Rabu, 01 Desember 2010

Rian

Sabrank Suparno
http://sastra-indonesia.com/

Klak, klak, klak. Denting jam di tembok lembab itu kian berdengung di telingaku. Berbeda dengan malam malam sebelumnya, setiap detak jam kini bergema yang gaungnya terngiang merasuk ke sumsum tulangku. Dadaku sesak. Nafasku tersengal. Tubuhku gemetar. Ketegaranku runtuh. Kekuatanku lunglai. Keteguhanku roboh. Nyali-nyaliku raib.

Klak, klak, kak. Detak jam dinding itu berubah menjadi detak-detak langkah sepatu. Ia tidak banyak. Hanya seorang yang langkahnya tegak, pelan dengan ayunan langkah yang dibandul jarak lebarnya dengan kesamaan tepat durasinya, santai, perlahan namun pasti. Ia menyelinap dari keremangan malam yang sunyi. Ia mendekat. Mendekat. Semakin mendekat. Dan tak lama lagi sosok hitamnya dengan wajah samar sudah di depan, samping, atau belakangku.

Pemilik langkah itu adalah seorang berwajah dingin, hati beku, kapala batu. Kerut giginya segera menggerus-gerus ketika melihat orang yang dia cari sudah di depan langkah. Ialah orang yang pernah memutar silet di depan matanya, kemudian menyayat pelipis, dahi, leher, punggung, tangan sampai hampir putus nadinya. Ialah orang yang mengencingi kepalanya sebelum mendadung leher, menyerimpung, kemudian menyeretnya ke bibir kubangan.

Di bibir kubangan yang baru digali itu, ia sengaja membiarkan engos nafas terahirnya. Hirupan hirupan terahir itulah ia nikmati sebagai cawan yang ia reguk bersloki-sloki. Antara remang, sadar dan keliyang, ia membiarkan tawanan mautnya tertekuk sambil memandangi beberapa teman yang mendahului menghuni petak persegi empat itu. Ia segera menjejak tubuh tak berdaya itu hingga terjungkal. Yang ia bayangkan betapa ia akan tersendat sendat menghela nafas ketika serpihan tanah urug sedikit demi sedikit menyumpal hidungnya dan menimbun badannya.

Setelah kubangan itu rata seperti semula, ia masih menunggu kemungkinan yang harus disikat pula. Yakni urugan tanah yang bergera-gerak tanda manusia di dalamnya masih bernyawa. Ia segera mengambil selonjor pring apus yang diruncingkan. Ujung lancipnya kemudian ditancap persis sekitar tanah yang bergerak. Dan itulah kematian yang ia inginkan.

Ia adalah aku. Yang sekarang rebah di pojok bilik sempit jeruji besi. Orang orang memanggilku Rian. Tapi tak tentu. Kadang tiap tempat aku perlu mengganti nama.
***

Mungkin aku titisan ayah, seorang yang tampan, tinggi, santun, dan masa mudanya, ibu adalah salah satu gadis yang kesemsem ketampanannya. Jangankan menggendongku, sejak kecil pun ia tak pernah memperlihatkan wajahnya kepadaku. Mungkin saja ayahku adalah lelaki selingkuhan ibu yang embrionya menjadi jabang bayi kecilku dulu.

Sejak itu aku membenci laki laki. Sosok yang digadang lebar jangkahnya, seenaknya datang dan pergi meninggalkan wanita, meninggalkan ibuku dan janda janda lainnya. Tanpa ayah sang soko guru, aku tak banyak faham bagaimana menjadi laki-laki. Laki laki yang perkasa melindungi keluarganya. Laki laki yang kelaki lakiannya membuat wanita berguna kewanitaannya.

Detak langkah itu menghilang saat wajah para hakim melintas. Mereka berkelebat dengan jubah dan palu godamnya. Aku seperti masih duduk lunglai di depan meja hijau. Namun yang paling jelas dalam bayanganku bukan mereka sedang memaparkan putusan final atas kebiadapanku. Atau pengacaraku yang gigih mempledoiku dengan berkas tebal verbalnya. Melainkan bisikan hakim dan pengacara, bahwa nyawaku seharga 2 hektar sawah ibu di selatan desa.

Aku sengaja tak menjual sawah untuk membeli nyawaku. Sejak muda ibuku sudah sengsara. Aku tak ingin ibuku terlunta saat usia senjanya. Mungkin ini hal yang paling kejam dalam hidupku. Hingga nyawaku sendiri harus kubenci.
***

Klak, klak, klak. Langkah itu datang lagi. Mungkin yang ini sepatu jinjit istri perwira polisi. Ia dan 17 wanita lainnya adalah korban kebiadapanku. Mereka itu para wanita dungu. Yang pasti terjerat jalinan asmara denganku. Dan setiap yang kuhabisi nyawanya adalah yang saat bersamaku pasti berkali-kali kukakahi selakangannya. Tak Cuma itu, mereka juga yang hartanya kukuras dengan kelihaian tipu dayaku. Istri polisi itu akan melampiaskan kecewanya dengan menikamku, senyawang aku masih berbentuk tubuh dan hati yang bisa merasakan sakit.

Aku memang beruntung dilahirkan dengan peringai tampan. Tak sulit bagiku menggaet wanita. Teori imaj building yang menilai kebaikan berdasar apa yang dilihat, seperti menempatkan aku menjadi pangeran kehidupan. Toh mereka tidak peduli walau hatiku busuk, sebab yang mereka cari adalah ketampanan.

Setiap berpacaran dengan wanita wanita itu, aku seringkali dikenalkan kerabat, famili, teman sekolah, juga para tetangga. Yang mereka inginkan adalah agar dipuji beruntung mendapat kekasih tampan. Padahal sesungguhnya aku tertawa diam-diam.

Berbeda dengan Wina dan Kalia. Mereka berdua bekerja sebagai menejer perusahaan. Wina tergaet, karena aku mengaku produser film. Dan Kalia terpikat pengakuanku sebagai intelegen polisi. Mobil mereka dulu sering kupinjam untuk menggaet gadis gadis desa yang kemajaran. Meski dengan mobil pinjaman, aku gampang memanen para perawan yang mahkotanya mulai mekar dan menyeruakkan aroma harum. Lingkungan dan kesusahan yang mereka tanggung bertahun tahun telah menutupi kesejatian yang sejati. Mereka tak seperti burung yang bisa terbang. Keluasan hidup yang ditempuh cukup dirampungkan dengan kibasan sayap. Dalam sekejap, sampailah pada wilayah yang jauh.

Mereka seperti hewan melata. Kesengsaraan merayap di bumi, membuat mereka bertarung keras menaklukkan hujan dan kemarau, banjir dan daun kekeringan, lembah dan tebing tebing curam yang melelahkan. Kelelahan sedemikian payah dan menutupi ketajaman nyalinya.

Mereka adalah wanita yang khatam berguru pada koran dan televisi. Yang programnya mengajarkan kehidupan terhadap apa yang laku dijual. Bukan apa yang baik. Bagi Koran dan televise, jika manusia digigit anjing, itu hal yang lumrah. Tetapi manusia menggigit anjing, itu yang luar biasa dan laris diekspose.

Wanita yang tidak kutarget sebagai mangsaku, ialah wanita yang mampu berkoar membela kaumnya. Kadang suara wanita pembela itu serak berteriak “kenapa wanita selalu dijadikan tawanan sangkar madu?” Tetapi itulah wanita dengan segala kelemahanya. Tanpa dijadikan tawanan, mereka memang kerap berseliweran di sekitar sangkar tawanan. Wanita mewarisi rahim sang Hawa. Yang kemecer melahap sebungkul keabadian dalam dirinya, yang bukan keabadian Tuhan.
***

Klak, klak, klak. Sesungguhnya itu hanyalah suara jam dinding. Tak ada satu langkah pun menghampiriku. “Ngaaa..!” Itupun hanya suara kucing penghuni lapas ini, dan bukan jeritan anak si Windi yang kubunuh sekalian bersama ibunya. Kucing yang keluar masuk tanpa diperiksa Sipir karna tak membawa bingkisan makanan enak seperti para pembesuk kamar sebelah.

Sebetulnya aku ingin tertangkap saat membunuh mangsa ke sepuluhku. Sebab aku yakin setiap nyawa kuculik dari tangan tuhan. Tapi tak bisa. Itulah kepolisian di negaraku, hanya bersungguh sungguh mengusut kasus jika ada bayaran. Negaraku memang bukan layaknya negara. Sebab tak punya pemerintah. Yang punya ialah panitia pengatur aliran dana pinjaman luar negeri. Bahkan, kewenangan kekuasaan dimanfaatkan sebagai bisnis sampingan makelar kasus. Ternyata pejabat di negaraku ini kebiadapannya dalam menjagal mangsa, malabihi kenekatanku. Mangsa terakhir yang membuat ulahku terungkap, bukanlah kepiawaian kinerja polisi. Melainkan aku sengaja meninggalkan jejak tanda yang merujuk identitasku.
***

Dengan terpaksa, aku menyukai takdir hidupku. Dengan begini artinya aku diutus mengingatkan cara berfikir kehidupan bahwa menyukai berdasar fisik semata, sama dengan menjeburkan diri ke jurang kenistaan. Hekk, sungguh inilah yang disebut zaman edan. Bukan zamannya yang edan, tapi manusianya berotak tumpul. Tak mamapu sedikit pun bangkit dari trend hidup yang tengah mengungkungnya. Mereka mencampakkan larik larik puisi sufinya Khalil Gibran: Tubuh bukanlah jiwa / Tubuh hanyalah rumah bagi jiwa / Tubuh yang indah / Belum tentu dihuni jiwa yang indah / Tetapi di jiwa yang indah / Pasti tersirat tubuh yang indah pula. Namun aku juga faham resikonya, yaitu dinista orang, dihukum mati, dan dilempar ke sulutan munclaknya api neraka.

Meski beberapa bulan terahir, Ustad yang mendampingiku mengalihkan pandangan bahwa Tuhan pasti membuka pintu taubatnya jika aku menyadari itu sebagai suatu kesalahan dan lantas memohon ampun. Ustad hanyalah mengamankan hati dan prasangkaku menjelang kematian yang beberapa langkah lagi menghampiriku. Kematian yang waktunya diketukan palu hakim di meja hijau saat aku divonis eksekusi mati.

Klak, klak, klak. Bukan sekedar detik detik jam dinding yang menjemput ajalku. Menurut Ustad, tengah malam nanti waktuku dieksekusi. Langkah langkah sepatu itu kian mendekat. Mataku segera diiakat sehelai kain, dan teropong diselobongkan ke kepalaku. Rombongan bersepatu itu mengajakku ke suatu tempat yang berjarak setu jam setengah mengendarai mobil. Aku dituntun bagai sandera dengan tangan terborgol. Persis waktu kecilku di kampung bersama teman sebaya. Kami bermain perang perang, bedil bedilan dan sandera sanderaan. Aku diikat temanku di pohon Jarak. Ujung senapan laras panjang yang kami buat dari gedebok pisang diacung-acungkan ke jidakku sambil meluapkan amarah kemenangan.

Macam-macam peradaban ada peperangan / Macam-macam zaman ada pertempuran / Macam- macam periode ada pertentangan / Macam- macam musim ada pergolakan / Macam- macam negara ada peperangan / Macam- macam wilayah kerajaan ada pertempuran / Macam- macam keluarga ada pertentangan / Macam- macam diri manusia ada pergolakan / Ada pertempuran, pergolakan, pertentangan dan peperangan yang macam-macam untuk menemukan wilayah dan jati diri /

Namun jangan macam-macam bertempur, berperang, jika engkau belom miliki aji-aji kesaktian yang macam-macam / Salah satu macam kesaktianku bertempur dan berperang adalah : sun malik ajiku, aji sluman slumun slamet / Untuk memenangkan diriku, aku mengalahkan dirimu, dengan cara memenagkan dirimu / Hanya dengan jurus cinta, kasih, sayang, musuh terkapar tanpa tercabik. Tinggallah yang aku lakukan! Jangan sampai kalah walau dalam kemenangan sekalipun. Sebelum 16 regu tembak serempak! Dor! Satu diantara peluru menembus jantung hatiku.

Tidak ada komentar:

A Khoirul Anam A Qorib Hidayatullah A Rodhi Murtadho A. Yusrianto Elga A. Zakky Zulhazmi A.S. Laksana Aang Fatihul Islam Aba Mardjani Abd. Mun’im Abdul Aziz Rasjid Abdul Gaffar Ruskhan Abdul Hadi W. M. Abdul Kadir Ibrahim Abdul Malik Abdul Muis Abdul Wachid BS Abdullah Khusairi Abidah El Khalieqy Abimardha Kurniawan Abroorza A. Yusra Abu Salman Acep Iwan Saidi Achmad Farid Tuasikal Adek Alwi Adi Marsiela Adian Husaini Adib Muttaqin Asfar Adji Subela Afandi Sido Afriza Hanifa Afrizal Malna Ageng Wuri R. A. Ags. Arya Dipayana Aguk Irawan M.N. Agus B. Harianto Agus Bing Agus Noor Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sri Danardana Agus Sulton Agus Sunyoto Agus Wibowo Agus Wirawan Agusri Junaidi AH J Khuzaini Ahda Imran Ahid Hidayat Ahm Soleh Ahmad Asyhar Ahmad Farid Yahya Ahmad Fuadi Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musthofa Haroen Ahmad Rofiq Ahmad Suhendra Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Aini Aviena Violeta Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sekhu Al Azhar Riau Al-Fairish Alex R. Nainggolan Alexander G.B. Alfian Zainal Aliansyah Alimuddin Almania Rohmah Alunk Estohank Amien Kamil Amien Wangsitalaja Anata Siregar Andi Sutisno Andy Riza Hidayat Anies Baswedan Anindita S Thayf Anis Ceha Anis Faridatur Rofiah Anjrah Lelono Broto Anna Subekti Anton Kurnia Ari Hidayat Ari Kristianawati Arie MP Tamba Arief Junianto Aris Kurniawan Arti Bumi Intaran Arul Arista AS Sumbawi Asarpin Asep Sambodja Atiqurrahman Awalludin GD Mualif Ayu Purwaningsih Babe Derwan Bakdi Soemanto Balada Bale Aksara Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Bayu Dwi Mardana Bellanissa Zoditama Beni Setia Benny Arnas Beno Siang Pamungkas Berita Berita Duka Bernando J. Sujibto Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Bokor Hutasuhut Brunel University London BSW Adjikoesoemo Budaya Budhi Setyawan Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiawan Dwi Santoso Bur Rasuanto Burhanuddin Bella Bustan Basir Maras Catatan Catullus CB. Ismulyadi Cerbung Cerita Rakyat Cerpen Chavchay Syaifullah Cikie Wahab Cunong Nunuk Suraja D Zawawi Imron Dad Murniah Dadang Ari Murtono Dahlia Rasyad Damhuri Muhammad Damiri Mahmud Danarto Daniel Paranamesa Darju Prasetya Darman Djamaluddin Darman Moenir Dasman Djamaluddin David Krisna Alka Dea Anugrah Dedy Tri Riyadi Denny JA Denny Mizhar Desi Sommalia Gustina Dewi Anggraeni Dharma Setyawan Dian Hartati Didi Arsandi Dina Oktaviani Dipo Handoko Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Doddi Ahmad Fauji Doddy Hidayatullah Dodi Chandra Dodiek Adyttya Dwiwanto Dody Kristianto Donny Anggoro Dony P. Herwanto Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Klik Santosa Dwi Pranoto Dwicipta Edy A Effendi Edy Firmansyah Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Eko Darmoko Ellyzan Katan Elnisya Mahendra Emha Ainun Nadjib Endah Imawati Eni Suryanti Eny Rose Eriyandi Budiman Eriyanti Erwin Edhi Prasetya Erwin Setia Esai Evan Ys Evi Idawati F Rahardi Fadly Rahman Fahrudin Nasrulloh Faizah Sirajuddin Faizal Syahreza Fajar Alayubi Fakhrunnas M.A. Jabbar Fanny Chotimah Fariz al-Nizar Fariz Alneizar Faruk HT Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fathurrahman Karyadi Fatimah Wahyu Sundari Fauzan Santa Fazabinal Alim Festival Sastra Gresik Fikri MS Fiksi Mini Fransisca Dewi Ria Utari Franz Kafka Fuad Anshori Furqon Abdi Fuska Sani Evani Gendhotwukir Gendut Riyanto Gerson Poyk Gita Pratama Goenawan Mohamad Gola Gong Grathia Pitaloka Gregorio Lopez y’ Fuentes Gugun El-Guyanie Gunawan Budi Susanto Gus Noy H.H. Tokoro Hadi Napster Hamberan Syahbana Hamdy Salad Hamsad Rangkuti Han Gagas Hang Kafrawi Hani Pudjiarti Hanna Fransisca Hardi Hamzah Hardjono WS Haris del Hakim Haris Priyatna Harris Maulana Hary B. Kori'un Hasan Al Banna Hasan Junus Hasbullah Said Hasnan Bachtiar HE. Benyamine Heidi Arbuckle Helmi Y Haska Helvy Tiana Rosa Hendra Junaedi Hendri Nova Herdoni Syafriansyah Heri Kurniawan Heri Latief Heri Ruslan Herman RN Hermawan Aksan Hermien Y. Kleden Herry Lamongan Holy Adib Humaidiy AS Husni Anshori I Nyoman Darma Putra I Nyoman Tingkat I Wayan Artika Ibnu Wahyudi Ida Farida Ignas Kleden Ilham Khoiri Imam Cahyono Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Tohari Indra Tranggono Indrian Koto Irwan Kelana Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Isma Swastiningrum Ismi Wahid Iwan Gardono Sujatmiko Iwan Gunadi Iwan Kurniawan Iwan Nurdaya Djafar Iwank J.S. Badudu Janoary M Wibowo Javed Paul Syatha JILFest 2008 JJ. Kusni Jodhi Yudono Joko Novianto Bp Joko Pinurbo Jones Gultom Jual Buku Paket Hemat Jusuf AN Kadek Suartaya Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Kedung Darma Romansha Kenedi Nurhan Khaerudin Kurniawan Khaerul Anwar Ki Sugito Ha Es Kirana Kejora Komunitas Deo Gratias Korrie Layun Rampan Kritik Sastra Kunthi Hastorini Kuntowijoyo Kurie Suditomo Kurnia Effendi Kurniawan Kuswinarto La Ode Rabbani Lathifa Akmaliyah Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember Leon Agusta Lily Siti Multatuliana Lily Yulianti Farid Lina Kelana Liza Wahyuninto Lona Olavia Lugiena Dé M Fadjroel Rachman M Farid W Makkulau M Syakir M. Dawam Rahardjo M. Faizi M. Mustafied M. Raudah Jambak M. Taufan Musonip M. Yoesoef M.D. Atmaja M.Th. Krishdiana Putri Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Maklumat Sastra Profetik Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mangun Kuncoro Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria D. Andriana Maria Magdalena Bhoernomo Mariana Amiruddin Maryati Marzuzak SY Mashuri Maulana Syamsuri Media: Crayon on Paper Mega Vristian MG. Sungatno Misbahus Surur Mofik el-abrar Moh. Amir Sutaarga Moh. Ghufron Cholid Mohammad Hatta Mohammad Kh. Azad Mohammad Takdir Ilahi Much. Khoiri Muhamad Taslim Dalma Muhammad Rain Muhammad Subhan Muhammad Yasir Muhammadun A.S Muhidin M Dahlan Mujtahid Mulyawan Karim Musa Ismail Musfi Efrizal Mustafa Ismail Mustofa W Hasyim N Teguh Prasetyo N. Mursidi Nadhi Kiara Zifen Nana Riskhi Susanti Nanang Suryadi Naskah Teater Nasrulloh Habibi Neva Tuhella Nietzsche Nirwan Dewanto Nizar Qabbani Noor H. Dee Nova Christina Novelet Nunung Nurdiah Nur Wachid Nurani Soyomukti Nurel Javissyarqi Nurman Hartono Nuryana Asmaudi Nyoman Tusthi Eddy Obrolan Oky Sanjaya Oyos Saroso HN P Ari Subagyo Pagelaran Musim Tandur Pamusuk Eneste Panji Satrio PDS H.B. Jassin Penerbit dan Toko Buku PUstaka puJAngga Pipiet Senja Pramoedya Ananta Toer Pringadi AS Pringgo HR Prosa Puisi Puji Santosa Purnawan Andra PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Satria Kusuma Putu Wijaya R Masri Sareb Putra R. Adhi Kusumaputra R. Timur Budi Raja R.N. Bayu Aji Radhar Panca Dahana Ragdi F. Daye Rahmi Hattani Raja Ali Haji Raju Febrian Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Dira J Rama Prabu Ramadhan KH Ramon Magsaysay Ramses Ohee Ratih Kumala Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Ressa Novita Ressa Sagitariana Putri Ria Ristiana Dewi Rialita Fithra Asmara Ribut Wijoto Rida K Liamsi Rifka Sibarani Rilda A. Oe. Taneko Rilda A.Oe. Taneko Rimbun Natamarga Rinto Andriono Risang Anom Pujayanto Rita Zahara Riyon Fidwar Robin Al Kautsar Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Rohman Budijanto Rukardi S Yoga S. Jai S. Takdir Alisyahbana S.W. Teofani Sabrank Suparno Sahaya Santayana Sajak Sajak Sebatang Lisong Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Salman S. Yoga Salyaputra Samson Rambah Pasir Samsudin Adlawi Sanie B. Kuncoro Santy Novaria Sapardi Djoko Damono Sarabunis Mubarok Sartika Dian Nuraini Sasti Gotama Sastra Nusantara Satmoko Budi Santoso Satriani Saut Poltak Tambunan Saut Situmorang Sekolah Literasi Gratis (SLG) Selasih Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Shadiqin Sudirman Shiny.ane el’poesya Shourisha Arashi Sidik Nugroho Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sindu Putra Siska Afriani Siti Sa’adah Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Slamet Samsoerizal Sobih Adnan Sofyan RH. Zaid Solihin Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sony Wibisono Sosiawan Leak Sri Wintala Achmad Sri Wulan Rujiati Mulyadi Stevani Elisabeth Suci Ayu Latifah Sucipto Hadi Purnomo Sudarmoko Sudirman HN Suhadi Mukhan Suharsono Sukar Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sunudyantoro Supriyadi Suriani Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syahruddin El-Fikri Syaripudin Zuhri Syifa Aulia Syu’bah Asa T.A. Sakti Tammalele Tan Lioe Ie Tasyriq Hifzhillah Taufik Abdullah Taufik Effendi Aria Taufik Ikram Jamil Taufiq Wr. Hidayat TE. Priyono Teguh Winarsho AS Tenas Effendy Tengsoe Tjahjono Thayeb Loh Angen Theresia Purbandini Tia Setiadi Tias Tatanka Tito Sianipar Tjahjono EP Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tjut Zakiyah Anshari Topik Mulyana Tosa Poetra Tri Harun Syafii TS Pinang Tu-ngang Iskandar Udo Z. Karzi Uly Giznawati Umar Fauzi Ballah Umbu Landu Paranggi Umi Kulsum Uniawati Universitas Indonesia Usman Arrumy Usman D.Ganggang Utada Kamaru UU Hamidy Viddy AD Daery W.S. Rendra Wa Ode Wulan Ratna Wahib Muthalib Wahyudi Akmaliah Muhammad Wardjito Soeharso Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Sunarta Weli Meinindartato Wicaksono Widodo DS Wina Karnie Wisran Hadi Wong Wing King Yan Maniani Yanti Mulatsih Yanuar Arifin Yasser Arafat Yaumu Roikha Yetti A. KA Yohanes Padmo Adi Nugroho Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yudhi Ms Yudhistira ANM Massardi Yulianna Yurnaldi Yusi A. Pareanom Yusi Avianto Pareanom Yusri Fajar Yusrizal KW Yuyun Ifa Naliah Zaim Rofiqi Zainal Arifin Thoha Zakki Amali Zakky Zulhazmi Zawawi Se Zehan Zareez Zelfeni Wimra Zuarman Ahmad Zulfikar Akbar