Kamis, 01 Juli 2010

Jl. P. DiponegoroNo. 46

AS Sumbawi
http://www.sastra-indonesia.com/

Bagaimana jika anda mengetahui rahasia orang lain? Apa yang akan anda lakukan? Barangkali kita akan sepandangan bilamana untuk sementara mendiamkannya sembari menunggu apa yang akan terjadi. Nasehatku, kita tak boleh sembarangan mengungkapkannya. Akan menjadi sesuatu sia-sia bila kita begitu saja mengobralnya. Tidak memperdulikan waktu yang tepat. Karena bagaimanapun juga rahasia tersebut bisa menjadi sesuatu sangat berharga. Bisa menjadi sebuah senjata untuk merobohkan lawan, jika kebetulan rahasia tersebut mengungkapkan keburukan. Namun, jika kebaikan yang termuat di dalamnya, akan menjadi bumerang bagi diri kita sendiri tentunya bila diungkapkan dengan ceroboh. Suatu hal yang selalu kucamkan dalam benakku bahwa hanya orang-orang yang pandai memanfaatkan kesempatan, beruntung di dunia ini.

Ngomong-ngomong soal rahasia, sekarang ini aku mengetahui rahasia seseorang. Dia bernama HeniSaraswati. Dia tinggal di rumah nomor 46 di jalan P. Diponegoro. Setiap minggu sekali aku mengantar surat kepadanya. Dari tulisan yang tertera di bagian belakang amplop, aku tahu bahwa selama ini dia saling berkirim surat dengan seorang perempuan bernama Dewi Hartati yang tinggal diluar kota. Entah, siapa dia? Namun, dilihat dari intensitas kiriman surat tersebut, sepertinya mereka berdua sangat akrab. Bersahabat.

Pada awalnya, perjumpaanku dengan Nyonya Heni berlangsung sebentar, seperti layaknya sebagai tukang pos dengan si penerima surat. Aku segera berlalu setelah menyerahkan surat yang kemudian dibalas dengan ucapan terima kasih yang meluncur dari bibirnya memerah. Namun setelah beberapa kali berjumpa, ada sesuatu yang muncul dalam diriku tanpa kusadari menyuruh memperhati kan dirinya lebih dari biasanya. Dari apa-apa yang kutangkap, aku pun menyimpulkan bahwa Nyonya Heni berumur ant-ara 35 sampai 40 tahun. Masih terlihat cantik dan sehat. Sikap dan dandanannya menunjukkan bahwa dia perempuan yang matang. Sungguh menawan.

Setiap kali mengantar surat kepadanya, aku tak pernah melihat seorang laki-laki di rumahnya, kecuali seorang pembantu perempuan yang sudah tua. Dari situ aku pun menduga-duga status dirinya. Perawan tua? Janda? Istri? Atau perempuan yang disebut ‘mandiri’?

Suatu hari Nyonya Heni memanggil ketika aku hendak memasuki halaman rumahnya.
“Adakah surat buat saya?” katanya tersenyum.
“Memang ada, Nyonya,” balasku sembari mengambil surat dari tas.

Aku kemudian melangkah menuju beranda di mana Nyonya Heni sudah berdiri di sana. Kualihkan pandang mata-ku dari sorot matanya.

“Ini sudah saya tunggu,” katanya setelah menerima surat dari tanganku. Kami saling tersenyum. Sekali lagi kualihkan pandang mataku dari sorot matanya yang menawan itu.
“Silahkan duduk. Barangkali segelas minuman dingin akan membantu menghapus dahaga anda,” katanya.

Di beranda kami pun duduk di kursi berhadapan. Kulihat di meja sebuah majalah terbuka menunjukkan halaman cerpen berjudul ‘Impian Sasa’ dengan gambar seorang perempuan berjalan menuju kemegahan kota. Sebentar kemudian dia membuka amplop. Gerak-geriknya membikin aku terus mengawasinya. Dari halaman rumahnya yang rindang kurasakan udara berhembus segar.

“Sebentar,” katanya kemudian melangkah ke dalam.
Kuperhatikan dia sampai melewati pintu. Kemudian kualihkan perhatianku pada bangunan rumahnya yang berukuran sedang namun tertata indah. Pilihan warna keramik pada dinding rumah yang serasi dengan aneka bunga dalam pot yang segar terawat. Juga keramik pada lantainya. Sungguh orang lain akan kerasan dengan keadaan rumahnya.

Seorang pembantu perempuan datang dengan segelas minuman dingin berwarna merah dan setoples makanan ringan. “Silahkan,” katanya kemudian berlalu kembali. Segera kuteguk minuman itu.

Sudah lima belas menit aku menunggu, namun Nyonya Heni tak keluar-keluar juga. Dalam gelisah aku sesekali berdiri melihat ke arah dalam rumahnya. Sementara di dalam tas masih ada puluhan surat harus kusampaikan pada alamatnya masing-masing.

Tiba-tiba aku melihat pembantu itu berjalan dari samping rumah. Tangannya membawa tas dari plastik.

“Mbok…,” panggilku.
“Mbok mau ke mana?”
“Mau pergi ke pasar. Ada apa, Tuan?”
“Nyonya kok tidak keluar-keluar, Mbok. Ke mana, ya?”
“Nggak tahu, Tuan. Barangkali ada di kamarnya.”
Sejenak dengan gelisah kuarahkan mataku ke bagian dalam rumah.

“Kalau begitu saya pamit dulu, Mbok. Bilang pada Nyonya bahwa saya harus segera mengantar surat.”
“Baiklah, Tuan,” katanya. Aku bergegas pergi. **

Hari besoknya aku mengantar surat yang beralamat di jalan P. Diponegoro No. 50. Ketika lewat di depan rumah Nyonya Heni kuarahkan pandang mataku mencarinya. Tetapi, dia tak nampak duduk membaca di beranda. Pintu rumahnya pun tertutup. Maka aku pun terus saja. Sebenarnya kalau dia ada, aku ingin mampir dan mengucapkan terima kasih atas segelas minuman dingin yang diberikannya.**

Sudah tiga minggu ini tak ada surat yang harus kuantar untuk Nyonya Heni. Padahal biasanya setiap minggu pasti ada sebuah surat untuknya dari Dewi Hartati. Meskipun begitu, setiap hari aku selalu lewat di depan rumahnya. Aku ingin bertemu dengannya. Pertemuan terakhir dengannya membuat diriku merasa tak enak. Di samping itu, aku merasa kangen juga tak melihat dirinya. Namun seperti hari-hari sebelumnya, hari itu pun pintu rumahnya dalam keadaan tertutup. Dan tentu saja aku kecewa.

Hampir tiap malam aku selalu terbayang akan dirinya. Membuatku gelisah. Pernah suatu kali aku mencoba mengetuk pintu rumahnya, namun yng kudapatkan hanya desau angin yang berhembus dari halaman rumahnya. Apa yang tengah terjadi dengan dirinya? Apakah dia sedang pergi jauh? pikirku sendiri. **

Siang itu aku lewat di jalan P. Diponegoro. Di tas, ada sebuah surat yang harus kuantarkan ke alamat jalan ini. Bukan untuk Nyonya Heni, melainkan untuk seseorang yang tinggal di rumah dengan nomor 99. Ketika mendekati ru-mah Nyonya Heni, kuarahkan mataku ke rumah itu. Tentu saja aku tersontak gembira saat menemukan Nyonya Heni duduk di beranda sembari membaca. Tanpa kusadari dada-ku berdebar-debar. Mendadak aku menjadi ragu untuk bertamu. Kemudian saat lewat di gerbang halaman rumahnya, aku memutuskan terus berlalu dengan purapura tidak tahu. Tiba-tiba kudengar panggilan.

“Pak Abdul.” Aku menoleh. Kulihat Nyonya Heni tersenyum menatapku.Segera kubelokkan sepeda motor dinasku menghampirinya.

“Pak Abdul, adakah surat buat saya?” katanya sembari tersenyum. Meskipun aku tahu takada surat untuknya di dalam tasku, aku tetap pura-pura mencarinya.

“Sudah lama sahabat saya tidak mengirim surat buat saya?” katanya dengan tersenyum. Kurasakan gerak-gerikku kikuk sekali. Dadaku pun berdebar kencang. Nyonya Heni begitu menawan.

“Maaf Nyonya. Tidak ada,” kataku. Kulihat di wajahnya melintas kecewa.
“Baiklah kalau begitu. Tapi, barangkali istirahat sebentar sembari menikmati segelas minuman dingin akan membantu menghapus rasa haus dan lelah di siang yang gerah ini,” katanya.

“Ehm, terima kasih. O, ya, saya minta maaf, kemarin lalu pulang tanpa pamit kepada Nyonya.”

“Ah, tidak. Sebenarnya saya yang harus minta maaf. Membuat anda terlalu lama menunggu,” katanya tersenyum. Sejenak kami terdiam.

“O, silahkan duduk,” katanya. Sebentar kemudian kami sudah duduk berhadapan.
“Bagaimana kabar hari ini, Pak Abdul,” katanya.
“Baik-baik saja. Nyonya?”
“Beginilah.”

Sejenak kami terdiam. Ketika mata kami saling berpandangan, aku segera menundukkannya. Aku tak sanggup menatapnya. Matanya kurasakan seakan menerobos dadaku. Hatiku berdebar-debar.

“Anak dan istri?” katanya.
“Tak ada, Nyonya. Istri saya meninggal tanpa memberikan seorang anak kepada saya.”

“O, maaf.”
“Tak apa, Nyonya.” Kami terdiam.
“Nyonya sendiri?”
“Ehm, kurang lebih sama seperti anda. Kami bercerai,” katanya. Kami kembali terdiam. Sebentar kemudian, Si Mbok keluar dengan membawa suguhan.

Sembari menikmati suguhan, kami mengadakan percakapan ringan. Tidak kusangka Nyonya Heni hampir meng-etahui semua yang menjadi bahan percakapan. Mulai masalah pilkada sampai masalah laga final Liga Champion antara AC Milan & Liverpool yang akan digelar seminggu lagi.

Setelah kurasakan waktu telah cukup dan segelas minumanku telah habis, aku pamit melanjutkan perjalanan. **

Keesokan harinya, aku sengaja lewat di jalan P. Diponegoro, meskipun tak ada surat yang harus kuantarkan ke sana. Kulihat Nyonya Heni duduk di beranda seperti kemarin. Ketika lewat di depan rumahnya, aku pura-pura tak melihatnya. Dan tentu saja aku gembira ketika dia memanggilku kembali. Aku segera menghampiri nya.

Seperti kemarin, ia kembali menanyakan apakah ada surat untuk dirinya. Namun karena memang tak ada, aku pun menjawab apa adanya. Kemudian ia menawariku untuk duduk-duduk sebentar. Aku menolaknya.

“Terima kasih, Nyonya. Mungkin lain kali. Hari ini banyak sekali surat yang harus diantarkan,” kataku beralasan.

“Baiklah kalau begitu.”
“Mari,” kataku kemudian melangkah pergi.
“Pak Abdul,” panggilnya tiba-tiba. “Saya bisa titip sesu-atu?”—“Apa itu, Nyonya?” —-“Surat. Untuk di-pos-kan,”
katanya. Aku pun mengiyakannya. **

Sore hari tiba di rumah, aku segera membaca surat Nyonya Heni yang akan dikirimkan kepada Dewi Hartati itu. Memang ini bukan pertama kali aku membaca surat orang. Beberapa minggu yang lalu, aku membaca surat Dewi Hartati sebelum kuantarkan kepada Nyonya Heni yang isinya mengungkapkan bahwa Dewi Hartati menyarankan Nyonya Heni untuk menikah lagi. Kalau kesulitan mendapat calon, aku punya kenalan yang kukira pantas untukmu, begitu tulis Dewi Hartati.

Sebenarnya aku sependapat dengan Dewi Hartati mengenai Nyonya Heni. Di samping itu, menurutku umur perempuan seumuran Nyonya Heni adalah masanya bagi perempuan terlihat sangat cantik-cantiknya. Kecantikan yang matang. Berbeda pesonanya dengan seumuran gadis-gadis yang baru mekar. Dan Nyonya Heni adalah salah satu buktinya. Aku kerap membayangkn bagaimana jika bersanding dengannya dipelaminan. Dan seterusnya. Selain itu, apakah kita akan terus sendirian sampai ajal menjemput? Tanpa se-orang istri atau suami? Jujur aku tak menginginkan itu terjadi. Seperti yang kini sedang kualami. Andaikata Nyonya Heni mau menikah denganku, saling menemani hingga maut memisahkan kami, kemungkinan besar aku bahagia. **

Aku tersentak ketika membaca alinea ketiga isi surat Nyonya Heni itu. Seakan bermimpi kuulang-ulang memba-canya. Baris itu adalah:

Ti, beberapa minggu ini aku merasa telah menemukan seseorang yang akan menjadi teman hidupku. Dia adalah orang yang selalu mengantarkan surat-suratmu. Kuharap kau jangan tertawa jika kukatakan bahwa dia adalah seorang tukang pos. Tapi, bukankah tukang pos merupakan pekerjaan yang mulia? Aku teringat pada film ‘The Post-man’ yang dibintangi Kevin Costner. Kita pernah menontonnya bersama, bukan? Film itu menceritakan bagaimana seorang tukang pos sangat dicintai oleh semua orang. Ya, memang itu hanya sebuah film. Dan lucunya, sehabis non-ton film itu, kau mengatakan padaku bahwa kau ingin menikah dengan seorang tukang pos. Dan tukang pos itu tak lain adalah Kevin Costner sendiri. Bagaimana mungkin? Bukankah dia adalah seorang bintang film. Tapi, itulah yng membuat kita tertawa sepanjang malam. **

Sudah seminggu aku tak pergi ke rumah Nyonya Heni. Selama itu pula surat Nyonya Heni yang dititipkan kepadaku berada di tanganku. Aku sengaja tak mem-pos-kannya. Aku mempunyai sebuah rencana untuk menulis surat kepadanya dengan nama Dewi Hartati. Tentu saja demi kepentinganku juga. Aku sangat yakin tukang pos yang dimak-sud Nyonya Heni ialah aku sendiri. Kubayangkan tak lama lagi kami bersanding di pelaminan. O,sungguh senangnya.

Untunglah, aku ingat bahwa tulisan tangan Dewi Hartati dan Nyonya Heni hampir mirip sehingga aku bisa mencontohnya dari surat Nyonya Heni yang ada padaku itu. Kini, surat balasan itu telah selesai dan siap dikirimkan. Le-ngkap dengan perangko yang telah dicap tentunya. **

Setelah memberikan surat balasan itu kepadanya, kami duduk berhadap-hadapan. Saat kami saling berpandangan, aku sudah tak menghindar seperti dulu. Malah dia sendiri yang terlihat serba salah. Barangkali karena mataku yang sengaja kupasang jalang. Ya, isi suratnya itulah yang menyuruhku seperti ini. Andaikata aku tak membacanya, barangkali aku tak akan pernah tahu bahwa diam-diam kami Saling mencintai.

“Sebentar, ya,” katanya melangkah ke dalam. Aku tersenyum menganggap diriku sendiri layaknya Arjuna. Sebentar dia telah kembali dengan setumpuk surat yang kemudian diletakkannya di atas meja. Dia diam sejenak. Dan yang membuatku bingung adalah dia kemudian menangis.

Setelah menenangkan dirinya, dia berkata: “Kami sangat akrab. Bahkan lebih dari itu.”
“Dan dia…, Dewi Hartati, sebenarnya sudah meninggal tiga tahun yang lalu,” lanjutnya.
“Hah…,” ucapku refleks. Sejenak kami saling berpand-angan. —–“Jadi?”

“Ya, selama ini aku sendiri yang menulis surat-surat itu,” katanya menatap ke meja. Dalam hati aku merasa ditelanjangi. Aku tak sanggup lagi menatap matanya.

Dalam diam, tiba-tiba aku teringat perkataannya sebentar lalu. Kami sangat akrab. Bahkan lebih dari itu. Apakah mereka saling mencintai? Pernah menjadi sepasang kekasih? Lesbi? Pikirku. Kucoba menatap dirinya kembali. Dalam sorot matanya, ingin kudapatkan jawabnya. ** 2005

Tidak ada komentar:

A Khoirul Anam A Qorib Hidayatullah A Rodhi Murtadho A. Yusrianto Elga A. Zakky Zulhazmi A.S. Laksana Aang Fatihul Islam Aba Mardjani Abd. Mun’im Abdul Aziz Rasjid Abdul Gaffar Ruskhan Abdul Hadi W. M. Abdul Kadir Ibrahim Abdul Malik Abdul Muis Abdul Wachid BS Abdullah Khusairi Abidah El Khalieqy Abimardha Kurniawan Abroorza A. Yusra Abu Salman Acep Iwan Saidi Achmad Farid Tuasikal Adek Alwi Adi Marsiela Adian Husaini Adib Muttaqin Asfar Adji Subela Afandi Sido Afriza Hanifa Afrizal Malna Ageng Wuri R. A. Ags. Arya Dipayana Aguk Irawan M.N. Agus B. Harianto Agus Bing Agus Noor Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sri Danardana Agus Sulton Agus Sunyoto Agus Wibowo Agus Wirawan Agusri Junaidi AH J Khuzaini Ahda Imran Ahid Hidayat Ahm Soleh Ahmad Asyhar Ahmad Farid Yahya Ahmad Fuadi Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musthofa Haroen Ahmad Rofiq Ahmad Suhendra Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Aini Aviena Violeta Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sekhu Al Azhar Riau Al-Fairish Alex R. Nainggolan Alexander G.B. Alfian Zainal Aliansyah Alimuddin Almania Rohmah Alunk Estohank Amien Kamil Amien Wangsitalaja Anata Siregar Andi Sutisno Andy Riza Hidayat Anies Baswedan Anindita S Thayf Anis Ceha Anis Faridatur Rofiah Anjrah Lelono Broto Anna Subekti Anton Kurnia Ari Hidayat Ari Kristianawati Arie MP Tamba Arief Junianto Aris Kurniawan Arti Bumi Intaran Arul Arista AS Sumbawi Asarpin Asep Sambodja Atiqurrahman Awalludin GD Mualif Ayu Purwaningsih Babe Derwan Bakdi Soemanto Balada Bale Aksara Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Bayu Dwi Mardana Bellanissa Zoditama Beni Setia Benny Arnas Beno Siang Pamungkas Berita Berita Duka Bernando J. Sujibto Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Bokor Hutasuhut Brunel University London BSW Adjikoesoemo Budaya Budhi Setyawan Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiawan Dwi Santoso Bur Rasuanto Burhanuddin Bella Bustan Basir Maras Catatan Catullus CB. Ismulyadi Cerbung Cerita Rakyat Cerpen Chavchay Syaifullah Cikie Wahab Cunong Nunuk Suraja D Zawawi Imron Dad Murniah Dadang Ari Murtono Dahlia Rasyad Damhuri Muhammad Damiri Mahmud Danarto Daniel Paranamesa Darju Prasetya Darman Djamaluddin Darman Moenir Dasman Djamaluddin David Krisna Alka Dea Anugrah Dedy Tri Riyadi Denny JA Denny Mizhar Desi Sommalia Gustina Dewi Anggraeni Dharma Setyawan Dian Hartati Didi Arsandi Dina Oktaviani Dipo Handoko Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Doddi Ahmad Fauji Doddy Hidayatullah Dodi Chandra Dodiek Adyttya Dwiwanto Dody Kristianto Donny Anggoro Dony P. Herwanto Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Klik Santosa Dwi Pranoto Dwicipta Edy A Effendi Edy Firmansyah Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Eko Darmoko Ellyzan Katan Elnisya Mahendra Emha Ainun Nadjib Endah Imawati Eni Suryanti Eny Rose Eriyandi Budiman Eriyanti Erwin Edhi Prasetya Erwin Setia Esai Evan Ys Evi Idawati F Rahardi Fadly Rahman Fahrudin Nasrulloh Faizah Sirajuddin Faizal Syahreza Fajar Alayubi Fakhrunnas M.A. Jabbar Fanny Chotimah Fariz al-Nizar Fariz Alneizar Faruk HT Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fathurrahman Karyadi Fatimah Wahyu Sundari Fauzan Santa Fazabinal Alim Festival Sastra Gresik Fikri MS Fiksi Mini Fransisca Dewi Ria Utari Franz Kafka Fuad Anshori Furqon Abdi Fuska Sani Evani Gendhotwukir Gendut Riyanto Gerson Poyk Gita Pratama Goenawan Mohamad Gola Gong Grathia Pitaloka Gregorio Lopez y’ Fuentes Gugun El-Guyanie Gunawan Budi Susanto Gus Noy H.H. Tokoro Hadi Napster Hamberan Syahbana Hamdy Salad Hamsad Rangkuti Han Gagas Hang Kafrawi Hani Pudjiarti Hanna Fransisca Hardi Hamzah Hardjono WS Haris del Hakim Haris Priyatna Harris Maulana Hary B. Kori'un Hasan Al Banna Hasan Junus Hasbullah Said Hasnan Bachtiar HE. Benyamine Heidi Arbuckle Helmi Y Haska Helvy Tiana Rosa Hendra Junaedi Hendri Nova Herdoni Syafriansyah Heri Kurniawan Heri Latief Heri Ruslan Herman RN Hermawan Aksan Hermien Y. Kleden Herry Lamongan Holy Adib Humaidiy AS Husni Anshori I Nyoman Darma Putra I Nyoman Tingkat I Wayan Artika Ibnu Wahyudi Ida Farida Ignas Kleden Ilham Khoiri Imam Cahyono Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Tohari Indra Tranggono Indrian Koto Irwan Kelana Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Isma Swastiningrum Ismi Wahid Iwan Gardono Sujatmiko Iwan Gunadi Iwan Kurniawan Iwan Nurdaya Djafar Iwank J.S. Badudu Janoary M Wibowo Javed Paul Syatha JILFest 2008 JJ. Kusni Jodhi Yudono Joko Novianto Bp Joko Pinurbo Jones Gultom Jual Buku Paket Hemat Jusuf AN Kadek Suartaya Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Kedung Darma Romansha Kenedi Nurhan Khaerudin Kurniawan Khaerul Anwar Ki Sugito Ha Es Kirana Kejora Komunitas Deo Gratias Korrie Layun Rampan Kritik Sastra Kunthi Hastorini Kuntowijoyo Kurie Suditomo Kurnia Effendi Kurniawan Kuswinarto La Ode Rabbani Lathifa Akmaliyah Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember Leon Agusta Lily Siti Multatuliana Lily Yulianti Farid Lina Kelana Liza Wahyuninto Lona Olavia Lugiena Dé M Fadjroel Rachman M Farid W Makkulau M Syakir M. Dawam Rahardjo M. Faizi M. Mustafied M. Raudah Jambak M. Taufan Musonip M. Yoesoef M.D. Atmaja M.Th. Krishdiana Putri Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Maklumat Sastra Profetik Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mangun Kuncoro Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria D. Andriana Maria Magdalena Bhoernomo Mariana Amiruddin Maryati Marzuzak SY Mashuri Maulana Syamsuri Media: Crayon on Paper Mega Vristian MG. Sungatno Misbahus Surur Mofik el-abrar Moh. Amir Sutaarga Moh. Ghufron Cholid Mohammad Hatta Mohammad Kh. Azad Mohammad Takdir Ilahi Much. Khoiri Muhamad Taslim Dalma Muhammad Rain Muhammad Subhan Muhammad Yasir Muhammadun A.S Muhidin M Dahlan Mujtahid Mulyawan Karim Musa Ismail Musfi Efrizal Mustafa Ismail Mustofa W Hasyim N Teguh Prasetyo N. Mursidi Nadhi Kiara Zifen Nana Riskhi Susanti Nanang Suryadi Naskah Teater Nasrulloh Habibi Neva Tuhella Nietzsche Nirwan Dewanto Nizar Qabbani Noor H. Dee Nova Christina Novelet Nunung Nurdiah Nur Wachid Nurani Soyomukti Nurel Javissyarqi Nurman Hartono Nuryana Asmaudi Nyoman Tusthi Eddy Obrolan Oky Sanjaya Oyos Saroso HN P Ari Subagyo Pagelaran Musim Tandur Pamusuk Eneste Panji Satrio PDS H.B. Jassin Penerbit dan Toko Buku PUstaka puJAngga Pipiet Senja Pramoedya Ananta Toer Pringadi AS Pringgo HR Prosa Puisi Puji Santosa Purnawan Andra PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Satria Kusuma Putu Wijaya R Masri Sareb Putra R. Adhi Kusumaputra R. Timur Budi Raja R.N. Bayu Aji Radhar Panca Dahana Ragdi F. Daye Rahmi Hattani Raja Ali Haji Raju Febrian Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Dira J Rama Prabu Ramadhan KH Ramon Magsaysay Ramses Ohee Ratih Kumala Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Ressa Novita Ressa Sagitariana Putri Ria Ristiana Dewi Rialita Fithra Asmara Ribut Wijoto Rida K Liamsi Rifka Sibarani Rilda A. Oe. Taneko Rilda A.Oe. Taneko Rimbun Natamarga Rinto Andriono Risang Anom Pujayanto Rita Zahara Riyon Fidwar Robin Al Kautsar Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Rohman Budijanto Rukardi S Yoga S. Jai S. Takdir Alisyahbana S.W. Teofani Sabrank Suparno Sahaya Santayana Sajak Sajak Sebatang Lisong Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Salman S. Yoga Salyaputra Samson Rambah Pasir Samsudin Adlawi Sanie B. Kuncoro Santy Novaria Sapardi Djoko Damono Sarabunis Mubarok Sartika Dian Nuraini Sasti Gotama Sastra Nusantara Satmoko Budi Santoso Satriani Saut Poltak Tambunan Saut Situmorang Sekolah Literasi Gratis (SLG) Selasih Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Shadiqin Sudirman Shiny.ane el’poesya Shourisha Arashi Sidik Nugroho Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sindu Putra Siska Afriani Siti Sa’adah Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Slamet Samsoerizal Sobih Adnan Sofyan RH. Zaid Solihin Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sony Wibisono Sosiawan Leak Sri Wintala Achmad Sri Wulan Rujiati Mulyadi Stevani Elisabeth Suci Ayu Latifah Sucipto Hadi Purnomo Sudarmoko Sudirman HN Suhadi Mukhan Suharsono Sukar Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sunudyantoro Supriyadi Suriani Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syahruddin El-Fikri Syaripudin Zuhri Syifa Aulia Syu’bah Asa T.A. Sakti Tammalele Tan Lioe Ie Tasyriq Hifzhillah Taufik Abdullah Taufik Effendi Aria Taufik Ikram Jamil Taufiq Wr. Hidayat TE. Priyono Teguh Winarsho AS Tenas Effendy Tengsoe Tjahjono Thayeb Loh Angen Theresia Purbandini Tia Setiadi Tias Tatanka Tito Sianipar Tjahjono EP Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tjut Zakiyah Anshari Topik Mulyana Tosa Poetra Tri Harun Syafii TS Pinang Tu-ngang Iskandar Udo Z. Karzi Uly Giznawati Umar Fauzi Ballah Umbu Landu Paranggi Umi Kulsum Uniawati Universitas Indonesia Usman Arrumy Usman D.Ganggang Utada Kamaru UU Hamidy Viddy AD Daery W.S. Rendra Wa Ode Wulan Ratna Wahib Muthalib Wahyudi Akmaliah Muhammad Wardjito Soeharso Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Sunarta Weli Meinindartato Wicaksono Widodo DS Wina Karnie Wisran Hadi Wong Wing King Yan Maniani Yanti Mulatsih Yanuar Arifin Yasser Arafat Yaumu Roikha Yetti A. KA Yohanes Padmo Adi Nugroho Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yudhi Ms Yudhistira ANM Massardi Yulianna Yurnaldi Yusi A. Pareanom Yusi Avianto Pareanom Yusri Fajar Yusrizal KW Yuyun Ifa Naliah Zaim Rofiqi Zainal Arifin Thoha Zakki Amali Zakky Zulhazmi Zawawi Se Zehan Zareez Zelfeni Wimra Zuarman Ahmad Zulfikar Akbar