Selasa, 16 November 2010

Seni-Budaya di Antara Sejumlah Momen

Ahid Hidayat
http://kendaripos.co.id/

DUA bulan belakangan ini adalah bulan yang penuh momen bagi masyarakat Indonesia, terkhusus masyarakat Sulawesi Tenggara. Di bulan April, selain peringatan Hari Kartini 21 April yang secara resmi setiap tahun diperingati kaum hawa seantero Nusantara, seminggu kemudian adalah hari kematian Chairil Anwar 28 April yang biasa dikenang dengan beragam kegiatan sastra. Satu hari sebelum peringatan meninggalnya Chairil Anwar, masyarakat Sulawesi Tenggara merayakan hari jadi Provinsi ini – tahun ini menginjak usia ke-44.

Kemudian kita memulai hari baru di bulan Mei dengan peringatan Hari Pendidikan Nasional setiap 2 Mei. Bagi masyarakat Konawe Selatan, hari besar nasional ini menjadi kian terasa kebesarannya karena tepat di hari itu, Konawe Selatan resmi berdiri sebagai sebuah kabupaten baru, lepas mandiri dari Kabupaten Konawe sebagai kabupaten induknya. Seminggu kemudian, Kota Kendari merayakan hari jadinya yang ke-176. Tanggal 20 Mei tahun ini tepat pula 100 tahun kebangkitan nasional dan sehari kemudian, jika detik mundurnya Soeharto dianggap sebagai tonggak reformasi, maka tanggal 21 Mei tahun ini reformasi genap sepuluh tahun.

Sejumlah momen itu sejatinya membawa kita kepada momen-momen permenungan tentang berbagai hal-ihwal kehidupan pada umumnya, serta hal-hal yang secara langsung berkaitan dengan momen itu pada khususnya. Pada momen peringatan Hari Kartini, kita bisa bertanya, misalnya, “Seberapa majukah perempuan bangsa kita, setelah Kartini memperjuangkannya lebih dari seratus tahun lalu?” Dalam konteks kelokalan, kita bisa membatasi cakupan pertanyaan tadi dengan mengajukan pertanyaan, “Seberapa majukah perempuan Sulawesi Tenggara saat ini?” Pada momen mengenang Chairil Anwar, pertanyaan yang muncul adalah, seberapa majukah dunia sastra Sulawesi Tenggara?

Demikian pula pada momen-momen lainnya. Setelah 44 tahun berdiri sebagai sebuah provinsi, sudahkah masyarakat Sulawesi Tenggara menjadi masyarakat sejahtera? Setelah 176 tahun berdiri, prestasi apakah yang patut dibanggakan oleh masyarakat Kota Kendari? Setelah 100 tahun lalu para pemuda bangsa kita berbuat untuk bangsa, kini kita sepatutnya merenungi tentang apa yang sudah dan harus kita lakukan dalam memelihara sebuah bangsa besar agar senantiasa “bangun(lah) jiwanya, bangun(lah) badannya” sebagaimana lirik lagu kebangsaan kita yang selalu dikumandangkan pada setiap upacara.

Membangun Jiwa Bangsa

Seni-budaya dapat dikatakan sebagai jiwa sebuah bangsa. Bangsa-bangsa yang kemudian kita kenal sebagai bangsa besar adalah bangsa-bangsa yang “besar” pula seni-budayanya. Kita sampai sekarang masih bisa mengenang kebesaran bangsa Yunani, sekadar satu contoh saja, karena bangsa itu memang menunjukkan jejak-jejak seni-budaya yang mengagumkan. Dari sanalah, antara lain, pemikiran filsafat dan seni budaya berkembang, termasuk pula olahraga.

Dalam konteks membangun jiwa bangsa inilah, maka sejumlah momen yang disebut di awal tulisan ini semestinya tidak berhenti sebagai sekadar upacara seremonial belaka. Diperlukan kesadaran dan kerja sungguh-sungguh dan tanpa pamrih dari berbagai elemen masyarakat, baik pemerintah, kalangan legislatif, para seniman, jajaran pers, serta masyarakat luas untuk bersama-sama memajukan seni-budaya di Sulawesi Tenggara.

Ada banyak alasan mengapa kita di Sulawesi Tenggara, lebih-lebih di Kendari sebagai ibukota provinsi ini, pada momen besar 100 tahun kebangkitan nasional dan momen-momen lainnya yang tak kurang besar pula, mesti bersama-sama secara nyata memberikan perhatian besar kepada pembangunan jiwa bangsa yakni seni-budaya. Alasan paling utama adalah, seni-budaya masih diposisikan sebagai “anak tiri”, kalau bukan “anak haram” pembangunan.

Faktanya, kita akui, dalam sepuluh tahun terakhir ini, pembangunan fisik Kota Kendari, sebagai wajah Sulawesi Tenggara, menunjukkan kemajuan amat pesat. Jalan-jalan membentang, menggelindingkan roda perekonomian warga. Pusat-pusat perdagangan dan ruko-ruko menjamur di sepanjang jalan kota ini. Kafe-kafe dan panti-panti pijat menawarkan hiburan di berbagai tempat. Stadion dan lapangan berbagai cabang olahraga juga sudah ada dengan fasilitas yang cukup lengkap pula. Namun, hingga saat ini provinsi yang terdiri atas beragam kelompok etnik yang memiliki khazanah budaya yang kaya ini belum juga memiliki gedung kesenian yang dengan jadwal tetap menyelenggarakan kegiatan-kegiatan untuk menyalurkan kreativitas seni-budaya! Kesenian dan acara-acara budaya, walau dari satu sisi yaa… patut juga disyukuri, masih dilaksanakan sebatas “dalam rangka”.

Ini jauh berbeda dengan program pembinaan dan pengembangan bidang olahraga. Perhatian pemerintah terhadap bidang yang satu ini bukan main seriusnya, dengan dukunan dana yang tidak main-main pula. Lihatlah bagaimana penyelenggaraan Porda terakhir yang berlangsung di ibukota Kabupaten Muna itu. Berapa besar digelontorkan untuk membangun sejumlah fasilitas olahraga itu? Pasti bukan jumlah yang sedikit. Belum lagi Pekan Olahraga Nasional, dan lain-lain.

Perhatian besar terhadap olahraga tentu tidak lepas dari bagusnya manajemen organisasi dan pengelolaan kegiatan olahraga oleh induk-induk organisasi setiap cabang olahraga. Namun, kenyataan bahwa bidang seni-budaya belum mendapat perhatian sebesar perhatian pemerintah terhadap olahraga ini menyisakan sebuah ironi, karena baik di tingkat provinsi maupun di kabupaten/kota, setidaknya ada satu badan atau dinas yang secara struktural mempunyai tugas dan kewajiban menyelenggarakan program pembinaan dan pengembangan seni-budaya.

Kalangan penggiat dan para birokrat di bidang seni-budaya, karena itu, semestinya mau becermin pada manajemen pembinaan olahraga yang cukup bagus itu. Komitmen pada kerja serta kerja sama menjadi kata kunci yang membuat olahraga dapat merebut perhatian berbagai pihak. Olahraga dikelola demi dan semata-mata demi kemajuan olahraga, bukan demi kepentingan yang lain-lain. Komitmen itulah yang membuat kalangan olahragawan bisa membuka diri bagi siapa pun yang punya niat dan kepedulian untuk memajukan olahraga. Sportivitas, sebuah prinsip dalam olah raga, dipegang teguh para pengelola program bidang keolahragaan. Sebagai contoh, siapa pun yang memimpin Koni tidak menjadi soal, sebab kalangan olahragawan percaya bahwa orang itu (akan) punya komitmen memajukan olah raga – sebuah hal yang kadang menjadi persoalan dalam dunia kesenian. Penataan ulang Dewan Kesenian Sulawesi Tenggara, yang di masa pemerintahan Ali Mazi agak kurang terdengar kiprahnya, sudah semestinya dilakukan.

Kreativitas Perlu Dukungan

Pada rubrik ini awal Februari lalu, penyair Syaifuddin Gani menulis “dunia mengakui bahwa Sulawesi Tenggara memiliki khazanah besar (sastra khususnya dan seni-budaya umumnya, yang) bernilai lokal dan universal”. Gani mencontohkan, betapa kesusastraan Buton, sastra lisan Tolaki, Muna, dan Moronene (sekadar menyebut beberapa nama) adalah aset besar seni-budaya Sulawesi Tenggara. Mengapa masyarakat dari berbagai kelompok etnik di masa lalu mampu melahirkan kreativitas tinggi di dunia seni-budaya? Tentu, antara lain, karena aktivitas seni-budaya mendapat perhatian besar baik dari masyarakat maupun pemerintah. Bagaimana tradisi pernaskahan Buton tidak maju kalau salah seorang sultannya adalah pujangga yang melahirkan ribuan larik kabhanti.

Membangun kesejahteraan masyarakat, yang menjadi program Gubernur Sulawesi Tenggara dalam lima tahun ke depan, tentunya tidak akan lengkap terwujud jika pembangunan kreativitas seni-budaya masyarakat tidak tercakup di dalamnya. Karena itu, bila selama ini Gubernur (yang menduduki kursi ketua Koni Provinsi telah banyak memberikan perhatian terhadap dunia olahraga di daerah ini sehingga bidang itu mampu membawa nama harum Sulawesi Tenggara di tingkat nasional (bahkan internasional), maka sudah saatnya Gubernur pun memberikan perhatian yang sama terhadap pengembangan kreativitas seni budaya Sulawesi Tenggara.

Tentang kreativitas seni-budaya Sulawesi Tenggara, tak perlu lagi dikatakan bahwa potensi di bidang ini amat menjanjikan. Tanpa perhatian yang selayaknya saja, masyarakat seni-budaya di Sulawesi Tenggara telah mampu bicara pada daerah lain bahwa seni-budaya di Sulawesi Tenggara tidak terlalu ketinggalan dari daerah lain. Beberapa buku karya penyair, cerpenis dan novelis Sulawesi Tenggara telah terbit, baik dalam jumlah terbatas seperti antologi puisi Syaifuddin Gani maupun dalam tiras besar seperti novel Krisni Dinamita dan dua kumpulan cerpen Muhammad Syahrial Ashaf. Teater Anawula Menggaa pernah diundang ke acara Hari Anak Nasional dan menjuarai Festival Teater Pelajar tingkat Nasional di Semarang. Beberapa grup musik muncul dan segera menarik perhatian khalayak.

Kreativitas masyarakat di bidang seni-budaya itu membutuhkan perhatian dan dukungan kita secara sungguh-sungguh. Tentu tidak perlu dikemukakan lagi bagaimana bentuk perhatian dan dukungan yang sungguh-sungguh itu. Sekadar contoh, lihatlah bagaimana pemerintah (pusat) menyelenggarakan acara peringatan 100 Tahun Kebangkitan Nasional di Gelora Bung Karno yang memberikan kepercayaan untuk menampilkan kreativitas seni (tari, musik, dll.) kepada para seniman Indonesia sendiri! Sementara itu, dua tahun lalu, agar pembukaan MTQ di Sulawesi Tenggara tampil gemerlap, pemerintah provinsi ini tampaknya belum percaya sepenuhnya kepada seniman-seniman di daerah ini, dengan mendatangkan koreografer dari pusat (Jakarta) sana!

Perhatian dan dukungan serius pemda bisa mengantarkan sebuah rombongan pantun dari daerah ini meraih prestasi gemilang. Seperti ditulis Syaifuddin Gani, “Dunia tercengang ketika utusan Sulawesi Tenggara yang diwakili Kabupaten Wakatobi memainkan kabhanti dilengkapi instrumen gambus di Gedung Kesenian Jakarta, tahun silam. Penonton terpesona ketika mendengar puisi kabhanti dilantunkan yang memiliki kekuatan estetik dan puitik yang agung”. Bukan tidak mungkin pada suatu acara nasional di Jakarta, ikon Sulawesi bukan lagi diwakili oleh lagu “Angin Mamiri” atau poco-poco, tetapi oleh nyanyian dari sini dan tarian Lulo misalnya. Bila kita bersungguh-sungguh memajukan seni budaya kita, tentunya.

Saya sendiri memimpikan bahwa pada ulang tahun kesekian, Provinsi Sulawesi Tenggara atau Kota Kendari memiliki gedung kesenian yang ramai dengan berbagai pertunjukan dan diskusi seni, ada galeri lukisan yang menjadi pusat pertumbuhan seni rupa, terbitnya karya-karya sastra dan budaya yang setara dengan karya dari daerah lain, serta para pejabat dan masyarakat terdidik yang melek seni-budaya. Jejak langkah progresif Gubernur Ali Sadikin dalam membangun prasarana dan mengembangkan kehidupan seni budaya di Jakarta pada tahun 1960-an sungguh layak ditiru. Bukankah dulu di masa pemerintahan masih terpusat, salah satu alasan daerah-daerah meminta otonomi adalah, “agar kebudayaan daerah mendapat perhatian lebih layak”?

Tidak ada komentar:

A Khoirul Anam A Qorib Hidayatullah A Rodhi Murtadho A. Yusrianto Elga A. Zakky Zulhazmi A.S. Laksana Aang Fatihul Islam Aba Mardjani Abd. Mun’im Abdul Aziz Rasjid Abdul Gaffar Ruskhan Abdul Hadi W. M. Abdul Kadir Ibrahim Abdul Malik Abdul Muis Abdul Wachid BS Abdullah Khusairi Abidah El Khalieqy Abimardha Kurniawan Abroorza A. Yusra Abu Salman Acep Iwan Saidi Achmad Farid Tuasikal Adek Alwi Adi Marsiela Adian Husaini Adib Muttaqin Asfar Adji Subela Afandi Sido Afriza Hanifa Afrizal Malna Ageng Wuri R. A. Ags. Arya Dipayana Aguk Irawan M.N. Agus B. Harianto Agus Bing Agus Noor Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sri Danardana Agus Sulton Agus Sunyoto Agus Wibowo Agus Wirawan Agusri Junaidi AH J Khuzaini Ahda Imran Ahid Hidayat Ahm Soleh Ahmad Asyhar Ahmad Farid Yahya Ahmad Fuadi Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musthofa Haroen Ahmad Rofiq Ahmad Suhendra Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Aini Aviena Violeta Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sekhu Al Azhar Riau Al-Fairish Alex R. Nainggolan Alexander G.B. Alfian Zainal Aliansyah Alimuddin Almania Rohmah Alunk Estohank Amien Kamil Amien Wangsitalaja Anata Siregar Andi Sutisno Andy Riza Hidayat Anies Baswedan Anindita S Thayf Anis Ceha Anis Faridatur Rofiah Anjrah Lelono Broto Anna Subekti Anton Kurnia Ari Hidayat Ari Kristianawati Arie MP Tamba Arief Junianto Aris Kurniawan Arti Bumi Intaran Arul Arista AS Sumbawi Asarpin Asep Sambodja Atiqurrahman Awalludin GD Mualif Ayu Purwaningsih Babe Derwan Bakdi Soemanto Balada Bale Aksara Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Bayu Dwi Mardana Bellanissa Zoditama Beni Setia Benny Arnas Beno Siang Pamungkas Berita Berita Duka Bernando J. Sujibto Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Bokor Hutasuhut Brunel University London BSW Adjikoesoemo Budaya Budhi Setyawan Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiawan Dwi Santoso Bur Rasuanto Burhanuddin Bella Bustan Basir Maras Catatan Catullus CB. Ismulyadi Cerbung Cerita Rakyat Cerpen Chavchay Syaifullah Cikie Wahab Cunong Nunuk Suraja D Zawawi Imron Dad Murniah Dadang Ari Murtono Dahlia Rasyad Damhuri Muhammad Damiri Mahmud Danarto Daniel Paranamesa Darju Prasetya Darman Djamaluddin Darman Moenir Dasman Djamaluddin David Krisna Alka Dea Anugrah Dedy Tri Riyadi Denny JA Denny Mizhar Desi Sommalia Gustina Dewi Anggraeni Dharma Setyawan Dian Hartati Didi Arsandi Dina Oktaviani Dipo Handoko Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Doddi Ahmad Fauji Doddy Hidayatullah Dodi Chandra Dodiek Adyttya Dwiwanto Dody Kristianto Donny Anggoro Dony P. Herwanto Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Klik Santosa Dwi Pranoto Dwicipta Edy A Effendi Edy Firmansyah Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Eko Darmoko Ellyzan Katan Elnisya Mahendra Emha Ainun Nadjib Endah Imawati Eni Suryanti Eny Rose Eriyandi Budiman Eriyanti Erwin Edhi Prasetya Erwin Setia Esai Evan Ys Evi Idawati F Rahardi Fadly Rahman Fahrudin Nasrulloh Faizah Sirajuddin Faizal Syahreza Fajar Alayubi Fakhrunnas M.A. Jabbar Fanny Chotimah Fariz al-Nizar Fariz Alneizar Faruk HT Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fathurrahman Karyadi Fatimah Wahyu Sundari Fauzan Santa Fazabinal Alim Festival Sastra Gresik Fikri MS Fiksi Mini Fransisca Dewi Ria Utari Franz Kafka Fuad Anshori Furqon Abdi Fuska Sani Evani Gendhotwukir Gendut Riyanto Gerson Poyk Gita Pratama Goenawan Mohamad Gola Gong Grathia Pitaloka Gregorio Lopez y’ Fuentes Gugun El-Guyanie Gunawan Budi Susanto Gus Noy H.H. Tokoro Hadi Napster Hamberan Syahbana Hamdy Salad Hamsad Rangkuti Han Gagas Hang Kafrawi Hani Pudjiarti Hanna Fransisca Hardi Hamzah Hardjono WS Haris del Hakim Haris Priyatna Harris Maulana Hary B. Kori'un Hasan Al Banna Hasan Junus Hasbullah Said Hasnan Bachtiar HE. Benyamine Heidi Arbuckle Helmi Y Haska Helvy Tiana Rosa Hendra Junaedi Hendri Nova Herdoni Syafriansyah Heri Kurniawan Heri Latief Heri Ruslan Herman RN Hermawan Aksan Hermien Y. Kleden Herry Lamongan Holy Adib Humaidiy AS Husni Anshori I Nyoman Darma Putra I Nyoman Tingkat I Wayan Artika Ibnu Wahyudi Ida Farida Ignas Kleden Ilham Khoiri Imam Cahyono Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Tohari Indra Tranggono Indrian Koto Irwan Kelana Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Isma Swastiningrum Ismi Wahid Iwan Gardono Sujatmiko Iwan Gunadi Iwan Kurniawan Iwan Nurdaya Djafar Iwank J.S. Badudu Janoary M Wibowo Javed Paul Syatha JILFest 2008 JJ. Kusni Jodhi Yudono Joko Novianto Bp Joko Pinurbo Jones Gultom Jual Buku Paket Hemat Jusuf AN Kadek Suartaya Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Kedung Darma Romansha Kenedi Nurhan Khaerudin Kurniawan Khaerul Anwar Ki Sugito Ha Es Kirana Kejora Komunitas Deo Gratias Korrie Layun Rampan Kritik Sastra Kunthi Hastorini Kuntowijoyo Kurie Suditomo Kurnia Effendi Kurniawan Kuswinarto La Ode Rabbani Lathifa Akmaliyah Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember Leon Agusta Lily Siti Multatuliana Lily Yulianti Farid Lina Kelana Liza Wahyuninto Lona Olavia Lugiena Dé M Fadjroel Rachman M Farid W Makkulau M Syakir M. Dawam Rahardjo M. Faizi M. Mustafied M. Raudah Jambak M. Taufan Musonip M. Yoesoef M.D. Atmaja M.Th. Krishdiana Putri Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Maklumat Sastra Profetik Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mangun Kuncoro Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria D. Andriana Maria Magdalena Bhoernomo Mariana Amiruddin Maryati Marzuzak SY Mashuri Maulana Syamsuri Media: Crayon on Paper Mega Vristian MG. Sungatno Misbahus Surur Mofik el-abrar Moh. Amir Sutaarga Moh. Ghufron Cholid Mohammad Hatta Mohammad Kh. Azad Mohammad Takdir Ilahi Much. Khoiri Muhamad Taslim Dalma Muhammad Rain Muhammad Subhan Muhammad Yasir Muhammadun A.S Muhidin M Dahlan Mujtahid Mulyawan Karim Musa Ismail Musfi Efrizal Mustafa Ismail Mustofa W Hasyim N Teguh Prasetyo N. Mursidi Nadhi Kiara Zifen Nana Riskhi Susanti Nanang Suryadi Naskah Teater Nasrulloh Habibi Neva Tuhella Nietzsche Nirwan Dewanto Nizar Qabbani Noor H. Dee Nova Christina Novelet Nunung Nurdiah Nur Wachid Nurani Soyomukti Nurel Javissyarqi Nurman Hartono Nuryana Asmaudi Nyoman Tusthi Eddy Obrolan Oky Sanjaya Oyos Saroso HN P Ari Subagyo Pagelaran Musim Tandur Pamusuk Eneste Panji Satrio PDS H.B. Jassin Penerbit dan Toko Buku PUstaka puJAngga Pipiet Senja Pramoedya Ananta Toer Pringadi AS Pringgo HR Prosa Puisi Puji Santosa Purnawan Andra PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Satria Kusuma Putu Wijaya R Masri Sareb Putra R. Adhi Kusumaputra R. Timur Budi Raja R.N. Bayu Aji Radhar Panca Dahana Ragdi F. Daye Rahmi Hattani Raja Ali Haji Raju Febrian Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Dira J Rama Prabu Ramadhan KH Ramon Magsaysay Ramses Ohee Ratih Kumala Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Ressa Novita Ressa Sagitariana Putri Ria Ristiana Dewi Rialita Fithra Asmara Ribut Wijoto Rida K Liamsi Rifka Sibarani Rilda A. Oe. Taneko Rilda A.Oe. Taneko Rimbun Natamarga Rinto Andriono Risang Anom Pujayanto Rita Zahara Riyon Fidwar Robin Al Kautsar Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Rohman Budijanto Rukardi S Yoga S. Jai S. Takdir Alisyahbana S.W. Teofani Sabrank Suparno Sahaya Santayana Sajak Sajak Sebatang Lisong Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Salman S. Yoga Salyaputra Samson Rambah Pasir Samsudin Adlawi Sanie B. Kuncoro Santy Novaria Sapardi Djoko Damono Sarabunis Mubarok Sartika Dian Nuraini Sasti Gotama Sastra Nusantara Satmoko Budi Santoso Satriani Saut Poltak Tambunan Saut Situmorang Sekolah Literasi Gratis (SLG) Selasih Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Shadiqin Sudirman Shiny.ane el’poesya Shourisha Arashi Sidik Nugroho Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sindu Putra Siska Afriani Siti Sa’adah Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Slamet Samsoerizal Sobih Adnan Sofyan RH. Zaid Solihin Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sony Wibisono Sosiawan Leak Sri Wintala Achmad Sri Wulan Rujiati Mulyadi Stevani Elisabeth Suci Ayu Latifah Sucipto Hadi Purnomo Sudarmoko Sudirman HN Suhadi Mukhan Suharsono Sukar Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sunudyantoro Supriyadi Suriani Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syahruddin El-Fikri Syaripudin Zuhri Syifa Aulia Syu’bah Asa T.A. Sakti Tammalele Tan Lioe Ie Tasyriq Hifzhillah Taufik Abdullah Taufik Effendi Aria Taufik Ikram Jamil Taufiq Wr. Hidayat TE. Priyono Teguh Winarsho AS Tenas Effendy Tengsoe Tjahjono Thayeb Loh Angen Theresia Purbandini Tia Setiadi Tias Tatanka Tito Sianipar Tjahjono EP Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tjut Zakiyah Anshari Topik Mulyana Tosa Poetra Tri Harun Syafii TS Pinang Tu-ngang Iskandar Udo Z. Karzi Uly Giznawati Umar Fauzi Ballah Umbu Landu Paranggi Umi Kulsum Uniawati Universitas Indonesia Usman Arrumy Usman D.Ganggang Utada Kamaru UU Hamidy Viddy AD Daery W.S. Rendra Wa Ode Wulan Ratna Wahib Muthalib Wahyudi Akmaliah Muhammad Wardjito Soeharso Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Sunarta Weli Meinindartato Wicaksono Widodo DS Wina Karnie Wisran Hadi Wong Wing King Yan Maniani Yanti Mulatsih Yanuar Arifin Yasser Arafat Yaumu Roikha Yetti A. KA Yohanes Padmo Adi Nugroho Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yudhi Ms Yudhistira ANM Massardi Yulianna Yurnaldi Yusi A. Pareanom Yusi Avianto Pareanom Yusri Fajar Yusrizal KW Yuyun Ifa Naliah Zaim Rofiqi Zainal Arifin Thoha Zakki Amali Zakky Zulhazmi Zawawi Se Zehan Zareez Zelfeni Wimra Zuarman Ahmad Zulfikar Akbar