Rifka Sibarani
http://oase.kompas.com/
“Kamu kira segampang itu memutuskannya?”
Kupakai celana dalamku. Reo meraih pinggangku dan memelukku dari belakang.
“Kau tahu, aku sangat mencintaimu. Aku gak bisa melupakanmu begitu saja. Kalau aku bisa melupakanmu, pasti udah dari dulu aku ninggalin kamu. Tinggalkan saja dia. Kita menikah dan hidup bahagia,” bisiknya.
Kali ini aku tidak boleh terbujuk lagi. Kulepaskan pelukannya. Kupakai celanaku . Aku harus segera pergi.
“Reo, apapun yang terjadi aku adalah calon istri Bion. Kau lihat cincin ini? Kau kira aku bisa memutuskan ikatan kami?” Sahutku ketus. “Sebulan lagi kami akan menikah. Hanya maut yang bisa memisahkan kami.”
“Terus kamu ngapain disini? Sebulan lagi kamu menikah dan tadi malam kamu baru saja tidur dengan lelaki yang … entah apamu!” Aku terdiam. Reo benar.
Mendung menyelimuti langit pagi itu. Angin dingin berdesir menyusup masuk ke kamar kami. Hanya desir angin yang terdengar menyanyikan lagu sedih tentang kesepian.
Dering handphone-ku memecah keheningan. Sms dari Bion.
“Aku harus pulang. Aku mau ngurusin gaun pengantinku.” Kupakai kemejaku dan kupoles wajahku dengan sedikit make-up.
“Pulanglah ke Bandung, kamu buang aja waktu disini.”
Kukeluarkan undanganku dan kuletakkan di meja hotel, “Jika sempat datanglah. Pastikan wajahmu jangan muram, semua orang tersenyum di pesta pernikahan.”
Kulihat jelas kekecewaan di wajah Reo. Aku ingin sekali memeluknya dan berkata bahwa aku hanya berbohong dan ingin menikah dengannya. Bukan Bion.
Ya Tuhan! Apa yang ada di kepalaku? Aku harus mengakhiri semua ini!
“Aku pulang dulu. Jangan hubungi aku lagi. Aku pasti sibuk dengan pernikahanku.” Kubereskan tasku dan keluar. Meninggalkan Reo dalam segala kekecewaan dan pertanyaan.
Reo berjalan menuju meja. Diraihnya sepucuk undangan bersampul putih. Foto Bion dan Arini berpelukan begitu mesra menghiasi sampulnya. Tangan Reo bergetar membuka undangan itu.
Gereja St. Nicholas.
Pukul 16.00
“Baiklah … jika hanya kematian yang bisa memisahkan kalian.”
***
Baru kali ini aku menginjak kota Medan. Sudah dua minggu aku berada di Medan dan aku masih membenci kota ini dan semua hal tentang Medan. Bahasa mereka aneh dan kenapa semua orang harus berteriak disini? Sepertinya orang-orang disini tidak mengenal etika berkendara. Pengendara sepeda motor sesuka hatinya memotong mobil dengan kecepatan tinggi! Bahkan tak ada perbedaan antara lampu merah dan lampu hijau. Orang-orang menerobos lampu merah seenaknya. Bagaimana aku dapat hidup di kota seperti ini?
Aku dan Bion sudah pacaran sejak kami sama-sama kuliah di Bandung. Setelah kami berdua bekerja, Bion melamarku. Entah apa yang membuatku menerima lamarannya.
Sebagai orang batak, Bion harus menikah secara adat di rumahnya. Aku sendiri tidak pernah membayangkan akan menikah di kota Medan. Kota yang sangat asing bagiku.
Aku tinggal di rumah calon mertuaku. Sebenarnya keluarga Bion kurang setuju karena seharusnya kedua pengantin dipingit untuk menghindari bencana sebelum pernikahan, namun Bion bersikeras karena aku tidak punya sanak saudara di Medan. Aku sendiri kurang percaya dengan mitos seperti itu. Nasib kita sudah digariskan oleh Tuhan.
Kedua orangtua Bion sangat ramah dan sudah menganggapku seperti anak mereka sendiri. Setidaknya penderitaan akibat culture shock ini bisa terobati setibanya pulang ke rumah Bion. Bion adalah anak bungsu dari dua bersaudara. Kakak perempuannya sudah menikah dan sekarang menjadi guru di Kupang, mengikuti suaminya. Aku sendiri seorang yatim piatu. Menurut arsip panti asuhanku, ibuku meninggal maka ayahku menitipkanku di panti asuhan karena tak mampu merawatku. Aku bahkan tidak tahu bagaimana rupa mereka namun aku sangat merindukan mereka.
Pagi ini aku harus mencoba gaun pengantin, dan aku juga ingin melihat-lihat kota Medan lebih dekat maka kuputuskan naik becak mesin. Aku mengabaikan ajakan para supir angkot dan fasilitas jemputan mobil pribadi dari calon mertuaku karena penasaran dengan becak mesin ini.
Aku bersyukur perjalanan menuju rumah mertuaku di daerah Simpang Limun cukup jauh dari Sun Plaza, tempat kami memesan gaun pengantin. Aku jadi punya waktu untuk berfikir. Hal pertama yang terlintas malah Reo. Ya, aku sangat merindukannya.
Baiklah, Reo dan Bion secara finansial mungkin tidak terlalu berbeda. Secara fisik? Reo tidak masuk daftar tungguku. Tubuhnya gempal dan wajahnya tidak se-macho Bion.
Setidaknya kami menyukai hal yang sama. Film, musik dan filosofi hidup.
Apalagi yang kita butuhkan untuk saling jatuh cinta?
Pertemuan kami berawal dari kepenatan, dentuman musik, beberapa gelas tequila lalu berakhir di ranjang. Ternyata tidak hanya berakhir disitu, dengan gigih dan tak tahu malunya Reo tetap mengejarku, walaupun dia tahu aku sudah memiliki Bion.
Dosa itu indah, bukan? Reo adalah dosa terindahku.
Kini, perasaan ragu semakin menyelimutiku. Aku belum ingin menikah. Aku bahkan tidak punya bayangan tentang kehidupan rumah tanggaku kelak.
Aku ingin menghabiskan waktuku dengan Reo. Aku ingin dibacakan buku-buku tentang film dan filsafat, menghabiskan waktu berjam-jam beradu argumen tentang film atau sekedar menonton film jelek dan mengejeknya. Hal kecil yang tak kudapatkan dari Bion karena kesibukannya.
Aku tidak ingin menikah.
Aku tidak ingin Bion menyentuh tubuhku dan menelanjangi harga diriku.
Aku meraih handphone-ku. Aku harus meminta Reo menemuiku.
Handphone-ku bergetar, ternyata Bion.
“ Halo, Bion?” Aku menjawab dengan malas.
“Arini, kamu datang ya sekarang ke Tiara Convention Centre. Sekalian kamu liat rancangan dekorasinya.” Klik. Tiba-tiba terputus karena handphone-ku low-batt.
Suara bising kendaraan mengalahkan suara Bion. Aku tidak mendengarnya dengan jelas. Dengan modal nekat, aku menyuruh abang becak mesin membawaku ke gedung yang kuyakini sepertinya disebutkan Bion, berharap Bion akan menungguku di pintu masuk.
Tepat! Malah dia sedang menungguku di depan gerbang masuk gedung. Dia kaget ternyata calon pengantin wanita malah naik becak mesin. Wajahku kusam akibat polusi jalan dan rambutku kusut oleh terpaan angin. Wajahku benar-benar jelek saat itu namun Bion tetap menggandengku sepanjang jalan.
Aku kagum melihat gedung pilihan Bion. Bahkan aku tidak pernah bermimpi akan menikah di gedung sebagus ini. Setelah melihat-lihat sebentar aku permisi mencuci wajahku yang dekil.
Sekembalinya dari toilet, Bion memperkenalkanku pada Lily. Temannya yang akan membantu menghias ruangan pesta kami. Bion meninggalkan kami berdua karena dia masih harus mengurus masalah undangan.
Lily bertubuh mungil dan berwajah oriental. Jika tersenyum maka matanya seperti hilang dan membentuk garis lurus. Keramahannya membuatku nyaman menyampaikan ide tentang dekorasi ruangannya.
Hampir dua jam kami membicarakan dekorasi gedung. Bion tidak salah pilih orang. Lily benar-benar kreatif ! Dia bisa mewujudkan ruangan impianku dan Bion.
Setelah merasa semua beres, kami meluncur ke kafe langganan Bion. Dia meminta Lily mengantarku ke sana karena dia sudah capek dan tak sanggup jika masih harus menjemputku.
Hujan yang turun sore itu membuat jalanan Medan sepi. Mobil kami jadi leluasa menyusuri jalan. Di sisi jalan dan teras pertokoan tampak kumpulan orang yang berteduh. Aku membuka kaca mobil sedikit agar aku bisa mencium aroma hujan. Mengingatkanku pada Bandung dan masa kecilku.
“Kau memang sudah siap nikah, kan?” Lily membuka percakapan dengan tema yang buruk.
“Apa maksudmu?” Saat ini pertanyaan itu sangat sensitif untukku dan dapat membangkitkan darah militerku.
“Enggak…aku cuma liat dari matamu. Kau masih mikirin pria lain, kan? Sebaiknya kau selesaikan masalah kalian. Sebelum sesuatu yang buruk terjadi. Jangan jadikan Bion korban keegoisanmu.”
Mobil berhenti di lampu merah.
“Lily, aku rasa ini bukan urusanmu. Lagian kita baru kenal dan apa kamu juga udah nikah? Apa yang kamu tahu tentang pernikahan?” Suaraku mulai naik satu desibel.
Lily tidak menggubris kemarahanku. Dia hanya tersenyum lalu berkata, “ Kau tahu? Bion itu tulus cinta ama kau. Dia gak pernah minta apapun. Aku tahu dia selalu gagal bagi waktunya untukmu, bukan berarti dia gak sayang sama kau. Dia selalu cerita samaku tentangmu. Bosan aku dengarnya.”
Baiklah, kini aku punya alasan lebih kuat untuk meninggalkan Bion. Ternyata mulutnya tidak bisa dijaga. “Dia juga tahu kau berselingkuh dengan seorang pria bernama Reo.”
Ya, Tuhan! Bagaimana mungkin?
Bion mengetahui semuanya dan dia tidak pernah sekalipun menyinggungnya. Seketika itu juga wajahku memucat. Lidahku kelu. Aku tidak bisa berkata-kata lagi. Lily tidak mungkin berbohong jika dia sudah mengetahui nama Reo.
“Sudahlah, Bion memutuskan menikahimu secepat ini karena dia tidak mau kehilangan kau. Dia menerimamu apa adanya. Zaman sekarang agak sulit menemukan pria dengan jiwa besar seperti Bion.”
Aku menangis. Setulus itukah Bion mencintaiku? Betapa berdosanya aku.
Lily tersenyum dan meraih tanganku, ”Tak ada salahnya mencoba bukan? Cobalah mencintainya.”
***
“Maafkan aku yang mungkin telah menyakiti hatimu. Aku harap kau bisa menghadiri pernikahan kami.”
Pesan terkirim.
Sejak perpisahan di hotel, Reo tak bisa dihubungi atau lebih tepatnya tidak menjawab telponku. Aku sebenarnya tak ingin meninggalkan kesan buruk. Setidaknya Reo harus merelakanku.
Selama ini aku gelap mata, berfikir bahwa dengan berselingkuh aku akan mendapatkan cinta yang aku inginkan namun yang terjadi malah sebaliknya. Cinta itu telah menemukanku dan selalu ada disampingku dan menerimaku apa adanya
Jiwaku bersorak dalam sukacita. Bagaikan jatuh cinta pertama kali namun kali ini aku telah mengerti apa maksud dari cinta itu.
Jam dinding berdentang tepat tiga belas kali. Tandanya aku harus bersiap-siap. Jam tiga sore nanti kami akan latihan tata acara pemberkatan di gereja. Aku sudah tak sabar menunggu hari pernikahan kami. Aku memakai gaun pemberian Bion. Sebuah gaun pendek berwarna biru tua dengan belahan punggung rendah yang membuatku merasa seksi. Dia memang tahu bagaimana membuatku cantik. Kusapukan make-up tipis agar wajahku tampak semakin cerah. Dari cermin aku melihat Bion mengintip di balik daun pintu.
“Masuklah…sedang apa kau mengintip calon istrimu sendiri?” Bion tertawa lalu masuk dan memelukku dari belakang. Dia melingkarkan tangannya di pinggangku dan menciumi leherku.
“Kau gadis tercantik di hatiku.” Aku tertawa mendengarnya mengingat Bion pasti selalu dikelilingi wanita-wanita yang lebih cantik dari aku, tapi hanya aku yang ada di hatinya.
“Kau lihat di cermin? Begitulah takdir kita. Kita memang diciptakan untuk bersatu. Kau udah hapal janji pernikahan kita?” Bisiknya di telingaku. Mulutku mulai membaca janji pernikahan kami. Tangan Bion mulai jahil menjelajah perut dan turun ke pahaku. Kubalikkan badanku dan mulai menciumi bibirnya. Kali ini dengan cinta dan kesetiaan.
***
Dentang bel gereja menggema di udara. Lagu She’s the One berkumandang. Aku tak menyangka Bion benar-benar menjadikan lagu ini sebagai lagu pengiringku. Padahal pihak gereja melarangnya.
Paman Bion mendampingiku berjalan menuju altar. Semua mata tertuju padaku. Inikah impian setiap gadis itu? Berjalan di altar dengan gaun pengantin dan sang pangeran telah menunggu. Wajahhku memerah. Aku merasa malu, gugup sekaligus bahagia.
Seketika aku merindukan orang tuaku. Seharusnya mereka disini, memberi restu dan melihatku menemukan pendamping hidupku. Di altar, Bion menungguku dengan wajah bahagia. Dia meraih tanganku. Acara ibadah pun dimulai. Pendeta memimpin doa pemberkatan nikah. Aku menangis.
Sebentar lagi saatnya pemberkatan nikah, seperti biasa pendeta akan bertanya adakah yang tidak setuju dengan pernikahan ini.
Reo.
Aku teringat pada Reo, akankah dia datang dan menggugat pernikahan ini?
“Tuhan jangan biarkan dia datang.” Doaku dalam hati. Bion meraih tanganku dan menggenggamnya erat. Seakan dia tidak ingin kehilanganku.
“Aku tidak setuju.”
Tidak! Aku mengenal suara itu. Itu Reo. Aku bahkan tak sanggup membalikkan badanku dan melihatnya.
“Usir orang itu!” Teriak Bion. Suasana menjadi gaduh karena Reo melawan.
Terdengar suara tembakan. Semua orang panik. Badanku bergetar ketakutan. Bion segera memelukku. Kami merunduk. Terdengar tembakan kedua. Tembakannya mengenai Bion. Aku berteriak histeris. Tanganku berlumuran darah Bion.
Reo mendekati kami. Aku bisa melihat wajah Reo yang dipenuhi kebencian dan amarah. Aku juga bisa melihat air matanya.
“Aku mohon maafkan aku…”Mohonku. Reo hanya diam.
Terdengar kembali tembakan ketiga. Tubuhku merasakan sakit dan panas yang dahsyat. Peluru itu mengenai dadaku.
“Ya Tuhan…” Hanya itu yang kata-kata yang meluncur dari bibirku. Lalu semuanya gelap dan aku mendengar tembakan keempat.
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Minggu, 22 Februari 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Khoirul Anam
A Qorib Hidayatullah
A Rodhi Murtadho
A. Yusrianto Elga
A. Zakky Zulhazmi
A.S. Laksana
Aang Fatihul Islam
Aba Mardjani
Abd. Mun’im
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Gaffar Ruskhan
Abdul Hadi W. M.
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Malik
Abdul Muis
Abdul Wachid BS
Abdullah Khusairi
Abidah El Khalieqy
Abimardha Kurniawan
Abroorza A. Yusra
Abu Salman
Acep Iwan Saidi
Achmad Farid Tuasikal
Adek Alwi
Adi Marsiela
Adian Husaini
Adib Muttaqin Asfar
Adji Subela
Afandi Sido
Afriza Hanifa
Afrizal Malna
Ageng Wuri R. A.
Ags. Arya Dipayana
Aguk Irawan M.N.
Agus B. Harianto
Agus Bing
Agus Noor
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Sri Danardana
Agus Sulton
Agus Sunyoto
Agus Wibowo
Agus Wirawan
Agusri Junaidi
AH J Khuzaini
Ahda Imran
Ahid Hidayat
Ahm Soleh
Ahmad Asyhar
Ahmad Farid Yahya
Ahmad Fuadi
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Musthofa Haroen
Ahmad Rofiq
Ahmad Suhendra
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Aini Aviena Violeta
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Muhaimin Azzet
Akhmad Sekhu
Al Azhar Riau
Al-Fairish
Alex R. Nainggolan
Alexander G.B.
Alfian Zainal
Aliansyah
Alimuddin
Almania Rohmah
Alunk Estohank
Amien Kamil
Amien Wangsitalaja
Anata Siregar
Andi Sutisno
Andy Riza Hidayat
Anies Baswedan
Anindita S Thayf
Anis Ceha
Anis Faridatur Rofiah
Anjrah Lelono Broto
Anna Subekti
Anton Kurnia
Ari Hidayat
Ari Kristianawati
Arie MP Tamba
Arief Junianto
Aris Kurniawan
Arti Bumi Intaran
Arul Arista
AS Sumbawi
Asarpin
Asep Sambodja
Atiqurrahman
Awalludin GD Mualif
Ayu Purwaningsih
Babe Derwan
Bakdi Soemanto
Balada
Bale Aksara
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Bayu Dwi Mardana
Bellanissa Zoditama
Beni Setia
Benny Arnas
Beno Siang Pamungkas
Berita
Berita Duka
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Bokor Hutasuhut
Brunel University London
BSW Adjikoesoemo
Budaya
Budhi Setyawan
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budiawan Dwi Santoso
Bur Rasuanto
Burhanuddin Bella
Bustan Basir Maras
Catatan
Catullus
CB. Ismulyadi
Cerbung
Cerita Rakyat
Cerpen
Chavchay Syaifullah
Cikie Wahab
Cunong Nunuk Suraja
D Zawawi Imron
Dad Murniah
Dadang Ari Murtono
Dahlia Rasyad
Damhuri Muhammad
Damiri Mahmud
Danarto
Daniel Paranamesa
Darju Prasetya
Darman Djamaluddin
Darman Moenir
Dasman Djamaluddin
David Krisna Alka
Dea Anugrah
Dedy Tri Riyadi
Denny JA
Denny Mizhar
Desi Sommalia Gustina
Dewi Anggraeni
Dharma Setyawan
Dian Hartati
Didi Arsandi
Dina Oktaviani
Dipo Handoko
Djenar Maesa Ayu
Djoko Pitono
Doddi Ahmad Fauji
Doddy Hidayatullah
Dodi Chandra
Dodiek Adyttya Dwiwanto
Dody Kristianto
Donny Anggoro
Dony P. Herwanto
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Klik Santosa
Dwi Pranoto
Dwicipta
Edy A Effendi
Edy Firmansyah
Eka Budianta
Eka Fendri Putra
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Ellyzan Katan
Elnisya Mahendra
Emha Ainun Nadjib
Endah Imawati
Eni Suryanti
Eny Rose
Eriyandi Budiman
Eriyanti
Erwin Edhi Prasetya
Erwin Setia
Esai
Evan Ys
Evi Idawati
F Rahardi
Fadly Rahman
Fahrudin Nasrulloh
Faizah Sirajuddin
Faizal Syahreza
Fajar Alayubi
Fakhrunnas M.A. Jabbar
Fanny Chotimah
Fariz al-Nizar
Fariz Alneizar
Faruk HT
Fatah Anshori
Fatah Yasin Noor
Fathurrahman Karyadi
Fatimah Wahyu Sundari
Fauzan Santa
Fazabinal Alim
Festival Sastra Gresik
Fikri MS
Fiksi Mini
Fransisca Dewi Ria Utari
Franz Kafka
Fuad Anshori
Furqon Abdi
Fuska Sani Evani
Gendhotwukir
Gendut Riyanto
Gerson Poyk
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Gola Gong
Grathia Pitaloka
Gregorio Lopez y’ Fuentes
Gugun El-Guyanie
Gunawan Budi Susanto
Gus Noy
H.H. Tokoro
Hadi Napster
Hamberan Syahbana
Hamdy Salad
Hamsad Rangkuti
Han Gagas
Hang Kafrawi
Hani Pudjiarti
Hanna Fransisca
Hardi Hamzah
Hardjono WS
Haris del Hakim
Haris Priyatna
Harris Maulana
Hary B. Kori'un
Hasan Al Banna
Hasan Junus
Hasbullah Said
Hasnan Bachtiar
HE. Benyamine
Heidi Arbuckle
Helmi Y Haska
Helvy Tiana Rosa
Hendra Junaedi
Hendri Nova
Herdoni Syafriansyah
Heri Kurniawan
Heri Latief
Heri Ruslan
Herman RN
Hermawan Aksan
Hermien Y. Kleden
Herry Lamongan
Holy Adib
Humaidiy AS
Husni Anshori
I Nyoman Darma Putra
I Nyoman Tingkat
I Wayan Artika
Ibnu Wahyudi
Ida Farida
Ignas Kleden
Ilham Khoiri
Imam Cahyono
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Tohari
Indra Tranggono
Indrian Koto
Irwan Kelana
Isbedy Stiawan Z.S.
Iskandar Noe
Isma Swastiningrum
Ismi Wahid
Iwan Gardono Sujatmiko
Iwan Gunadi
Iwan Kurniawan
Iwan Nurdaya Djafar
Iwank
J.S. Badudu
Janoary M Wibowo
Javed Paul Syatha
JILFest 2008
JJ. Kusni
Jodhi Yudono
Joko Novianto Bp
Joko Pinurbo
Jones Gultom
Jual Buku Paket Hemat
Jusuf AN
Kadek Suartaya
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kasnadi
Kedung Darma Romansha
Kenedi Nurhan
Khaerudin Kurniawan
Khaerul Anwar
Ki Sugito Ha Es
Kirana Kejora
Komunitas Deo Gratias
Korrie Layun Rampan
Kritik Sastra
Kunthi Hastorini
Kuntowijoyo
Kurie Suditomo
Kurnia Effendi
Kurniawan
Kuswinarto
La Ode Rabbani
Lathifa Akmaliyah
Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember
Leon Agusta
Lily Siti Multatuliana
Lily Yulianti Farid
Lina Kelana
Liza Wahyuninto
Lona Olavia
Lugiena Dé
M Fadjroel Rachman
M Farid W Makkulau
M Syakir
M. Dawam Rahardjo
M. Faizi
M. Mustafied
M. Raudah Jambak
M. Taufan Musonip
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
M.Th. Krishdiana Putri
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Maklumat Sastra Profetik
Malkan Junaidi
Maman S. Mahayana
Mangun Kuncoro
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria D. Andriana
Maria Magdalena Bhoernomo
Mariana Amiruddin
Maryati
Marzuzak SY
Mashuri
Maulana Syamsuri
Media: Crayon on Paper
Mega Vristian
MG. Sungatno
Misbahus Surur
Mofik el-abrar
Moh. Amir Sutaarga
Moh. Ghufron Cholid
Mohammad Hatta
Mohammad Kh. Azad
Mohammad Takdir Ilahi
Much. Khoiri
Muhamad Taslim Dalma
Muhammad Rain
Muhammad Subhan
Muhammad Yasir
Muhammadun A.S
Muhidin M Dahlan
Mujtahid
Mulyawan Karim
Musa Ismail
Musfi Efrizal
Mustafa Ismail
Mustofa W Hasyim
N Teguh Prasetyo
N. Mursidi
Nadhi Kiara Zifen
Nana Riskhi Susanti
Nanang Suryadi
Naskah Teater
Nasrulloh Habibi
Neva Tuhella
Nietzsche
Nirwan Dewanto
Nizar Qabbani
Noor H. Dee
Nova Christina
Novelet
Nunung Nurdiah
Nur Wachid
Nurani Soyomukti
Nurel Javissyarqi
Nurman Hartono
Nuryana Asmaudi
Nyoman Tusthi Eddy
Obrolan
Oky Sanjaya
Oyos Saroso HN
P Ari Subagyo
Pagelaran Musim Tandur
Pamusuk Eneste
Panji Satrio
PDS H.B. Jassin
Penerbit dan Toko Buku PUstaka puJAngga
Pipiet Senja
Pramoedya Ananta Toer
Pringadi AS
Pringgo HR
Prosa
Puisi
Puji Santosa
Purnawan Andra
PUstaka puJAngga
Putu Fajar Arcana
Putu Satria Kusuma
Putu Wijaya
R Masri Sareb Putra
R. Adhi Kusumaputra
R. Timur Budi Raja
R.N. Bayu Aji
Radhar Panca Dahana
Ragdi F. Daye
Rahmi Hattani
Raja Ali Haji
Raju Febrian
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Rama Dira J
Rama Prabu
Ramadhan KH
Ramon Magsaysay
Ramses Ohee
Ratih Kumala
Raudal Tanjung Banua
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Resensi
Ressa Novita
Ressa Sagitariana Putri
Ria Ristiana Dewi
Rialita Fithra Asmara
Ribut Wijoto
Rida K Liamsi
Rifka Sibarani
Rilda A. Oe. Taneko
Rilda A.Oe. Taneko
Rimbun Natamarga
Rinto Andriono
Risang Anom Pujayanto
Rita Zahara
Riyon Fidwar
Robin Al Kautsar
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rohman Budijanto
Rukardi
S Yoga
S. Jai
S. Takdir Alisyahbana
S.W. Teofani
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Sajak
Sajak Sebatang Lisong
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Salman S. Yoga
Salyaputra
Samson Rambah Pasir
Samsudin Adlawi
Sanie B. Kuncoro
Santy Novaria
Sapardi Djoko Damono
Sarabunis Mubarok
Sartika Dian Nuraini
Sasti Gotama
Sastra Nusantara
Satmoko Budi Santoso
Satriani
Saut Poltak Tambunan
Saut Situmorang
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
Selasih
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Shadiqin Sudirman
Shiny.ane el’poesya
Shourisha Arashi
Sidik Nugroho
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sindu Putra
Siska Afriani
Siti Sa’adah
Sitok Srengenge
Siwi Dwi Saputro
Slamet Samsoerizal
Sobih Adnan
Sofyan RH. Zaid
Solihin
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sony Wibisono
Sosiawan Leak
Sri Wintala Achmad
Sri Wulan Rujiati Mulyadi
Stevani Elisabeth
Suci Ayu Latifah
Sucipto Hadi Purnomo
Sudarmoko
Sudirman HN
Suhadi Mukhan
Suharsono
Sukar
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Sunudyantoro
Supriyadi
Suriani
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Sutan Iwan Soekri Munaf
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Syahruddin El-Fikri
Syaripudin Zuhri
Syifa Aulia
Syu’bah Asa
T.A. Sakti
Tammalele
Tan Lioe Ie
Tasyriq Hifzhillah
Taufik Abdullah
Taufik Effendi Aria
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Wr. Hidayat
TE. Priyono
Teguh Winarsho AS
Tenas Effendy
Tengsoe Tjahjono
Thayeb Loh Angen
Theresia Purbandini
Tia Setiadi
Tias Tatanka
Tito Sianipar
Tjahjono EP
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Tjut Zakiyah Anshari
Topik Mulyana
Tosa Poetra
Tri Harun Syafii
TS Pinang
Tu-ngang Iskandar
Udo Z. Karzi
Uly Giznawati
Umar Fauzi Ballah
Umbu Landu Paranggi
Umi Kulsum
Uniawati
Universitas Indonesia
Usman Arrumy
Usman D.Ganggang
Utada Kamaru
UU Hamidy
Viddy AD Daery
W.S. Rendra
Wa Ode Wulan Ratna
Wahib Muthalib
Wahyudi Akmaliah Muhammad
Wardjito Soeharso
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Sunarta
Weli Meinindartato
Wicaksono
Widodo DS
Wina Karnie
Wisran Hadi
Wong Wing King
Yan Maniani
Yanti Mulatsih
Yanuar Arifin
Yasser Arafat
Yaumu Roikha
Yetti A. KA
Yohanes Padmo Adi Nugroho
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yudhi Ms
Yudhistira ANM Massardi
Yulianna
Yurnaldi
Yusi A. Pareanom
Yusi Avianto Pareanom
Yusri Fajar
Yusrizal KW
Yuyun Ifa Naliah
Zaim Rofiqi
Zainal Arifin Thoha
Zakki Amali
Zakky Zulhazmi
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zelfeni Wimra
Zuarman Ahmad
Zulfikar Akbar
Tidak ada komentar:
Posting Komentar