Minggu, 22 Februari 2009

Peluru Ketiga

Rifka Sibarani
http://oase.kompas.com/

“Kamu kira segampang itu memutuskannya?”
Kupakai celana dalamku. Reo meraih pinggangku dan memelukku dari belakang.
“Kau tahu, aku sangat mencintaimu. Aku gak bisa melupakanmu begitu saja. Kalau aku bisa melupakanmu, pasti udah dari dulu aku ninggalin kamu. Tinggalkan saja dia. Kita menikah dan hidup bahagia,” bisiknya.

Kali ini aku tidak boleh terbujuk lagi. Kulepaskan pelukannya. Kupakai celanaku . Aku harus segera pergi.

“Reo, apapun yang terjadi aku adalah calon istri Bion. Kau lihat cincin ini? Kau kira aku bisa memutuskan ikatan kami?” Sahutku ketus. “Sebulan lagi kami akan menikah. Hanya maut yang bisa memisahkan kami.”
“Terus kamu ngapain disini? Sebulan lagi kamu menikah dan tadi malam kamu baru saja tidur dengan lelaki yang … entah apamu!” Aku terdiam. Reo benar.

Mendung menyelimuti langit pagi itu. Angin dingin berdesir menyusup masuk ke kamar kami. Hanya desir angin yang terdengar menyanyikan lagu sedih tentang kesepian.
Dering handphone-ku memecah keheningan. Sms dari Bion.

“Aku harus pulang. Aku mau ngurusin gaun pengantinku.” Kupakai kemejaku dan kupoles wajahku dengan sedikit make-up.
“Pulanglah ke Bandung, kamu buang aja waktu disini.”
Kukeluarkan undanganku dan kuletakkan di meja hotel, “Jika sempat datanglah. Pastikan wajahmu jangan muram, semua orang tersenyum di pesta pernikahan.”
Kulihat jelas kekecewaan di wajah Reo. Aku ingin sekali memeluknya dan berkata bahwa aku hanya berbohong dan ingin menikah dengannya. Bukan Bion.

Ya Tuhan! Apa yang ada di kepalaku? Aku harus mengakhiri semua ini!

“Aku pulang dulu. Jangan hubungi aku lagi. Aku pasti sibuk dengan pernikahanku.” Kubereskan tasku dan keluar. Meninggalkan Reo dalam segala kekecewaan dan pertanyaan.

Reo berjalan menuju meja. Diraihnya sepucuk undangan bersampul putih. Foto Bion dan Arini berpelukan begitu mesra menghiasi sampulnya. Tangan Reo bergetar membuka undangan itu.
Gereja St. Nicholas.
Pukul 16.00
“Baiklah … jika hanya kematian yang bisa memisahkan kalian.”
***

Baru kali ini aku menginjak kota Medan. Sudah dua minggu aku berada di Medan dan aku masih membenci kota ini dan semua hal tentang Medan. Bahasa mereka aneh dan kenapa semua orang harus berteriak disini? Sepertinya orang-orang disini tidak mengenal etika berkendara. Pengendara sepeda motor sesuka hatinya memotong mobil dengan kecepatan tinggi! Bahkan tak ada perbedaan antara lampu merah dan lampu hijau. Orang-orang menerobos lampu merah seenaknya. Bagaimana aku dapat hidup di kota seperti ini?

Aku dan Bion sudah pacaran sejak kami sama-sama kuliah di Bandung. Setelah kami berdua bekerja, Bion melamarku. Entah apa yang membuatku menerima lamarannya.

Sebagai orang batak, Bion harus menikah secara adat di rumahnya. Aku sendiri tidak pernah membayangkan akan menikah di kota Medan. Kota yang sangat asing bagiku.

Aku tinggal di rumah calon mertuaku. Sebenarnya keluarga Bion kurang setuju karena seharusnya kedua pengantin dipingit untuk menghindari bencana sebelum pernikahan, namun Bion bersikeras karena aku tidak punya sanak saudara di Medan. Aku sendiri kurang percaya dengan mitos seperti itu. Nasib kita sudah digariskan oleh Tuhan.

Kedua orangtua Bion sangat ramah dan sudah menganggapku seperti anak mereka sendiri. Setidaknya penderitaan akibat culture shock ini bisa terobati setibanya pulang ke rumah Bion. Bion adalah anak bungsu dari dua bersaudara. Kakak perempuannya sudah menikah dan sekarang menjadi guru di Kupang, mengikuti suaminya. Aku sendiri seorang yatim piatu. Menurut arsip panti asuhanku, ibuku meninggal maka ayahku menitipkanku di panti asuhan karena tak mampu merawatku. Aku bahkan tidak tahu bagaimana rupa mereka namun aku sangat merindukan mereka.

Pagi ini aku harus mencoba gaun pengantin, dan aku juga ingin melihat-lihat kota Medan lebih dekat maka kuputuskan naik becak mesin. Aku mengabaikan ajakan para supir angkot dan fasilitas jemputan mobil pribadi dari calon mertuaku karena penasaran dengan becak mesin ini.

Aku bersyukur perjalanan menuju rumah mertuaku di daerah Simpang Limun cukup jauh dari Sun Plaza, tempat kami memesan gaun pengantin. Aku jadi punya waktu untuk berfikir. Hal pertama yang terlintas malah Reo. Ya, aku sangat merindukannya.

Baiklah, Reo dan Bion secara finansial mungkin tidak terlalu berbeda. Secara fisik? Reo tidak masuk daftar tungguku. Tubuhnya gempal dan wajahnya tidak se-macho Bion.

Setidaknya kami menyukai hal yang sama. Film, musik dan filosofi hidup.
Apalagi yang kita butuhkan untuk saling jatuh cinta?
Pertemuan kami berawal dari kepenatan, dentuman musik, beberapa gelas tequila lalu berakhir di ranjang. Ternyata tidak hanya berakhir disitu, dengan gigih dan tak tahu malunya Reo tetap mengejarku, walaupun dia tahu aku sudah memiliki Bion.

Dosa itu indah, bukan? Reo adalah dosa terindahku.
Kini, perasaan ragu semakin menyelimutiku. Aku belum ingin menikah. Aku bahkan tidak punya bayangan tentang kehidupan rumah tanggaku kelak.

Aku ingin menghabiskan waktuku dengan Reo. Aku ingin dibacakan buku-buku tentang film dan filsafat, menghabiskan waktu berjam-jam beradu argumen tentang film atau sekedar menonton film jelek dan mengejeknya. Hal kecil yang tak kudapatkan dari Bion karena kesibukannya.

Aku tidak ingin menikah.
Aku tidak ingin Bion menyentuh tubuhku dan menelanjangi harga diriku.
Aku meraih handphone-ku. Aku harus meminta Reo menemuiku.
Handphone-ku bergetar, ternyata Bion.

“ Halo, Bion?” Aku menjawab dengan malas.
“Arini, kamu datang ya sekarang ke Tiara Convention Centre. Sekalian kamu liat rancangan dekorasinya.” Klik. Tiba-tiba terputus karena handphone-ku low-batt.

Suara bising kendaraan mengalahkan suara Bion. Aku tidak mendengarnya dengan jelas. Dengan modal nekat, aku menyuruh abang becak mesin membawaku ke gedung yang kuyakini sepertinya disebutkan Bion, berharap Bion akan menungguku di pintu masuk.
Tepat! Malah dia sedang menungguku di depan gerbang masuk gedung. Dia kaget ternyata calon pengantin wanita malah naik becak mesin. Wajahku kusam akibat polusi jalan dan rambutku kusut oleh terpaan angin. Wajahku benar-benar jelek saat itu namun Bion tetap menggandengku sepanjang jalan.

Aku kagum melihat gedung pilihan Bion. Bahkan aku tidak pernah bermimpi akan menikah di gedung sebagus ini. Setelah melihat-lihat sebentar aku permisi mencuci wajahku yang dekil.

Sekembalinya dari toilet, Bion memperkenalkanku pada Lily. Temannya yang akan membantu menghias ruangan pesta kami. Bion meninggalkan kami berdua karena dia masih harus mengurus masalah undangan.

Lily bertubuh mungil dan berwajah oriental. Jika tersenyum maka matanya seperti hilang dan membentuk garis lurus. Keramahannya membuatku nyaman menyampaikan ide tentang dekorasi ruangannya.

Hampir dua jam kami membicarakan dekorasi gedung. Bion tidak salah pilih orang. Lily benar-benar kreatif ! Dia bisa mewujudkan ruangan impianku dan Bion.

Setelah merasa semua beres, kami meluncur ke kafe langganan Bion. Dia meminta Lily mengantarku ke sana karena dia sudah capek dan tak sanggup jika masih harus menjemputku.

Hujan yang turun sore itu membuat jalanan Medan sepi. Mobil kami jadi leluasa menyusuri jalan. Di sisi jalan dan teras pertokoan tampak kumpulan orang yang berteduh. Aku membuka kaca mobil sedikit agar aku bisa mencium aroma hujan. Mengingatkanku pada Bandung dan masa kecilku.

“Kau memang sudah siap nikah, kan?” Lily membuka percakapan dengan tema yang buruk.
“Apa maksudmu?” Saat ini pertanyaan itu sangat sensitif untukku dan dapat membangkitkan darah militerku.
“Enggak…aku cuma liat dari matamu. Kau masih mikirin pria lain, kan? Sebaiknya kau selesaikan masalah kalian. Sebelum sesuatu yang buruk terjadi. Jangan jadikan Bion korban keegoisanmu.”
Mobil berhenti di lampu merah.
“Lily, aku rasa ini bukan urusanmu. Lagian kita baru kenal dan apa kamu juga udah nikah? Apa yang kamu tahu tentang pernikahan?” Suaraku mulai naik satu desibel.
Lily tidak menggubris kemarahanku. Dia hanya tersenyum lalu berkata, “ Kau tahu? Bion itu tulus cinta ama kau. Dia gak pernah minta apapun. Aku tahu dia selalu gagal bagi waktunya untukmu, bukan berarti dia gak sayang sama kau. Dia selalu cerita samaku tentangmu. Bosan aku dengarnya.”

Baiklah, kini aku punya alasan lebih kuat untuk meninggalkan Bion. Ternyata mulutnya tidak bisa dijaga. “Dia juga tahu kau berselingkuh dengan seorang pria bernama Reo.”
Ya, Tuhan! Bagaimana mungkin?

Bion mengetahui semuanya dan dia tidak pernah sekalipun menyinggungnya. Seketika itu juga wajahku memucat. Lidahku kelu. Aku tidak bisa berkata-kata lagi. Lily tidak mungkin berbohong jika dia sudah mengetahui nama Reo.

“Sudahlah, Bion memutuskan menikahimu secepat ini karena dia tidak mau kehilangan kau. Dia menerimamu apa adanya. Zaman sekarang agak sulit menemukan pria dengan jiwa besar seperti Bion.”

Aku menangis. Setulus itukah Bion mencintaiku? Betapa berdosanya aku.
Lily tersenyum dan meraih tanganku, ”Tak ada salahnya mencoba bukan? Cobalah mencintainya.”
***

“Maafkan aku yang mungkin telah menyakiti hatimu. Aku harap kau bisa menghadiri pernikahan kami.”
Pesan terkirim.

Sejak perpisahan di hotel, Reo tak bisa dihubungi atau lebih tepatnya tidak menjawab telponku. Aku sebenarnya tak ingin meninggalkan kesan buruk. Setidaknya Reo harus merelakanku.

Selama ini aku gelap mata, berfikir bahwa dengan berselingkuh aku akan mendapatkan cinta yang aku inginkan namun yang terjadi malah sebaliknya. Cinta itu telah menemukanku dan selalu ada disampingku dan menerimaku apa adanya
Jiwaku bersorak dalam sukacita. Bagaikan jatuh cinta pertama kali namun kali ini aku telah mengerti apa maksud dari cinta itu.

Jam dinding berdentang tepat tiga belas kali. Tandanya aku harus bersiap-siap. Jam tiga sore nanti kami akan latihan tata acara pemberkatan di gereja. Aku sudah tak sabar menunggu hari pernikahan kami. Aku memakai gaun pemberian Bion. Sebuah gaun pendek berwarna biru tua dengan belahan punggung rendah yang membuatku merasa seksi. Dia memang tahu bagaimana membuatku cantik. Kusapukan make-up tipis agar wajahku tampak semakin cerah. Dari cermin aku melihat Bion mengintip di balik daun pintu.

“Masuklah…sedang apa kau mengintip calon istrimu sendiri?” Bion tertawa lalu masuk dan memelukku dari belakang. Dia melingkarkan tangannya di pinggangku dan menciumi leherku.
“Kau gadis tercantik di hatiku.” Aku tertawa mendengarnya mengingat Bion pasti selalu dikelilingi wanita-wanita yang lebih cantik dari aku, tapi hanya aku yang ada di hatinya.
“Kau lihat di cermin? Begitulah takdir kita. Kita memang diciptakan untuk bersatu. Kau udah hapal janji pernikahan kita?” Bisiknya di telingaku. Mulutku mulai membaca janji pernikahan kami. Tangan Bion mulai jahil menjelajah perut dan turun ke pahaku. Kubalikkan badanku dan mulai menciumi bibirnya. Kali ini dengan cinta dan kesetiaan.
***

Dentang bel gereja menggema di udara. Lagu She’s the One berkumandang. Aku tak menyangka Bion benar-benar menjadikan lagu ini sebagai lagu pengiringku. Padahal pihak gereja melarangnya.

Paman Bion mendampingiku berjalan menuju altar. Semua mata tertuju padaku. Inikah impian setiap gadis itu? Berjalan di altar dengan gaun pengantin dan sang pangeran telah menunggu. Wajahhku memerah. Aku merasa malu, gugup sekaligus bahagia.

Seketika aku merindukan orang tuaku. Seharusnya mereka disini, memberi restu dan melihatku menemukan pendamping hidupku. Di altar, Bion menungguku dengan wajah bahagia. Dia meraih tanganku. Acara ibadah pun dimulai. Pendeta memimpin doa pemberkatan nikah. Aku menangis.

Sebentar lagi saatnya pemberkatan nikah, seperti biasa pendeta akan bertanya adakah yang tidak setuju dengan pernikahan ini.
Reo.

Aku teringat pada Reo, akankah dia datang dan menggugat pernikahan ini?
“Tuhan jangan biarkan dia datang.” Doaku dalam hati. Bion meraih tanganku dan menggenggamnya erat. Seakan dia tidak ingin kehilanganku.
“Aku tidak setuju.”
Tidak! Aku mengenal suara itu. Itu Reo. Aku bahkan tak sanggup membalikkan badanku dan melihatnya.
“Usir orang itu!” Teriak Bion. Suasana menjadi gaduh karena Reo melawan.
Terdengar suara tembakan. Semua orang panik. Badanku bergetar ketakutan. Bion segera memelukku. Kami merunduk. Terdengar tembakan kedua. Tembakannya mengenai Bion. Aku berteriak histeris. Tanganku berlumuran darah Bion.

Reo mendekati kami. Aku bisa melihat wajah Reo yang dipenuhi kebencian dan amarah. Aku juga bisa melihat air matanya.
“Aku mohon maafkan aku…”Mohonku. Reo hanya diam.
Terdengar kembali tembakan ketiga. Tubuhku merasakan sakit dan panas yang dahsyat. Peluru itu mengenai dadaku.
“Ya Tuhan…” Hanya itu yang kata-kata yang meluncur dari bibirku. Lalu semuanya gelap dan aku mendengar tembakan keempat.

Tidak ada komentar:

A Khoirul Anam A Qorib Hidayatullah A Rodhi Murtadho A. Yusrianto Elga A. Zakky Zulhazmi A.S. Laksana Aang Fatihul Islam Aba Mardjani Abd. Mun’im Abdul Aziz Rasjid Abdul Gaffar Ruskhan Abdul Hadi W. M. Abdul Kadir Ibrahim Abdul Malik Abdul Muis Abdul Wachid BS Abdullah Khusairi Abidah El Khalieqy Abimardha Kurniawan Abroorza A. Yusra Abu Salman Acep Iwan Saidi Achmad Farid Tuasikal Adek Alwi Adi Marsiela Adian Husaini Adib Muttaqin Asfar Adji Subela Afandi Sido Afriza Hanifa Afrizal Malna Ageng Wuri R. A. Ags. Arya Dipayana Aguk Irawan M.N. Agus B. Harianto Agus Bing Agus Noor Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sri Danardana Agus Sulton Agus Sunyoto Agus Wibowo Agus Wirawan Agusri Junaidi AH J Khuzaini Ahda Imran Ahid Hidayat Ahm Soleh Ahmad Asyhar Ahmad Farid Yahya Ahmad Fuadi Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musthofa Haroen Ahmad Rofiq Ahmad Suhendra Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Aini Aviena Violeta Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sekhu Al Azhar Riau Al-Fairish Alex R. Nainggolan Alexander G.B. Alfian Zainal Aliansyah Alimuddin Almania Rohmah Alunk Estohank Amien Kamil Amien Wangsitalaja Anata Siregar Andi Sutisno Andy Riza Hidayat Anies Baswedan Anindita S Thayf Anis Ceha Anis Faridatur Rofiah Anjrah Lelono Broto Anna Subekti Anton Kurnia Ari Hidayat Ari Kristianawati Arie MP Tamba Arief Junianto Aris Kurniawan Arti Bumi Intaran Arul Arista AS Sumbawi Asarpin Asep Sambodja Atiqurrahman Awalludin GD Mualif Ayu Purwaningsih Babe Derwan Bakdi Soemanto Balada Bale Aksara Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Bayu Dwi Mardana Bellanissa Zoditama Beni Setia Benny Arnas Beno Siang Pamungkas Berita Berita Duka Bernando J. Sujibto Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Bokor Hutasuhut Brunel University London BSW Adjikoesoemo Budaya Budhi Setyawan Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiawan Dwi Santoso Bur Rasuanto Burhanuddin Bella Bustan Basir Maras Catatan Catullus CB. Ismulyadi Cerbung Cerita Rakyat Cerpen Chavchay Syaifullah Cikie Wahab Cunong Nunuk Suraja D Zawawi Imron Dad Murniah Dadang Ari Murtono Dahlia Rasyad Damhuri Muhammad Damiri Mahmud Danarto Daniel Paranamesa Darju Prasetya Darman Djamaluddin Darman Moenir Dasman Djamaluddin David Krisna Alka Dea Anugrah Dedy Tri Riyadi Denny JA Denny Mizhar Desi Sommalia Gustina Dewi Anggraeni Dharma Setyawan Dian Hartati Didi Arsandi Dina Oktaviani Dipo Handoko Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Doddi Ahmad Fauji Doddy Hidayatullah Dodi Chandra Dodiek Adyttya Dwiwanto Dody Kristianto Donny Anggoro Dony P. Herwanto Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Klik Santosa Dwi Pranoto Dwicipta Edy A Effendi Edy Firmansyah Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Eko Darmoko Ellyzan Katan Elnisya Mahendra Emha Ainun Nadjib Endah Imawati Eni Suryanti Eny Rose Eriyandi Budiman Eriyanti Erwin Edhi Prasetya Erwin Setia Esai Evan Ys Evi Idawati F Rahardi Fadly Rahman Fahrudin Nasrulloh Faizah Sirajuddin Faizal Syahreza Fajar Alayubi Fakhrunnas M.A. Jabbar Fanny Chotimah Fariz al-Nizar Fariz Alneizar Faruk HT Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fathurrahman Karyadi Fatimah Wahyu Sundari Fauzan Santa Fazabinal Alim Festival Sastra Gresik Fikri MS Fiksi Mini Fransisca Dewi Ria Utari Franz Kafka Fuad Anshori Furqon Abdi Fuska Sani Evani Gendhotwukir Gendut Riyanto Gerson Poyk Gita Pratama Goenawan Mohamad Gola Gong Grathia Pitaloka Gregorio Lopez y’ Fuentes Gugun El-Guyanie Gunawan Budi Susanto Gus Noy H.H. Tokoro Hadi Napster Hamberan Syahbana Hamdy Salad Hamsad Rangkuti Han Gagas Hang Kafrawi Hani Pudjiarti Hanna Fransisca Hardi Hamzah Hardjono WS Haris del Hakim Haris Priyatna Harris Maulana Hary B. Kori'un Hasan Al Banna Hasan Junus Hasbullah Said Hasnan Bachtiar HE. Benyamine Heidi Arbuckle Helmi Y Haska Helvy Tiana Rosa Hendra Junaedi Hendri Nova Herdoni Syafriansyah Heri Kurniawan Heri Latief Heri Ruslan Herman RN Hermawan Aksan Hermien Y. Kleden Herry Lamongan Holy Adib Humaidiy AS Husni Anshori I Nyoman Darma Putra I Nyoman Tingkat I Wayan Artika Ibnu Wahyudi Ida Farida Ignas Kleden Ilham Khoiri Imam Cahyono Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Tohari Indra Tranggono Indrian Koto Irwan Kelana Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Isma Swastiningrum Ismi Wahid Iwan Gardono Sujatmiko Iwan Gunadi Iwan Kurniawan Iwan Nurdaya Djafar Iwank J.S. Badudu Janoary M Wibowo Javed Paul Syatha JILFest 2008 JJ. Kusni Jodhi Yudono Joko Novianto Bp Joko Pinurbo Jones Gultom Jual Buku Paket Hemat Jusuf AN Kadek Suartaya Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Kedung Darma Romansha Kenedi Nurhan Khaerudin Kurniawan Khaerul Anwar Ki Sugito Ha Es Kirana Kejora Komunitas Deo Gratias Korrie Layun Rampan Kritik Sastra Kunthi Hastorini Kuntowijoyo Kurie Suditomo Kurnia Effendi Kurniawan Kuswinarto La Ode Rabbani Lathifa Akmaliyah Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember Leon Agusta Lily Siti Multatuliana Lily Yulianti Farid Lina Kelana Liza Wahyuninto Lona Olavia Lugiena Dé M Fadjroel Rachman M Farid W Makkulau M Syakir M. Dawam Rahardjo M. Faizi M. Mustafied M. Raudah Jambak M. Taufan Musonip M. Yoesoef M.D. Atmaja M.Th. Krishdiana Putri Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Maklumat Sastra Profetik Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mangun Kuncoro Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria D. Andriana Maria Magdalena Bhoernomo Mariana Amiruddin Maryati Marzuzak SY Mashuri Maulana Syamsuri Media: Crayon on Paper Mega Vristian MG. Sungatno Misbahus Surur Mofik el-abrar Moh. Amir Sutaarga Moh. Ghufron Cholid Mohammad Hatta Mohammad Kh. Azad Mohammad Takdir Ilahi Much. Khoiri Muhamad Taslim Dalma Muhammad Rain Muhammad Subhan Muhammad Yasir Muhammadun A.S Muhidin M Dahlan Mujtahid Mulyawan Karim Musa Ismail Musfi Efrizal Mustafa Ismail Mustofa W Hasyim N Teguh Prasetyo N. Mursidi Nadhi Kiara Zifen Nana Riskhi Susanti Nanang Suryadi Naskah Teater Nasrulloh Habibi Neva Tuhella Nietzsche Nirwan Dewanto Nizar Qabbani Noor H. Dee Nova Christina Novelet Nunung Nurdiah Nur Wachid Nurani Soyomukti Nurel Javissyarqi Nurman Hartono Nuryana Asmaudi Nyoman Tusthi Eddy Obrolan Oky Sanjaya Oyos Saroso HN P Ari Subagyo Pagelaran Musim Tandur Pamusuk Eneste Panji Satrio PDS H.B. Jassin Penerbit dan Toko Buku PUstaka puJAngga Pipiet Senja Pramoedya Ananta Toer Pringadi AS Pringgo HR Prosa Puisi Puji Santosa Purnawan Andra PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Satria Kusuma Putu Wijaya R Masri Sareb Putra R. Adhi Kusumaputra R. Timur Budi Raja R.N. Bayu Aji Radhar Panca Dahana Ragdi F. Daye Rahmi Hattani Raja Ali Haji Raju Febrian Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Dira J Rama Prabu Ramadhan KH Ramon Magsaysay Ramses Ohee Ratih Kumala Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Ressa Novita Ressa Sagitariana Putri Ria Ristiana Dewi Rialita Fithra Asmara Ribut Wijoto Rida K Liamsi Rifka Sibarani Rilda A. Oe. Taneko Rilda A.Oe. Taneko Rimbun Natamarga Rinto Andriono Risang Anom Pujayanto Rita Zahara Riyon Fidwar Robin Al Kautsar Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Rohman Budijanto Rukardi S Yoga S. Jai S. Takdir Alisyahbana S.W. Teofani Sabrank Suparno Sahaya Santayana Sajak Sajak Sebatang Lisong Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Salman S. Yoga Salyaputra Samson Rambah Pasir Samsudin Adlawi Sanie B. Kuncoro Santy Novaria Sapardi Djoko Damono Sarabunis Mubarok Sartika Dian Nuraini Sasti Gotama Sastra Nusantara Satmoko Budi Santoso Satriani Saut Poltak Tambunan Saut Situmorang Sekolah Literasi Gratis (SLG) Selasih Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Shadiqin Sudirman Shiny.ane el’poesya Shourisha Arashi Sidik Nugroho Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sindu Putra Siska Afriani Siti Sa’adah Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Slamet Samsoerizal Sobih Adnan Sofyan RH. Zaid Solihin Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sony Wibisono Sosiawan Leak Sri Wintala Achmad Sri Wulan Rujiati Mulyadi Stevani Elisabeth Suci Ayu Latifah Sucipto Hadi Purnomo Sudarmoko Sudirman HN Suhadi Mukhan Suharsono Sukar Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sunudyantoro Supriyadi Suriani Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syahruddin El-Fikri Syaripudin Zuhri Syifa Aulia Syu’bah Asa T.A. Sakti Tammalele Tan Lioe Ie Tasyriq Hifzhillah Taufik Abdullah Taufik Effendi Aria Taufik Ikram Jamil Taufiq Wr. Hidayat TE. Priyono Teguh Winarsho AS Tenas Effendy Tengsoe Tjahjono Thayeb Loh Angen Theresia Purbandini Tia Setiadi Tias Tatanka Tito Sianipar Tjahjono EP Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tjut Zakiyah Anshari Topik Mulyana Tosa Poetra Tri Harun Syafii TS Pinang Tu-ngang Iskandar Udo Z. Karzi Uly Giznawati Umar Fauzi Ballah Umbu Landu Paranggi Umi Kulsum Uniawati Universitas Indonesia Usman Arrumy Usman D.Ganggang Utada Kamaru UU Hamidy Viddy AD Daery W.S. Rendra Wa Ode Wulan Ratna Wahib Muthalib Wahyudi Akmaliah Muhammad Wardjito Soeharso Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Sunarta Weli Meinindartato Wicaksono Widodo DS Wina Karnie Wisran Hadi Wong Wing King Yan Maniani Yanti Mulatsih Yanuar Arifin Yasser Arafat Yaumu Roikha Yetti A. KA Yohanes Padmo Adi Nugroho Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yudhi Ms Yudhistira ANM Massardi Yulianna Yurnaldi Yusi A. Pareanom Yusi Avianto Pareanom Yusri Fajar Yusrizal KW Yuyun Ifa Naliah Zaim Rofiqi Zainal Arifin Thoha Zakki Amali Zakky Zulhazmi Zawawi Se Zehan Zareez Zelfeni Wimra Zuarman Ahmad Zulfikar Akbar