Ajip Rosidi
Pewawancara: Burhanuddin Bella, M Syakir
http://www.infoanda.com/
Bahasa daerah membuatnya prihatin. Ketika merasa tidak ada lagi yang memerhatikan bahasa daerah, Ajip Rosidi menilai inilah saatnya bertindak. Lebih dari 30 tahun, pria kelahiran Jatiwangi pada 31 Januari 1938 ini memperjuangkan nasib bahasa daerah. Hingga akhirnya dia tiba di satu titik. ”Saya lebih baik melaksanakan apa yang bisa,” ujarnya. Ajip berpikir tentang sebuah hadiah sastra. Sayangnya, ide itu tidak bersambut.
Menteri pendidikan dan kebudayaan saat itu terkesan tidak terlalu serius menanggapi pentingnya pemberian hadiah untuk insan sastra. ”Hadiah sastra yang diberikan setiap tahun oleh menteri PDK yang berturut-turut empat kali di zaman (Menteri PDK) Mashuri. Lantas berhenti, kemudian ada lagi. Sampai sekarang juga kadang-kadang diberikan, tapi tidak tiap tahun.” Kenyataan inilah yang memacu Ajip memberikan hadiah Rancage. Bahkan, meski untuk itu, Ajip harus merogoh kocek sendiri.
Inilah hadiah untuk orang-orang yang peduli pada sastra –terutama sastra Sunda. Menurut Ajip, di tahun pertama, hadiah tersebut diberikan pada pengarang yang menerbitkan karyanya. ”Tahun kedua saya berikan hadiah untuk orang yang menunjukkan jasanya dalam mengembangkan bahasa dan sastra Sunda. Jadi, tiap tahun ada dua hadiah. Satu untuk karya, satu untuk yang berjasa, masing-masing Rp 1 juta.”
Langkah Ajip mendapat dukungan. Beberapa orang temannya tertarik pula urun dana. Kini, setelah berselang 17 tahun dari Rancage pertama, Ajip berencana melebarkan sayap. Sukses merambah Jawa dan Bali, dia pun terpikir untuk merangkul seluruh kesastraan daerah di Nusantara.
Pada Burhanuddin Bella dan M Syakir, ayah enam anak ini berkisah tentang kendala mengembangkan Rancage (kosa kata bahasa Sunda yang artinya kreatif), sastra daerah, dan beragam keinginannya.
Penghargaan Rancage mulanya hanya untuk sastra Sunda. Kenapa berkembang ke Jawa dan Bali?
Saya menganggap persoalan sastra daerah di tiap daerah sama. Tidak diperhatikan oleh pemerintah, oleh pusat tidak, oleh pemda kurang. Tidak strategislah. Di sekolah juga, pelajaran bahasa selalu menjadi masalah. Sekarang, misalnya, Jawa Tengah menetapkan bahwa dari SD sampai SMA harus mengajarkan bahasa daerah. Itu ada keputusan gubernur. Tapi, orang-orang mengatakan, ini tidak disukai oleh murid. Ya, kalau mau tanya murid, banyak pelajaran yang tidak disukai. Itu kelihatan sekali dari orang-orang yang mau menolak.
Sepanjang pengamatan Anda, daerah mana saja yang tidak peduli dengan bahasa daerahnya?
Yang saya tahu, Pemda Jateng dan Jatim itu menyambut Kurikulum 2004. Kurikulum itu menetapkan dulu bahasa daerah dalam muatan lokal (mulok), sekarang kedudukannya sama dengan bahasa Indonesia dan bahasa Inggris. Artinya, pengakuan bahasa daerah paling tidak sama pentingnya dengan bahasa asing. Dalam kurikulum yang lama tidak. Status pelajaran bahasa dalam kurikulum, itu termasuk yang penting. Kalau mulok, itu tambahan. Jadi, statusnya rendah. Anehnya, Dinas Pendidikan Jawa Barat tampaknya belum melihal hal itu, sehingga dalam Kongres Bahasa Sunda tahun lalu masih ada tuntutan supaya bahasa Sunda diajarkan di SMA. Padahal dalam kurikulum sudah ada. Jadi, aneh. Mereka tidak mempelajari kurikulum atau tidak mengerti apa yang dimaksudkan oleh kurikulum.
Apa yang mendorong Anda sangat peduli dengan bahasa daerah?
Karena tidak diperhatikan. Dalam UU jelas, pemerintah wajib mengembangkan kebudayaan, dan bahasa daerah bagian dari kebudayaan. Diakui dalam UUD. Jadi, selama ini pemerintah tidak pernah melaksanakan UU. Itu yang saya katakan dari dulu dan tidak didengar juga sampai sekarang.
Setelah Jawa dan Bali, ada rencana Rancage dikembangkan untuk seluruh Indonesia?
Ini ada persoalan. Pertama, sampai sekarang belum kelihatan bahasa daerah lain yang menerbitkan karya modern berbentuk buku. Sebab kalau hanya dimuat dalam majalah saja, susah buat saya untuk mengikutinya. Kalau hanya cerita lama ditulis kembali dalam bahasa daerah, itu ada juga. Tapi, susah kalau begitu. Saya ingin karya yang modern, yang asli. Itu boleh dikatakan tidak ada. Kedua, kalau bertambah lagi jumlah yang dikasih hadiah, itu buat Rancage menjadi beban lagi, kan. Harus ada anggaran tambahan. Sekarang ini saja sudah pusing. Hadiahnya hanya Rp 30 juta atau Rp 35 juta, tapi untuk juri, untuk acara penyerahan, mendatangkan pemenang, dan lain-lainnya itu hampir Rp 100 juta. Yayasan Rancage tidak punya dana abadi. Tapi, selalu saja ada pada saat-saat terakhir.
Anda sastrawan yang boleh dikata sudah mendunia. Kenapa ada justru lebih tertarik menelaah sastra daerah?
Itu masalahnya, saya sendiri merasa bahwa saya mulai terjun dan tertarik ke dunia sastra oleh sastra Sunda. Saya jadi besar karena sastra Sunda. Saya lihat, ini kok yang dulu membesarkan saya tidak diperhatikan orang. Jadi, saya konsen itu. Kemudian saya mempelajari soal kehidupan bahasa-bahasa di dunia, tentang pentingnya bahasa ibu.
Seberapa penting bahasa ibu?
Saya perhatikan pentingnya bahasa ibu sebagai pengantar dalam pendidikan. Waktu 1972 saya diundang ke Amerika, saya pergi ke Texas, negara bagian yang paling selatan. Di sana, banyak orang berbahasa Spanyol. Di situ pernah ada masalah, anak-anak keturunan Spanyol ini di kelasnya mundur. Diselidiki, ternyata karena mereka harus berbahasa Inggris. Jadi, di situ ditetapkan kemudian bahwa anak mereka belajar dengan bahasa pengantar bahasa Spanyol. Hasil penelitian, ternyata anak-anak lebih mudah memahami kalau dengan bahasa ibunya. Waktu saya pulang ke Indonesia, saya melihat juga masalah itu di sini. Tahun 1974 diadakan seminar tentang politik bahasa nasional, saya menemukan hal itu. Seorang pemakalah mengatakan, bahasa daerah merupakan bom waktu yang menghancurkan Indonesia. Bukan saya saja yang marah. Saya bilang, menetapkan bahasa pengantar untuk bahasa daerah –waktu itu sampai kelas III– harus diteliti lagi. Sebab menurut konsep saya, harusnya di daerah-daerah tertentu, bahasa pengantar di sekolah dengan bahasa daerah tersebut sampai SMA. Kalau perlu mengadakan universitas dengan bahasa itu.
Suatu ketika dia diundang oleh Japan Foundation dan diminta tinggal di sana selama 1 tahun sebagai fellow. Namun, Ajip hanya bersedia selama enam bulan dan tinggal di Kyoto. Di negeri matahari terbit itu, dia pernah juga mengajar di beberapa universitas lain. Ketika itulah dia didekati oleh Osaka Gaidai (universitas bahasa asing Osaka) untuk menjadi pengajar karena pengajar sebelumnya pensiun. ”Mereka cari gantinya dan minta saya. Saya bilang, saya di Jakarta punya pekerjaan. Saya carikan orang lain. Saya sebut beberapa nama, tapi ‘Kita ingin Pak Ajip’. Terus ada kawan-kawan dan orang tua saya menganjurkan, sudahlah kamu lebih baik di sana.”
Namun, ada pertimbangan lain. Lantaran sempat berembus isu, Ajip bakal menjadi menteri. ”Benar atau tidaknya, tapi adanya isu itu menjadi salah satu faktor saya memilih mengajar di Jepang.” Selama 22 tahun mengajar di Jepang, Ajip tetap memerhatikan sastra daerah, khususnya Sastra Sunda. ”Memberikan hadiah Rancage juga di sana. Sebagai pegawai pemerintah Jepang, saya mendapat gaji yang cukup.”
Anda mendirikan Rancage dari dana sendiri?
Saat itu 1989, ketika saya di Jepang. Saya melihat, anak-anak muda menulis dalam bahasa daerah lebih susah daripada dalam bahasa Indonesia. Toh, ada juga yang menulis dalam bahasa daerah. Tidak hanya Sunda, Jawa juga begitu. Tulisan mereka dimuat di majalah bahasa daerah. Honorarium yang mereka dapat jauh lebih kecil daripada menulis dalam bahasa Indonesia. Padahal, mereka mudah menulis dalam bahasa Indonesia. Itu yang mengharukan saya. Kok, mereka mau juga. Sampai sekarang masih ada anak muda yang menulis dalam bahasa daerah. Ketika itu saya tidak mendirikan yayasan. Pikiran saya hanya ingin memberikan apresiasi kepada pengarang-pengarang berbahasa Sunda. Niat itu dari 1988, dilaksanakan 1989. Saya ketika itu menyediakan uang Rp 1 juta. Waktu itu cukup besarlah. Buat saya, tidak berat mengeluarkan Rp 1 juta untuk hadiah. Itu pun mula-mula orang pesimistis. Tapi, setelah 5 tahun, karena konsisten diberikan, akhirnya menjadi perhatian orang-orang.
Selama 22 tahun di Jepang, bagaimana bisa Anda tetap memerhatikan sastra daerah?
Itu soal mengatur waktu saja. Tidak hanya sastra, politik juga. Selama di sana, saya banyak menulis surat kepada kawan-kawan yang ada di Indonesia dan luar Indonesia tentang berbagai soal. Kira-kira saya menulis 500 surat tiap tahun. Isinya macam-macam. Ada dalam bahasa Sunda ada dalam bahasa Indonesia. Misalnya, sebagian surat-surat dalam bahasa Sunda yang ditujukan kepada Pak Syafrudin, Pak Ali Sadikin, Pak Endang Saefudin, ZA Muttaqin, tidak hanya persoalan bahasa dan sastra, tapi soal politik, soal bangsa. Pandangan-pandangan saya tentang umat Islam, tentang Soeharto.
Ada pengalaman menarik waktu mengajar di sana?
Saya mengajarkan kebudayaan Indonesia. Tapi, ini saya pakai untuk memperkenalkan Islam dengan alasan, kalau mau mengenal budaya Indonesia, harus mengenal Islam. Sebab Islam agama mayoritas penduduk. Suatu waktu, ada seorang mahasiswa bertanya, `’Boleh nggak saya masuk Islam?” Saya bilang boleh saja, tapi lebih baik belajar dulu. Sebab kalau kamu masuk Islam, berhenti Budha. `’Kok berhenti? Agama Islam bagus, agama Budha bagus?” Dianya berpikir begitu.
Anda pernah membuat ensiklopedia Sunda. Apa yang mendasari?
Saya menjadi sadar bahwa orang-orang Sunda sudah banyak tidak mengenal budayanya sendiri. Mereka tidak punya referensi. Proses penghilangan bentuk-bentuk budaya ini kan berlangsung terus. Jadi, saya merasa perlu membentuk suatu ensiklopedia untuk menjadi referensi. Tapi, kan saya juga tidak mengetahui semua hal, jadi saya harus membaca semua bahan. Sampai sekarang itu menjadi ensiklopedia etnis satu-satunya, kan. Sebetulnya, Jawa dan Bali kesempatannya lebih mudah, karena tentang Jawa dan Bali sudah banyak buku-bukunya. Kalau Sunda ini, saya mencari sendiri, referensi saya sedikit sekali. Itu diakui oleh Taufik Abdullah juga. Sedikit sekali sarjana asing yang punya perhatian pada kebudayaan Sunda. Ada, tapi sedikit sekali, dibandingkan dengan Jawa. Dibandingkan dengan Mentawai saja, kalah. Jadi, saya harus mencari, sehingga seorang kebangsaan Prancis bilang, ini ensiklopedia pertama di Indonesia.
Berapa lama Anda menyusun itu?
Sepuluh tahun. Itu juga kalau tidak saya paksakan, tidak akan selesai-selesai. Ada saja masalah baru. Sekarang saya sedang memikirkan untuk membuat tambahan-tambahan.
Bagaimana Anda melihat minat generasi muda pada sastra daerah, khususnya sastra Sunda?
Banyak juga. Kemarin, ada ulang tahun pengarang sastra Sunda. Ternyata banyak sekali anak-anak muda datang yang saya tidak kenal.
Perasaan Anda melihat itu?
Senang sekali, bangga sekali. Saya menerbitkan majalah bahasa Sunda. Yang mengurus, yang muda-muda. Itu bukan sembarangan. Burhanuddin Abdullah, Erry Riyana Hardjapamekas, berlangganan. Jadi menarik, selama ini ada anggapan bahwa bacaan bahasa Sunda, itu bacaan orang kampung. Jadi, waktu saya mulai menerbitkan majalah ini saya ditegur oleh orang terkenal (orang Sunda). `’Kamu salah. Ini bacaan terlalu tinggi untuk orang Sunda.” Tidak, saya bilang. Saya ingin majalah ini dibaca oleh orang Sunda yang tinggi, bukan yang orang rendah. Ternyata betul. Dibaca oleh Muchtar Kusumaatmaja, Ali Sadikin.
Saat masih tinggal di Jatiwangi, Ajip sempat mengalami kesulitan keuangan. Ketika itu hidupnya tergantung pada honorarium dari Jakarta. Suatu kali istrinya mengatakan, persediaan beras hanya cukup untuk satu hari. Ketika ingin membeli beras, tidak ada uang di kantong. Saat itulah berkah datang dari seorang penjaga sekolah yang menjual beras. ”Istri saya bilang, ‘Dia tidak mau dibayar sekarang karena dia mau nyunatin anaknya bulan depan. Mintanya bulan depan’.” Baginya, inilah kekuasaan Tuhan. ”Tangan Tuhan itu betul kuasa. Karena itu saya biasa bilang kepada anak-anak muda, kalau ada satu hal yang harus kamu kerjakan, kerjakan. Jangan gantungkan hidup kamu dari hasil pekerjaan itu. Hidup kamu dijamin oleh Tuhan.”
Anda tampak dengan mudahnya pindah –dari Bandung, Jakarta, Jepang, kini lebih banyak di Pabelan. Apa yang Anda cari?
Tidak ada. Saya dulu tinggal di Jakarta. Karena bising, saya pindah ke Sumedang pada 1958. Setahun lebih di sana, pindah ke Bandung. Tahun 1960 saya pindah ke Jatiwangi, kampung saya, bikin rumah. Saat itu saya umur 22 tahun, sudah punya anak tiga.
Bagaimana Anda mengarahkan anak-anak?
Saya menyekolahkan mereka, tapi saya tidak pernah ikut memaksa untuk menentukan pilihan. Juga mencari jodoh. Ada anak saya kawin dengan gadis Jepang, sekarang punya dua anak, mengajar di sana, punya rumah di sana, Jadi, akan terus tinggal di sana. Saya cuma bilang, masuk Islam dulu deh.
Waktu perayaan pernikahan emas Anda pakai baju Sunda. Kabarnya, waktu itu Anda sempat kurang berkenan?
Saya memang kurang suka. Saya anggap pakaian-pakaian adat itu kan buatan-buatan saja. Apa benar pakaian itu? Secara historis masih harus diteliti. Saya tidak pernah menelusuri, tapi saya meragukan. Itu kelihatannya hanya variasi saja dari pakaian Jawa. Tapi, waktu itu kan panitianya anak saya, sudahlah, saya mengalah. Sebelumnya, saya tidak mau. Menikahkan anak saya juga tidak pernah pakaian adat.
Bukankah aneh, Anda peduli pada kebudayaan daerah, tapi tidak mau menggunakan simbol-simbol daerah?
Simbol-simbol itu banyak yang tidak benar. Seperti orang Sunda menganggap, simbol senjata Sunda itu kujang. Menurut penelitian saya, kujang itu alat pertanian, bukan senjata perang. Tapi, sudah jadi mitos di kalangan orang Sunda bahwa kujang itu senjata untuk perang.
Sampai sekarang Anda tetap peduli dengan sastra daerah. Apa yang Anda impikan dari itu?
Saya melihat usaha saya ini akan berakhir dengan pemusnahan-pemusnahan bahasa-bahasa daerah. Ini karena ada gelombang yang mungkin tidak bisa ditahan. Tapi, saya merasa bahwa saya harus berusaha mempertahankan, karena ini kekayaan budaya kita. Kita harus pertahankan.
Obsesi yang belum tergapai?
Obsesi besar yang tidak kelihatan, ingin melihat Indonesia menjadi bangsa yang terkemuka, berbudaya, mendapatkan kedudukan terhormat di lingkungan dunia.
Dalam bayangan Anda, itu masih panjang?
Saya pesimistis, saya kira masalahnya mentalitas. Ini menurun sekali. Abad ke-15 kita punya komoditas yang dicari oleh seluruh dunia. Harusnya kita jadi bangsa yang menentukan dunia. Mengapa berakhir dengan bangsa yang dijajah. Kita dijajah bukan karena orang Barat bawa meriam, kita hanya keris dan badik. Tapi, karena perpecahan di dalam.
Saya tidak pernah menjadikan apa yang saya kerjakan itu sebagai sumber penghasilan untuk hidup. Karena dalam Alquran dijanjikan, rezeki itu ditanggung oleh Tuhan. Jadi, saya tidak pernah memikirkan rezeki.
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Khoirul Anam
A Qorib Hidayatullah
A Rodhi Murtadho
A. Yusrianto Elga
A. Zakky Zulhazmi
A.S. Laksana
Aang Fatihul Islam
Aba Mardjani
Abd. Mun’im
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Gaffar Ruskhan
Abdul Hadi W. M.
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Malik
Abdul Muis
Abdul Wachid BS
Abdullah Khusairi
Abidah El Khalieqy
Abimardha Kurniawan
Abroorza A. Yusra
Abu Salman
Acep Iwan Saidi
Achmad Farid Tuasikal
Adek Alwi
Adi Marsiela
Adian Husaini
Adib Muttaqin Asfar
Adji Subela
Afandi Sido
Afriza Hanifa
Afrizal Malna
Ageng Wuri R. A.
Ags. Arya Dipayana
Aguk Irawan M.N.
Agus B. Harianto
Agus Bing
Agus Noor
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Sri Danardana
Agus Sulton
Agus Sunyoto
Agus Wibowo
Agus Wirawan
Agusri Junaidi
AH J Khuzaini
Ahda Imran
Ahid Hidayat
Ahm Soleh
Ahmad Asyhar
Ahmad Farid Yahya
Ahmad Fuadi
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Musthofa Haroen
Ahmad Rofiq
Ahmad Suhendra
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Aini Aviena Violeta
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Muhaimin Azzet
Akhmad Sekhu
Al Azhar Riau
Al-Fairish
Alex R. Nainggolan
Alexander G.B.
Alfian Zainal
Aliansyah
Alimuddin
Almania Rohmah
Alunk Estohank
Amien Kamil
Amien Wangsitalaja
Anata Siregar
Andi Sutisno
Andy Riza Hidayat
Anies Baswedan
Anindita S Thayf
Anis Ceha
Anis Faridatur Rofiah
Anjrah Lelono Broto
Anna Subekti
Anton Kurnia
Ari Hidayat
Ari Kristianawati
Arie MP Tamba
Arief Junianto
Aris Kurniawan
Arti Bumi Intaran
Arul Arista
AS Sumbawi
Asarpin
Asep Sambodja
Atiqurrahman
Awalludin GD Mualif
Ayu Purwaningsih
Babe Derwan
Bakdi Soemanto
Balada
Bale Aksara
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Bayu Dwi Mardana
Bellanissa Zoditama
Beni Setia
Benny Arnas
Beno Siang Pamungkas
Berita
Berita Duka
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Bokor Hutasuhut
Brunel University London
BSW Adjikoesoemo
Budaya
Budhi Setyawan
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budiawan Dwi Santoso
Bur Rasuanto
Burhanuddin Bella
Bustan Basir Maras
Catatan
Catullus
CB. Ismulyadi
Cerbung
Cerita Rakyat
Cerpen
Chavchay Syaifullah
Cikie Wahab
Cunong Nunuk Suraja
D Zawawi Imron
Dad Murniah
Dadang Ari Murtono
Dahlia Rasyad
Damhuri Muhammad
Damiri Mahmud
Danarto
Daniel Paranamesa
Darju Prasetya
Darman Djamaluddin
Darman Moenir
Dasman Djamaluddin
David Krisna Alka
Dea Anugrah
Dedy Tri Riyadi
Denny JA
Denny Mizhar
Desi Sommalia Gustina
Dewi Anggraeni
Dharma Setyawan
Dian Hartati
Didi Arsandi
Dina Oktaviani
Dipo Handoko
Djenar Maesa Ayu
Djoko Pitono
Doddi Ahmad Fauji
Doddy Hidayatullah
Dodi Chandra
Dodiek Adyttya Dwiwanto
Dody Kristianto
Donny Anggoro
Dony P. Herwanto
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Klik Santosa
Dwi Pranoto
Dwicipta
Edy A Effendi
Edy Firmansyah
Eka Budianta
Eka Fendri Putra
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Ellyzan Katan
Elnisya Mahendra
Emha Ainun Nadjib
Endah Imawati
Eni Suryanti
Eny Rose
Eriyandi Budiman
Eriyanti
Erwin Edhi Prasetya
Erwin Setia
Esai
Evan Ys
Evi Idawati
F Rahardi
Fadly Rahman
Fahrudin Nasrulloh
Faizah Sirajuddin
Faizal Syahreza
Fajar Alayubi
Fakhrunnas M.A. Jabbar
Fanny Chotimah
Fariz al-Nizar
Fariz Alneizar
Faruk HT
Fatah Anshori
Fatah Yasin Noor
Fathurrahman Karyadi
Fatimah Wahyu Sundari
Fauzan Santa
Fazabinal Alim
Festival Sastra Gresik
Fikri MS
Fiksi Mini
Fransisca Dewi Ria Utari
Franz Kafka
Fuad Anshori
Furqon Abdi
Fuska Sani Evani
Gendhotwukir
Gendut Riyanto
Gerson Poyk
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Gola Gong
Grathia Pitaloka
Gregorio Lopez y’ Fuentes
Gugun El-Guyanie
Gunawan Budi Susanto
Gus Noy
H.H. Tokoro
Hadi Napster
Hamberan Syahbana
Hamdy Salad
Hamsad Rangkuti
Han Gagas
Hang Kafrawi
Hani Pudjiarti
Hanna Fransisca
Hardi Hamzah
Hardjono WS
Haris del Hakim
Haris Priyatna
Harris Maulana
Hary B. Kori'un
Hasan Al Banna
Hasan Junus
Hasbullah Said
Hasnan Bachtiar
HE. Benyamine
Heidi Arbuckle
Helmi Y Haska
Helvy Tiana Rosa
Hendra Junaedi
Hendri Nova
Herdoni Syafriansyah
Heri Kurniawan
Heri Latief
Heri Ruslan
Herman RN
Hermawan Aksan
Hermien Y. Kleden
Herry Lamongan
Holy Adib
Humaidiy AS
Husni Anshori
I Nyoman Darma Putra
I Nyoman Tingkat
I Wayan Artika
Ibnu Wahyudi
Ida Farida
Ignas Kleden
Ilham Khoiri
Imam Cahyono
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Tohari
Indra Tranggono
Indrian Koto
Irwan Kelana
Isbedy Stiawan Z.S.
Iskandar Noe
Isma Swastiningrum
Ismi Wahid
Iwan Gardono Sujatmiko
Iwan Gunadi
Iwan Kurniawan
Iwan Nurdaya Djafar
Iwank
J.S. Badudu
Janoary M Wibowo
Javed Paul Syatha
JILFest 2008
JJ. Kusni
Jodhi Yudono
Joko Novianto Bp
Joko Pinurbo
Jones Gultom
Jual Buku Paket Hemat
Jusuf AN
Kadek Suartaya
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kasnadi
Kedung Darma Romansha
Kenedi Nurhan
Khaerudin Kurniawan
Khaerul Anwar
Ki Sugito Ha Es
Kirana Kejora
Komunitas Deo Gratias
Korrie Layun Rampan
Kritik Sastra
Kunthi Hastorini
Kuntowijoyo
Kurie Suditomo
Kurnia Effendi
Kurniawan
Kuswinarto
La Ode Rabbani
Lathifa Akmaliyah
Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember
Leon Agusta
Lily Siti Multatuliana
Lily Yulianti Farid
Lina Kelana
Liza Wahyuninto
Lona Olavia
Lugiena Dé
M Fadjroel Rachman
M Farid W Makkulau
M Syakir
M. Dawam Rahardjo
M. Faizi
M. Mustafied
M. Raudah Jambak
M. Taufan Musonip
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
M.Th. Krishdiana Putri
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Maklumat Sastra Profetik
Malkan Junaidi
Maman S. Mahayana
Mangun Kuncoro
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria D. Andriana
Maria Magdalena Bhoernomo
Mariana Amiruddin
Maryati
Marzuzak SY
Mashuri
Maulana Syamsuri
Media: Crayon on Paper
Mega Vristian
MG. Sungatno
Misbahus Surur
Mofik el-abrar
Moh. Amir Sutaarga
Moh. Ghufron Cholid
Mohammad Hatta
Mohammad Kh. Azad
Mohammad Takdir Ilahi
Much. Khoiri
Muhamad Taslim Dalma
Muhammad Rain
Muhammad Subhan
Muhammad Yasir
Muhammadun A.S
Muhidin M Dahlan
Mujtahid
Mulyawan Karim
Musa Ismail
Musfi Efrizal
Mustafa Ismail
Mustofa W Hasyim
N Teguh Prasetyo
N. Mursidi
Nadhi Kiara Zifen
Nana Riskhi Susanti
Nanang Suryadi
Naskah Teater
Nasrulloh Habibi
Neva Tuhella
Nietzsche
Nirwan Dewanto
Nizar Qabbani
Noor H. Dee
Nova Christina
Novelet
Nunung Nurdiah
Nur Wachid
Nurani Soyomukti
Nurel Javissyarqi
Nurman Hartono
Nuryana Asmaudi
Nyoman Tusthi Eddy
Obrolan
Oky Sanjaya
Oyos Saroso HN
P Ari Subagyo
Pagelaran Musim Tandur
Pamusuk Eneste
Panji Satrio
PDS H.B. Jassin
Penerbit dan Toko Buku PUstaka puJAngga
Pipiet Senja
Pramoedya Ananta Toer
Pringadi AS
Pringgo HR
Prosa
Puisi
Puji Santosa
Purnawan Andra
PUstaka puJAngga
Putu Fajar Arcana
Putu Satria Kusuma
Putu Wijaya
R Masri Sareb Putra
R. Adhi Kusumaputra
R. Timur Budi Raja
R.N. Bayu Aji
Radhar Panca Dahana
Ragdi F. Daye
Rahmi Hattani
Raja Ali Haji
Raju Febrian
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Rama Dira J
Rama Prabu
Ramadhan KH
Ramon Magsaysay
Ramses Ohee
Ratih Kumala
Raudal Tanjung Banua
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Resensi
Ressa Novita
Ressa Sagitariana Putri
Ria Ristiana Dewi
Rialita Fithra Asmara
Ribut Wijoto
Rida K Liamsi
Rifka Sibarani
Rilda A. Oe. Taneko
Rilda A.Oe. Taneko
Rimbun Natamarga
Rinto Andriono
Risang Anom Pujayanto
Rita Zahara
Riyon Fidwar
Robin Al Kautsar
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rohman Budijanto
Rukardi
S Yoga
S. Jai
S. Takdir Alisyahbana
S.W. Teofani
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Sajak
Sajak Sebatang Lisong
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Salman S. Yoga
Salyaputra
Samson Rambah Pasir
Samsudin Adlawi
Sanie B. Kuncoro
Santy Novaria
Sapardi Djoko Damono
Sarabunis Mubarok
Sartika Dian Nuraini
Sasti Gotama
Sastra Nusantara
Satmoko Budi Santoso
Satriani
Saut Poltak Tambunan
Saut Situmorang
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
Selasih
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Shadiqin Sudirman
Shiny.ane el’poesya
Shourisha Arashi
Sidik Nugroho
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sindu Putra
Siska Afriani
Siti Sa’adah
Sitok Srengenge
Siwi Dwi Saputro
Slamet Samsoerizal
Sobih Adnan
Sofyan RH. Zaid
Solihin
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sony Wibisono
Sosiawan Leak
Sri Wintala Achmad
Sri Wulan Rujiati Mulyadi
Stevani Elisabeth
Suci Ayu Latifah
Sucipto Hadi Purnomo
Sudarmoko
Sudirman HN
Suhadi Mukhan
Suharsono
Sukar
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Sunudyantoro
Supriyadi
Suriani
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Sutan Iwan Soekri Munaf
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Syahruddin El-Fikri
Syaripudin Zuhri
Syifa Aulia
Syu’bah Asa
T.A. Sakti
Tammalele
Tan Lioe Ie
Tasyriq Hifzhillah
Taufik Abdullah
Taufik Effendi Aria
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Wr. Hidayat
TE. Priyono
Teguh Winarsho AS
Tenas Effendy
Tengsoe Tjahjono
Thayeb Loh Angen
Theresia Purbandini
Tia Setiadi
Tias Tatanka
Tito Sianipar
Tjahjono EP
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Tjut Zakiyah Anshari
Topik Mulyana
Tosa Poetra
Tri Harun Syafii
TS Pinang
Tu-ngang Iskandar
Udo Z. Karzi
Uly Giznawati
Umar Fauzi Ballah
Umbu Landu Paranggi
Umi Kulsum
Uniawati
Universitas Indonesia
Usman Arrumy
Usman D.Ganggang
Utada Kamaru
UU Hamidy
Viddy AD Daery
W.S. Rendra
Wa Ode Wulan Ratna
Wahib Muthalib
Wahyudi Akmaliah Muhammad
Wardjito Soeharso
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Sunarta
Weli Meinindartato
Wicaksono
Widodo DS
Wina Karnie
Wisran Hadi
Wong Wing King
Yan Maniani
Yanti Mulatsih
Yanuar Arifin
Yasser Arafat
Yaumu Roikha
Yetti A. KA
Yohanes Padmo Adi Nugroho
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yudhi Ms
Yudhistira ANM Massardi
Yulianna
Yurnaldi
Yusi A. Pareanom
Yusi Avianto Pareanom
Yusri Fajar
Yusrizal KW
Yuyun Ifa Naliah
Zaim Rofiqi
Zainal Arifin Thoha
Zakki Amali
Zakky Zulhazmi
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zelfeni Wimra
Zuarman Ahmad
Zulfikar Akbar
Tidak ada komentar:
Posting Komentar