan
Mujtahid
Mulyawan Karim
Musa Ismail
Musfi Efrizal
Mustafa Ismail
Mustofa W Hasyim
N Teguh Prasetyo
N. Mursidi
Nadhi Kiara Zifen
Nana Riskhi Susanti
Nanang Suryadi
Naskah Teater
Nasrulloh Habibi
Neva Tuhella
Nietzsche
Nirwan Dewanto
Nizar Qabbani
Noor H. Dee
Nova Christina
Novelet
Nunung Nurdiah
Nur Wachid
Nurani Soyomukti
Nurel Javissyarqi
Nurman Hartono
Nuryana Asmaudi
Nyoman Tusthi Eddy
Obrolan
Oky Sanjaya
Oyos Saroso HN
P Ari Subagyo
Pagelaran Musim Tandur
Pamusuk Eneste
Panji Satrio
PDS H.B. Jassin
Penerbit dan Toko Buku PUstaka puJAngga
Pipiet Senja
Pramoedya Ananta Toer
Pringadi AS
Pringgo HR
Prosa
Puisi
Puji Santosa
Purnawan Andra
PUstaka puJAngga
Putu Fajar Arcana
Putu Satria Kusuma
Putu Wijaya
R Masri Sareb Putra
R. Adhi Kusumaputra
R. Timur Budi Raja
R.N. Bayu Aji
Radhar Panca Dahana
Ragdi F. Daye
Rahmi Hattani
Raja Ali Haji
Raju Febrian
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Rama Dira J
Rama Prabu
Ramadhan KH
Ramon Magsaysay
Ramses Ohee
Ratih Kumala
Raudal Tanjung Banua
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Resensi
Ressa Novita
Ressa Sagitariana Putri
Ria Ristiana Dewi
Rialita Fithra Asmara
Ribut Wijoto
Rida K Liamsi
Rifka Sibarani
Rilda A. Oe. Taneko
Rilda A.Oe. Taneko
Rimbun Natamarga
Rinto Andriono
Risang Anom Pujayanto
Rita Zahara
Riyon Fidwar
Robin Al Kautsar
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rohman Budijanto
Rukardi
S Yoga
S. Jai
S. Takdir Alisyahbana
S.W. Teofani
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Sajak
Sajak Sebatang Lisong
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Salman S. Yoga
Salyaputra
Samson Rambah Pasir
Samsudin Adlawi
Sanie B. Kuncoro
Santy Novaria
Sapardi Djoko Damono
Sarabunis Mubarok
Sartika Dian Nuraini
Sasti Gotama
Sastra Nusantara
Satmoko Budi Santoso
Satriani
Saut Poltak Tambunan
Saut Situmorang
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
Selasih
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Shadiqin Sudirman
Shiny.ane el’poesya
Shourisha Arashi
Sidik Nugroho
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sindu Putra
Siska Afriani
Siti Sa’adah
Sitok Srengenge
Siwi Dwi Saputro
Slamet Samsoerizal
Sobih Adnan
Sofyan RH. Zaid
Solihin
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sony Wibisono
Sosiawan Leak
Sri Wintala Achmad
Sri Wulan Rujiati Mulyadi
Stevani Elisabeth
Suci Ayu Latifah
Sucipto Hadi Purnomo
Sudarmoko
Sudirman HN
Suhadi Mukhan
Suharsono
Sukar
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Sunudyantoro
Supriyadi
Suriani
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Sutan Iwan Soekri Munaf
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Syahruddin El-Fikri
Syaripudin Zuhri
Syifa Aulia
Syu’bah Asa
T.A. Sakti
Tammalele
Tan Lioe Ie
Tasyriq Hifzhillah
Taufik Abdullah
Taufik Effendi Aria
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Wr. Hidayat
TE. Priyono
Teguh Winarsho AS
Tenas Effendy
Tengsoe Tjahjono
Thayeb Loh Angen
Theresia Purbandini
Tia Setiadi
Tias Tatanka
Tito Sianipar
Tjahjono EP
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Tjut Zakiyah Anshari
Topik Mulyana
Tosa Poetra
Tri Harun Syafii
TS Pinang
Tu-ngang Iskandar
Udo Z. Karzi
Uly Giznawati
Umar Fauzi Ballah
Umbu Landu Paranggi
Umi Kulsum
Uniawati
Universitas Indonesia
Usman Arrumy
Usman D.Ganggang
Utada Kamaru
UU Hamidy
Viddy AD Daery
W.S. Rendra
Wa Ode Wulan Ratna
Wahib Muthalib
Wahyudi Akmaliah Muhammad
Wardjito Soeharso
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Sunarta
Weli Meinindartato
Wicaksono
Widodo DS
Wina Karnie
Wisran Hadi
Wong Wing King
Yan Maniani
Yanti Mulatsih
Yanuar Arifin
Yasser Arafat
Yaumu Roikha
Yetti A. KA
Yohanes Padmo Adi Nugroho
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yudhi Ms
Yudhistira ANM Massardi
Yulianna
Yurnaldi
Yusi A. Pareanom
Yusi Avianto Pareanom
Yusri Fajar
Yusrizal KW
Yuyun Ifa Naliah
Zaim Rofiqi
Zainal Arifin Thoha
Zakki Amali
Zakky Zulhazmi
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zelfeni Wimra
Zuarman Ahmad
Zulfikar Akbar
Tidak ada komentar:
Posting Komentar