Kamis, 01 Juli 2010

”Si Buta dari Gua Hantu”: Cinta, Dendam, Petualangan

Anton Kurnia*
http://www.sinarharapan.co.id/

Cinta yang terluka dan balas dendam sebagai api yang menyalakan semangat untuk mengarungi hidup penuh petualangan bisa kita temui dalam serial komik silat Si Buta dari Gua Hantu karya Ganes Th.
Si Buta, sejak kelahirannya pada 1967 lewat terbitan UP Soka Jakarta, tak pelak merupakan tokoh komik lokal paling populer. Namanya terus bergema sejak diangkat ke gedung bioskop pada dasawarsa 1970-an dengan mencuatkan mendiang Ratno Timoer sebagai aktor pemerannya hingga ke layar kaca dalam zaman sinetron dewasa ini. Saat ini sebuah sinetron yang dibuat berdasarkan salah satu episode komik petualangan Si Buta masih diputar di sebuah stasiun televisi swasta nasional.

Kisah Si Buta dari Gua Hantu diawali oleh dendam yang tak terbalas. Barda Mandrawata, seorang pemuda tani di sebuah desa pelosok Banten, tengah menanti hari pernikahannya dengan Marni Dewianti saat seorang buta yang sakti tapi telengas, Si Mata Malaekat, mampir di desanya dan berbuat onar. Ia membunuh Ganda Lelajang, ayahanda Marni, karena soal sepele. Barda dan kawan-kawannya dari Perguruan Elang Putih mencoba menuntut balas. Paksi Sakti Indrawata, ayahanda Barda sekaligus ketua perguruan, menantang duel Si Mata Malaekat. Namun, ia tewas.

Barda yang merasa kalah jago dari si pembunuh pergi meninggalkan desanya dan menyepi di sebuah gua untuk memperdalam ilmu silat. Ia ingin membalas dendam. Berkaca pada musuhnya, ia berupaya mempelajari ilmu membedakan suara yang tak tergantung pada mata.

Pada suatu hari, pemuda yang dibakar dendam itu mengangkat goloknya menyilang sejajar dengan mata. Digerakkannya golok itu menggores sepasang matanya. Sejak itu Barda menjadi buta. Tapi, menjadi buta ternyata membuatnya lebih tangguh. Kepekaan nalurinya justru menjadi jauh lebih tajam karena terbebas dari indera penglihatan. Kesaktian ini membuat Barda bertekad menuntaskan dendamnya pada Si Mata Malaekat.

Singkat cerita, Si Mata Malaekat tewas di tangan Barda. Dendam terbalas sudah. Tapi, cerita justru baru dimulai. Tambatan cintanya, Marni yang jelita, telah menjadi isteri orang, meninggalkan luka di hati Barda. Barda alias Si Buta dari Gua Hantu yang kini tampil gagah dengan setelan baju kulit ular berikut tongkat yang didapatnya dari gua tempatnya menempa diri memutuskan hengkang meninggalkan kampung halamannya. Ia bertualang ke berbagai penjuru Nusantara demi menumpas kejahatan ditemani oleh Wanara, monyet cerdik yang setia.

Setelah episode pertama berjudul Si Buta dari Gua Hantu, muncul berbagai petualangan singkat Si Buta di Pulau Jawa, antara lain lewat episode Borobudur dan Mawar Berbisa. Lalu, ia terus mengembara ke Timur, menyeberang ke Bali dalam Banjir Darah di Pantai Sanur dan Nusa Tenggara Barat dalam kisah Reo Manusia Srigala yang mengambil latar di Sumbawa. Disambung perjalanan melintasi lautan menuju Sulawesi dalam Prahara di Donggala, Perjalanan ke Neraka dan Kabut Tinombala. Selanjutnya, ia kembali menyeberangi laut menuju Nusa Tenggara Timur, tepatnya Pulau Flores, dalam Tragedi Larantuka.

Si Buta dalam Sejarah Komik Indonesia

Si Buta merupakan masterpiece Ganes Th yang pada masanya merupakan salah satu dari tiga dewa komik Indonesia bersama Jan Mintaraga dan Teguh Santosa. Mereka adalah penerus generasi yang lebih awal dengan tiga tokoh utamanya: Taguan Hardjo, Zam Nuldyn dan Abdul Salam.

Ganes Th memulai kariernya sebagai ilustrator dan pembuat komik remaja. Namanya mencuat sejak munculnya serial Si Buta dari Gua Hantu yang kemudian difilmkan. Ia juga membuat sejumlah komik lepas, antara lain Tuan Tanah Kedawung (berlatar Betawi tempo doeloe, difilmkan oleh Tidar Film, 1972), Taufan (sebuah kritik sosial, berlatar zaman Jepang hingga awal masa kemerdekaan) dan Pendekar Slebor yang berlatar kehidupan pesantren di pesisir utara Pulau Jawa.

Ganes terutama menyandarkan komiknya pada kekuatan gambar dan gerak tokoh-tokohnya daripada penggunaan bahasa. Kelebihannya itu mampu menutupi kekurangannya dalam menggambar naturalis. Seperti halnya Taguan Hardjo, kelebihannya yang lain adalah gayanya yang ekspresif dalam menggambarkan raut wajah tokoh-tokohnya. Si Buta sendiri nyaris selalu ditampilkan bermimik dingin dengan garis bibir tipis yang berkesan keras.

Ia pun mahir menyusun plot berliku. Seringkali ia menyembunyikan identitas tokoh antagonis hingga saat terakhir dan mencoba mengecoh pembaca dengan kesimpulan yang keliru.

Terkadang ia mencoba puitis. Ia pernah menyisipkan selarik sajak Chairil Anwar (1922-1949), Aku, yang dipelesetkannya dalam salah satu episode petualangan Si Buta. Sajak itu dideklamasikan oleh seorang tokoh pengemis eksentrik yang selalu mengulang-ulang kalimat, ”Aku ini binatang jalang, dari kumpulannya terbuang…”

Si Buta adalah sebuah fenomena, bahkan legenda, dalam dunia komik silat kita. Dari serial laris ini bermunculan sederet epigon yang kemudian ikut meramaikan kancah perkomikan nasional di masa lalu. Tak bisa disangkal, kesuksesan Ganes dengan Si Buta dari Gua Hantu mengilhami para komikus setelahnya.

Salah satunya adalah Djair Warni yang melejit lewat serial Jaka Sembung (terbit mulai 1968). Dalam serial itu Djair menciptakan sesosok tokoh bernama Karta alias Si Gila dari Muara Bondet yang dari namanya saja sudah terlihat jejak kemiripannya dengan Si Buta. Profil tokoh ini amat dekat dengan Si Buta: tampan, gagah, berambut gondrong. Hanya saja, ia tidak buta.

Awal proses kependekaran Karta tak jauh beda dengan ”metamorfosis” Barda, lagi-lagi disebabkan oleh dendam dan cinta. Karta, pemuda desa yang lugu, lari dari desanya akibat kematian Nuraini, kekasihnya yang bunuh diri pada malam perkawinannya dengan lelaki pilihan orangtuanya. Karta yang dijadikan kambing hitam kematian itu dihajar oleh si lelaki hingga babak belur, menorehkan dendam di hatinya.

Ia kemudian memperdalam ilmu silat secara otodidak dengan latihan ganjil selama bertahun-tahun di sebuah muara sungai hingga mampu menguasai sebuah ilmu golok yang aneh tapi ampuh. Setelah dendamnya terbalas, ia bertualang. Ia dianggap gila karena sering tertawa-tawa sendiri lalu tiba-tiba menangis sesenggukan apabila teringat pada almarhum kekasihnya. Karta lalu diangkat sebagai adik seperguruan oleh Jaka Sembung.

Djair pun tampaknya terilhami petualangan Si Buta keliling Nusantara saat menciptakan sejumlah episode pengembaraan Jaka Sembung di Indonesia Timur dalam lakon Singa Halmahera, Iblis Pulau Aru, Wori Pendekar Bumerang dan Papua. Bedanya, Djair mewarnai karyanya dengan napas perlawanan terhadap kaum penjajah asing dan nuansa Islam yang cukup kentara (simak misalnya episode Wali Kesepuluh).

Menimbang Aspek Intrinsik Si Buta

Sebagai sebuah karya, serial komik Si Buta dari Gua Hantu sebenarnya tak jauh beda dengan komik-komik lain sezamannya. Ada beberapa kelemahan umum, seperti logika teks yang terkadang diabaikan oleh kebetulan-kebetulan. Namun, ada sejumlah keunggulan di dalamnya, antara lain soal penokohan.

Ganes memberi alasan bagi kecenderungan tokoh-tokohnya walau tak jauh dari tema cinta dan dendam. Ada perkembangan psikologis dalam diri mereka. Barda yang semula berwatak periang memilih pergi dari kampung halamannya dan bersikap dingin pada wanita karena cintanya yang terluka.

Si Buta pun digambarkan cukup manusiawi. Terkadang ia dan monyetnya tampak sedang makan di warung nasi dan membayar dengan uang yang didapat dari orang yang pernah ditolongnya (lihat Perjalanan ke Neraka). Si Buta pun bukannya tak bisa kalah. Ia pernah nyaris mati akibat racun pukulan kecubung biru dan terpaksa harus mencari obat penawarnya dengan susah payah (baca Kabut Tinombala).

Selain itu, Si Buta tak mengabaikan latar tempat dan waktu. Ganes dengan sadar mengambil tempat-tempat faktual (Banten, Borobudur, Pantai Sanur, Gunung Rinjani, Donggala, Gunung Tinombala, Pulau Flores, Larantuka) sebagai ajang petualangan Si Buta. Bandingkan misalnya dengan komik-komik silat Jan Mintaraga atau serial Panji Tengkorak karya Hans Djaladara.

Waktu kejadian dalam kisah Si Buta, walaupun tak disebut eksplisit, kira-kira adalah sekitar abad ke-17 ketika VOC mulai menancapkan kukunya di Nusantara. Itu ditandai dengan munculnya tokoh orang-orang Belanda (VOC berdiri pada 1602) dan penggambaran suasana yang belum terlalu modern (kendaraan yang lazim ditampilkan adalah kereta kuda).

Tokoh antagonis dalam kisah Si Buta bukanlah kaum penjajah asing, melainkan tuan-tuan tanah, penguasa-penguasa lokal yang tamak, atau tukang-tukang pukul yang doyan menindas rakyat kecil. Mereka itulah yang menjadi musuh Si Buta, sang pembela kaum tertindas.

Cukup menarik cara pandang Ganes terhadap modernitas dalam serial Si Buta ini. Ia berpihak pada ilmu pengetahuan modern dan menolak tahayul. Dalam kisah Reo Manusia Serigala, terdapat tokoh ilmuwan asing yang tengah melakukan penyelidikan botani di Nusantara. Saat Reo sakit demam, bocah itu disembuhkan dengan larutan air kina yang diberikan oleh sang ilmuwan. Rupanya Reo mengidap malaria.

Begitupun dalam Tragedi Larantuka terdapat tokoh dokter bule yang berupaya menolong warga sebuah desa di Larantuka yang terserang wabah rabies akibat serangan gerombolan anjing liar. Penduduk lokal menganggap penyakit itu disebarkan oleh setan. Dengan cerdik, Ganes menampilkan tokoh dukun tradisional justru sebagai pembantu dokter yang tak lagi percaya pada ilmu klenik. Ia bekerja sama dengan si dokter mengumpulkan dana untuk membeli obat bagi rakyat miskin dengan cara memanipulasi kebodohan seorang tuan tanah kikir.

Komik dalam Kebudayaan Kita

Demikianlah catatan singkat tentang Si Buta dari Gua Hantu, tokoh legendaris dalam sejarah komik Indonesia. Tulisan ini hanyalah merupakan tinjauan sederhana seorang pembaca. Telaah yang lebih serius dari berbagai sudut pandang keilmuan, entah itu dari aspek sastra atau seni rupa, dan tinjauan ilmiah yang lebih mendalam, tentunya terbuka untuk dilakukan.

Sejauh ini, telaah paling serius terhadap komik Indonesia justru dilakukan oleh seorang Prancis bernama Marcel Bonnef dalam disertasi yang dibuatnya pada 1973 silam, Les Bandes dessines Indonesiennes (baru diterjemahkan di sini sebagai sebuah buku bertajuk Komik Indonesia pada 1998).

Bagaimanapun, seperti ditulis komikus Jan Mintaraga dalam sebuah esai bertajuk ”Komik, Bastar Tanpa Kewarganegaraan” (dimuat Kompas, 1983), komik adalah bagian tak tersangkal dari kebudayaan kita yang berkaitan seni rupa dan sastra, biarpun pada kenyataannya di sini tak pernah dianggap sebagai karya yang pantas diperbincangkan secara terhormat.

*) Sastrawan dan pembaca komik.

Tidak ada komentar:

A Khoirul Anam A Qorib Hidayatullah A Rodhi Murtadho A. Yusrianto Elga A. Zakky Zulhazmi A.S. Laksana Aang Fatihul Islam Aba Mardjani Abd. Mun’im Abdul Aziz Rasjid Abdul Gaffar Ruskhan Abdul Hadi W. M. Abdul Kadir Ibrahim Abdul Malik Abdul Muis Abdul Wachid BS Abdullah Khusairi Abidah El Khalieqy Abimardha Kurniawan Abroorza A. Yusra Abu Salman Acep Iwan Saidi Achmad Farid Tuasikal Adek Alwi Adi Marsiela Adian Husaini Adib Muttaqin Asfar Adji Subela Afandi Sido Afriza Hanifa Afrizal Malna Ageng Wuri R. A. Ags. Arya Dipayana Aguk Irawan M.N. Agus B. Harianto Agus Bing Agus Noor Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sri Danardana Agus Sulton Agus Sunyoto Agus Wibowo Agus Wirawan Agusri Junaidi AH J Khuzaini Ahda Imran Ahid Hidayat Ahm Soleh Ahmad Asyhar Ahmad Farid Yahya Ahmad Fuadi Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musthofa Haroen Ahmad Rofiq Ahmad Suhendra Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Aini Aviena Violeta Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sekhu Al Azhar Riau Al-Fairish Alex R. Nainggolan Alexander G.B. Alfian Zainal Aliansyah Alimuddin Almania Rohmah Alunk Estohank Amien Kamil Amien Wangsitalaja Anata Siregar Andi Sutisno Andy Riza Hidayat Anies Baswedan Anindita S Thayf Anis Ceha Anis Faridatur Rofiah Anjrah Lelono Broto Anna Subekti Anton Kurnia Ari Hidayat Ari Kristianawati Arie MP Tamba Arief Junianto Aris Kurniawan Arti Bumi Intaran Arul Arista AS Sumbawi Asarpin Asep Sambodja Atiqurrahman Awalludin GD Mualif Ayu Purwaningsih Babe Derwan Bakdi Soemanto Balada Bale Aksara Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Bayu Dwi Mardana Bellanissa Zoditama Beni Setia Benny Arnas Beno Siang Pamungkas Berita Berita Duka Bernando J. Sujibto Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Bokor Hutasuhut Brunel University London BSW Adjikoesoemo Budaya Budhi Setyawan Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiawan Dwi Santoso Bur Rasuanto Burhanuddin Bella Bustan Basir Maras Catatan Catullus CB. Ismulyadi Cerbung Cerita Rakyat Cerpen Chavchay Syaifullah Cikie Wahab Cunong Nunuk Suraja D Zawawi Imron Dad Murniah Dadang Ari Murtono Dahlia Rasyad Damhuri Muhammad Damiri Mahmud Danarto Daniel Paranamesa Darju Prasetya Darman Djamaluddin Darman Moenir Dasman Djamaluddin David Krisna Alka Dea Anugrah Dedy Tri Riyadi Denny JA Denny Mizhar Desi Sommalia Gustina Dewi Anggraeni Dharma Setyawan Dian Hartati Didi Arsandi Dina Oktaviani Dipo Handoko Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Doddi Ahmad Fauji Doddy Hidayatullah Dodi Chandra Dodiek Adyttya Dwiwanto Dody Kristianto Donny Anggoro Dony P. Herwanto Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Klik Santosa Dwi Pranoto Dwicipta Edy A Effendi Edy Firmansyah Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Eko Darmoko Ellyzan Katan Elnisya Mahendra Emha Ainun Nadjib Endah Imawati Eni Suryanti Eny Rose Eriyandi Budiman Eriyanti Erwin Edhi Prasetya Erwin Setia Esai Evan Ys Evi Idawati F Rahardi Fadly Rahman Fahrudin Nasrulloh Faizah Sirajuddin Faizal Syahreza Fajar Alayubi Fakhrunnas M.A. Jabbar Fanny Chotimah Fariz al-Nizar Fariz Alneizar Faruk HT Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fathurrahman Karyadi Fatimah Wahyu Sundari Fauzan Santa Fazabinal Alim Festival Sastra Gresik Fikri MS Fiksi Mini Fransisca Dewi Ria Utari Franz Kafka Fuad Anshori Furqon Abdi Fuska Sani Evani Gendhotwukir Gendut Riyanto Gerson Poyk Gita Pratama Goenawan Mohamad Gola Gong Grathia Pitaloka Gregorio Lopez y’ Fuentes Gugun El-Guyanie Gunawan Budi Susanto Gus Noy H.H. Tokoro Hadi Napster Hamberan Syahbana Hamdy Salad Hamsad Rangkuti Han Gagas Hang Kafrawi Hani Pudjiarti Hanna Fransisca Hardi Hamzah Hardjono WS Haris del Hakim Haris Priyatna Harris Maulana Hary B. Kori'un Hasan Al Banna Hasan Junus Hasbullah Said Hasnan Bachtiar HE. Benyamine Heidi Arbuckle Helmi Y Haska Helvy Tiana Rosa Hendra Junaedi Hendri Nova Herdoni Syafriansyah Heri Kurniawan Heri Latief Heri Ruslan Herman RN Hermawan Aksan Hermien Y. Kleden Herry Lamongan Holy Adib Humaidiy AS Husni Anshori I Nyoman Darma Putra I Nyoman Tingkat I Wayan Artika Ibnu Wahyudi Ida Farida Ignas Kleden Ilham Khoiri Imam Cahyono Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Tohari Indra Tranggono Indrian Koto Irwan Kelana Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Isma Swastiningrum Ismi Wahid Iwan Gardono Sujatmiko Iwan Gunadi Iwan Kurniawan Iwan Nurdaya Djafar Iwank J.S. Badudu Janoary M Wibowo Javed Paul Syatha JILFest 2008 JJ. Kusni Jodhi Yudono Joko Novianto Bp Joko Pinurbo Jones Gultom Jual Buku Paket Hemat Jusuf AN Kadek Suartaya Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Kedung Darma Romansha Kenedi Nurhan Khaerudin Kurniawan Khaerul Anwar Ki Sugito Ha Es Kirana Kejora Komunitas Deo Gratias Korrie Layun Rampan Kritik Sastra Kunthi Hastorini Kuntowijoyo Kurie Suditomo Kurnia Effendi Kurniawan Kuswinarto La Ode Rabbani Lathifa Akmaliyah Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember Leon Agusta Lily Siti Multatuliana Lily Yulianti Farid Lina Kelana Liza Wahyuninto Lona Olavia Lugiena Dé M Fadjroel Rachman M Farid W Makkulau M Syakir M. Dawam Rahardjo M. Faizi M. Mustafied M. Raudah Jambak M. Taufan Musonip M. Yoesoef M.D. Atmaja M.Th. Krishdiana Putri Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Maklumat Sastra Profetik Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mangun Kuncoro Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria D. Andriana Maria Magdalena Bhoernomo Mariana Amiruddin Maryati Marzuzak SY Mashuri Maulana Syamsuri Media: Crayon on Paper Mega Vristian MG. Sungatno Misbahus Surur Mofik el-abrar Moh. Amir Sutaarga Moh. Ghufron Cholid Mohammad Hatta Mohammad Kh. Azad Mohammad Takdir Ilahi Much. Khoiri Muhamad Taslim Dalma Muhammad Rain Muhammad Subhan Muhammad Yasir Muhammadun A.S Muhidin M Dahlan Mujtahid Mulyawan Karim Musa Ismail Musfi Efrizal Mustafa Ismail Mustofa W Hasyim N Teguh Prasetyo N. Mursidi Nadhi Kiara Zifen Nana Riskhi Susanti Nanang Suryadi Naskah Teater Nasrulloh Habibi Neva Tuhella Nietzsche Nirwan Dewanto Nizar Qabbani Noor H. Dee Nova Christina Novelet Nunung Nurdiah Nur Wachid Nurani Soyomukti Nurel Javissyarqi Nurman Hartono Nuryana Asmaudi Nyoman Tusthi Eddy Obrolan Oky Sanjaya Oyos Saroso HN P Ari Subagyo Pagelaran Musim Tandur Pamusuk Eneste Panji Satrio PDS H.B. Jassin Penerbit dan Toko Buku PUstaka puJAngga Pipiet Senja Pramoedya Ananta Toer Pringadi AS Pringgo HR Prosa Puisi Puji Santosa Purnawan Andra PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Satria Kusuma Putu Wijaya R Masri Sareb Putra R. Adhi Kusumaputra R. Timur Budi Raja R.N. Bayu Aji Radhar Panca Dahana Ragdi F. Daye Rahmi Hattani Raja Ali Haji Raju Febrian Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Dira J Rama Prabu Ramadhan KH Ramon Magsaysay Ramses Ohee Ratih Kumala Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Ressa Novita Ressa Sagitariana Putri Ria Ristiana Dewi Rialita Fithra Asmara Ribut Wijoto Rida K Liamsi Rifka Sibarani Rilda A. Oe. Taneko Rilda A.Oe. Taneko Rimbun Natamarga Rinto Andriono Risang Anom Pujayanto Rita Zahara Riyon Fidwar Robin Al Kautsar Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Rohman Budijanto Rukardi S Yoga S. Jai S. Takdir Alisyahbana S.W. Teofani Sabrank Suparno Sahaya Santayana Sajak Sajak Sebatang Lisong Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Salman S. Yoga Salyaputra Samson Rambah Pasir Samsudin Adlawi Sanie B. Kuncoro Santy Novaria Sapardi Djoko Damono Sarabunis Mubarok Sartika Dian Nuraini Sasti Gotama Sastra Nusantara Satmoko Budi Santoso Satriani Saut Poltak Tambunan Saut Situmorang Sekolah Literasi Gratis (SLG) Selasih Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Shadiqin Sudirman Shiny.ane el’poesya Shourisha Arashi Sidik Nugroho Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sindu Putra Siska Afriani Siti Sa’adah Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Slamet Samsoerizal Sobih Adnan Sofyan RH. Zaid Solihin Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sony Wibisono Sosiawan Leak Sri Wintala Achmad Sri Wulan Rujiati Mulyadi Stevani Elisabeth Suci Ayu Latifah Sucipto Hadi Purnomo Sudarmoko Sudirman HN Suhadi Mukhan Suharsono Sukar Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sunudyantoro Supriyadi Suriani Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syahruddin El-Fikri Syaripudin Zuhri Syifa Aulia Syu’bah Asa T.A. Sakti Tammalele Tan Lioe Ie Tasyriq Hifzhillah Taufik Abdullah Taufik Effendi Aria Taufik Ikram Jamil Taufiq Wr. Hidayat TE. Priyono Teguh Winarsho AS Tenas Effendy Tengsoe Tjahjono Thayeb Loh Angen Theresia Purbandini Tia Setiadi Tias Tatanka Tito Sianipar Tjahjono EP Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tjut Zakiyah Anshari Topik Mulyana Tosa Poetra Tri Harun Syafii TS Pinang Tu-ngang Iskandar Udo Z. Karzi Uly Giznawati Umar Fauzi Ballah Umbu Landu Paranggi Umi Kulsum Uniawati Universitas Indonesia Usman Arrumy Usman D.Ganggang Utada Kamaru UU Hamidy Viddy AD Daery W.S. Rendra Wa Ode Wulan Ratna Wahib Muthalib Wahyudi Akmaliah Muhammad Wardjito Soeharso Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Sunarta Weli Meinindartato Wicaksono Widodo DS Wina Karnie Wisran Hadi Wong Wing King Yan Maniani Yanti Mulatsih Yanuar Arifin Yasser Arafat Yaumu Roikha Yetti A. KA Yohanes Padmo Adi Nugroho Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yudhi Ms Yudhistira ANM Massardi Yulianna Yurnaldi Yusi A. Pareanom Yusi Avianto Pareanom Yusri Fajar Yusrizal KW Yuyun Ifa Naliah Zaim Rofiqi Zainal Arifin Thoha Zakki Amali Zakky Zulhazmi Zawawi Se Zehan Zareez Zelfeni Wimra Zuarman Ahmad Zulfikar Akbar