Indra Tranggono
http://www.sinarharapan.co.id/
ANGIN terasa mati, ketika perahu yang ditumpangi Sureng membelah hamparan air danau. Gerak dayung dua pengemudi perahu mengirim bunyi kecipak ke gendang telinga laki-laki berbadan kurus, berambut lurus dan berwajah tirus itu. Sureng, sambil menyulut rokoknya, menoleh ke belakang, menatap dermaga yang semakin mengecil. Lampu-lampu tampak menggigil. Aroma tembakau beredar di udara sekitar. Dalam keremangan cahaya bulan, seorang wanita, yang sejak perahu itu meninggalkan dermaga duduk terdiam, tampak menutup hidungnya.
”Maaf,” Sureng mematikan rokoknya.
Wanita acuh tak acuh. Pandangannya menatap bunga-bunga air.
”Anda juga mau ziarah?” Sureng membuka percakapan.
Wanita itu tetap menunduk, namun kepalanya mengangguk. Sureng mencuri pandang, menatap wajah wanita itu. Kecantikan terlintas sesaat. Sureng ingin melanjutkan percakapan, namun tenggorokannya terasa tercekat.
”Mas-nya ini sudah sering ke sana?” mendadak wanita itu bersuara. Sureng terhenyak.
”Tidak pernah, dan baru akan ke sana sekarang. Anda sendiri sering ke sana?”
Wanita itu mengangguk.
Perahu terus melaju. Dua dayung terus menghajar air. Terdengar bunyi kecipak beranak-pinak. Perahu merapat di dermaga. Sureng dan wanita itu turun dan langsung diserbu penjaja bunga. Mereka ditelan kerumunan orang. Ketika Sureng menoleh, wanita itu telah menghilang.
”Bunganya, Mas,” seorang penjaja menodongkan keranjang berisi bunga. Sureng mengambil dan membayarnya.
”Saya doakan permohonan Mas bisa terkabul,” Penjaja itu memasukkan uang ke kantongnya.
”Bapak tahu, siapa yang bersemayam di kuburan ini?”
”Lho, Mas ini baru sekali ke sini ya? Eee… yang bersemayam di sini ini Pangeran Jalu Ningrat dan Nyi Mas Ayu Gendari. Mereka masih keturunan raja-raja Mataram. Tapi begini Mas. Kalau ingin permohonannya terkabul, setiap peziarah harus punya pasangan.”
Sureng terhenyak, ”Maksud Bapak?”
”Lho, itu syarat pokoknya. Dan yang utama pasangan itu harus bercinta sesudah memanjatkan doa dan permintaan.”
Sureng kembali terhenyak. Mendadak ia menyulut rokoknya. ”Lha, kalau tidak?”
”Wah ya nggak bisa. Eeee…tapi cari pasangan di sini gampang kok Mas.” Penjaja bunga terus berlalu.
Sureng disergap kebimbangan. Ia ingin mengurungkan niatnya, namun rasa penasaran terus mendorong langkahnya. Bahkan tanpa diperintah, kakinya bergerak sendiri. Serasa ada kekuatan yang datang entah dari mana yang terus mendorongnya memasuki jagat asing itu. Sureng ingin melawannya. Tapi sia-sia. Kakinya terus bergerak menyusuri jalan menuju perbukitan.
Tubuhnya mendadak gemetar, ketika ia memasuki tanah luas yang terhampar di luar tembok makam. Beberapa pasangan, mungkin puluhan, bercinta dalam gelap. Cahaya bulan yang diselimuti kabut terasa menebarkan gairah. Sureng terperangah, namun kakinya terus melangkah. Sedepa demi sedepa. Ia hampir saja menginjak pasangan yang asyik bercinta, jika ia tak mendengar suara lenguh beraroma peluh. Mendadak dadanya terasa sesak. Namun, kakinya terus melangkah, merangsak. Sureng terkepung dalam bunyi lenguh serupa sapi-sapi jantan yang dikuasai berahi. Lenguhan itu disibaknya, bersama degup jantungnya yang makin cepat.
Sampai di kompleks makam, ia disergap aroma bunga dan kemenyan. Puluhan pasangan tampak memanjatkan doa. Dengan wajah pucat, Sureng termangu di depan gerbang.
”Mas…” mendadak terdengar suara seorang wanita. Sureng menoleh. Seorang wanita yang dijumpai di perahu tadi, menebar senyum. Sureng tergeragap. Namun, wanita itu secepat kilat meraih tangannya dan membimbingnya ke dalam.
”Tak usah sungkan,” tangan wanita itu terus menariknya. Sureng tak berdaya. Sureng disergap perasaan aneh. Tak paham. Wanita yang begitu santun dan pendiam selama perjalanan itu, ternyata berbalik sangat ramah dan berani. Namun, keanehan itu menjadi sia-sia dipertanyakan, ketika ia melihat pemandangan yang jauh lebih aneh menyergap dirinya: orang-orang bercinta dalam gelap dengan tanpa beban, yang baru saja dilihatnya tadi.
”Sejak tadi saya menunggu pasangan. Namun ternyata tidak datang,” perempuan itu terus menggamit tangannya.
”Siapa?”
”Seorang pedagang dari Kudus. Kami sudah berjumpa dua kali di sini. Padahal syaratnya harus tiga kali. Kalau sekarang gagal, berarti saya harus memulainya dari awal. Sampai tiga kali ke sini. Begitu persyaratannya. Mas mau nemani saya kan?”
Sureng merasa tak paham, ketika mendadak tanpa sadar, kepalanya mengangguk.
”Yang itu nisannya siapa?” Sureng mencoba mengalihkan pembicaraan.
”Kanjeng Pengeran Jalu Ningrat. Yang sebelahnya, Nyi Mas Ayu Gendari. Mereka dulu pasangan yang dibunuh Raja, karena tertangkap berselingkuh. Nyi Mas Gendari itu sebenarnya selir Raja. Tapi rupanya ia jatuh cinta pada Pangeran Jalu Ningrat yang kebetulan putra Raja…”
”Rajanya itu siapa?”
”Ah…saya lupa. Tapi itu nggak penting kok.”
Di depan dua nisan yang dibungkus kelambu putih, Sureng dan wanita itu siap memanjatkan doa. Namun kata-kata tak keluar dari mulut Sureng. Perasaan tegang masih merajamnya. Sureng menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan diri. Di sebelahnya, perempuan itu mengucap mantera. Kata-kata itu serupa rentetan bunyi. Terdengar begitu asing bagi Sureng. Ia merasa terdampar di sebuah dunia yang ganjil, yang membuat jiwanya menggigil.
Angannya mengembara. Sureng teringat isteri dan dua anaknya. Kata-kata isterinya sebelum ia berangkat masih terngiang.
”Ya, siapa tahu hidup kita jadi lebih baik, Mas. Banyak lho yang sudah hidup enak setelah rajin ke makam itu…”
”Tapi aku sendiri tak begitu yakin,” Sureng menawar harapan isterinya.
”Walaaahhh…. Yang penting kamu berdoa di sana. Minta ini dan minta itu.”
Sureng ingin membantah isterinya, tapi diurungkan. Ia tak ingin melukai perasaannya. Sedikit membahagiakan isteri toh tak apa, pikirnya. Itu tak sebanding dengan penderitaan yang dialaminya selama ini. Sejak Sureng kena PHK, praktis yang bekerja hanya isterinya. Dengan modal yang mepet, ia jualan nasi di depan rumahnya. Sureng sendiri terus pontang-panting mencari peluang kerja.
”Ya, siapa tahu, kamu terus dapat kerjaan nanti,” suara isterinya kembali terngiang. ”Dan jangan lupa, doakan juga semoga daganganku laris.”
Sureng ingin mengucapkan permintaan itu, tapi tenggorokannya tercekat. Otaknya terasa macet. Aura nisan hitam dengan kelampu putih bersepuh aroma bunga dan kemenyan itu menyergap. Membuat ia mendadak gagap.
”Sudah?” wanita itu berbisik.
Sureng mengangguk. Keduanya beringsut turun dan keluar dari cungkup, bangunan makam.
”Mas sudah tahu kesepakatan di sini?” wanita itu membuka percakapan, ketika mereka sampai di hamparan tanah luas, di luar tembok makam.
Sureng mengangguk. Tapi anggukan itu terasa berat.
”Jadi Mas sudah tahu, kalau siapa pun di antara kita harus rela jika ada salah satu dari kita yang berhasil.”
”Maksud Anda?”
”Ah jangan memanggil begitu. Namaku Asih. Ya, Asih Purwati.”
”Ya..ya..yaa… Terus?”
”Ya… anu… kalau aku permintaanku yang dikabulkan, maka seluruh rejeki Mas akan menjadi milikku. Begitu juga sebaliknya.”
Sureng mengangguk-angguk. Pura-pura paham. Meskipun dalam hatinya ia tertawa. Bagaimana mungkin rezeki orang bisa dibagi atau dirampas orang lain. Rezeki itu kan yang mengatur Tuhan, pikirnya.
Mereka terus menuruni bukit. Sampai di sebuah gundukan tanah dekat pohon Randu Alas, Asih berhenti. Tangan Sureng ditariknya. Sureng menatap wajah perempuan itu. Asih itu juga menatapnya. Cahaya bulan memompa gairah Asih. Napasnya naik-turun. Tangan Asih meraih wajah Sureng. Mengelus-elusnya serupa mengelus kepala bayi. Bibir Asih mendekat. Tinggal beberapa inci dari bibir Sureng. Mendadak Sureng menghempas diri.
”Aku nggak bisa. Maaf….nggak bisa…”
”Kenapa? Bukankah kita wajib mekakukannya?”
”Melakukan apa? Pokoknya nggak bisa…Aku punya isteri.”
”Aku juga punya suami…” Asih mencoba meraih tubuh Sureng. Namun, Sureng melepaskan pelukan Asih.
”Ini sudah ketentuan, Mas.”
”Siapa yang menentukan?”
”Lho aturannya memang begitu.”
”Aturan siapa? Sudah… kita pulang saja. Perkara rezeki, ambil saja rezeki saya.”
”Wah…ya jangan terus begitu.” Asih memeluk Sureng. Sureng memberontak. Namun Asih tak menyerah. Satu demi satu kancing baju dia lepaskan. Dari baliknya menyembul gundukan pualam. Sureng yang semula meronta, pelan-pelan terkesima. Tersepuh cahaya perak bulan, dua gundukan pualam itu terasa menariknya ke dalam pelukan Asih. Darah Sureng tersirap. Napasnya naik-turun. Sureng tak kuasa mengenyahkan gairah yang mendadak menggelegak. Keheningan menjelma dinding-dinding yang menerbitkan rasa aman dan nyaman. Napas mereka saling berpacu. Mereka menjelma sepasang kuda liar yang berlari menebah rumput-rumput padang sabana. Tarikan napas mereka terus memacu untuk berlari, hingga mencapai awan-gemawan dan bintang gemintang. Di ketinggian tak terkira itu mereka memahat sorga.
Namun, ketika pahatan sorga itu lenyap, yang terjelma hanyalah kesunyian, dan angin yang berdesau menyapu peluh mereka. Sureng tergeragap disergap bayangan wajah isterinya. Rumiyati, yang selama ini sangat setia mendampingi kesunyian hidupnya itu, menatap Sureng. Tak biasanya mata isterinya itu terbelalak. Sureng gemetar. Bayangan Rumi mendadak menyerangnya. Tangannya mengayun-ayunkan pisau dapur karatan. Sureng mencoba menghindar. Namun beberapa langkah kemudian, ia terpojok. Dan pisau karatan itu menghujam di lambungnya. Sureng terhenyak. Gerapan. Sontak ia meraih baju dan celananya. Lalu bangkit dan menyerit. Tikaman pisau isterinya terus membadai dalam rongga dadanya. Asih yang terbaring dengan tubuh pualam, ikut terbangkit.
”Kenapa Mas,” suara lembut Asih mencoba meredam kegalauan di dada Sureng.
Sureng menatap lekat-lekat wajah Asih. Wajah yang cantik itu berubah wajah monster.
”Aku teringat isteriku.”
”Ah. Itu kan cuma bayangan Mas sendiri. Mas merasa bersalah ya? Tidak apa-apa. Dulu aku juga. Tapi akhirnya jadi biasa,” Asih menghibur Sureng.
”Kita tak bisa meneruskan. Ini yang pertama sekaligus terakhir,” desis Sureng.
”Tapi kita masih harus melakukan dua kali lagi. Baru permintaan kita terkabul,” tangan Asih mengusap keringat yang membanjir di kening Sureng.
”Aku tak bisa. Tak bisa. Lakukan saja dengan lelaki lain.”
”Kita bisa dikutuk, Mas…”
”Dikutuk?” Sureng tertawa.
”Mas, jangan main-main.”
Sureng tersenyum. Masam.
”Jumat Kliwon mendatang Mas saya tunggu di gerbang makam,” Asih mengenakan baju dan celana jeans-nya dan beranjak berdiri. Sureng tak menjawab. Ia melangkah gontai meninggalkan Asih.
***
SEPANJANG perjalanan, Sureng dikepung kecemasan. Ia tak bisa memahami semua yang telah ia lakukan. Ia merasa berada di ambang antara gelap dan terang. Ia sendiri merasa sangsi, apakah Asih itu benar-benar manusia atau serupa jin atau iblis. Namun kebimbangan itu mendadak surut, ketika ia masih merasakan kehangatan daging yang masih melekat di tubuhnya. Sureng juga masih merasakan aliran darah dan detak jantung Asih yang lekat terpahat di sekujur tubuhnya. Tubuh itu begitu hangat, begitu indah. Kenangan yang indah sekaligus mengerikan itu (setidaknya pada awalnya) tak mampu dibunuhnya. Bayangan Asih terasa melekat di pelupuknya. Pesona perempuan itulah yang mendorongnya untuk kembali berziarah di makam Pangeran Jalu Ningrat.
Setelah ziarah yang ketiga kalinya, hidup Sureng bukannya membaik, malah memburuk. Usaha isterinya terancam bangkrut, karena muncul banyak saingan. Ia sendiri selalu gagal mendapatkan pekerjaan. Sureng tergeragap ketika bayangan Asih muncul dalam benaknya. Jangan-jangan Asih telah menyerap rezekinya, pikirnya. Sureng mengutuk wanita yang mendadak baginya menyimpan kebengisan monster.
Sudah hampir dua jam Sureng berdiri di makam itu. Belasan batang rokok telah mengabu. Tapi kegelisahan Sureng tak juga padam. Ketika ia hampir putus asa, mendadak ia melihat Asih memasuki kompleks makam. Sendirian. Sureng menyelinap di balik tembok. Berdiri menunggu. Beberapa saat kemudian, Asih keluar dari makam. Sureng membuntuti dari belakang. Sampai di kelokan perbukitan, mendadak Sureng menerjang Asih. Asih meronta, menjerit namun secepat kilat tangan Sureng membekap mulut perempuan itu.
Asih mencoba melawan. Mereka bergumul dalam kegelapan. Mendadak tangan Sureng berkelebat menghujam pisau karatan ke lambung Asih. Asih menjerit, namun Sureng tak surut menikamkan pisau itu bertubi-tubi. Darah muncrat. Rerumputan, tempat dulu mereka pernah bercinta penuh gairah, basah. Bau anyir menguasai udara sekitar.
Dengan perasaan lega, Sureng menatap tubuh Asih yang bersimbah darah. Bulan di angkasa mengerjap. Angin mati. Langkah Sureng menerjang kegelapan malam. Sureng berjalan menyusuri perbukitan, tak peduli pada kegelapan yang terus meringkusnya.
Yogya, Januari 2003
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Rabu, 01 Desember 2010
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Khoirul Anam
A Qorib Hidayatullah
A Rodhi Murtadho
A. Yusrianto Elga
A. Zakky Zulhazmi
A.S. Laksana
Aang Fatihul Islam
Aba Mardjani
Abd. Mun’im
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Gaffar Ruskhan
Abdul Hadi W. M.
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Malik
Abdul Muis
Abdul Wachid BS
Abdullah Khusairi
Abidah El Khalieqy
Abimardha Kurniawan
Abroorza A. Yusra
Abu Salman
Acep Iwan Saidi
Achmad Farid Tuasikal
Adek Alwi
Adi Marsiela
Adian Husaini
Adib Muttaqin Asfar
Adji Subela
Afandi Sido
Afriza Hanifa
Afrizal Malna
Ageng Wuri R. A.
Ags. Arya Dipayana
Aguk Irawan M.N.
Agus B. Harianto
Agus Bing
Agus Noor
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Sri Danardana
Agus Sulton
Agus Sunyoto
Agus Wibowo
Agus Wirawan
Agusri Junaidi
AH J Khuzaini
Ahda Imran
Ahid Hidayat
Ahm Soleh
Ahmad Asyhar
Ahmad Farid Yahya
Ahmad Fuadi
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Musthofa Haroen
Ahmad Rofiq
Ahmad Suhendra
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Aini Aviena Violeta
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Muhaimin Azzet
Akhmad Sekhu
Al Azhar Riau
Al-Fairish
Alex R. Nainggolan
Alexander G.B.
Alfian Zainal
Aliansyah
Alimuddin
Almania Rohmah
Alunk Estohank
Amien Kamil
Amien Wangsitalaja
Anata Siregar
Andi Sutisno
Andy Riza Hidayat
Anies Baswedan
Anindita S Thayf
Anis Ceha
Anis Faridatur Rofiah
Anjrah Lelono Broto
Anna Subekti
Anton Kurnia
Ari Hidayat
Ari Kristianawati
Arie MP Tamba
Arief Junianto
Aris Kurniawan
Arti Bumi Intaran
Arul Arista
AS Sumbawi
Asarpin
Asep Sambodja
Atiqurrahman
Awalludin GD Mualif
Ayu Purwaningsih
Babe Derwan
Bakdi Soemanto
Balada
Bale Aksara
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Bayu Dwi Mardana
Bellanissa Zoditama
Beni Setia
Benny Arnas
Beno Siang Pamungkas
Berita
Berita Duka
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Bokor Hutasuhut
Brunel University London
BSW Adjikoesoemo
Budaya
Budhi Setyawan
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budiawan Dwi Santoso
Bur Rasuanto
Burhanuddin Bella
Bustan Basir Maras
Catatan
Catullus
CB. Ismulyadi
Cerbung
Cerita Rakyat
Cerpen
Chavchay Syaifullah
Cikie Wahab
Cunong Nunuk Suraja
D Zawawi Imron
Dad Murniah
Dadang Ari Murtono
Dahlia Rasyad
Damhuri Muhammad
Damiri Mahmud
Danarto
Daniel Paranamesa
Darju Prasetya
Darman Djamaluddin
Darman Moenir
Dasman Djamaluddin
David Krisna Alka
Dea Anugrah
Dedy Tri Riyadi
Denny JA
Denny Mizhar
Desi Sommalia Gustina
Dewi Anggraeni
Dharma Setyawan
Dian Hartati
Didi Arsandi
Dina Oktaviani
Dipo Handoko
Djenar Maesa Ayu
Djoko Pitono
Doddi Ahmad Fauji
Doddy Hidayatullah
Dodi Chandra
Dodiek Adyttya Dwiwanto
Dody Kristianto
Donny Anggoro
Dony P. Herwanto
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Klik Santosa
Dwi Pranoto
Dwicipta
Edy A Effendi
Edy Firmansyah
Eka Budianta
Eka Fendri Putra
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Ellyzan Katan
Elnisya Mahendra
Emha Ainun Nadjib
Endah Imawati
Eni Suryanti
Eny Rose
Eriyandi Budiman
Eriyanti
Erwin Edhi Prasetya
Erwin Setia
Esai
Evan Ys
Evi Idawati
F Rahardi
Fadly Rahman
Fahrudin Nasrulloh
Faizah Sirajuddin
Faizal Syahreza
Fajar Alayubi
Fakhrunnas M.A. Jabbar
Fanny Chotimah
Fariz al-Nizar
Fariz Alneizar
Faruk HT
Fatah Anshori
Fatah Yasin Noor
Fathurrahman Karyadi
Fatimah Wahyu Sundari
Fauzan Santa
Fazabinal Alim
Festival Sastra Gresik
Fikri MS
Fiksi Mini
Fransisca Dewi Ria Utari
Franz Kafka
Fuad Anshori
Furqon Abdi
Fuska Sani Evani
Gendhotwukir
Gendut Riyanto
Gerson Poyk
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Gola Gong
Grathia Pitaloka
Gregorio Lopez y’ Fuentes
Gugun El-Guyanie
Gunawan Budi Susanto
Gus Noy
H.H. Tokoro
Hadi Napster
Hamberan Syahbana
Hamdy Salad
Hamsad Rangkuti
Han Gagas
Hang Kafrawi
Hani Pudjiarti
Hanna Fransisca
Hardi Hamzah
Hardjono WS
Haris del Hakim
Haris Priyatna
Harris Maulana
Hary B. Kori'un
Hasan Al Banna
Hasan Junus
Hasbullah Said
Hasnan Bachtiar
HE. Benyamine
Heidi Arbuckle
Helmi Y Haska
Helvy Tiana Rosa
Hendra Junaedi
Hendri Nova
Herdoni Syafriansyah
Heri Kurniawan
Heri Latief
Heri Ruslan
Herman RN
Hermawan Aksan
Hermien Y. Kleden
Herry Lamongan
Holy Adib
Humaidiy AS
Husni Anshori
I Nyoman Darma Putra
I Nyoman Tingkat
I Wayan Artika
Ibnu Wahyudi
Ida Farida
Ignas Kleden
Ilham Khoiri
Imam Cahyono
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Tohari
Indra Tranggono
Indrian Koto
Irwan Kelana
Isbedy Stiawan Z.S.
Iskandar Noe
Isma Swastiningrum
Ismi Wahid
Iwan Gardono Sujatmiko
Iwan Gunadi
Iwan Kurniawan
Iwan Nurdaya Djafar
Iwank
J.S. Badudu
Janoary M Wibowo
Javed Paul Syatha
JILFest 2008
JJ. Kusni
Jodhi Yudono
Joko Novianto Bp
Joko Pinurbo
Jones Gultom
Jual Buku Paket Hemat
Jusuf AN
Kadek Suartaya
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kasnadi
Kedung Darma Romansha
Kenedi Nurhan
Khaerudin Kurniawan
Khaerul Anwar
Ki Sugito Ha Es
Kirana Kejora
Komunitas Deo Gratias
Korrie Layun Rampan
Kritik Sastra
Kunthi Hastorini
Kuntowijoyo
Kurie Suditomo
Kurnia Effendi
Kurniawan
Kuswinarto
La Ode Rabbani
Lathifa Akmaliyah
Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember
Leon Agusta
Lily Siti Multatuliana
Lily Yulianti Farid
Lina Kelana
Liza Wahyuninto
Lona Olavia
Lugiena Dé
M Fadjroel Rachman
M Farid W Makkulau
M Syakir
M. Dawam Rahardjo
M. Faizi
M. Mustafied
M. Raudah Jambak
M. Taufan Musonip
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
M.Th. Krishdiana Putri
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Maklumat Sastra Profetik
Malkan Junaidi
Maman S. Mahayana
Mangun Kuncoro
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria D. Andriana
Maria Magdalena Bhoernomo
Mariana Amiruddin
Maryati
Marzuzak SY
Mashuri
Maulana Syamsuri
Media: Crayon on Paper
Mega Vristian
MG. Sungatno
Misbahus Surur
Mofik el-abrar
Moh. Amir Sutaarga
Moh. Ghufron Cholid
Mohammad Hatta
Mohammad Kh. Azad
Mohammad Takdir Ilahi
Much. Khoiri
Muhamad Taslim Dalma
Muhammad Rain
Muhammad Subhan
Muhammad Yasir
Muhammadun A.S
Muhidin M Dahlan
Mujtahid
Mulyawan Karim
Musa Ismail
Musfi Efrizal
Mustafa Ismail
Mustofa W Hasyim
N Teguh Prasetyo
N. Mursidi
Nadhi Kiara Zifen
Nana Riskhi Susanti
Nanang Suryadi
Naskah Teater
Nasrulloh Habibi
Neva Tuhella
Nietzsche
Nirwan Dewanto
Nizar Qabbani
Noor H. Dee
Nova Christina
Novelet
Nunung Nurdiah
Nur Wachid
Nurani Soyomukti
Nurel Javissyarqi
Nurman Hartono
Nuryana Asmaudi
Nyoman Tusthi Eddy
Obrolan
Oky Sanjaya
Oyos Saroso HN
P Ari Subagyo
Pagelaran Musim Tandur
Pamusuk Eneste
Panji Satrio
PDS H.B. Jassin
Penerbit dan Toko Buku PUstaka puJAngga
Pipiet Senja
Pramoedya Ananta Toer
Pringadi AS
Pringgo HR
Prosa
Puisi
Puji Santosa
Purnawan Andra
PUstaka puJAngga
Putu Fajar Arcana
Putu Satria Kusuma
Putu Wijaya
R Masri Sareb Putra
R. Adhi Kusumaputra
R. Timur Budi Raja
R.N. Bayu Aji
Radhar Panca Dahana
Ragdi F. Daye
Rahmi Hattani
Raja Ali Haji
Raju Febrian
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Rama Dira J
Rama Prabu
Ramadhan KH
Ramon Magsaysay
Ramses Ohee
Ratih Kumala
Raudal Tanjung Banua
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Resensi
Ressa Novita
Ressa Sagitariana Putri
Ria Ristiana Dewi
Rialita Fithra Asmara
Ribut Wijoto
Rida K Liamsi
Rifka Sibarani
Rilda A. Oe. Taneko
Rilda A.Oe. Taneko
Rimbun Natamarga
Rinto Andriono
Risang Anom Pujayanto
Rita Zahara
Riyon Fidwar
Robin Al Kautsar
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rohman Budijanto
Rukardi
S Yoga
S. Jai
S. Takdir Alisyahbana
S.W. Teofani
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Sajak
Sajak Sebatang Lisong
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Salman S. Yoga
Salyaputra
Samson Rambah Pasir
Samsudin Adlawi
Sanie B. Kuncoro
Santy Novaria
Sapardi Djoko Damono
Sarabunis Mubarok
Sartika Dian Nuraini
Sasti Gotama
Sastra Nusantara
Satmoko Budi Santoso
Satriani
Saut Poltak Tambunan
Saut Situmorang
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
Selasih
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Shadiqin Sudirman
Shiny.ane el’poesya
Shourisha Arashi
Sidik Nugroho
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sindu Putra
Siska Afriani
Siti Sa’adah
Sitok Srengenge
Siwi Dwi Saputro
Slamet Samsoerizal
Sobih Adnan
Sofyan RH. Zaid
Solihin
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sony Wibisono
Sosiawan Leak
Sri Wintala Achmad
Sri Wulan Rujiati Mulyadi
Stevani Elisabeth
Suci Ayu Latifah
Sucipto Hadi Purnomo
Sudarmoko
Sudirman HN
Suhadi Mukhan
Suharsono
Sukar
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Sunudyantoro
Supriyadi
Suriani
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Sutan Iwan Soekri Munaf
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Syahruddin El-Fikri
Syaripudin Zuhri
Syifa Aulia
Syu’bah Asa
T.A. Sakti
Tammalele
Tan Lioe Ie
Tasyriq Hifzhillah
Taufik Abdullah
Taufik Effendi Aria
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Wr. Hidayat
TE. Priyono
Teguh Winarsho AS
Tenas Effendy
Tengsoe Tjahjono
Thayeb Loh Angen
Theresia Purbandini
Tia Setiadi
Tias Tatanka
Tito Sianipar
Tjahjono EP
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Tjut Zakiyah Anshari
Topik Mulyana
Tosa Poetra
Tri Harun Syafii
TS Pinang
Tu-ngang Iskandar
Udo Z. Karzi
Uly Giznawati
Umar Fauzi Ballah
Umbu Landu Paranggi
Umi Kulsum
Uniawati
Universitas Indonesia
Usman Arrumy
Usman D.Ganggang
Utada Kamaru
UU Hamidy
Viddy AD Daery
W.S. Rendra
Wa Ode Wulan Ratna
Wahib Muthalib
Wahyudi Akmaliah Muhammad
Wardjito Soeharso
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Sunarta
Weli Meinindartato
Wicaksono
Widodo DS
Wina Karnie
Wisran Hadi
Wong Wing King
Yan Maniani
Yanti Mulatsih
Yanuar Arifin
Yasser Arafat
Yaumu Roikha
Yetti A. KA
Yohanes Padmo Adi Nugroho
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yudhi Ms
Yudhistira ANM Massardi
Yulianna
Yurnaldi
Yusi A. Pareanom
Yusi Avianto Pareanom
Yusri Fajar
Yusrizal KW
Yuyun Ifa Naliah
Zaim Rofiqi
Zainal Arifin Thoha
Zakki Amali
Zakky Zulhazmi
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zelfeni Wimra
Zuarman Ahmad
Zulfikar Akbar
Tidak ada komentar:
Posting Komentar