Senin, 04 Mei 2009

Ajip Rosidi, Mendunia Berkat Sastra Sunda

Ajip Rosidi
Pewawancara: Burhanuddin Bella, M Syakir
http://www.infoanda.com/

Bahasa daerah membuatnya prihatin. Ketika merasa tidak ada lagi yang memerhatikan bahasa daerah, Ajip Rosidi menilai inilah saatnya bertindak. Lebih dari 30 tahun, pria kelahiran Jatiwangi pada 31 Januari 1938 ini memperjuangkan nasib bahasa daerah. Hingga akhirnya dia tiba di satu titik. ”Saya lebih baik melaksanakan apa yang bisa,” ujarnya. Ajip berpikir tentang sebuah hadiah sastra. Sayangnya, ide itu tidak bersambut.

Menteri pendidikan dan kebudayaan saat itu terkesan tidak terlalu serius menanggapi pentingnya pemberian hadiah untuk insan sastra. ”Hadiah sastra yang diberikan setiap tahun oleh menteri PDK yang berturut-turut empat kali di zaman (Menteri PDK) Mashuri. Lantas berhenti, kemudian ada lagi. Sampai sekarang juga kadang-kadang diberikan, tapi tidak tiap tahun.” Kenyataan inilah yang memacu Ajip memberikan hadiah Rancage. Bahkan, meski untuk itu, Ajip harus merogoh kocek sendiri.

Inilah hadiah untuk orang-orang yang peduli pada sastra –terutama sastra Sunda. Menurut Ajip, di tahun pertama, hadiah tersebut diberikan pada pengarang yang menerbitkan karyanya. ”Tahun kedua saya berikan hadiah untuk orang yang menunjukkan jasanya dalam mengembangkan bahasa dan sastra Sunda. Jadi, tiap tahun ada dua hadiah. Satu untuk karya, satu untuk yang berjasa, masing-masing Rp 1 juta.”

Langkah Ajip mendapat dukungan. Beberapa orang temannya tertarik pula urun dana. Kini, setelah berselang 17 tahun dari Rancage pertama, Ajip berencana melebarkan sayap. Sukses merambah Jawa dan Bali, dia pun terpikir untuk merangkul seluruh kesastraan daerah di Nusantara.

Pada Burhanuddin Bella dan M Syakir, ayah enam anak ini berkisah tentang kendala mengembangkan Rancage (kosa kata bahasa Sunda yang artinya kreatif), sastra daerah, dan beragam keinginannya.

Penghargaan Rancage mulanya hanya untuk sastra Sunda. Kenapa berkembang ke Jawa dan Bali?

Saya menganggap persoalan sastra daerah di tiap daerah sama. Tidak diperhatikan oleh pemerintah, oleh pusat tidak, oleh pemda kurang. Tidak strategislah. Di sekolah juga, pelajaran bahasa selalu menjadi masalah. Sekarang, misalnya, Jawa Tengah menetapkan bahwa dari SD sampai SMA harus mengajarkan bahasa daerah. Itu ada keputusan gubernur. Tapi, orang-orang mengatakan, ini tidak disukai oleh murid. Ya, kalau mau tanya murid, banyak pelajaran yang tidak disukai. Itu kelihatan sekali dari orang-orang yang mau menolak.

Sepanjang pengamatan Anda, daerah mana saja yang tidak peduli dengan bahasa daerahnya?

Yang saya tahu, Pemda Jateng dan Jatim itu menyambut Kurikulum 2004. Kurikulum itu menetapkan dulu bahasa daerah dalam muatan lokal (mulok), sekarang kedudukannya sama dengan bahasa Indonesia dan bahasa Inggris. Artinya, pengakuan bahasa daerah paling tidak sama pentingnya dengan bahasa asing. Dalam kurikulum yang lama tidak. Status pelajaran bahasa dalam kurikulum, itu termasuk yang penting. Kalau mulok, itu tambahan. Jadi, statusnya rendah. Anehnya, Dinas Pendidikan Jawa Barat tampaknya belum melihal hal itu, sehingga dalam Kongres Bahasa Sunda tahun lalu masih ada tuntutan supaya bahasa Sunda diajarkan di SMA. Padahal dalam kurikulum sudah ada. Jadi, aneh. Mereka tidak mempelajari kurikulum atau tidak mengerti apa yang dimaksudkan oleh kurikulum.

Apa yang mendorong Anda sangat peduli dengan bahasa daerah?

Karena tidak diperhatikan. Dalam UU jelas, pemerintah wajib mengembangkan kebudayaan, dan bahasa daerah bagian dari kebudayaan. Diakui dalam UUD. Jadi, selama ini pemerintah tidak pernah melaksanakan UU. Itu yang saya katakan dari dulu dan tidak didengar juga sampai sekarang.

Setelah Jawa dan Bali, ada rencana Rancage dikembangkan untuk seluruh Indonesia?

Ini ada persoalan. Pertama, sampai sekarang belum kelihatan bahasa daerah lain yang menerbitkan karya modern berbentuk buku. Sebab kalau hanya dimuat dalam majalah saja, susah buat saya untuk mengikutinya. Kalau hanya cerita lama ditulis kembali dalam bahasa daerah, itu ada juga. Tapi, susah kalau begitu. Saya ingin karya yang modern, yang asli. Itu boleh dikatakan tidak ada. Kedua, kalau bertambah lagi jumlah yang dikasih hadiah, itu buat Rancage menjadi beban lagi, kan. Harus ada anggaran tambahan. Sekarang ini saja sudah pusing. Hadiahnya hanya Rp 30 juta atau Rp 35 juta, tapi untuk juri, untuk acara penyerahan, mendatangkan pemenang, dan lain-lainnya itu hampir Rp 100 juta. Yayasan Rancage tidak punya dana abadi. Tapi, selalu saja ada pada saat-saat terakhir.

Anda sastrawan yang boleh dikata sudah mendunia. Kenapa ada justru lebih tertarik menelaah sastra daerah?

Itu masalahnya, saya sendiri merasa bahwa saya mulai terjun dan tertarik ke dunia sastra oleh sastra Sunda. Saya jadi besar karena sastra Sunda. Saya lihat, ini kok yang dulu membesarkan saya tidak diperhatikan orang. Jadi, saya konsen itu. Kemudian saya mempelajari soal kehidupan bahasa-bahasa di dunia, tentang pentingnya bahasa ibu.

Seberapa penting bahasa ibu?

Saya perhatikan pentingnya bahasa ibu sebagai pengantar dalam pendidikan. Waktu 1972 saya diundang ke Amerika, saya pergi ke Texas, negara bagian yang paling selatan. Di sana, banyak orang berbahasa Spanyol. Di situ pernah ada masalah, anak-anak keturunan Spanyol ini di kelasnya mundur. Diselidiki, ternyata karena mereka harus berbahasa Inggris. Jadi, di situ ditetapkan kemudian bahwa anak mereka belajar dengan bahasa pengantar bahasa Spanyol. Hasil penelitian, ternyata anak-anak lebih mudah memahami kalau dengan bahasa ibunya. Waktu saya pulang ke Indonesia, saya melihat juga masalah itu di sini. Tahun 1974 diadakan seminar tentang politik bahasa nasional, saya menemukan hal itu. Seorang pemakalah mengatakan, bahasa daerah merupakan bom waktu yang menghancurkan Indonesia. Bukan saya saja yang marah. Saya bilang, menetapkan bahasa pengantar untuk bahasa daerah –waktu itu sampai kelas III– harus diteliti lagi. Sebab menurut konsep saya, harusnya di daerah-daerah tertentu, bahasa pengantar di sekolah dengan bahasa daerah tersebut sampai SMA. Kalau perlu mengadakan universitas dengan bahasa itu.

Suatu ketika dia diundang oleh Japan Foundation dan diminta tinggal di sana selama 1 tahun sebagai fellow. Namun, Ajip hanya bersedia selama enam bulan dan tinggal di Kyoto. Di negeri matahari terbit itu, dia pernah juga mengajar di beberapa universitas lain. Ketika itulah dia didekati oleh Osaka Gaidai (universitas bahasa asing Osaka) untuk menjadi pengajar karena pengajar sebelumnya pensiun. ”Mereka cari gantinya dan minta saya. Saya bilang, saya di Jakarta punya pekerjaan. Saya carikan orang lain. Saya sebut beberapa nama, tapi ‘Kita ingin Pak Ajip’. Terus ada kawan-kawan dan orang tua saya menganjurkan, sudahlah kamu lebih baik di sana.”

Namun, ada pertimbangan lain. Lantaran sempat berembus isu, Ajip bakal menjadi menteri. ”Benar atau tidaknya, tapi adanya isu itu menjadi salah satu faktor saya memilih mengajar di Jepang.” Selama 22 tahun mengajar di Jepang, Ajip tetap memerhatikan sastra daerah, khususnya Sastra Sunda. ”Memberikan hadiah Rancage juga di sana. Sebagai pegawai pemerintah Jepang, saya mendapat gaji yang cukup.”

Anda mendirikan Rancage dari dana sendiri?

Saat itu 1989, ketika saya di Jepang. Saya melihat, anak-anak muda menulis dalam bahasa daerah lebih susah daripada dalam bahasa Indonesia. Toh, ada juga yang menulis dalam bahasa daerah. Tidak hanya Sunda, Jawa juga begitu. Tulisan mereka dimuat di majalah bahasa daerah. Honorarium yang mereka dapat jauh lebih kecil daripada menulis dalam bahasa Indonesia. Padahal, mereka mudah menulis dalam bahasa Indonesia. Itu yang mengharukan saya. Kok, mereka mau juga. Sampai sekarang masih ada anak muda yang menulis dalam bahasa daerah. Ketika itu saya tidak mendirikan yayasan. Pikiran saya hanya ingin memberikan apresiasi kepada pengarang-pengarang berbahasa Sunda. Niat itu dari 1988, dilaksanakan 1989. Saya ketika itu menyediakan uang Rp 1 juta. Waktu itu cukup besarlah. Buat saya, tidak berat mengeluarkan Rp 1 juta untuk hadiah. Itu pun mula-mula orang pesimistis. Tapi, setelah 5 tahun, karena konsisten diberikan, akhirnya menjadi perhatian orang-orang.

Selama 22 tahun di Jepang, bagaimana bisa Anda tetap memerhatikan sastra daerah?

Itu soal mengatur waktu saja. Tidak hanya sastra, politik juga. Selama di sana, saya banyak menulis surat kepada kawan-kawan yang ada di Indonesia dan luar Indonesia tentang berbagai soal. Kira-kira saya menulis 500 surat tiap tahun. Isinya macam-macam. Ada dalam bahasa Sunda ada dalam bahasa Indonesia. Misalnya, sebagian surat-surat dalam bahasa Sunda yang ditujukan kepada Pak Syafrudin, Pak Ali Sadikin, Pak Endang Saefudin, ZA Muttaqin, tidak hanya persoalan bahasa dan sastra, tapi soal politik, soal bangsa. Pandangan-pandangan saya tentang umat Islam, tentang Soeharto.

Ada pengalaman menarik waktu mengajar di sana?

Saya mengajarkan kebudayaan Indonesia. Tapi, ini saya pakai untuk memperkenalkan Islam dengan alasan, kalau mau mengenal budaya Indonesia, harus mengenal Islam. Sebab Islam agama mayoritas penduduk. Suatu waktu, ada seorang mahasiswa bertanya, `’Boleh nggak saya masuk Islam?” Saya bilang boleh saja, tapi lebih baik belajar dulu. Sebab kalau kamu masuk Islam, berhenti Budha. `’Kok berhenti? Agama Islam bagus, agama Budha bagus?” Dianya berpikir begitu.

Anda pernah membuat ensiklopedia Sunda. Apa yang mendasari?

Saya menjadi sadar bahwa orang-orang Sunda sudah banyak tidak mengenal budayanya sendiri. Mereka tidak punya referensi. Proses penghilangan bentuk-bentuk budaya ini kan berlangsung terus. Jadi, saya merasa perlu membentuk suatu ensiklopedia untuk menjadi referensi. Tapi, kan saya juga tidak mengetahui semua hal, jadi saya harus membaca semua bahan. Sampai sekarang itu menjadi ensiklopedia etnis satu-satunya, kan. Sebetulnya, Jawa dan Bali kesempatannya lebih mudah, karena tentang Jawa dan Bali sudah banyak buku-bukunya. Kalau Sunda ini, saya mencari sendiri, referensi saya sedikit sekali. Itu diakui oleh Taufik Abdullah juga. Sedikit sekali sarjana asing yang punya perhatian pada kebudayaan Sunda. Ada, tapi sedikit sekali, dibandingkan dengan Jawa. Dibandingkan dengan Mentawai saja, kalah. Jadi, saya harus mencari, sehingga seorang kebangsaan Prancis bilang, ini ensiklopedia pertama di Indonesia.

Berapa lama Anda menyusun itu?

Sepuluh tahun. Itu juga kalau tidak saya paksakan, tidak akan selesai-selesai. Ada saja masalah baru. Sekarang saya sedang memikirkan untuk membuat tambahan-tambahan.

Bagaimana Anda melihat minat generasi muda pada sastra daerah, khususnya sastra Sunda?

Banyak juga. Kemarin, ada ulang tahun pengarang sastra Sunda. Ternyata banyak sekali anak-anak muda datang yang saya tidak kenal.

Perasaan Anda melihat itu?

Senang sekali, bangga sekali. Saya menerbitkan majalah bahasa Sunda. Yang mengurus, yang muda-muda. Itu bukan sembarangan. Burhanuddin Abdullah, Erry Riyana Hardjapamekas, berlangganan. Jadi menarik, selama ini ada anggapan bahwa bacaan bahasa Sunda, itu bacaan orang kampung. Jadi, waktu saya mulai menerbitkan majalah ini saya ditegur oleh orang terkenal (orang Sunda). `’Kamu salah. Ini bacaan terlalu tinggi untuk orang Sunda.” Tidak, saya bilang. Saya ingin majalah ini dibaca oleh orang Sunda yang tinggi, bukan yang orang rendah. Ternyata betul. Dibaca oleh Muchtar Kusumaatmaja, Ali Sadikin.

Saat masih tinggal di Jatiwangi, Ajip sempat mengalami kesulitan keuangan. Ketika itu hidupnya tergantung pada honorarium dari Jakarta. Suatu kali istrinya mengatakan, persediaan beras hanya cukup untuk satu hari. Ketika ingin membeli beras, tidak ada uang di kantong. Saat itulah berkah datang dari seorang penjaga sekolah yang menjual beras. ”Istri saya bilang, ‘Dia tidak mau dibayar sekarang karena dia mau nyunatin anaknya bulan depan. Mintanya bulan depan’.” Baginya, inilah kekuasaan Tuhan. ”Tangan Tuhan itu betul kuasa. Karena itu saya biasa bilang kepada anak-anak muda, kalau ada satu hal yang harus kamu kerjakan, kerjakan. Jangan gantungkan hidup kamu dari hasil pekerjaan itu. Hidup kamu dijamin oleh Tuhan.”

Anda tampak dengan mudahnya pindah –dari Bandung, Jakarta, Jepang, kini lebih banyak di Pabelan. Apa yang Anda cari?

Tidak ada. Saya dulu tinggal di Jakarta. Karena bising, saya pindah ke Sumedang pada 1958. Setahun lebih di sana, pindah ke Bandung. Tahun 1960 saya pindah ke Jatiwangi, kampung saya, bikin rumah. Saat itu saya umur 22 tahun, sudah punya anak tiga.

Bagaimana Anda mengarahkan anak-anak?

Saya menyekolahkan mereka, tapi saya tidak pernah ikut memaksa untuk menentukan pilihan. Juga mencari jodoh. Ada anak saya kawin dengan gadis Jepang, sekarang punya dua anak, mengajar di sana, punya rumah di sana, Jadi, akan terus tinggal di sana. Saya cuma bilang, masuk Islam dulu deh.

Waktu perayaan pernikahan emas Anda pakai baju Sunda. Kabarnya, waktu itu Anda sempat kurang berkenan?

Saya memang kurang suka. Saya anggap pakaian-pakaian adat itu kan buatan-buatan saja. Apa benar pakaian itu? Secara historis masih harus diteliti. Saya tidak pernah menelusuri, tapi saya meragukan. Itu kelihatannya hanya variasi saja dari pakaian Jawa. Tapi, waktu itu kan panitianya anak saya, sudahlah, saya mengalah. Sebelumnya, saya tidak mau. Menikahkan anak saya juga tidak pernah pakaian adat.

Bukankah aneh, Anda peduli pada kebudayaan daerah, tapi tidak mau menggunakan simbol-simbol daerah?

Simbol-simbol itu banyak yang tidak benar. Seperti orang Sunda menganggap, simbol senjata Sunda itu kujang. Menurut penelitian saya, kujang itu alat pertanian, bukan senjata perang. Tapi, sudah jadi mitos di kalangan orang Sunda bahwa kujang itu senjata untuk perang.

Sampai sekarang Anda tetap peduli dengan sastra daerah. Apa yang Anda impikan dari itu?

Saya melihat usaha saya ini akan berakhir dengan pemusnahan-pemusnahan bahasa-bahasa daerah. Ini karena ada gelombang yang mungkin tidak bisa ditahan. Tapi, saya merasa bahwa saya harus berusaha mempertahankan, karena ini kekayaan budaya kita. Kita harus pertahankan.

Obsesi yang belum tergapai?

Obsesi besar yang tidak kelihatan, ingin melihat Indonesia menjadi bangsa yang terkemuka, berbudaya, mendapatkan kedudukan terhormat di lingkungan dunia.

Dalam bayangan Anda, itu masih panjang?

Saya pesimistis, saya kira masalahnya mentalitas. Ini menurun sekali. Abad ke-15 kita punya komoditas yang dicari oleh seluruh dunia. Harusnya kita jadi bangsa yang menentukan dunia. Mengapa berakhir dengan bangsa yang dijajah. Kita dijajah bukan karena orang Barat bawa meriam, kita hanya keris dan badik. Tapi, karena perpecahan di dalam.

Saya tidak pernah menjadikan apa yang saya kerjakan itu sebagai sumber penghasilan untuk hidup. Karena dalam Alquran dijanjikan, rezeki itu ditanggung oleh Tuhan. Jadi, saya tidak pernah memikirkan rezeki.

Tidak ada komentar:

A Khoirul Anam A Qorib Hidayatullah A Rodhi Murtadho A. Yusrianto Elga A. Zakky Zulhazmi A.S. Laksana Aang Fatihul Islam Aba Mardjani Abd. Mun’im Abdul Aziz Rasjid Abdul Gaffar Ruskhan Abdul Hadi W. M. Abdul Kadir Ibrahim Abdul Malik Abdul Muis Abdul Wachid BS Abdullah Khusairi Abidah El Khalieqy Abimardha Kurniawan Abroorza A. Yusra Abu Salman Acep Iwan Saidi Achmad Farid Tuasikal Adek Alwi Adi Marsiela Adian Husaini Adib Muttaqin Asfar Adji Subela Afandi Sido Afriza Hanifa Afrizal Malna Ageng Wuri R. A. Ags. Arya Dipayana Aguk Irawan M.N. Agus B. Harianto Agus Bing Agus Noor Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sri Danardana Agus Sulton Agus Sunyoto Agus Wibowo Agus Wirawan Agusri Junaidi AH J Khuzaini Ahda Imran Ahid Hidayat Ahm Soleh Ahmad Asyhar Ahmad Farid Yahya Ahmad Fuadi Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musthofa Haroen Ahmad Rofiq Ahmad Suhendra Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Aini Aviena Violeta Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sekhu Al Azhar Riau Al-Fairish Alex R. Nainggolan Alexander G.B. Alfian Zainal Aliansyah Alimuddin Almania Rohmah Alunk Estohank Amien Kamil Amien Wangsitalaja Anata Siregar Andi Sutisno Andy Riza Hidayat Anies Baswedan Anindita S Thayf Anis Ceha Anis Faridatur Rofiah Anjrah Lelono Broto Anna Subekti Anton Kurnia Ari Hidayat Ari Kristianawati Arie MP Tamba Arief Junianto Aris Kurniawan Arti Bumi Intaran Arul Arista AS Sumbawi Asarpin Asep Sambodja Atiqurrahman Awalludin GD Mualif Ayu Purwaningsih Babe Derwan Bakdi Soemanto Balada Bale Aksara Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Bayu Dwi Mardana Bellanissa Zoditama Beni Setia Benny Arnas Beno Siang Pamungkas Berita Berita Duka Bernando J. Sujibto Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Bokor Hutasuhut Brunel University London BSW Adjikoesoemo Budaya Budhi Setyawan Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiawan Dwi Santoso Bur Rasuanto Burhanuddin Bella Bustan Basir Maras Catatan Catullus CB. Ismulyadi Cerbung Cerita Rakyat Cerpen Chavchay Syaifullah Cikie Wahab Cunong Nunuk Suraja D Zawawi Imron Dad Murniah Dadang Ari Murtono Dahlia Rasyad Damhuri Muhammad Damiri Mahmud Danarto Daniel Paranamesa Darju Prasetya Darman Djamaluddin Darman Moenir Dasman Djamaluddin David Krisna Alka Dea Anugrah Dedy Tri Riyadi Denny JA Denny Mizhar Desi Sommalia Gustina Dewi Anggraeni Dharma Setyawan Dian Hartati Didi Arsandi Dina Oktaviani Dipo Handoko Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Doddi Ahmad Fauji Doddy Hidayatullah Dodi Chandra Dodiek Adyttya Dwiwanto Dody Kristianto Donny Anggoro Dony P. Herwanto Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Klik Santosa Dwi Pranoto Dwicipta Edy A Effendi Edy Firmansyah Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Eko Darmoko Ellyzan Katan Elnisya Mahendra Emha Ainun Nadjib Endah Imawati Eni Suryanti Eny Rose Eriyandi Budiman Eriyanti Erwin Edhi Prasetya Erwin Setia Esai Evan Ys Evi Idawati F Rahardi Fadly Rahman Fahrudin Nasrulloh Faizah Sirajuddin Faizal Syahreza Fajar Alayubi Fakhrunnas M.A. Jabbar Fanny Chotimah Fariz al-Nizar Fariz Alneizar Faruk HT Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fathurrahman Karyadi Fatimah Wahyu Sundari Fauzan Santa Fazabinal Alim Festival Sastra Gresik Fikri MS Fiksi Mini Fransisca Dewi Ria Utari Franz Kafka Fuad Anshori Furqon Abdi Fuska Sani Evani Gendhotwukir Gendut Riyanto Gerson Poyk Gita Pratama Goenawan Mohamad Gola Gong Grathia Pitaloka Gregorio Lopez y’ Fuentes Gugun El-Guyanie Gunawan Budi Susanto Gus Noy H.H. Tokoro Hadi Napster Hamberan Syahbana Hamdy Salad Hamsad Rangkuti Han Gagas Hang Kafrawi Hani Pudjiarti Hanna Fransisca Hardi Hamzah Hardjono WS Haris del Hakim Haris Priyatna Harris Maulana Hary B. Kori'un Hasan Al Banna Hasan Junus Hasbullah Said Hasnan Bachtiar HE. Benyamine Heidi Arbuckle Helmi Y Haska Helvy Tiana Rosa Hendra Junaedi Hendri Nova Herdoni Syafriansyah Heri Kurniawan Heri Latief Heri Ruslan Herman RN Hermawan Aksan Hermien Y. Kleden Herry Lamongan Holy Adib Humaidiy AS Husni Anshori I Nyoman Darma Putra I Nyoman Tingkat I Wayan Artika Ibnu Wahyudi Ida Farida Ignas Kleden Ilham Khoiri Imam Cahyono Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Tohari Indra Tranggono Indrian Koto Irwan Kelana Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Isma Swastiningrum Ismi Wahid Iwan Gardono Sujatmiko Iwan Gunadi Iwan Kurniawan Iwan Nurdaya Djafar Iwank J.S. Badudu Janoary M Wibowo Javed Paul Syatha JILFest 2008 JJ. Kusni Jodhi Yudono Joko Novianto Bp Joko Pinurbo Jones Gultom Jual Buku Paket Hemat Jusuf AN Kadek Suartaya Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Kedung Darma Romansha Kenedi Nurhan Khaerudin Kurniawan Khaerul Anwar Ki Sugito Ha Es Kirana Kejora Komunitas Deo Gratias Korrie Layun Rampan Kritik Sastra Kunthi Hastorini Kuntowijoyo Kurie Suditomo Kurnia Effendi Kurniawan Kuswinarto La Ode Rabbani Lathifa Akmaliyah Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember Leon Agusta Lily Siti Multatuliana Lily Yulianti Farid Lina Kelana Liza Wahyuninto Lona Olavia Lugiena Dé M Fadjroel Rachman M Farid W Makkulau M Syakir M. Dawam Rahardjo M. Faizi M. Mustafied M. Raudah Jambak M. Taufan Musonip M. Yoesoef M.D. Atmaja M.Th. Krishdiana Putri Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Maklumat Sastra Profetik Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mangun Kuncoro Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria D. Andriana Maria Magdalena Bhoernomo Mariana Amiruddin Maryati Marzuzak SY Mashuri Maulana Syamsuri Media: Crayon on Paper Mega Vristian MG. Sungatno Misbahus Surur Mofik el-abrar Moh. Amir Sutaarga Moh. Ghufron Cholid Mohammad Hatta Mohammad Kh. Azad Mohammad Takdir Ilahi Much. Khoiri Muhamad Taslim Dalma Muhammad Rain Muhammad Subhan Muhammad Yasir Muhammadun A.S Muhidin M Dahlan Mujtahid Mulyawan Karim Musa Ismail Musfi Efrizal Mustafa Ismail Mustofa W Hasyim N Teguh Prasetyo N. Mursidi Nadhi Kiara Zifen Nana Riskhi Susanti Nanang Suryadi Naskah Teater Nasrulloh Habibi Neva Tuhella Nietzsche Nirwan Dewanto Nizar Qabbani Noor H. Dee Nova Christina Novelet Nunung Nurdiah Nur Wachid Nurani Soyomukti Nurel Javissyarqi Nurman Hartono Nuryana Asmaudi Nyoman Tusthi Eddy Obrolan Oky Sanjaya Oyos Saroso HN P Ari Subagyo Pagelaran Musim Tandur Pamusuk Eneste Panji Satrio PDS H.B. Jassin Penerbit dan Toko Buku PUstaka puJAngga Pipiet Senja Pramoedya Ananta Toer Pringadi AS Pringgo HR Prosa Puisi Puji Santosa Purnawan Andra PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Satria Kusuma Putu Wijaya R Masri Sareb Putra R. Adhi Kusumaputra R. Timur Budi Raja R.N. Bayu Aji Radhar Panca Dahana Ragdi F. Daye Rahmi Hattani Raja Ali Haji Raju Febrian Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Dira J Rama Prabu Ramadhan KH Ramon Magsaysay Ramses Ohee Ratih Kumala Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Ressa Novita Ressa Sagitariana Putri Ria Ristiana Dewi Rialita Fithra Asmara Ribut Wijoto Rida K Liamsi Rifka Sibarani Rilda A. Oe. Taneko Rilda A.Oe. Taneko Rimbun Natamarga Rinto Andriono Risang Anom Pujayanto Rita Zahara Riyon Fidwar Robin Al Kautsar Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Rohman Budijanto Rukardi S Yoga S. Jai S. Takdir Alisyahbana S.W. Teofani Sabrank Suparno Sahaya Santayana Sajak Sajak Sebatang Lisong Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Salman S. Yoga Salyaputra Samson Rambah Pasir Samsudin Adlawi Sanie B. Kuncoro Santy Novaria Sapardi Djoko Damono Sarabunis Mubarok Sartika Dian Nuraini Sasti Gotama Sastra Nusantara Satmoko Budi Santoso Satriani Saut Poltak Tambunan Saut Situmorang Sekolah Literasi Gratis (SLG) Selasih Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Shadiqin Sudirman Shiny.ane el’poesya Shourisha Arashi Sidik Nugroho Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sindu Putra Siska Afriani Siti Sa’adah Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Slamet Samsoerizal Sobih Adnan Sofyan RH. Zaid Solihin Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sony Wibisono Sosiawan Leak Sri Wintala Achmad Sri Wulan Rujiati Mulyadi Stevani Elisabeth Suci Ayu Latifah Sucipto Hadi Purnomo Sudarmoko Sudirman HN Suhadi Mukhan Suharsono Sukar Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sunudyantoro Supriyadi Suriani Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syahruddin El-Fikri Syaripudin Zuhri Syifa Aulia Syu’bah Asa T.A. Sakti Tammalele Tan Lioe Ie Tasyriq Hifzhillah Taufik Abdullah Taufik Effendi Aria Taufik Ikram Jamil Taufiq Wr. Hidayat TE. Priyono Teguh Winarsho AS Tenas Effendy Tengsoe Tjahjono Thayeb Loh Angen Theresia Purbandini Tia Setiadi Tias Tatanka Tito Sianipar Tjahjono EP Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tjut Zakiyah Anshari Topik Mulyana Tosa Poetra Tri Harun Syafii TS Pinang Tu-ngang Iskandar Udo Z. Karzi Uly Giznawati Umar Fauzi Ballah Umbu Landu Paranggi Umi Kulsum Uniawati Universitas Indonesia Usman Arrumy Usman D.Ganggang Utada Kamaru UU Hamidy Viddy AD Daery W.S. Rendra Wa Ode Wulan Ratna Wahib Muthalib Wahyudi Akmaliah Muhammad Wardjito Soeharso Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Sunarta Weli Meinindartato Wicaksono Widodo DS Wina Karnie Wisran Hadi Wong Wing King Yan Maniani Yanti Mulatsih Yanuar Arifin Yasser Arafat Yaumu Roikha Yetti A. KA Yohanes Padmo Adi Nugroho Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yudhi Ms Yudhistira ANM Massardi Yulianna Yurnaldi Yusi A. Pareanom Yusi Avianto Pareanom Yusri Fajar Yusrizal KW Yuyun Ifa Naliah Zaim Rofiqi Zainal Arifin Thoha Zakki Amali Zakky Zulhazmi Zawawi Se Zehan Zareez Zelfeni Wimra Zuarman Ahmad Zulfikar Akbar