Adji Subela
http://www.sinarharapan.co.id/
Waktu mendengar bahwa pacarnya hendak mengawininya, Sri girang bukan main. Kandungannya sudah berumur tiga bulan dua minggu, perutnya makin buncit dan tetangga sudah menanyakan siapa gerangan bapak si jabang bayi.
Tentu saja ia takkan bilang bahwa bapak janin tak ada, dan itu didapatnya karena ia sudah kebelet untuk dikawini laki-laki, tapi dia sudah tak sabar lagi hingga dia serahkan tubuhnya kepada laki-laki sedapat-dapatnya. ”Dari pada tidak,” tekadnya dalam hati.
Hasilnya cukup spektakuler. Baru sekali saja ia tidur dengan laki-laki itu, bulan berikutnya Sri sudah mual-mual, muntah-muntah dan dokter mendiagnosisnya dia telah hamil.
”Bapaknya mana?” tanya dokter itu usil.
”Ada, di luar,” jawab Sri sedapat-dapatnya. Di luar sana mungkin ada insinyur, ada doktorandus, tapi bisa juga tukang becak atau gelandangan. Tak ada apa-apa di kepala Sri waktu mengucapkannya, dan dokter itu tak menambah keusilannya, dengan misalnya berkata: ”Tolong, ajak dia kemari agar konsultasinya lebih efektif.”
Kalau memang begitu, mungkin yang ditarik Sri untuk masuk ke ruang praktek adalah perjaka pengangguran yang sedang sakit perut dan duduk di sudut dengan ketakutan takkan bisa membayar rekening. Masalahnya, cuma dialah satu-satunya pasien pria. Sri tak mungkin menyeret seorang nyonya gendut, yang ingin berdiet menguruskan tubuhnya, ke dalam ruangan dokter dan mengatakan: ”Inilah dia, dokter.”
Sri lalu pulang. Ia bergembira karena sudah bunting, dan hamil tentu saja adalah kebanggaan bagi setiap wanita. Tapi ia merasa agak bingung karena pria yang telah menghamilinya tempo hari tak juga diketemukannya lagi. Ia harus mendapatkan seseorang yang bisa ia umumkan sebagai suaminya. Dia haruslah seorang laki-laki yang sedikit agak bodoh, hingga takkan membikin dia sulit di kemudian hari.
Malam hari berikutnya, Sri sudah mendapatkan laki-laki itu. Caranya cukup mudah dan efektif. Ia masuk ke sebuah kafe lalu berpura-pura genit dan terjeratlah seorang pria bodoh ke jaring-jaring yang ia pasang. Adegan berikutnya sudah bukan aneh lagi, dan sudah amat terbiasa, yaitu mereka berdua pergi ke sebuah hotel. Belum setengah jam ada di dalam, mereka berdua sudah keluar kembali, hingga membikin room boy bertanya-tanya dalam hati, tapi juga gembira karena kamarnya bisa disewakan lagi dengan harga per 24 jam. Dua hari kemudian Sri dan pacarnya itu datang kembali untuk menyewa kamar hanya untuk seperempat jam dan lantas keluar lagi.
Dan kemudian tepat usia kandungannya genap empat bulan, Sri minta dikawini si pria celaka itu.
ìIt’s okey, no problem,” jawab pria tadi.
Setengah bulan berikutnya, pesta perkawinan diadakan. Akad nikah diadakan pada suatu hari, untuk kemudian resepsinya menyusul esok malamnya. Dan si pria tiba-tiba menghilang begitu saja. Sri mengumpat-ngumpat. Tapi keluarga Sri tak kurang akal, karena mereka ini memang banyak akal, baik akal sehat maupun akal bulus.
Setengah jam sebelum resepsi di hotel berbintang enam itu dimulai, diadakan penodongan tanpa perasaan terhadap seorang pemuda pengangguran yang sering lewat di depan rumah. Pemuda sial itu diancam akan dilaporkan ke polisi sebagai pendatang haram serta pecandu narkoba bila tak mau mengawini Sri. Anak muda pengangguran itu semula mengotot menolak tuduhan yang ngawur dan rencana gila itu, tapi akhirnya luluh dengan iming-iming setumpuk uang ratusan ribu. ”Apa boleh buat, rejeki tak boleh disia-siakan, nanti bisa-bisa semakin jauh,” pikirnya dalam hati.
Lalu terjadi kesepakatan lain yang teramat gila. Seluruh keluarga mengadakan sebuah konspirasi jahat.
Alkisah, tamu-tamu sudah berdatangan di hotel berbintang enam itu. Musik-musik merdu diputar orang, dan makanan mewah digelar di belasan meja prasmanan. Namun pas acara temu pengantin berlangsung, terjadi kegaduhan di antara tetangga dan tamu-tamu yang lain. Pengantin laki-lakinya kurus ceking, bertampang penakut. Padahal waktu akad-nikah kemarin, dia orangnya gemuk, tua dan tampangnya goblok.
Kedua pengantin sudah duduk berdampingan. Pengantin perempuan berwajah tegar dan berbinar-binar dan pengantin pria yang tampak kesakitan.
Kepada orangtua pengantin, seorang tetangga membisikkan pertanyaan kenapa pengantin prianya berbeda.
”Berbeda? Tidak, tidak betul itu. Anda pasti salah lihat. Dia tetap menantu saya yang kemarin,” jawab ayah Sri dengan ketus.
”Tapi kemarin ‘kan orangnya gemuk, tua, dan wajahnya blo’on?” tanya tetangga nekat itu kembali.
”O, Anda jelas salah lihat. Yang kemarin itu ‘kan ayahnya!” bantah sang ayah.
”Jangan-jangan Anda sudah rabun,” kata sang ibu. Tetangga itu diam, dengan seribu pertanyaan di dalam pikirannya, sambil mengutuki dirinya yang lantas dipercayainya bahwa ia memang punya rabun mata.
Beberapa tetangga yang lebih sopan minta penjelasan pada anggota keluarga Sri yang lain. Seluruh anggota keluarga meyakinkan, bahwa pria ceking dan bertampang sengsara itu memang pria gemuk, tua dan berwajah goblok kemarin itu. Begitu meyakinkannya penjelasan mereka, sampai para tetangga itu percaya bahwa mereka kini dilanda penyakit rabun mata.
Hanya ada satu orang yang tidak. Dia adalah Tuan Penghulu. Entah bagaimana asal-usulnya, keluarga Sri mengundangnya. Dan kebetulan sekali, waktunya sedang longgar, pada jam itu dia tidak mengawinkan siapa-siapa. Order sedang sepi.
”Protes!” Teriaknya di tengah acara yang penting itu. ”Saudara-saudara! Di sini, sekarang ini, terjadi manipulasi tak kepalang tanggung, terjadi pelanggaran administrasi dan pelanggaran hukum! Lihat! Pengantin pria itu palsu! Palsu! Saya yang mengawinkannya kemarin, dan itu bukan dia!”
Tiba-tiba ruangan itu mendadak terdiam, hanya kemudian terdengar gelas, piring, dan sendok-sendok berjatuhan. Orang mencari tahu siapa yang berteriak seperti itu. Ternyata dia memang Tuan Penghulu.
”Iya, ya, kayaknya bukan dia tuh!” ucap seorang tetangga yang sok tahu.
”Tuan-tuan, nyonya-nyonya, semua isu itu tidak benar!” teriak ayah Sri di depan mikrofon. ”Yang benar, pria yang menjadi menantu kami ini, adalah pria yang kemarin. Masak kami berbohong dalam sehari saja? Yang benar saja. Kami ini keluarga terhormat yang menjunjung tinggi asas kejujuran dan norma-etika agama dan sosial! Payah sekali kalian ini!”
Seorang pria yang dianggap sebagai orangtua pengantin lelaki maju ke mikropon lalu berkata: ”Enggg apa itu….benar saudara-saudara sekalian, engg….apa itu….. tak ada perubahan, engg…..justru namun …enggg….tak ada manipulasi emmm apa itu. Saya ayah dari anak laki-laki ini. Kalau…engg…apa ya….. muncul kesan yang bukan-bukan, itu jelas tidak berasal dari kami. Percayalah! Hidup! Hidup!”
”Ssst…. kayak kampanye aje. Norak lu!” bentak perempuan kurus, ceking dan pendek yang berdandan agak menor yang sejak awal mengiringinya. Ia diduga kuat istri ayah pengantin pria yang kurus ceking itu, karena duduknya juga di samping para pengantin.
”Iya, nih, siapa sih yang menyebar isu busuk seperti itu? Provokator!” teriak seorang tamu yang tak pernah tahu duduk persoalannya. Dia hanya datang, menulis namanya di buku tamu, lantas memasukkan amplop kosong ke pundi-pundi sumbangan pengantin, lantas makan sekenyang-kenyangnya, melahap apa saja yang disebut makanan dan minuman, tak peduli apa yang menjadi acara pokoknya.
”Tidak! Saya yang mencatat pernikahan itu, dan sebagai pejabat negara yang disumpah, saya menolak kenyataan gila ini dan tidak bertanggungjawab atas segala risiko yang muncul di kemudian hari.”
”Bohong! Bohong! Tuan Penghulu sedang meracau, jangan dipercaya!” pekik seorang anggota keluarga Sri.
”Apa? Aku berbohong, terlaknatlah kamu!” balas penghulu dengan tak kalah kerasnya.
”Emang iya, uweeeek……,” jawab yang bersangkutan sembari menjulurkan lidahnya.
”Pokoknya aku tak mau bertanggungjawab. Titik.”
”Emang dipikirin!” kata anggota keluarga yang lainnya.
Belum lagi suasana tenang kembali sepenuhnya, datanglah serombongan pria dan wanita masuk ke ruangan itu. Di depannya, berjalanlah seorang pria tua, gemuk dan berwajah goblok. Ia mengenakan baju kebesaran pengantin, berkilat-kilat. Mereka tiba-tiba berhenti di depan kursi singgasana pengantin, dan pria gemuk itu terpaku, bengong terlongong-longong. Kini dia tahu kenapa tak ada sambutan meriah kepada rombongan terhormatnya, tak ada musik iringan pengantin atau gending Kodok Ngorek atau apa pun juga.
”Sayalah yang jadi pengantin prianya!” teriak si gendut itu melontarkan protes pertamanya. ”Saudara-saudara! Sayalah pengantinnya! Ini lihat! Lho saya sudah berpakaian pengantin ‘kan?”
Sebentar kemudian para anggota keluarga Sri berpandang-pandangan, kemudian seorang di antaranya, yang berperawakan preman, maju ke depan membuka pidato.
”Saudara sekalian, sabar, sabar….Apa yang kami sampaikan itu benar. Yang datang belakangan ini entah siapa kami tidak tahu. Mungkin mereka salah masuk ruangan saja. Mari, saudara-saudara yang baru datang, silakan menikmati hidangan, tak usah ragu-ragu. Kami tahu taktik kalian mencari makanan gratis. Itu teknik kami di waktu muda dulu.”
Ajakan itu disambut antusias oleh beberapa anggota rombongan baru itu. Mereka segera menyerbu meja hidangan itu dengan amat sangat rakus. Tinggal pria gendut berwajah goblok saja yang masih berdiri tolol di tempatnya.
”Naaaaah, ini dia pengantin aslinya!” pekik Tuan Penghulu sambil melonjak-lonjak gembira, ”Ini baru asli, bukan imitasi seperti yang itu!”
Pengunjung kembali menjadi bingung. Tapi beberapa tamu tak pernah peduli dengan segala lintang-pukang peristiwa yang memalukan itu. Mereka berpindah dari meja satu ke meja lainnya, menyikat semua makanan sebanyak yang perut mereka mampu menampungnya. Ada yang matanya sampai kemerah-merahan dan ada pula yang tersengal-sengal napasnya.
”Tuan-tuan, nyonya-nyonya, semuanya bohong, yang benar adalah kami-kami ini. Awas, jangan sampai pesta ini dikotori provokator yang tidak bertanggung jawab, atau orang-orang yang usil terhadap stabilitas keluarga.”
”Apa? Kami provokator, eee, hati-hati. Jaga mulutmu!” teriak seorang pria berangasan yang langsung melemparkan telor balado ke wajah anggota keluarga yang mencoba membantah keterangan Tuan Penghulu. Korban ini membalas dengan melemparkan sandalnya, tapi tak kena, dan justru mendarat di kepala seorang wanita yang sejak pukul tujuh pagi telah berdandan di salon. Sanggulnya terlepas dari tempatnya semula dijepitkan. Tentu saja suaminya marah tak ampun lagi. Ini menyangkut harga diri seorang pria saudara-saudara!
”Weee, semprul!! Awas kamu!” teriaknya sembari ganti melemparkan sepatunya, tapi luput dan malah mengenai seorang tamu yang sedang asyik nekat menyedot soft drink di dekat panggung.
Lalu tiba-tiba saja pecahlah pertempuran di ruang pesta berbintang enam itu. Suasana luar biasa kacau. Seorang petugas hotel lari tergopoh-gopoh menelepon atasannya. Sedangkan Satpam yang datang belakangan, kerepotan memisah perkelahian massal yang baru pertama kalinya terjadi di hotel yang sangat bergengsi itu. Ia bingung, mana yang baik dan mana yang benar-benar biang kerok.
Meja minuman terguling, gelas-gelas jatuh pecah berantakan, minuman beleberan di lantai. Di sebelah sana meja makanan juga bergelimpangan. Rangkaian bunga yang indah-indah dan juga anyaman janur yang molek-molek runtuh. Suara tangis bayi bersahut-sahutan, ditingkah oleh teriakan-teriakan histeris. Anehnya tiba-tiba saja terdengar lagu dangdut diputar dari kaset. Suaranya kencang dan membikin suasana lebih tak keruan-keruan lagi. Tapi terus terang, adegan ini lebih indah bila disinetronkan. Dinamika gambarnya tinggi. Rupanya operator sound system sangat jengkel dengan kejadian itu dan mulai ambil inisiatif.
Seorang petugas keamanan internal hotel datang lalu naik ke panggung pengantin.
”Tuan, kalau kerusuhan ini tidak bisa segera Tuan atasi, maka kami akan menuntut Anda dan kalau perlu membunuh Anda semuanya,” bisik petugas itu kepada sang ayah. Orang ini ketakutan setengah mati, karena pada dasarnya ia adalah orang yang penakut, pengecut. Tak lama kemudian keluarlah sebuah pengumuman lewat pengeras suara.
”Setooop, setoooooooop….. tuan-tuan, nyonya-nyonya, sudah berhenti, berhenti! Tuan Penghulu memang benar. Kami menipu tuan-tuan dan nyonya-nyonya semuanya. Berhentilah berkelahi. Pengantin yang asli adalah yang datang belakangan ini….”
”Uuuuu dasar guoblok-guobluoooook. He, kunyuk.siapa pangkal kebrengsekan ini semua?” gertak seorang tamu, yang kelihatannya seorang yang punya kekuasaan juga.
”Jelas orangtua pengantin perempuan yang punya hajat ini,” kata Tuan Penghulu.
”Eit. Nanti dulu ini semua gara-gara menantu guuobluok yang gendut kayak babi itu. Dia tahu-tahu menghilang menjelang hari perkawinan tanpa kabar,” jawab ayah Sri.
”Lho, nanti dulu. Kami bukannya menghilang, tapi punya bersoalan lain yang harus kami selesaikan. Dalam perjalanan kami ke sini, kami juga dihadang banjir dan kemacetan lalulintas,” jawab seorang anggota rombongan terakhir itu mencari alasan sekena-kenanya. Yang penting harus ada pihak yang dipersalahkan.
”Telpon dong, goblok!” teriak seorang tamu.
”Ponsel kami semuanya mati, pulsanya habis.”
”Ah, enggak mungkin itu. Alasan! Alasan!”
”Oke, oke, baiklah mari kita lupakan kekalutan ini, kita ‘kan sudah membayar semuanya untuk menikmati pesta? Mari kita berjoged bersama!” seru ayah Sri.
Tiba-tiba anjuran yang paling simpatik dan bijaksana selama pesta itu, dipatuhi oleh sebagian besar peserta tawuran di hotel berbintang enam tersebut. Mereka berjoged dengan sepenuh semangat yang ada. Agaknya mereka sudah kesetanan. Wajah-wajah yang tampak, kebanyakan sudah sangat berantakan. Ada saus tomat di muka mereka, ada juga lebam-lebam biru bercampur kecap.
Tamu wanita tak mau ketinggalan. Beberapa di antaranya kini sudah menjadi Mak Lampir, sanggulnya rusak berat, berantakan seperti sarang burung kondor. Beberapa lembar mie menyelip di antaranya. Polesan merah lipstik sudah pindah ke pipi, eyeshadow mulai luntur turun ke pipi mereka. Ini keadaan yang pasti tak diharapkan oleh kapster salon langganan mereka tadi siang. Beberapa di antaranya bibirnya jontor.
Kaum pria tak mau kalah. Ada yang pecinya kini sudah penyet, berubah menjadi blangkon tanpa mondolan. Ada yang jasnya robek-robek, malahan ada yang telah berubah menjadi rompi. Di tengah hiruk-pikuk sekarang ini ada terdengar teriakan:
ìSompret! Dompetku hilang!”
”Aku juga! Dompetku juga hilang!”
”Husyh, ‘kan kita tadi enggak bawa dompet, Pah,” teriak istrinya.
”Diem, ah, mau cari obyekan gitu aja malah kamu gagalkan.”
Pendeknya, arena joged berjalan amat lancar. Semua berjoged, termasuk Sri. Ia menggoyang-goyangkan pinggulnya sedikit, karena terhalang perutnya yang telah mulai menebal.
””Suit suiiiiitt, goyang Inul, dong, goyang Inul….,” teriak seorang tamu.
”Inuuuuuul……Inuuuuuul…….”
ìMane? Emang si Inul dateng kemari? Asyik, dong!” seru seorang pria setengah baya.
”Husyh. Diem lu! Loyo aje, sok Inul lagi. Kayak jantan bener-bener aje,” hardik seorang perempuan, yang kontan membikin pria itu bungkam, lantas menyelinap menghilang entah bersembunyi di mana lagi. Ia memang takut kepada istrinya karena tak pernah mampu melayani nafkah lahir maupun batinnya.
Pesta dangdut berjalan terus, semakin menggila dan penyelia hotel semakin pusing dibuatnya. Lalu tiba-tiba datang lagi serombongan manusia yang kesemuanya berwajah tegang dan penuh rasa benci, seolah siap melahap siapa saja yang ada di depan mereka. Entah obat apa yang telah mereka minum, tapi kedatangan rombongan ini membikin pengantin pria yang asli mendadak pucat pasi. Ia lantas kontan berhenti berjoged memutar-mutarkan pinggulnya yang sudah teramat tebal ditumbuhi lemak liar.
”Saliiiiiim!” Teriak seorang perempuan berbadan gemuk bulat hampir sempurna. ”Ke sini kamu!”
Orang yang dipanggil sebagai Salim itu mendekat dengan pucat pasi dan salah tingkah. Dialah pengantin pria yang asli, tapi datang terlambat tadi.
”Hayo! Pulang, jangan macam-macam lagi!” lanjut si gendut.
”Iya, sebentar dong Mah, aku masih kondangan pengantin,” kata si Salim.
”Diam! Pulang! Sudah tua bangka calon menghuni kuburan saja bergaya mengawini perempuan muda lagi. Mana tahan kamu?” bentak si perempuan gendut itu lagi.
”Aku di sini menghadiri undangan saja kok Mah.”
”Bohong! Dasar bandot tua. Itu kenapa kamu berkalung rangkaian melati segala.”
”Ini tanda penyambutan Mah, jangan salah sangkalah.”
”Jangan coba-coba membohongi aku terus kunyuk busuk. Ayo pulang,” hardik perempuan bulat itu lagi sambil memegang krah baju Salim.
”Eh, sabar, malu dong Mah. Yang kawin itu orang lain. Itu ada pengantin prianya!”
”Manaaa? Hayo tunjuk!”
”Oh, eh, enggak ada, kok enggak ada ya, barangkali sedang ke WC dia.”
Tanpa menunggu penjelasan lebih rinci lagi, perempuan itu sudah menyeret Salim, pria gemuk dan berwajah goblok itu keluar ruangan diiringi para pengawalnya.
Di luar hotel berbintang enam itu, seorang pemuda kurus ceking membagi rejekinya kepada sepasang pria dan wanita yang tadi mengaku sebagai orangtuanya. Yang pria mendapatkan dua ratus ribu perak, perempuannya seratus ribu. Keduanya tersenyum geli sambil memegangi perutnya yang sudah buncit penuh oleh berbagai makanan lezat. Mereka lantas berlalu mengendarai bajaj-nya.
Pemuda ceking itu pun lantas meninggalkan segala keriuhan hotel mewah itu memakai jasa seorang pengojek sepeda. Lebih hemat.
Di satu malam dingin menggigit di Dieng.
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Rabu, 01 Desember 2010
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Khoirul Anam
A Qorib Hidayatullah
A Rodhi Murtadho
A. Yusrianto Elga
A. Zakky Zulhazmi
A.S. Laksana
Aang Fatihul Islam
Aba Mardjani
Abd. Mun’im
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Gaffar Ruskhan
Abdul Hadi W. M.
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Malik
Abdul Muis
Abdul Wachid BS
Abdullah Khusairi
Abidah El Khalieqy
Abimardha Kurniawan
Abroorza A. Yusra
Abu Salman
Acep Iwan Saidi
Achmad Farid Tuasikal
Adek Alwi
Adi Marsiela
Adian Husaini
Adib Muttaqin Asfar
Adji Subela
Afandi Sido
Afriza Hanifa
Afrizal Malna
Ageng Wuri R. A.
Ags. Arya Dipayana
Aguk Irawan M.N.
Agus B. Harianto
Agus Bing
Agus Noor
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Sri Danardana
Agus Sulton
Agus Sunyoto
Agus Wibowo
Agus Wirawan
Agusri Junaidi
AH J Khuzaini
Ahda Imran
Ahid Hidayat
Ahm Soleh
Ahmad Asyhar
Ahmad Farid Yahya
Ahmad Fuadi
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Musthofa Haroen
Ahmad Rofiq
Ahmad Suhendra
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Aini Aviena Violeta
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Muhaimin Azzet
Akhmad Sekhu
Al Azhar Riau
Al-Fairish
Alex R. Nainggolan
Alexander G.B.
Alfian Zainal
Aliansyah
Alimuddin
Almania Rohmah
Alunk Estohank
Amien Kamil
Amien Wangsitalaja
Anata Siregar
Andi Sutisno
Andy Riza Hidayat
Anies Baswedan
Anindita S Thayf
Anis Ceha
Anis Faridatur Rofiah
Anjrah Lelono Broto
Anna Subekti
Anton Kurnia
Ari Hidayat
Ari Kristianawati
Arie MP Tamba
Arief Junianto
Aris Kurniawan
Arti Bumi Intaran
Arul Arista
AS Sumbawi
Asarpin
Asep Sambodja
Atiqurrahman
Awalludin GD Mualif
Ayu Purwaningsih
Babe Derwan
Bakdi Soemanto
Balada
Bale Aksara
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Bayu Dwi Mardana
Bellanissa Zoditama
Beni Setia
Benny Arnas
Beno Siang Pamungkas
Berita
Berita Duka
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Bokor Hutasuhut
Brunel University London
BSW Adjikoesoemo
Budaya
Budhi Setyawan
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budiawan Dwi Santoso
Bur Rasuanto
Burhanuddin Bella
Bustan Basir Maras
Catatan
Catullus
CB. Ismulyadi
Cerbung
Cerita Rakyat
Cerpen
Chavchay Syaifullah
Cikie Wahab
Cunong Nunuk Suraja
D Zawawi Imron
Dad Murniah
Dadang Ari Murtono
Dahlia Rasyad
Damhuri Muhammad
Damiri Mahmud
Danarto
Daniel Paranamesa
Darju Prasetya
Darman Djamaluddin
Darman Moenir
Dasman Djamaluddin
David Krisna Alka
Dea Anugrah
Dedy Tri Riyadi
Denny JA
Denny Mizhar
Desi Sommalia Gustina
Dewi Anggraeni
Dharma Setyawan
Dian Hartati
Didi Arsandi
Dina Oktaviani
Dipo Handoko
Djenar Maesa Ayu
Djoko Pitono
Doddi Ahmad Fauji
Doddy Hidayatullah
Dodi Chandra
Dodiek Adyttya Dwiwanto
Dody Kristianto
Donny Anggoro
Dony P. Herwanto
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Klik Santosa
Dwi Pranoto
Dwicipta
Edy A Effendi
Edy Firmansyah
Eka Budianta
Eka Fendri Putra
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Ellyzan Katan
Elnisya Mahendra
Emha Ainun Nadjib
Endah Imawati
Eni Suryanti
Eny Rose
Eriyandi Budiman
Eriyanti
Erwin Edhi Prasetya
Erwin Setia
Esai
Evan Ys
Evi Idawati
F Rahardi
Fadly Rahman
Fahrudin Nasrulloh
Faizah Sirajuddin
Faizal Syahreza
Fajar Alayubi
Fakhrunnas M.A. Jabbar
Fanny Chotimah
Fariz al-Nizar
Fariz Alneizar
Faruk HT
Fatah Anshori
Fatah Yasin Noor
Fathurrahman Karyadi
Fatimah Wahyu Sundari
Fauzan Santa
Fazabinal Alim
Festival Sastra Gresik
Fikri MS
Fiksi Mini
Fransisca Dewi Ria Utari
Franz Kafka
Fuad Anshori
Furqon Abdi
Fuska Sani Evani
Gendhotwukir
Gendut Riyanto
Gerson Poyk
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Gola Gong
Grathia Pitaloka
Gregorio Lopez y’ Fuentes
Gugun El-Guyanie
Gunawan Budi Susanto
Gus Noy
H.H. Tokoro
Hadi Napster
Hamberan Syahbana
Hamdy Salad
Hamsad Rangkuti
Han Gagas
Hang Kafrawi
Hani Pudjiarti
Hanna Fransisca
Hardi Hamzah
Hardjono WS
Haris del Hakim
Haris Priyatna
Harris Maulana
Hary B. Kori'un
Hasan Al Banna
Hasan Junus
Hasbullah Said
Hasnan Bachtiar
HE. Benyamine
Heidi Arbuckle
Helmi Y Haska
Helvy Tiana Rosa
Hendra Junaedi
Hendri Nova
Herdoni Syafriansyah
Heri Kurniawan
Heri Latief
Heri Ruslan
Herman RN
Hermawan Aksan
Hermien Y. Kleden
Herry Lamongan
Holy Adib
Humaidiy AS
Husni Anshori
I Nyoman Darma Putra
I Nyoman Tingkat
I Wayan Artika
Ibnu Wahyudi
Ida Farida
Ignas Kleden
Ilham Khoiri
Imam Cahyono
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Tohari
Indra Tranggono
Indrian Koto
Irwan Kelana
Isbedy Stiawan Z.S.
Iskandar Noe
Isma Swastiningrum
Ismi Wahid
Iwan Gardono Sujatmiko
Iwan Gunadi
Iwan Kurniawan
Iwan Nurdaya Djafar
Iwank
J.S. Badudu
Janoary M Wibowo
Javed Paul Syatha
JILFest 2008
JJ. Kusni
Jodhi Yudono
Joko Novianto Bp
Joko Pinurbo
Jones Gultom
Jual Buku Paket Hemat
Jusuf AN
Kadek Suartaya
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kasnadi
Kedung Darma Romansha
Kenedi Nurhan
Khaerudin Kurniawan
Khaerul Anwar
Ki Sugito Ha Es
Kirana Kejora
Komunitas Deo Gratias
Korrie Layun Rampan
Kritik Sastra
Kunthi Hastorini
Kuntowijoyo
Kurie Suditomo
Kurnia Effendi
Kurniawan
Kuswinarto
La Ode Rabbani
Lathifa Akmaliyah
Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember
Leon Agusta
Lily Siti Multatuliana
Lily Yulianti Farid
Lina Kelana
Liza Wahyuninto
Lona Olavia
Lugiena Dé
M Fadjroel Rachman
M Farid W Makkulau
M Syakir
M. Dawam Rahardjo
M. Faizi
M. Mustafied
M. Raudah Jambak
M. Taufan Musonip
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
M.Th. Krishdiana Putri
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Maklumat Sastra Profetik
Malkan Junaidi
Maman S. Mahayana
Mangun Kuncoro
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria D. Andriana
Maria Magdalena Bhoernomo
Mariana Amiruddin
Maryati
Marzuzak SY
Mashuri
Maulana Syamsuri
Media: Crayon on Paper
Mega Vristian
MG. Sungatno
Misbahus Surur
Mofik el-abrar
Moh. Amir Sutaarga
Moh. Ghufron Cholid
Mohammad Hatta
Mohammad Kh. Azad
Mohammad Takdir Ilahi
Much. Khoiri
Muhamad Taslim Dalma
Muhammad Rain
Muhammad Subhan
Muhammad Yasir
Muhammadun A.S
Muhidin M Dahlan
Mujtahid
Mulyawan Karim
Musa Ismail
Musfi Efrizal
Mustafa Ismail
Mustofa W Hasyim
N Teguh Prasetyo
N. Mursidi
Nadhi Kiara Zifen
Nana Riskhi Susanti
Nanang Suryadi
Naskah Teater
Nasrulloh Habibi
Neva Tuhella
Nietzsche
Nirwan Dewanto
Nizar Qabbani
Noor H. Dee
Nova Christina
Novelet
Nunung Nurdiah
Nur Wachid
Nurani Soyomukti
Nurel Javissyarqi
Nurman Hartono
Nuryana Asmaudi
Nyoman Tusthi Eddy
Obrolan
Oky Sanjaya
Oyos Saroso HN
P Ari Subagyo
Pagelaran Musim Tandur
Pamusuk Eneste
Panji Satrio
PDS H.B. Jassin
Penerbit dan Toko Buku PUstaka puJAngga
Pipiet Senja
Pramoedya Ananta Toer
Pringadi AS
Pringgo HR
Prosa
Puisi
Puji Santosa
Purnawan Andra
PUstaka puJAngga
Putu Fajar Arcana
Putu Satria Kusuma
Putu Wijaya
R Masri Sareb Putra
R. Adhi Kusumaputra
R. Timur Budi Raja
R.N. Bayu Aji
Radhar Panca Dahana
Ragdi F. Daye
Rahmi Hattani
Raja Ali Haji
Raju Febrian
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Rama Dira J
Rama Prabu
Ramadhan KH
Ramon Magsaysay
Ramses Ohee
Ratih Kumala
Raudal Tanjung Banua
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Resensi
Ressa Novita
Ressa Sagitariana Putri
Ria Ristiana Dewi
Rialita Fithra Asmara
Ribut Wijoto
Rida K Liamsi
Rifka Sibarani
Rilda A. Oe. Taneko
Rilda A.Oe. Taneko
Rimbun Natamarga
Rinto Andriono
Risang Anom Pujayanto
Rita Zahara
Riyon Fidwar
Robin Al Kautsar
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rohman Budijanto
Rukardi
S Yoga
S. Jai
S. Takdir Alisyahbana
S.W. Teofani
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Sajak
Sajak Sebatang Lisong
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Salman S. Yoga
Salyaputra
Samson Rambah Pasir
Samsudin Adlawi
Sanie B. Kuncoro
Santy Novaria
Sapardi Djoko Damono
Sarabunis Mubarok
Sartika Dian Nuraini
Sasti Gotama
Sastra Nusantara
Satmoko Budi Santoso
Satriani
Saut Poltak Tambunan
Saut Situmorang
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
Selasih
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Shadiqin Sudirman
Shiny.ane el’poesya
Shourisha Arashi
Sidik Nugroho
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sindu Putra
Siska Afriani
Siti Sa’adah
Sitok Srengenge
Siwi Dwi Saputro
Slamet Samsoerizal
Sobih Adnan
Sofyan RH. Zaid
Solihin
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sony Wibisono
Sosiawan Leak
Sri Wintala Achmad
Sri Wulan Rujiati Mulyadi
Stevani Elisabeth
Suci Ayu Latifah
Sucipto Hadi Purnomo
Sudarmoko
Sudirman HN
Suhadi Mukhan
Suharsono
Sukar
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Sunudyantoro
Supriyadi
Suriani
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Sutan Iwan Soekri Munaf
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Syahruddin El-Fikri
Syaripudin Zuhri
Syifa Aulia
Syu’bah Asa
T.A. Sakti
Tammalele
Tan Lioe Ie
Tasyriq Hifzhillah
Taufik Abdullah
Taufik Effendi Aria
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Wr. Hidayat
TE. Priyono
Teguh Winarsho AS
Tenas Effendy
Tengsoe Tjahjono
Thayeb Loh Angen
Theresia Purbandini
Tia Setiadi
Tias Tatanka
Tito Sianipar
Tjahjono EP
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Tjut Zakiyah Anshari
Topik Mulyana
Tosa Poetra
Tri Harun Syafii
TS Pinang
Tu-ngang Iskandar
Udo Z. Karzi
Uly Giznawati
Umar Fauzi Ballah
Umbu Landu Paranggi
Umi Kulsum
Uniawati
Universitas Indonesia
Usman Arrumy
Usman D.Ganggang
Utada Kamaru
UU Hamidy
Viddy AD Daery
W.S. Rendra
Wa Ode Wulan Ratna
Wahib Muthalib
Wahyudi Akmaliah Muhammad
Wardjito Soeharso
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Sunarta
Weli Meinindartato
Wicaksono
Widodo DS
Wina Karnie
Wisran Hadi
Wong Wing King
Yan Maniani
Yanti Mulatsih
Yanuar Arifin
Yasser Arafat
Yaumu Roikha
Yetti A. KA
Yohanes Padmo Adi Nugroho
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yudhi Ms
Yudhistira ANM Massardi
Yulianna
Yurnaldi
Yusi A. Pareanom
Yusi Avianto Pareanom
Yusri Fajar
Yusrizal KW
Yuyun Ifa Naliah
Zaim Rofiqi
Zainal Arifin Thoha
Zakki Amali
Zakky Zulhazmi
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zelfeni Wimra
Zuarman Ahmad
Zulfikar Akbar
Tidak ada komentar:
Posting Komentar