Sabtu, 28 Maret 2009

Tasawuf Cinta dalam Sastra Sufi

Abdul Wachid BS
http://www.kr.co.id

MAHABBAH menjadi tingkat keruhanian penting setelah digali berdasarkan pengalaman mistik dari ahli tasawuf Ja’far al-Shidiq yang dianggap sebagai pencetusnya, lalu dikembangkan oleh Syaqiq al-Balkhi, dan Harits al-Muhasibi. Namun, di antara tokoh sufi tersebut yang mendalam dan luas pengaruh konsep mahabbah-nya ialah Rabi’ah al-Adawiyah, yang berprinsip bahwa cinta merupakan landasan ketaatan dan ketakwaan kepada Tuhan. Pandangannya tersebut terlihat dari doanya yang terkenal (via Abdul Hadi WM, 2002:41):

Kucintai Kau dengan dua cinta
Cinta untuk diriku, dan cinta sebab Kau patut dicinta
Cinta untuk diriku ialah karena aku karam
Di dalam ingatan kepada-Mu semata, membuang yang lain
Cinta sebab Kau patut dicinta, karena Kau singkap
Penghalang sehingga aku dapat memandang-Mu
Segala pujian tidak perlu lagi bagiku
Sebab semua pujian untuk-Mu semata

Menurut Imam al-Ghazali, yang dimaksudkan Rabi’ah dengan “cinta untuk diriku” ialah cinta kepada Allah disebabkan oleh kebaikan dan karunia-Nya, sedangkan “cinta sebab Kau patut dicinta” ialah cinta disebabkan oleh keindahan dan keagungan-Nya (al-jamaal dan al-jalaal) yang menyingkap rahasia diri-Nya. Kedua cinta tersebut merupakan cinta paling luhur dan dalam, dan merupakan kelezatan dalam menyaksikan keindahan Tuhan (Abu al-Wafa al-Taftazani, cet II, 1997:87).

Cinta model pertama ini perspektifnya ialah cinta rindu (syawq), sedangkan cinta model kedua itu perspektifnya ialah cinta peleburan (fanaa)”.... karena Kau singkap/ Penghalang sehingga aku dapat memandang-Mu”. Di sini kemudian gagasan Rabi’ah tentang cinta memunculkan pentingnya peran dzikir untuk meningkatkan pengalaman keagamaan dan mempertebal perasaan ketuhanan di dalam kalbu. Al-Junayd (via annemarie Schimmel, 2003:171) mendiskripsikan perubahan yang diakibatkan oleh cinta Ilahi itu sebagai berikut, “Cinta adalah leburnya pencinta ke dalam sifat-Nya, dan menetapnya Yang dicintai di dalam Dzatnya”. Dengan kata lain, diungkapkan oleh al-Junayd bahwa “Cinta berarti sifat-sifat yang Dicinta masuk ke dalam sifat-sifat pencinta”.

Al-Ghazali (ibid) juga memetaforikan cinta yang mensucikan ini sebagai “Pohon yang baik, akarnya teguh dan cabangnya menjulang ke langit” seperti yang dicitrakan oleh Al-Qur’an (QS 14:42), buahnya menampakkan dirinya di dalam hati, di lidah, dan seluruh anggota badan. Buah tersebut adalah ketaatan kepada seluruh perintah Allah, dan mengingat-Nya secara terus-menerus dalam keadaan apapun. Oleh karena itu, seorang pencinta menanggalkan seluruh kediriannya dan menggantikannya dengan apa saja yang menjadi perintah dari Yang Mahakekasih (Allah) sehingga ia hidup dengan keyakinan seperti ini, “Tak ada kebaikan dalam cinta tanpa kematian”, yang dimaksudkan ialah “mati sebelum mati”. Pada tingkat yang paling ekstrem, penerimaan terhadap penderitaan itu dilakukan oleh al-Hallaj, yang menurutnya, “Penderitaan adalah Dia Pribadi”. Semakin Tuhan mencintai seseorang, maka semakin berat Tuhan mengujinya. Para Rasul adalah orang yang paling dekat hubungannya dengan Tuhan, oleh sebab itu, para Rasul yang paling banyak mendapatkan penderitaan sebagaimana diungkap di dalam Al-Qur’an. Hal ini juga diungkap melalui hadis bahwa “Orang yang paling menderita adalah para Rasul, lalu para wali, dan seterusnya”. Itulah sebabnya al-Hallaj dengan ikhlas, menari riang menjemput maut, sebab baginya seorang martir cinta diberi hak surga.

Keyakinan semacam itu berangkat dari firman Tuhan bahwa “Jangan sebut mati mereka yang terbunuh karena Tuhan. Tidak. Mereka hidup” (QS 3:163).

Dalam perspektif sufisme, cinta Tuhan mendahului cinta dari manusia terhadap Tuhannya sebab apabila Tuhan sudah mencintai hamba-Nya, maka sang hamba tak pernah bisa menolak cinta-Nya sebab prakarsa terlebih dahulu datang dari Tuhan. Pandangan demikian berangkat dari pernyatan Al-Qur’an bahwa “Ia mencintai mereka, dan mereka mencintai-Nya” (QS 5:59).

Tentang cinta Ilahi yang sempurna itu ada tingkatan-tingkatan cinta, yang tentu saja masing-masing sufi juga tidak pernah sepaham tentang urutan tingkatannya maupun jumlah tingkatan berjenjang yang harus dilalui seorang pelaku sufi. Tentang klasifikasi tingkatan cinta ini juga tidak dapat dipisahkan dengan tema yang lebih besar berkenaan dengan keadaan mental dari sufi (ahwal) dan tingkatan-tingkatan spiritualitas sufi (maqam).

Ja’far al-Shidiq, imam keenam dari kaum Syi’ah (w.148 H/765 M) mengatakan bahwa Tuhan tidak terbatas, karenanya gnosis (ma’rifah) juga tidak terbatas. Ja’far al-Shidiq sebagai perintis gagasan cinta Ilahi menandai duabelas tanda hati yang mengandung cinta Ilahi, dan tanda itu sekaligus sebagai tingkatan yang menganalisis perjalanan spiritual menuju penglihatan wajah Tuhan, antara lain sebagai berikut: (1) tanda iman; (2) tanda gnosis (ma’rifah); (3) tanda akal (‘aql); (4) tanda keyakinan (yaqin); (5) tanda kepasrahan (islam); (6) tanda kemurahan hati (ihsan); (7) tanda kepercayaan kepada Tuhan (tawakkul); (8) tanda rasa takut kepada Tuhan (kahwf); (9) tanda harapan (raja’); (10) tanda cinta (mahabbah); (11) tanda rindu (syawq); dan (12) tanda gairah (walah) (via Carl W Ernst, dalam Seyyed Hossein Nasr, 2002:510-511).

Abu al-Qasim al-Qusyayri (w.465 H/1072 H) (ibid 517) melalui buku saku terkenalnya tentang sufisme menempatkan cinta (mahabbah) dan kerinduan (syawq) begitu pentingnya sebagai tingkatan ke-49 dan ke-50 dari seluruh limapuluh maqam yang ia ungkapkan. Dalam pandangan al-Qusyayri, kerinduan adalah kompelsk sebab tidak sekadar keterpisahan atau keberhadiran sang Kekasih, melainkan begitu kuat sehingga hanya berlanjut pada pertemuan dengan Tuhan. Al-Qusyayri juga menempatkan cinta sebagai prinsip menyeluruh kemajuan spiritual. Ia membagi cinta menjadi tiga derajat, kejujuran (rasti), kemabukan (masti), dan kehampaan (nisti).

Akan tetapi, Ruzbihan Baqli (w.606 H/1209 M), tergolong sufi Parsia awal yang menyusun risalah tentang tingkatan cinta dalam bahasa Parsia Abhar al-Asyqin (Melati Para Pencinta) secara kompleks dan memukau. Di dalam kitabnya itu Ruzbihan menggambarkan pendakian mistik ke cinta yang sempurna, yang terdiri dari duabelas maqam, yakni: (1) ‘ubudiyyah atau kehambaan; (2) wilayah atau kewalian; (3) muraqabah atau meditasi; (4) khawfi atau rasa takut; (5) raja’ atau harapan; (6) wajd atau penemuan; (7) yaqin atau keyakinan; (8) qurbah atau kedekatan; (9) mukasyafah atau penyingkapan; (10) musyahadah atau penyaksian; (11) mahabbah atau cinta; dan (12) syawq atau kerinduan. Keduabelas maqam tersebut diikuti oleh derajat tertinggi yaitu cinta universal (‘isyqi kulli) yang merupakan tujuan ruh (ibid:521).

Tentang tingkatan cinta yang digagas oleh Ruzbihan Baqli tersebut, Carl W Ernst (ibid: 521-522) menjelaskannya secara ringkas dan menarik sebagai berikut

Kehambaan terdiri dari praktik-praktik disiplin spiritual seperti dzikir, shalat, diam, puasa, dalam rangka mensucikan sifat seseorang. Kewalian mencakup sifat-sifat seperti taubat (tawbah), kesalehan (wara’) dan asketisme (zuhud). Meditasi didasarkan pada pengendalian atas pemikiran yang serampangan dan melihat hakikat sejati diri. Rasa takut adalah sejenis mensucikan api yang membangkitkan perilaku para nabi, meskipun tidak benar bahwa ia mengasingkan seseorang dari sang Kekasih.

Kemudian harapan adalah obat yang menuntun kepada musim semi jiwa. Penemuan adalah memperoleh kedekatan sang Kekasih.....Keyakinan sang elit (sufi) adalah sesuatu yang berada di luar keimanan yang bisa digoyahkan yang berupa keyakinan manusia awam; ia adalah merasakan langsung sifat-sifat Ilahi dalam transendensi intensif yang semakin besar, yang digambarkan Ruzbihan dalam imaji karakteristik sebagai terbakarnya sayap-sayap burung dalam api (cahaya). Penyingkapan, terjadi pada tingkatan akal, hati dan ruh untuk menyingkapkan bentuk-bentuk cinta yang berbeda; ia menggabungkan cinta dan keindahan dalam jiwa dan menyingkapkan kekuasaan Ilahi sebagai anggur cinta. Penyaksian adalah kategori yang dibagi Ruzbihan ke dalam dua bagian seperti ketenangan hati dan kemabukan (pembagian yang dapat dibuat dalam setiap maqam); bagian tenang penyaksian adalah pemakaian jubah Ilahi (iltibas), ciri Ibrahim, sementara bagian mabuk darinya adalah penghapusan (mahw), sifat Musa, namun Muhammad menggabungkan dua pengalaman ini dalam penyaksiannya.

Menurut Ruzbihan (ibid), cinta pada intinya dapat dibagi menjadi dua, cinta pada manusia awam, dan cinta pada para ahli. Cinta pada manusia awam ini didasarkan pada manifestasi keindahan dalam ciptaan, derajatnya ialah keimanan daripada penyaksian langsung. Cinta pada para ahli didasarkan pada tiga hal, pertama tatkala ruh yang belum berwujud mengadakan perjanjian dengan Tuhannya yang mengakui Allah sebagai Tuhannya (QS 7:171); kedua, di saat ruh tidak lagi terselubung oleh sifat manusia, melainkan manusia dan Tuhannya sudah tidak ada lagi penghalang; ketiga, penyaksian yang menyempurnakan yang kedua tadi, sang hamba sebagai cermin dari sifat-sifat ketuhanan sehingga siapa pun yang menatap pencinta akan menjadi pencinta Tuhan.

Pada tingkat kerinduan (syawq) oleh Ruzbihan (ibid:523) digambarkan bahwa kerinduan adalah api yang membakar semua pikiran, hasrat, dan selubung dari hati, karenanya jika cinta dan kerinduan mencapai kesatuan, maka diri manusia akan “lenyap” (fana). Akhir batas cinta menurut Ruzbihan didefinisikan oleh dua tingkatan yaitu gnosis (ma’rifah) dan keesaan (tawhid), di atasnya sudah tidak ada lagi. Pada titik ini pantas untuk mengatakan dalam ungkapan eskatis (syathiyyah) seperti pernyataan Abu Yazid, “Mahaterpujilah Aku”; atau, ungkapan al-Hallaj, “Akulah Kebenaran”. Pengalaman pencinta dalam keadaan eskatis itu atas kemanunggalan dengan Tuhan melampaui semua bentuk ungkapan lain.

Pada titik ini pula, cinta dipersepsi dan diposisikan sebagai bentuk akhir hubungan manusia dan Tuhan. Faktor prinsip yang menjunjung cinta di atas keduniaan, yang berada di luar hasrat ego diakui semenjak Rabi’ah al-Adawiyah. Para sufi menyingkap pemahaman cinta melalui karakteristik pengalaman batin melalui keadaan (ahwal) an tingkatan (maqam) spiritual, dan kekayaan kejiwaan merekalah yang membedakan masing-masing pemahaman terhadap cinta. Jumlah maqam yang berbeda-beda itu hanya menunjukkan prioritas masing-masing pelakunya untuk memberi penekanan tertentu pada tingkat tertentu menuju cinta Ilahi. Maqam-maqam itu tiada lain bertujuan sama, yakni hanya demi menandai tingkat kemajuan pelaku sufi sebagai kekasih menuju penyatuan dengan Yang Mahakekasih (Allah).

Tidak ada komentar:

A Khoirul Anam A Qorib Hidayatullah A Rodhi Murtadho A. Yusrianto Elga A. Zakky Zulhazmi A.S. Laksana Aang Fatihul Islam Aba Mardjani Abd. Mun’im Abdul Aziz Rasjid Abdul Gaffar Ruskhan Abdul Hadi W. M. Abdul Kadir Ibrahim Abdul Malik Abdul Muis Abdul Wachid BS Abdullah Khusairi Abidah El Khalieqy Abimardha Kurniawan Abroorza A. Yusra Abu Salman Acep Iwan Saidi Achmad Farid Tuasikal Adek Alwi Adi Marsiela Adian Husaini Adib Muttaqin Asfar Adji Subela Afandi Sido Afriza Hanifa Afrizal Malna Ageng Wuri R. A. Ags. Arya Dipayana Aguk Irawan M.N. Agus B. Harianto Agus Bing Agus Noor Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sri Danardana Agus Sulton Agus Sunyoto Agus Wibowo Agus Wirawan Agusri Junaidi AH J Khuzaini Ahda Imran Ahid Hidayat Ahm Soleh Ahmad Asyhar Ahmad Farid Yahya Ahmad Fuadi Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musthofa Haroen Ahmad Rofiq Ahmad Suhendra Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Aini Aviena Violeta Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sekhu Al Azhar Riau Al-Fairish Alex R. Nainggolan Alexander G.B. Alfian Zainal Aliansyah Alimuddin Almania Rohmah Alunk Estohank Amien Kamil Amien Wangsitalaja Anata Siregar Andi Sutisno Andy Riza Hidayat Anies Baswedan Anindita S Thayf Anis Ceha Anis Faridatur Rofiah Anjrah Lelono Broto Anna Subekti Anton Kurnia Ari Hidayat Ari Kristianawati Arie MP Tamba Arief Junianto Aris Kurniawan Arti Bumi Intaran Arul Arista AS Sumbawi Asarpin Asep Sambodja Atiqurrahman Awalludin GD Mualif Ayu Purwaningsih Babe Derwan Bakdi Soemanto Balada Bale Aksara Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Bayu Dwi Mardana Bellanissa Zoditama Beni Setia Benny Arnas Beno Siang Pamungkas Berita Berita Duka Bernando J. Sujibto Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Bokor Hutasuhut Brunel University London BSW Adjikoesoemo Budaya Budhi Setyawan Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiawan Dwi Santoso Bur Rasuanto Burhanuddin Bella Bustan Basir Maras Catatan Catullus CB. Ismulyadi Cerbung Cerita Rakyat Cerpen Chavchay Syaifullah Cikie Wahab Cunong Nunuk Suraja D Zawawi Imron Dad Murniah Dadang Ari Murtono Dahlia Rasyad Damhuri Muhammad Damiri Mahmud Danarto Daniel Paranamesa Darju Prasetya Darman Djamaluddin Darman Moenir Dasman Djamaluddin David Krisna Alka Dea Anugrah Dedy Tri Riyadi Denny JA Denny Mizhar Desi Sommalia Gustina Dewi Anggraeni Dharma Setyawan Dian Hartati Didi Arsandi Dina Oktaviani Dipo Handoko Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Doddi Ahmad Fauji Doddy Hidayatullah Dodi Chandra Dodiek Adyttya Dwiwanto Dody Kristianto Donny Anggoro Dony P. Herwanto Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Klik Santosa Dwi Pranoto Dwicipta Edy A Effendi Edy Firmansyah Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Eko Darmoko Ellyzan Katan Elnisya Mahendra Emha Ainun Nadjib Endah Imawati Eni Suryanti Eny Rose Eriyandi Budiman Eriyanti Erwin Edhi Prasetya Erwin Setia Esai Evan Ys Evi Idawati F Rahardi Fadly Rahman Fahrudin Nasrulloh Faizah Sirajuddin Faizal Syahreza Fajar Alayubi Fakhrunnas M.A. Jabbar Fanny Chotimah Fariz al-Nizar Fariz Alneizar Faruk HT Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fathurrahman Karyadi Fatimah Wahyu Sundari Fauzan Santa Fazabinal Alim Festival Sastra Gresik Fikri MS Fiksi Mini Fransisca Dewi Ria Utari Franz Kafka Fuad Anshori Furqon Abdi Fuska Sani Evani Gendhotwukir Gendut Riyanto Gerson Poyk Gita Pratama Goenawan Mohamad Gola Gong Grathia Pitaloka Gregorio Lopez y’ Fuentes Gugun El-Guyanie Gunawan Budi Susanto Gus Noy H.H. Tokoro Hadi Napster Hamberan Syahbana Hamdy Salad Hamsad Rangkuti Han Gagas Hang Kafrawi Hani Pudjiarti Hanna Fransisca Hardi Hamzah Hardjono WS Haris del Hakim Haris Priyatna Harris Maulana Hary B. Kori'un Hasan Al Banna Hasan Junus Hasbullah Said Hasnan Bachtiar HE. Benyamine Heidi Arbuckle Helmi Y Haska Helvy Tiana Rosa Hendra Junaedi Hendri Nova Herdoni Syafriansyah Heri Kurniawan Heri Latief Heri Ruslan Herman RN Hermawan Aksan Hermien Y. Kleden Herry Lamongan Holy Adib Humaidiy AS Husni Anshori I Nyoman Darma Putra I Nyoman Tingkat I Wayan Artika Ibnu Wahyudi Ida Farida Ignas Kleden Ilham Khoiri Imam Cahyono Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Tohari Indra Tranggono Indrian Koto Irwan Kelana Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Isma Swastiningrum Ismi Wahid Iwan Gardono Sujatmiko Iwan Gunadi Iwan Kurniawan Iwan Nurdaya Djafar Iwank J.S. Badudu Janoary M Wibowo Javed Paul Syatha JILFest 2008 JJ. Kusni Jodhi Yudono Joko Novianto Bp Joko Pinurbo Jones Gultom Jual Buku Paket Hemat Jusuf AN Kadek Suartaya Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Kedung Darma Romansha Kenedi Nurhan Khaerudin Kurniawan Khaerul Anwar Ki Sugito Ha Es Kirana Kejora Komunitas Deo Gratias Korrie Layun Rampan Kritik Sastra Kunthi Hastorini Kuntowijoyo Kurie Suditomo Kurnia Effendi Kurniawan Kuswinarto La Ode Rabbani Lathifa Akmaliyah Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember Leon Agusta Lily Siti Multatuliana Lily Yulianti Farid Lina Kelana Liza Wahyuninto Lona Olavia Lugiena Dé M Fadjroel Rachman M Farid W Makkulau M Syakir M. Dawam Rahardjo M. Faizi M. Mustafied M. Raudah Jambak M. Taufan Musonip M. Yoesoef M.D. Atmaja M.Th. Krishdiana Putri Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Maklumat Sastra Profetik Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mangun Kuncoro Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria D. Andriana Maria Magdalena Bhoernomo Mariana Amiruddin Maryati Marzuzak SY Mashuri Maulana Syamsuri Media: Crayon on Paper Mega Vristian MG. Sungatno Misbahus Surur Mofik el-abrar Moh. Amir Sutaarga Moh. Ghufron Cholid Mohammad Hatta Mohammad Kh. Azad Mohammad Takdir Ilahi Much. Khoiri Muhamad Taslim Dalma Muhammad Rain Muhammad Subhan Muhammad Yasir Muhammadun A.S Muhidin M Dahlan Mujtahid Mulyawan Karim Musa Ismail Musfi Efrizal Mustafa Ismail Mustofa W Hasyim N Teguh Prasetyo N. Mursidi Nadhi Kiara Zifen Nana Riskhi Susanti Nanang Suryadi Naskah Teater Nasrulloh Habibi Neva Tuhella Nietzsche Nirwan Dewanto Nizar Qabbani Noor H. Dee Nova Christina Novelet Nunung Nurdiah Nur Wachid Nurani Soyomukti Nurel Javissyarqi Nurman Hartono Nuryana Asmaudi Nyoman Tusthi Eddy Obrolan Oky Sanjaya Oyos Saroso HN P Ari Subagyo Pagelaran Musim Tandur Pamusuk Eneste Panji Satrio PDS H.B. Jassin Penerbit dan Toko Buku PUstaka puJAngga Pipiet Senja Pramoedya Ananta Toer Pringadi AS Pringgo HR Prosa Puisi Puji Santosa Purnawan Andra PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Satria Kusuma Putu Wijaya R Masri Sareb Putra R. Adhi Kusumaputra R. Timur Budi Raja R.N. Bayu Aji Radhar Panca Dahana Ragdi F. Daye Rahmi Hattani Raja Ali Haji Raju Febrian Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Dira J Rama Prabu Ramadhan KH Ramon Magsaysay Ramses Ohee Ratih Kumala Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Ressa Novita Ressa Sagitariana Putri Ria Ristiana Dewi Rialita Fithra Asmara Ribut Wijoto Rida K Liamsi Rifka Sibarani Rilda A. Oe. Taneko Rilda A.Oe. Taneko Rimbun Natamarga Rinto Andriono Risang Anom Pujayanto Rita Zahara Riyon Fidwar Robin Al Kautsar Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Rohman Budijanto Rukardi S Yoga S. Jai S. Takdir Alisyahbana S.W. Teofani Sabrank Suparno Sahaya Santayana Sajak Sajak Sebatang Lisong Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Salman S. Yoga Salyaputra Samson Rambah Pasir Samsudin Adlawi Sanie B. Kuncoro Santy Novaria Sapardi Djoko Damono Sarabunis Mubarok Sartika Dian Nuraini Sasti Gotama Sastra Nusantara Satmoko Budi Santoso Satriani Saut Poltak Tambunan Saut Situmorang Sekolah Literasi Gratis (SLG) Selasih Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Shadiqin Sudirman Shiny.ane el’poesya Shourisha Arashi Sidik Nugroho Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sindu Putra Siska Afriani Siti Sa’adah Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Slamet Samsoerizal Sobih Adnan Sofyan RH. Zaid Solihin Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sony Wibisono Sosiawan Leak Sri Wintala Achmad Sri Wulan Rujiati Mulyadi Stevani Elisabeth Suci Ayu Latifah Sucipto Hadi Purnomo Sudarmoko Sudirman HN Suhadi Mukhan Suharsono Sukar Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sunudyantoro Supriyadi Suriani Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syahruddin El-Fikri Syaripudin Zuhri Syifa Aulia Syu’bah Asa T.A. Sakti Tammalele Tan Lioe Ie Tasyriq Hifzhillah Taufik Abdullah Taufik Effendi Aria Taufik Ikram Jamil Taufiq Wr. Hidayat TE. Priyono Teguh Winarsho AS Tenas Effendy Tengsoe Tjahjono Thayeb Loh Angen Theresia Purbandini Tia Setiadi Tias Tatanka Tito Sianipar Tjahjono EP Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tjut Zakiyah Anshari Topik Mulyana Tosa Poetra Tri Harun Syafii TS Pinang Tu-ngang Iskandar Udo Z. Karzi Uly Giznawati Umar Fauzi Ballah Umbu Landu Paranggi Umi Kulsum Uniawati Universitas Indonesia Usman Arrumy Usman D.Ganggang Utada Kamaru UU Hamidy Viddy AD Daery W.S. Rendra Wa Ode Wulan Ratna Wahib Muthalib Wahyudi Akmaliah Muhammad Wardjito Soeharso Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Sunarta Weli Meinindartato Wicaksono Widodo DS Wina Karnie Wisran Hadi Wong Wing King Yan Maniani Yanti Mulatsih Yanuar Arifin Yasser Arafat Yaumu Roikha Yetti A. KA Yohanes Padmo Adi Nugroho Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yudhi Ms Yudhistira ANM Massardi Yulianna Yurnaldi Yusi A. Pareanom Yusi Avianto Pareanom Yusri Fajar Yusrizal KW Yuyun Ifa Naliah Zaim Rofiqi Zainal Arifin Thoha Zakki Amali Zakky Zulhazmi Zawawi Se Zehan Zareez Zelfeni Wimra Zuarman Ahmad Zulfikar Akbar