Marhalim Zaini
http://www.riaupos.com/
(Bagian Pertama)
Bahwa Riau memiliki sejarah kesusastraan yang cukup panjang dan monumental, adalah sebuah fakta yang tak dapat dinafikan. Entah itu tersebab soal bahasa Melayu yang potensial sekaligus strategis posisinya dalam pembentukan arus komunikasi sosio-kultural maupun politik bangsa ini, ataukah memang karena kekuatan tradisi lisan sebagai sumber alami yang merangkai serta mengungkai narasi-narasi dalam berbagai hikayat dan syair, yang lahir dan tumbuh bersamaan dengan lahir dan tumbuhnya kebudayaan Melayu itu sendiri, ataukah sebab-sebab yang lain. Yang pasti, berbagai nama dari berbagai tingkatan generasi sejak abad ke 16 dan 17, terus saja lahir. Sebut saja nama-nama macam Raja Haji Ahmad, Raja Ali Haji, Raja Zaleha, Raja Haji Hasan, dan sejumlah nama lain, yang banyak menulis syair dalam lingkungan kerajaan. Ada pula sebuah “komunitas” yang bergerak dalam koridor “perlawanan” kebudayaan bernama Rusydiah Klub di penghujung abad ke-19 dan awal abad ke-20 yang melahirkan Raja Ali Kelana, Hitam Khalid, dkk. Hasan Junus, saya kira benar, bahwa para penulis tersebut, dari generasi ke generasi, seolah-olah hendak menegaskan bahwa “segala sesuatu bertolak dari bahasa, semua tercermin dalam bahasa; kesetiaan dan pembangkangan, begitu juga rindu dan benci terungkap di dalamnya. Pada bahasalah martabat dipertahankan sekuat dapat” (2002).
Sampailah pula pada masa-masa berikutnya. Masa-masa di mana apa yang populer disebut sebagai “sastra modern” mulai tumbuh dan berkembang. Penulis/pegarang Riau terus membuka peta-peta baru dalam wilayah kesusastraan (di) Nusantara dengan segala dinamikanya. Soeman Hs (1904), tonggak yang ditancapkan demikian jelas dan tegas, genre cerita pendek (bahkan mini), dengan gaya detektif, humor, dan kental lokalitas ke-Melayuannya. Meski, seturut dengan catatan UU Hamidy (1994), ada masa tenggang di mana dari tahun 1940-an sampai 1960-an (sekitar 30 tahun) Riau tidak mencatat munculnya para penulis (khususnya penyair), walau kegiatan sastra tak serta merta menjadi tiada. Tahun 1970-an, sederet nama pun kemudian menandaskan kiprahnya yang lebih luas. Sosok Sutardji Calzoum Bachri (SCB—meski telah bergerak aktif menulis sejak masih mahasiswa Universitas Padjadjaran Bandung di tahun 1960-an, dengan menjadi redaktur Indonesia Ekspress dan Duta Masyarakat) mencuat terutama ketika kredo kepenyairannya (1973) yang menghadirkan “pembongkaran” dan inkonvensionalisasi di bidang puisi (dapat ditengok dalam buku kumpulan sajak O Amuk Kapak). Sosok lain adalah Hasan Junus (HJ), yang juga di tahun 1960 kuliah di universitas yang sama dengan Sutardji, yang giat menggali dan memperdalam berbagai bahasa Eropa. Sehingga karya-karya Hasan Junus, seperti bergerak eksploratif dalam “wilayah sunyi” kebudayaan Melayu dan keluar dengan semangat “kontemporer” yang “liar”. Bacaannya yang luas terhadap karya-karya asing, membuat esai-esainya dapat membuka bilik-bilik baru bagi pemahaman kita terhadap universalitas sekaligus kompleksitas dunia sastra. Dua sosok ini (SCB dan HJ) hemat saya, telah menegakkan tonggak-tonggak generasi sastra Riau yang kokoh.
Nama-nama lain, dengan kecenderungan dan kekuatan yang berbeda, ada Ibrahim Sattah, Idrus Tintin, Ediruslan Pe Amanriza, BM Syam, Iskandar Leo (Rida K Liamsi), Rustam S Abrus, Sudarno Mahyudin, Syamsul Bahri Judin, Tien Marni dan Taufik Efefndi Aria (sekedar menyebut sejumlah nama). Generasi berikutnya muncul Dasry Al Mubary, Al Azhar, Taufik Ikram Jamil, Fakhrunnas MA Jabbar, Husnu Abadi, A Aris Abeba, Mostamir Thalib, Eddy Akhmad RM, Sutrianto, Kazzaini Ks, Abel Tasman, Syaukani Al Karim, Gde Agung Lontar, Nyoto, dan sejumlah nama lain.
Dalam perjalanan kerja kreatifnya, para penulis tersebut di atas, sebagaimana juga dalam dinamika kreativitas berkesenian di mana pun, tentu mengalami pasang surut. Ada sejumlah nama yang masih tetap mencoba untuk bertahan dengan terus melahirkan karya-karya kreatif, dan ada juga sebagian besar yang perlahan-lahan menjauh dari gerak konstelasi sastra di Riau. Ada banyak sebab tentunya, bagi yang memilih untuk “menjauh” selain faktor “seleksi alam.” Dan bagi penulis yang tetap bertahan, pasti juga punya berbagai motivasi, juga berbagai alasan. Kalau kita tarik dari generasi 1970-an, nama SCB dan HJ, masih terus bergaung. SCB dengan karya-karyanya (yang meski tak cukup banyak) tapi monumental. Buku kumpulan esainya yang ditulis sejak tahun 1980-an berjudul Isyarat, terbit di tahun 2007. Buku ini, bagi saya, adalah semacam penegasan tentang ‘pergolakan’ dimanika pemikiran sastra SCB dari dulu sampai kini, serta membuktikan bahwa dia memang sangat tunak di dunianya, bahkan dalam pilihan-pilihan hidupnya sekalipun. Tak ada ambisi dalam hidupnya untuk memilih yang lain, selain menjadi penulis, menjadi sastrawan. Demikian pula HJ, selain karya kreatif, sampai hari ini pun dapat terus kita baca pemikiran-pemikirannya baik dalam kolom “Rampai” setiap Ahad di Harian Riau Pos, maupun dalam kerja pengabdiannya mengelola Majalah Budaya Sagang. Sebuah pengabdian yang panjang, yang tak gampang untuk dapat bertahan, jika kita bandingkan dengan generasi-generasi setelahnya.
Generasi berikutnya yang masih dapat kita nikmati karya-karyanya dan turut menyempal dalam gairah penciptaan generasi terkini, adalah Rida K Liamsi, selain Sudarno Mahyudin. Rida, setelah buku kumpulan puisi Tempuling-nya terbit di tahun 2005, semangatnya untuk terus melahirkan karya dibuktikan dengan kembali menerbitkan sebuh novel berjudul Bulang Cahaya (2007). Menjadi pengusaha, agaknya cukup memberi pengaruh terhadap produktivitas Rida dalam berkarya, meski kemudian dapat tergantikan dengan perhatian besarnya terhadap kehidupan dan perkembangan kebudayaan (terutama sastra) di Riau. Sementara Sudarno Mahyudin, tampak cukup kuat bertahan dengan menghasilkan sejumlah karya berupa skenario film dan novel. Cinta dalam Sekam adalah roman sejarahnya yang terbit tahun 2005. Selain itu, ada nama Husnu Abadi yang sempat menerbitkan buku di tahun 2000-an, di antaranya adalah Lautan Zikir (kumpulan puisi). Di antara itu pula, sesungguhnya Riau punya satu nama yang buku cerpennya terakhir diterbitkan oleh Yayasan Sagang berjudul Sebuah Perjalanan, yakni Syamsul Bahri Judin.
Ditarik lebih dekat, ada Taufik Ikram Jamil dengan karyanya terakhir adalah Hikayat Batu-batu (kumpulan cerpen). Belakangan karya-karyanya sulit ditemukan. Saya kira, publik sastra, rasa-rasanya masih terus merindukan karya-karya Taufik, yang cukup menonjol dalam konstelasi sastra Indonesia. Namanya kerap dicatat dalam berbagai pembahasan tentang karya-karya sastra yang bernafaskan lokalitas. Selain karya-karyanya memang banyak meraih penghargaan, juga karena di masa awal kepenulisannya, Taufik sangat aktif menyerang media massa. Selain Taufik, yang masih tampak mengayuh dan berupaya membongkar semangat lama adalah Fakhrunnas MA Jabbar. Kumpulan cerpennya Sebatang Ceri di Serambi, sempat masuk nominasi Khatulistiwa Literary Award 2007. Karya sebelumnya ada kumpulan sajak Airmata Barzanji (2005) dan Jazirah Layeela (kumpulan cerpen). Artinya, Fakhrunnas masih terus menulis, meski dengan kadar produktivitas yang menurun, dengan sekali dua dimuat di sejumlah media nasional, macam Kompas, Media Indonesia, dan Jawa Pos. Hemat saya, kedua sosok ini, Taufik Ikram Jamil dan Fakhrunnas MA Jabbar, adalah wakil dari generasi mereka yang gaung namanya masih cukup “mengganggu” signal gerak penciptaan sastra generasi terkini. Pergaulan sastra mereka cukup luas, terutama (sekali lagi) karena mereka dulu memang tekun menyerang media massa, yang kemudian membuat nama mereka dapat tempat dalam konstelasi sastra Indonesia. Soal kualitas, agaknya kita serahkan saja pada yang “berwajib”, alias kritikus sastra.
Sementara itu, saya kira, sastra Riau juga cukup banyak berterima kasih kepada Abel Tasman, misalnya, karya-karyanya yang unik (seperti dalam Republik Jangkrik), juga (pernah) cukup dapat tempat dalam dunia sastra di Riau maupun di Indonesia. Cerpen-cerpennya kerap menghiasi rubrik budaya Kompas beberapa waktu lampau. Khusus dalam genre cerita anak, hemat saya, Abel Tasman telah menancapkan prestasinya dengan baik di tingkat nasional. Selain Abel, ada Gde Agung Lontar, yang sampai kini karya-karyanya sesekali nampak masih terus mengisi ruang budaya di Riau Pos. Ada pula sebuah nama penulis perempuan kita, Herlela Ningsih, yang di awal tahun 2000-an cukup bersemangat untuk menerbitkan sejumlah buku antologi bersama, berjudul Musim Berganti, Musim Bermula, Kemilau Musim, dan Pesona Gemilang Musim. Hemat saya, penting bagi kita untuk mencatat perjuangan Herlela ini. Penting karena, selain buku-buku ini akan jadi salah satu referensi dunia sastra kita, juga penting untuk menengok perkembangan para penulis perempuan kita (meski belum cukup representatif), terutama di Riau yang sangat sedikit jumlahnya. Sayangnya, kenapa karya-karya Herlela kini sulit ditemukan, juga karya-karya sebagian besar penulis perempuan yang terangkum dalam antologi tersebut. Entahlah.
Saya kira, publik sastra Riau juga agaknya merindukan kiprah para sastrawan angkatan 1980-an, yang kini stagnan, dan pernah melahirkan karya-karya terbaiknya di masa lalu, seperti A Aris Abeba dalam Ombak Karimun, Syaukani Al Karim dalam Hikayat Perjalanan Lumpur, atau kembali mengayuh karya antologi bersama dalam Blak Blak Duka (1983), Rerama (1987), Jalan Bersama (1992), Menggantang Warta Nasib (1992), Teh Hangat Sumirah (1992), dll.
Generasi Sastra Riau Mutakhir
Menderetkan kembali nama-nama di atas, bagi generasi sastra Riau terkini, termasuk saya sendiri (terutama angkatan 1990-2000-an), adalah untuk membaca dengan cermat, membuat catatan-catatan, membolak balik hasil karya kerja kreatif para sastrawan generasi terdahulu, terutama dalam konteks mempelajari fenomena pasang surut dinamikanya. Dengan begitu, akan dapat dengan sedikit mudah untuk mengira-ngira di mana posisi generasi sastra Riau terkini, terutama dalam hal capaian-capaian prestasi karya, baik dalam pergaulan sastra maupun soal capaian estetika.
Dalam pengamatan dan catatan saya, generasi sastra Riau kini masih terus bergairah. Meski tentu saja akan berbeda kadarnya serta paradigmanya dengan gairah yang terjadi pada generasi angkatan sebelumnya. Gairah itu dapat ditengok dari bagaimana karya sastra terus saja diciptakan dan terus saja bermunculan, terutama di media massa, dan juga dalam bentuk penerbitan buku-buku sastra. Fokus saya dalam tulisan ini adalah melihat perkembangan produktivitas para penulis Riau terkini, lewat karya-karya yang muncul tersebut. Selain juga hendak memaparkan sejumlah analisa tentang problematika yang dihadapi, dan dinamika konstelasinya secara umum.
Kita harus memulai menyebut beberapa nama penulis Riau yang karya-karyanya hadir lebih awal, meski tak dapat pula diketahui secara pasti kapan mereka mulai memublikasikan karya-karyanya. Ada nama Hang Kafrawi, Murparsaulian, Griven H Putra, Hary B Kori’un, Olyrinson, Musa Ismail, Saidul Tombang, dan Fitrimayani (untuk menyebut sejumlah nama). Nama saya sendiri, sesungguhnya masuk dalam deretan nama tersebut. Namun untuk lebih menjaga obyektivitas, dan agar tak bias pembacaan saya, dan tak terkesan narsis, maka saya memilih untuk tidak menyebutnya dan memasukkannya dalam tulisan ini. Sejumlah nama di atas, hemat saya, sampai kini masih dapat kita baca pergerakan gairah kreatif menulisnya, meski tentu dengan kadar potensi yang berbeda-beda dan jangkauan keterbacaan yang berbeda-beda pula. Rata-rata mereka juga memilih media massa cetak (koran dan majalah) sebagai media publikasi karya-karyanya.
Hang Kafrawi, karya-karyanya berupa puisi, cerpen, dan naskah drama dapat kita apresiasi dalam sejumlah buku, baik tunggal maupun antologi bersama. Di antaranya ada Orang-orang Kalah (2002), dan terakhir buku kumpulan sajak Membaca Riau (2003). Kegelisahan besar yang dimiliki oleh Kafrawi untuk terus menulis (sebagaimana yang kerap ia ceritakan pada saya), sesungguhnya dapat membawanya ke dalam pergaulan sastra yang lebih luas, terutama jika dilihat dari proses kreatif menulisnya yang telah cukup lama, dengan sejumlah fase perkembangan yang telah dilampauinya. Sehingga bisa sangat mungkin karya-karyanya juga dapat tersebar ke berbagai media. Teriakan-teriakan kepediahan, pun hentakan-hentakan kemarahan yang berkejaran dalam narasi-narasi tentang Riau, yang dibangun Kafrawi dalam sajak-sajaknya, adalah kekuatan sekaligus kelemahan yang kerap tak bisa ia bendung pelepasan emosionalnya. Tapi bahwa ia pernah menyusun sebuah buku kecil yang berisi cerita-cerita khayal Yong Dolah, dengan semangat dekonstruksi, dan Melayu yang panjang akal, adalah sebuah “jalan lempang” menuju eksistensi. Tinggal bagaimana kemudian menetapkan dan memantapkan diri.
Pada Murparsaulian, saya justru melihat ada semangat yang terpendam, yang tak padam. Mur masih menulis puisi dan cerpen, juga mencoba merangkai novel (sebagaimana juga yang pernah ia perlihatkan pada saya), di tengah kesibukannya bekerja di dunia jurnalisme televisi (kalau ini bisa dijadikan sebuah alasan). Bahwa buku tunggalnya belum juga lahir, saya kira itu soal kesempatan saja. Akan tetapi, bahwa karya-karyanya (yang tersimpan di laptop) itu harus tersebar dan dibaca penikmat sastra, itu menjadi penting. Ketika cerpennya sempat dimuat di Majalah Sastra Horison beberapa waktu lalu, saya menaruh harapan besar bahwa ia akan bangkit untuk terus menyerang media dengan karya-karya terbarunya. Namun, agaknya Riau menawarkan godaan-godaan yang lain, dengan berbagai pilihan yang menyibukkan. Selain Murparsaulian, nama Griven H Putra sesungguhnya telah lebih dulu hadir dengan cerpen-cerpennya. Terutama ketika dulu cerpennya sempat dimuat di media Jakarta. Selain terangkum dalam sejumlah antologi bersama, cerpen-cerpen Griven dapat dibaca dalam buku tunggalnya berjudul Tenggelam (Telindo, 2005). Agaknya, di buku ini dapatlah kita telusuri perjalanan kreatifnya dalam penciptaan dunia cerpen sejak awal. Kekuatan bertuturnya, dengan mengusung tema-tema lokal (Melayu), membuat cerpen-cerpen Griven berkarakter. Bahwa kini, cukup sulit menemukan cerpen-cerpen terbaru Griven dalam berbagai media publikasi sastra (selain sebuah cerpen dalam antologi bersama Loktong), adalah satu soal yang patut dipertanyakan. Tapi, bahwa Griven masih terus menyimpan risau untuk tetap terus berkarya (sebagaimana juga yang pernah ia katakan langsung pada saya), adalah satu soal yang patut kita sokong. (Bersambung)
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Khoirul Anam
A Qorib Hidayatullah
A Rodhi Murtadho
A. Yusrianto Elga
A. Zakky Zulhazmi
A.S. Laksana
Aang Fatihul Islam
Aba Mardjani
Abd. Mun’im
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Gaffar Ruskhan
Abdul Hadi W. M.
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Malik
Abdul Muis
Abdul Wachid BS
Abdullah Khusairi
Abidah El Khalieqy
Abimardha Kurniawan
Abroorza A. Yusra
Abu Salman
Acep Iwan Saidi
Achmad Farid Tuasikal
Adek Alwi
Adi Marsiela
Adian Husaini
Adib Muttaqin Asfar
Adji Subela
Afandi Sido
Afriza Hanifa
Afrizal Malna
Ageng Wuri R. A.
Ags. Arya Dipayana
Aguk Irawan M.N.
Agus B. Harianto
Agus Bing
Agus Noor
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Sri Danardana
Agus Sulton
Agus Sunyoto
Agus Wibowo
Agus Wirawan
Agusri Junaidi
AH J Khuzaini
Ahda Imran
Ahid Hidayat
Ahm Soleh
Ahmad Asyhar
Ahmad Farid Yahya
Ahmad Fuadi
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Musthofa Haroen
Ahmad Rofiq
Ahmad Suhendra
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Aini Aviena Violeta
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Muhaimin Azzet
Akhmad Sekhu
Al Azhar Riau
Al-Fairish
Alex R. Nainggolan
Alexander G.B.
Alfian Zainal
Aliansyah
Alimuddin
Almania Rohmah
Alunk Estohank
Amien Kamil
Amien Wangsitalaja
Anata Siregar
Andi Sutisno
Andy Riza Hidayat
Anies Baswedan
Anindita S Thayf
Anis Ceha
Anis Faridatur Rofiah
Anjrah Lelono Broto
Anna Subekti
Anton Kurnia
Ari Hidayat
Ari Kristianawati
Arie MP Tamba
Arief Junianto
Aris Kurniawan
Arti Bumi Intaran
Arul Arista
AS Sumbawi
Asarpin
Asep Sambodja
Atiqurrahman
Awalludin GD Mualif
Ayu Purwaningsih
Babe Derwan
Bakdi Soemanto
Balada
Bale Aksara
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Bayu Dwi Mardana
Bellanissa Zoditama
Beni Setia
Benny Arnas
Beno Siang Pamungkas
Berita
Berita Duka
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Bokor Hutasuhut
Brunel University London
BSW Adjikoesoemo
Budaya
Budhi Setyawan
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budiawan Dwi Santoso
Bur Rasuanto
Burhanuddin Bella
Bustan Basir Maras
Catatan
Catullus
CB. Ismulyadi
Cerbung
Cerita Rakyat
Cerpen
Chavchay Syaifullah
Cikie Wahab
Cunong Nunuk Suraja
D Zawawi Imron
Dad Murniah
Dadang Ari Murtono
Dahlia Rasyad
Damhuri Muhammad
Damiri Mahmud
Danarto
Daniel Paranamesa
Darju Prasetya
Darman Djamaluddin
Darman Moenir
Dasman Djamaluddin
David Krisna Alka
Dea Anugrah
Dedy Tri Riyadi
Denny JA
Denny Mizhar
Desi Sommalia Gustina
Dewi Anggraeni
Dharma Setyawan
Dian Hartati
Didi Arsandi
Dina Oktaviani
Dipo Handoko
Djenar Maesa Ayu
Djoko Pitono
Doddi Ahmad Fauji
Doddy Hidayatullah
Dodi Chandra
Dodiek Adyttya Dwiwanto
Dody Kristianto
Donny Anggoro
Dony P. Herwanto
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Klik Santosa
Dwi Pranoto
Dwicipta
Edy A Effendi
Edy Firmansyah
Eka Budianta
Eka Fendri Putra
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Ellyzan Katan
Elnisya Mahendra
Emha Ainun Nadjib
Endah Imawati
Eni Suryanti
Eny Rose
Eriyandi Budiman
Eriyanti
Erwin Edhi Prasetya
Erwin Setia
Esai
Evan Ys
Evi Idawati
F Rahardi
Fadly Rahman
Fahrudin Nasrulloh
Faizah Sirajuddin
Faizal Syahreza
Fajar Alayubi
Fakhrunnas M.A. Jabbar
Fanny Chotimah
Fariz al-Nizar
Fariz Alneizar
Faruk HT
Fatah Anshori
Fatah Yasin Noor
Fathurrahman Karyadi
Fatimah Wahyu Sundari
Fauzan Santa
Fazabinal Alim
Festival Sastra Gresik
Fikri MS
Fiksi Mini
Fransisca Dewi Ria Utari
Franz Kafka
Fuad Anshori
Furqon Abdi
Fuska Sani Evani
Gendhotwukir
Gendut Riyanto
Gerson Poyk
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Gola Gong
Grathia Pitaloka
Gregorio Lopez y’ Fuentes
Gugun El-Guyanie
Gunawan Budi Susanto
Gus Noy
H.H. Tokoro
Hadi Napster
Hamberan Syahbana
Hamdy Salad
Hamsad Rangkuti
Han Gagas
Hang Kafrawi
Hani Pudjiarti
Hanna Fransisca
Hardi Hamzah
Hardjono WS
Haris del Hakim
Haris Priyatna
Harris Maulana
Hary B. Kori'un
Hasan Al Banna
Hasan Junus
Hasbullah Said
Hasnan Bachtiar
HE. Benyamine
Heidi Arbuckle
Helmi Y Haska
Helvy Tiana Rosa
Hendra Junaedi
Hendri Nova
Herdoni Syafriansyah
Heri Kurniawan
Heri Latief
Heri Ruslan
Herman RN
Hermawan Aksan
Hermien Y. Kleden
Herry Lamongan
Holy Adib
Humaidiy AS
Husni Anshori
I Nyoman Darma Putra
I Nyoman Tingkat
I Wayan Artika
Ibnu Wahyudi
Ida Farida
Ignas Kleden
Ilham Khoiri
Imam Cahyono
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Tohari
Indra Tranggono
Indrian Koto
Irwan Kelana
Isbedy Stiawan Z.S.
Iskandar Noe
Isma Swastiningrum
Ismi Wahid
Iwan Gardono Sujatmiko
Iwan Gunadi
Iwan Kurniawan
Iwan Nurdaya Djafar
Iwank
J.S. Badudu
Janoary M Wibowo
Javed Paul Syatha
JILFest 2008
JJ. Kusni
Jodhi Yudono
Joko Novianto Bp
Joko Pinurbo
Jones Gultom
Jual Buku Paket Hemat
Jusuf AN
Kadek Suartaya
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kasnadi
Kedung Darma Romansha
Kenedi Nurhan
Khaerudin Kurniawan
Khaerul Anwar
Ki Sugito Ha Es
Kirana Kejora
Komunitas Deo Gratias
Korrie Layun Rampan
Kritik Sastra
Kunthi Hastorini
Kuntowijoyo
Kurie Suditomo
Kurnia Effendi
Kurniawan
Kuswinarto
La Ode Rabbani
Lathifa Akmaliyah
Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember
Leon Agusta
Lily Siti Multatuliana
Lily Yulianti Farid
Lina Kelana
Liza Wahyuninto
Lona Olavia
Lugiena Dé
M Fadjroel Rachman
M Farid W Makkulau
M Syakir
M. Dawam Rahardjo
M. Faizi
M. Mustafied
M. Raudah Jambak
M. Taufan Musonip
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
M.Th. Krishdiana Putri
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Maklumat Sastra Profetik
Malkan Junaidi
Maman S. Mahayana
Mangun Kuncoro
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria D. Andriana
Maria Magdalena Bhoernomo
Mariana Amiruddin
Maryati
Marzuzak SY
Mashuri
Maulana Syamsuri
Media: Crayon on Paper
Mega Vristian
MG. Sungatno
Misbahus Surur
Mofik el-abrar
Moh. Amir Sutaarga
Moh. Ghufron Cholid
Mohammad Hatta
Mohammad Kh. Azad
Mohammad Takdir Ilahi
Much. Khoiri
Muhamad Taslim Dalma
Muhammad Rain
Muhammad Subhan
Muhammad Yasir
Muhammadun A.S
Muhidin M Dahlan
Mujtahid
Mulyawan Karim
Musa Ismail
Musfi Efrizal
Mustafa Ismail
Mustofa W Hasyim
N Teguh Prasetyo
N. Mursidi
Nadhi Kiara Zifen
Nana Riskhi Susanti
Nanang Suryadi
Naskah Teater
Nasrulloh Habibi
Neva Tuhella
Nietzsche
Nirwan Dewanto
Nizar Qabbani
Noor H. Dee
Nova Christina
Novelet
Nunung Nurdiah
Nur Wachid
Nurani Soyomukti
Nurel Javissyarqi
Nurman Hartono
Nuryana Asmaudi
Nyoman Tusthi Eddy
Obrolan
Oky Sanjaya
Oyos Saroso HN
P Ari Subagyo
Pagelaran Musim Tandur
Pamusuk Eneste
Panji Satrio
PDS H.B. Jassin
Penerbit dan Toko Buku PUstaka puJAngga
Pipiet Senja
Pramoedya Ananta Toer
Pringadi AS
Pringgo HR
Prosa
Puisi
Puji Santosa
Purnawan Andra
PUstaka puJAngga
Putu Fajar Arcana
Putu Satria Kusuma
Putu Wijaya
R Masri Sareb Putra
R. Adhi Kusumaputra
R. Timur Budi Raja
R.N. Bayu Aji
Radhar Panca Dahana
Ragdi F. Daye
Rahmi Hattani
Raja Ali Haji
Raju Febrian
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Rama Dira J
Rama Prabu
Ramadhan KH
Ramon Magsaysay
Ramses Ohee
Ratih Kumala
Raudal Tanjung Banua
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Resensi
Ressa Novita
Ressa Sagitariana Putri
Ria Ristiana Dewi
Rialita Fithra Asmara
Ribut Wijoto
Rida K Liamsi
Rifka Sibarani
Rilda A. Oe. Taneko
Rilda A.Oe. Taneko
Rimbun Natamarga
Rinto Andriono
Risang Anom Pujayanto
Rita Zahara
Riyon Fidwar
Robin Al Kautsar
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rohman Budijanto
Rukardi
S Yoga
S. Jai
S. Takdir Alisyahbana
S.W. Teofani
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Sajak
Sajak Sebatang Lisong
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Salman S. Yoga
Salyaputra
Samson Rambah Pasir
Samsudin Adlawi
Sanie B. Kuncoro
Santy Novaria
Sapardi Djoko Damono
Sarabunis Mubarok
Sartika Dian Nuraini
Sasti Gotama
Sastra Nusantara
Satmoko Budi Santoso
Satriani
Saut Poltak Tambunan
Saut Situmorang
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
Selasih
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Shadiqin Sudirman
Shiny.ane el’poesya
Shourisha Arashi
Sidik Nugroho
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sindu Putra
Siska Afriani
Siti Sa’adah
Sitok Srengenge
Siwi Dwi Saputro
Slamet Samsoerizal
Sobih Adnan
Sofyan RH. Zaid
Solihin
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sony Wibisono
Sosiawan Leak
Sri Wintala Achmad
Sri Wulan Rujiati Mulyadi
Stevani Elisabeth
Suci Ayu Latifah
Sucipto Hadi Purnomo
Sudarmoko
Sudirman HN
Suhadi Mukhan
Suharsono
Sukar
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Sunudyantoro
Supriyadi
Suriani
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Sutan Iwan Soekri Munaf
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Syahruddin El-Fikri
Syaripudin Zuhri
Syifa Aulia
Syu’bah Asa
T.A. Sakti
Tammalele
Tan Lioe Ie
Tasyriq Hifzhillah
Taufik Abdullah
Taufik Effendi Aria
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Wr. Hidayat
TE. Priyono
Teguh Winarsho AS
Tenas Effendy
Tengsoe Tjahjono
Thayeb Loh Angen
Theresia Purbandini
Tia Setiadi
Tias Tatanka
Tito Sianipar
Tjahjono EP
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Tjut Zakiyah Anshari
Topik Mulyana
Tosa Poetra
Tri Harun Syafii
TS Pinang
Tu-ngang Iskandar
Udo Z. Karzi
Uly Giznawati
Umar Fauzi Ballah
Umbu Landu Paranggi
Umi Kulsum
Uniawati
Universitas Indonesia
Usman Arrumy
Usman D.Ganggang
Utada Kamaru
UU Hamidy
Viddy AD Daery
W.S. Rendra
Wa Ode Wulan Ratna
Wahib Muthalib
Wahyudi Akmaliah Muhammad
Wardjito Soeharso
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Sunarta
Weli Meinindartato
Wicaksono
Widodo DS
Wina Karnie
Wisran Hadi
Wong Wing King
Yan Maniani
Yanti Mulatsih
Yanuar Arifin
Yasser Arafat
Yaumu Roikha
Yetti A. KA
Yohanes Padmo Adi Nugroho
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yudhi Ms
Yudhistira ANM Massardi
Yulianna
Yurnaldi
Yusi A. Pareanom
Yusi Avianto Pareanom
Yusri Fajar
Yusrizal KW
Yuyun Ifa Naliah
Zaim Rofiqi
Zainal Arifin Thoha
Zakki Amali
Zakky Zulhazmi
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zelfeni Wimra
Zuarman Ahmad
Zulfikar Akbar
Tidak ada komentar:
Posting Komentar