Rita Zahara
http://oase.kompas.com/
“Piye Tin? Kamu mau nrima kerjaan ini? Coba kamu pikir-pikir lagi, daripada kamu bertani, dari pagi sampai sore setiap hari kamu ke sawah, tapi toh enggak bisa nyukupin kebutuhan keluargamu. Apalagi kamu itu cuma buruh tani ,”Pak De Kusno berusaha meyakinkan Sutini agar menerima pekerjaan yang ia tawarkan.
Mata Sutini berkaca-kaca, wajahnya pusat pasi, hatinya miris. Ia sadar apa yang dikatakan Pak De Kusno benar. Sudah 5 tahun menjadi buruh tani , kerja keras banting tulang setiap hari di sawah tidak mencukupi kebutuhan keluarganya. Penghasilannya hanya cukup untuk Kebutuhan makan, itupun makanan yang sangat sederhana. Tiwul dan gaplek adalah makanan utama sehari-hari keluarga Tini atau nasi campur jagung. Sesekali memang bisa makan enak seperti ikan goreng, itupun ikan-ikan kecil hasil tangkapan Pak Lik Jono di sungai.
Air mata Tini jatuh tetes demi tetes mengenai pakaiannya. Dengan terpaksa ia menerima tawaran pekerjaan itu. Menjadi pembantu rumahtangga di kota. Dengan begitu ia harus meninggalkan bapaknya yang terserang tubercolusis, ibunya yang menderita depresi karena adiknya Suriyem yang menjadi pembantu rumahtangga pada majikan Cina tidak diketahui keberadaannya setelah kerusuhan Mei 1998 di Jakarta. Beritanya tidak jelas, sementara tidak ada usaha untuk mencari Suriyem lebih lanjut karena tidak ada biaya untuk ke Jakarta. Sedangkan dua orang adiknya menderita kekurangan gizi.
Dengan kepedihan yang amat mendalam Sutini pamit pada orangtua, adik-adiknya, dan Pak Lik Jono adik ibu Tini yang juga bekerja sebagai buruh tani.
“Tini percaya, Pak Lik Jono bisa merawat bapak yang sedang sakit, ibu, juga adik-adik”.
“Bapak, Ibu, Tini nyuwun pamit, nyuwun pangestu, “Tini mencium tangan kedua orangtuanya dengan linangan airmata.
“Nduk, Sing ngati-ati, yo di tempat kerja, jangan malas-malas, kerjanya yang rajin,” Bapak Sutini menasehati dengan suara terputus-putus sambil terbatuk-batuk sedangkan dua orang adik dan ibunya hanya bisa menatap kosong mengantar kepergian Tini. Suasana mengharu biru, mengantar kepergian Tini untuk mengadu nasib di kota.
Sudah siap Tin, ayo kita berangkat nanti kemalaman sampai di kota, Pak De Kusno segera menyiapkan sepeda motor tuanya.
Senin pagi, jam baru menunjukkan pukul tujuh. Udara dingin, kabut tipis di balik pegunungan masih melintas. Tini meninggalkan keluarga dalam duka nestapa.
Menjadi pembantu rumahtangga, tidak pernah terbayangkan oleh Tini. Sejak kecil sampai kini berusia delapan belas tahun, ia tidak pernah pergi keluar desa. Ia tidak tahu Yogya seperti apa, apalagi pekerjaan sebagai pembantu rumahtangga. Bahasa Indonesia pun tidak lancar. Delapan belas tahun hidup bersahabat dengan pegunungan dan sawah, bekerja menjadi buruh tani mengikuti jejak keluarga.
***
Pak De Kusno mengantarkan Tini pada seorang ibu berbadan sintal, wajahnya tampak terawat dan dihiasi berbagai warna di wajah. Kuku di jari-jarinya panjang dicat merah tua. Bibirnya seperti disuntik silicon dan terbelah dua menebal di bagian bawahnya. Suaranya agak serak, menyambut kedatangan mereka .
“Monggo-monggo Mas Kusno!” ini Mbak Tininya ya, masuk!”
Ibu itu menyuruh masuk Tini sambil merangkul pundak tini. Pak De Kusno menghampiri ibu itu, lalu meninggalkan Tini di ruang tamu. Mereka tampak bercakap-cakap dengan nada berbisik beberapa saat. Mereka keluar lalu menghampiri Tini.
“Mbak Tini, kalau kerja disini harus sabar dan tekun, apalagi masih baru, harus banyak belajar. ” Ibu itu menasehati dengan tutur kata yang halus sambil menepuk-nepuk bahu Tini.
“Iya Tin, harus sabar, baru bisa memperoleh dan menikmati hasil”. Pak De Kusno menyambung ucapan Ibu itu. .
“Pak De pamit yo Tin, nanti seminggu atau dua minggu lagi Pak De jemput. Pak De Kusno berpamitan. Sepeda motor tuanya digiring keluar halaman, baru dihidupkan mesinnya. Suara mesin motor yang sudah tua itu lambat laun hilang, Pak De Kusno tak terlihat lagi. Tini menatap kosong kepergian Pak De Kusno, ia percaya penuh dengannya, orang yang dikenal ramah dan suka menolong menurut cerita orang Dusun Sruntul dan Dusun Srumbung tempat Tini menghabiskan hari-harinya selama ini. .
“Ayo, Tin masuk, bersih-bersih badan dulu biar kelihatan seger, setelah itu makan!” Ibu itu menyuruh Tini dengan ketus, mimik wajahnya jauh berbeda dari yang semula yang Tini tahu. Tini memasuki ruang mandi yang cukup bagus dibanding tempat mandi di rumahnya yang berlantai tanah dan bebatuan serta bilik bambu. Tini melihat beberapa orang wanita sebayanya yang juga bersiap-siap mandi. Ada juga beberapa wanita berusia empat puluh tahunan yang mengantri mandi.
Bagai melihat sesuatu yang aneh ketika melihat mereka, Tini terbelengoh, melihat kulit tubuh mereka yang mulus-mulus. Tini melihat kulit badannya yang kehitam-hitaman sambil membandingkan dalam hati dengan mereka yang saling berceloteh.
Meskipun tidak pernah mendapat perawatan kecantikan secara khusus, Tini memang termasuk manis dan enak dilihat, wajahnya bulat, matanya besar dengan bulu mata yang lentik, kulitnya coklat tua, ada beberapa panu melingkar di bagian punggungnya. Ia sering tersengat sinar matahari ketika bertani dan keringatnya yang bercucuran nyaris tak pernah dibasuh. Ia membiarkan keringatnya mengering dengan sendirinya.
Setelah mandi Tini dipersilakan makan oleh seorang ibu tua yang sepertinya selalu menyiapkan makan untuk para pekerja disitu.. Dengan ramah ibu itu menyambut Tini sambil memperkenalkan diri. Nasi dan tempe goreng ditambah sambal terhidang di depan Tini. Tini tidak bernafsu untuk makan, ia teringat keluarganya yang hampir setiap hari makan tiwul dan gaplek. Hati Tini semakin miris, bila teringat kedua orang adikknya yang semakin kurus karena kurang gizi. Ia tetap harus memakan hidangan yang sudah disiapkan sebagai bentuk penghormatan terhadap tuan rumah.
Malam kian larut, Tini tak bisa tidur. Ia melambungkan pikiran bersama keluarganya di desa. Gelap dan sunyi biasanya suasana malam yang menemani, kini ada banyak wanita bertubuh mulus dan berbadan sintal dengan gaya yang sangat tak diakrabinya menemani malam malam Tini di Yogya.
***
Tini bangun tersentak, ia kesiangan karena biasanya bangun jam 4 pagi. Ia bergegas masuk kamar mandi lalu terkaget-kaget melihat wanita-wanita di sekitarnya masih tidur pulas padahal sudah jam 7. Udara masih terasa dingin, tetapi ia terbiasa mandi sebelum berangkat ke sawah pukul setengah enam pagi. Ibu setengah baya yang juga tampak baru bangun itu menghampiri Tini lalu menyapa dengan nada tinggi, “sudah bangun Mbak? Jangan lupa nanti bersih bersihin juga ruangan ini!
“Disini kalau bangun ya jam 7 atau jam 8, kadang-kadang jam 12 siang karena kerja sampai malam. Nanti kamu juga terbiasa, harus siap kerja sampai malam. Tin, kamu harus siap setiap Malam Suro Jum’at Pon, melayani Pak Toni”. Ibu itu memberi tahu Tini dengan tutur kata yang halus.
“Setiap malam itu Pak Toni datang. Tini hanya mengangguk, ia tidak mengerti apa yang dimaksud melayani oleh ibu tadi.
Dua hari Tini dipercantik dengan berbagai ramuan tradisional dan polesan make-up. Mulai dari lulur beras kencur, kunyit untuk badan, cem-ceman urang-aring untuk rambut, tato alis sampai mandi kembang tengah malam dilakukan sebagai prasyarat menjadi bekerja di tempat itu. Hampir satu bulan Tini melakukan perawatan kecantikan. Kini Tini sudah sejajar dengan wanita-wanita sebayanya yang lain. Kulitnya sudah sedikit mulus walau ada beberapa panu yang masih terlihat dipunggungnya. Satu malam lagi malam Suro, Jumat Pon. Jantung Tini berdegub-degub dan semakin kencang, pikirannya melayang, ia akan melakukan apa malam Suro nanti. Tanyanya dalam hati.
Malam Suro datang, ibu itu memperkenalkan Tini dengan Pak Toni. Tini hanya mengangguk karena tidak terlalu mengerti apa yang mereka ucapkan. Pak Toni, laki-laki berperut buncit, berambut kucai, bermata sipit, kulitnya putih bersih seperti perawakan Cina, tutur katanya santun dan lembut seperti orang yang sudah sangat mengenal Tini. Pak Toni mengajak Tini memasuki areal perbukitan, daerahnya memang jauh dari tempat Tini dijemput. Satu-persatu anak tangga dilalui, dan tibalah mereka di sebuah tempat dimana ritual seks itu dilakukan. Tini diam seribu bahasa, ia nampak bingung, tak ada yang bisa dilakukan. Dalam ketakberdayaan suhu badannya naik, napasnya tersengal-sengal lalu menangis. Ia hendak berlari tetapi terasa terkungkung oleh kekuatan yang tak bisa terelakkan. Pak Toni bertutur begitu sopan, ia meminta Tini untuk melakukannya sepenuh hati.
“Dek Tini, mau kan menolong saya? Tanya lelaki itu sambil mengusap lembut rambut Tini yang menjulur panjang. Menolong, menolong apa?” Tanya Tini dalam hati karena ia tak lagi bisa bicara. Pak Toni sadar sekali jika pasangan ritual seksnya adalah orang baru dan masih terlalu suci untuk melakukan itu. Pak Toni pun baru pertama melakukannya setelah berpikir 1000 kali dan mendapat persetujuan dari teman-temannya yang pernah melakukan hal serupa. Dilihatnya Anton teman bisnisnya yang semakin sukses setelah melakukan ritual tersebut. Dia juga melihat Toni, yang langsung mengembangkan sayap usahanya di Pulau Batam dengan omset miliaran rupiah setelah melakukan hal serupa.. Pak Toni sumringah, baru sekali melakukan ritual seks dengan Tini, sudah mendatangkan hasil. Dua hari sesudahnya, tendernya sukses bahkan beberapa mega proyek siap menanti untuknya..
Jumat Pon kedua, Pak Toni kembali menemui Tini. Kulit Tini semakin mulus tetapi badannya bertambah kurus. Ia masih belum bisa melupakan apa yang dilakukan Pak Toni. Delapan lembar uang seratus ribuan yang diberikan Pak Toni pada malam Suro pertama tahun lalu belum ia sentuh apalagi digunakan. Malam kedua Pak Toni memberi dua puluh lembar uang seratus ribuan sebagai ucapan terimakasihnya pada Tini. Tini tidak bergeming, ia sudah mati rasa. Namun, uang itu tetap diterima.
Menunggu malam Jumat pon berikutnya sungguh menyiksa hari-hari Tini. Ia tidak hanya menjadi pasangan ritual seks dengan Pak Toni, tetapi juga dijadikan tukang pijat Plus oleh Bu Karti, ibu setengah baya yang selama ini ia kenal sering mengatur pekerjaan itu.
Lembar demi lembar uang seratus ribuan dari Pak Toni ia kumpulkan. Uang dari Pak Toni ternyata jumlahnya jauh lebih besar dibanding penghasilannya sebagai tukang pijat plus. Tini Pulang ke Dusun Srumbung dijemput sepupuhnya Pak De Kusno dan Mas Pulung. Ia bisa sedikit menghirup udara bebas, meski ada rasa kesal karena merasa ditipu Pak De Kusno. Setibanya di rumah ia tak sabar melihat keluarganya. Bapaknya masih minum obat tradisional untuk mengurangi batuk-batuk. Ibunya sudah gila setelah mengetahui dengan pasti Suriyem tewas terbakar bersama majikannya saat kerusuhan Mei 1998, sedangkan adiknya sudah ada yang kelihatan membaik kondisi badannya. Kelihatan agak gemuk karena selalu dicarikan ikan atau belut untuk digoreng oleh Pak Lik Jono.
Sutini pulang membawa beberapa pakaian untuk semuanya. Dua orang adiknya dibelikan masing-masing tiga pasang pakaian. Pak Lik Jono dibelikan baju Surjan dan kaos oblong putih. Ibunya dibelikan kain dan kebaya, bapaknya dibelikan kain sarung dan kopiah. Ia juga membelikan makanan yang enak-enak. Ada Bakpia Pathuk, daging bebek panggang dan beberapa makanan yang jarang sekali dimakan keluarganya. Tini membawa bapaknya ke Puskesmas dan membawa ibunya ke Mbah dukun yang biasa mengobati orang terserang gangguan jiwa. Pak Lik Jono pun diberi uang empat ratus ribu rupiah sebagai ucapan telah merawat keluarganya.
Sehari di rumah, Tini menjadi bahan perbincangan tetangga. Berita kesuksesannya menyebar ke seluruh Dusun Srumbung dan sekitarnya. Dengan segala keluguannya, ia tetap merasa Tini yang dulu yang selalu rindu untuk mencangkul tanah dan menanam padi. Di lihatnya pematang sawah, ia lama termenung di gubuk sawah itu. Ya, itu sawah Pak Broto yang sudah ia garap selama 5 tahun menjadi saksi bisu perjuangan Tini menghidupi keluarganya walau selalu dalam keadaan serba kekurangan.
Kini ia menjadi mati dalam hidup, tak ada kebahagiaan terlintas dalam hatinya. Ia ditampar gelombang yang tak pernah ia sangka dan kebahagiaan yang selalu ia dengar dari teman-teman di tempat kerjanya itu. Dilihat adiknya yang sumringah mengenakan pakaian baru yang ia beli, ia lihat bapaknya yang semakin pulih. Ada sedikit bahagia sejenak hinggap di relung hati Tini ketika melihat perubahan keluarganya .
Sudah tujuh hari Tini di rumah. Ia mengurus bapak, mengantarkan ibunya ke Mbah Roso dan menemani dua orang adiknya bermain di sawah. Saat yang begitu menyenangkan dimana selama ini ia begitu mengakrabi alam sekitar dusunnya.
Penduduk Dusun Srumbung sudah semakin ramai membicarakan Tini yang sukses dan Tini adalah anak gadis pertama dari dusun itu yang pernah keluar kampung dengan kesuksesan yang dianggap luar biasa.
***
Malam satu Suro sudah semakin dekat, jantung Tini semakin berdegub-degub, badannya mulai panas dan bayang-bayang Pak Toni menghantui. Ia ingin berteriak tetapi tak kuasa dengan suasana duka yang baru melanda. Bapaknya menghembuskan napas terakhir setelah minta dinaikkan haji. Tini semakin galau, Mas Pulung akan menjemput Tini ke kota dan ia akan menjadi kerbau yang siap dicocok hidungnya dan terpasung dalam buaian masa depan yang begitu menjanjikan sekaligus menawarkan ketidakpastian. Dua hari sebelum malam itu, Tini pergi meninggalkan rumah. Tidak ada yang mengetahui kepergiannya. Sutini tidak meninggalkan pesan apapun.
Musim seakan tiba-tiba menjadi berubah, kadang langit tampak cerah dan tiba-tiba menjadi kelam padahal bukan musim hujan. Setiap sore semburat merah mentari diiringi udara yang kian mendingin mengantarkan kepergian Tini yang sudah seminggu menghilang tanpa jejak. Setiap senja selalu ada sekelompok burung yang datang lalu berputar-putar mengelilingi rumah Tini. Seolah ada tanda yang ingin disampaikan dan semua orang menerka banyak hal. Kini, merahnya mentari sore tidak menjadi senja yang indah karena seluruh warga Dusun Srumbung menjadi gempar. Tini ditemukan menggantung diri di atas pohon nangka dekat sungai. Nyaris tak terlihat karena ditutupi rerumputan yang panjang membumbung ke atas. Malam menjadi selalu mencekam dusun itu, tak ada lagi cerita Tini yang sempat menjadi buah bibir cerita kesuksesan.
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Khoirul Anam
A Qorib Hidayatullah
A Rodhi Murtadho
A. Yusrianto Elga
A. Zakky Zulhazmi
A.S. Laksana
Aang Fatihul Islam
Aba Mardjani
Abd. Mun’im
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Gaffar Ruskhan
Abdul Hadi W. M.
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Malik
Abdul Muis
Abdul Wachid BS
Abdullah Khusairi
Abidah El Khalieqy
Abimardha Kurniawan
Abroorza A. Yusra
Abu Salman
Acep Iwan Saidi
Achmad Farid Tuasikal
Adek Alwi
Adi Marsiela
Adian Husaini
Adib Muttaqin Asfar
Adji Subela
Afandi Sido
Afriza Hanifa
Afrizal Malna
Ageng Wuri R. A.
Ags. Arya Dipayana
Aguk Irawan M.N.
Agus B. Harianto
Agus Bing
Agus Noor
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Sri Danardana
Agus Sulton
Agus Sunyoto
Agus Wibowo
Agus Wirawan
Agusri Junaidi
AH J Khuzaini
Ahda Imran
Ahid Hidayat
Ahm Soleh
Ahmad Asyhar
Ahmad Farid Yahya
Ahmad Fuadi
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Musthofa Haroen
Ahmad Rofiq
Ahmad Suhendra
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Aini Aviena Violeta
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Muhaimin Azzet
Akhmad Sekhu
Al Azhar Riau
Al-Fairish
Alex R. Nainggolan
Alexander G.B.
Alfian Zainal
Aliansyah
Alimuddin
Almania Rohmah
Alunk Estohank
Amien Kamil
Amien Wangsitalaja
Anata Siregar
Andi Sutisno
Andy Riza Hidayat
Anies Baswedan
Anindita S Thayf
Anis Ceha
Anis Faridatur Rofiah
Anjrah Lelono Broto
Anna Subekti
Anton Kurnia
Ari Hidayat
Ari Kristianawati
Arie MP Tamba
Arief Junianto
Aris Kurniawan
Arti Bumi Intaran
Arul Arista
AS Sumbawi
Asarpin
Asep Sambodja
Atiqurrahman
Awalludin GD Mualif
Ayu Purwaningsih
Babe Derwan
Bakdi Soemanto
Balada
Bale Aksara
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Bayu Dwi Mardana
Bellanissa Zoditama
Beni Setia
Benny Arnas
Beno Siang Pamungkas
Berita
Berita Duka
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Bokor Hutasuhut
Brunel University London
BSW Adjikoesoemo
Budaya
Budhi Setyawan
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budiawan Dwi Santoso
Bur Rasuanto
Burhanuddin Bella
Bustan Basir Maras
Catatan
Catullus
CB. Ismulyadi
Cerbung
Cerita Rakyat
Cerpen
Chavchay Syaifullah
Cikie Wahab
Cunong Nunuk Suraja
D Zawawi Imron
Dad Murniah
Dadang Ari Murtono
Dahlia Rasyad
Damhuri Muhammad
Damiri Mahmud
Danarto
Daniel Paranamesa
Darju Prasetya
Darman Djamaluddin
Darman Moenir
Dasman Djamaluddin
David Krisna Alka
Dea Anugrah
Dedy Tri Riyadi
Denny JA
Denny Mizhar
Desi Sommalia Gustina
Dewi Anggraeni
Dharma Setyawan
Dian Hartati
Didi Arsandi
Dina Oktaviani
Dipo Handoko
Djenar Maesa Ayu
Djoko Pitono
Doddi Ahmad Fauji
Doddy Hidayatullah
Dodi Chandra
Dodiek Adyttya Dwiwanto
Dody Kristianto
Donny Anggoro
Dony P. Herwanto
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Klik Santosa
Dwi Pranoto
Dwicipta
Edy A Effendi
Edy Firmansyah
Eka Budianta
Eka Fendri Putra
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Ellyzan Katan
Elnisya Mahendra
Emha Ainun Nadjib
Endah Imawati
Eni Suryanti
Eny Rose
Eriyandi Budiman
Eriyanti
Erwin Edhi Prasetya
Erwin Setia
Esai
Evan Ys
Evi Idawati
F Rahardi
Fadly Rahman
Fahrudin Nasrulloh
Faizah Sirajuddin
Faizal Syahreza
Fajar Alayubi
Fakhrunnas M.A. Jabbar
Fanny Chotimah
Fariz al-Nizar
Fariz Alneizar
Faruk HT
Fatah Anshori
Fatah Yasin Noor
Fathurrahman Karyadi
Fatimah Wahyu Sundari
Fauzan Santa
Fazabinal Alim
Festival Sastra Gresik
Fikri MS
Fiksi Mini
Fransisca Dewi Ria Utari
Franz Kafka
Fuad Anshori
Furqon Abdi
Fuska Sani Evani
Gendhotwukir
Gendut Riyanto
Gerson Poyk
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Gola Gong
Grathia Pitaloka
Gregorio Lopez y’ Fuentes
Gugun El-Guyanie
Gunawan Budi Susanto
Gus Noy
H.H. Tokoro
Hadi Napster
Hamberan Syahbana
Hamdy Salad
Hamsad Rangkuti
Han Gagas
Hang Kafrawi
Hani Pudjiarti
Hanna Fransisca
Hardi Hamzah
Hardjono WS
Haris del Hakim
Haris Priyatna
Harris Maulana
Hary B. Kori'un
Hasan Al Banna
Hasan Junus
Hasbullah Said
Hasnan Bachtiar
HE. Benyamine
Heidi Arbuckle
Helmi Y Haska
Helvy Tiana Rosa
Hendra Junaedi
Hendri Nova
Herdoni Syafriansyah
Heri Kurniawan
Heri Latief
Heri Ruslan
Herman RN
Hermawan Aksan
Hermien Y. Kleden
Herry Lamongan
Holy Adib
Humaidiy AS
Husni Anshori
I Nyoman Darma Putra
I Nyoman Tingkat
I Wayan Artika
Ibnu Wahyudi
Ida Farida
Ignas Kleden
Ilham Khoiri
Imam Cahyono
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Tohari
Indra Tranggono
Indrian Koto
Irwan Kelana
Isbedy Stiawan Z.S.
Iskandar Noe
Isma Swastiningrum
Ismi Wahid
Iwan Gardono Sujatmiko
Iwan Gunadi
Iwan Kurniawan
Iwan Nurdaya Djafar
Iwank
J.S. Badudu
Janoary M Wibowo
Javed Paul Syatha
JILFest 2008
JJ. Kusni
Jodhi Yudono
Joko Novianto Bp
Joko Pinurbo
Jones Gultom
Jual Buku Paket Hemat
Jusuf AN
Kadek Suartaya
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kasnadi
Kedung Darma Romansha
Kenedi Nurhan
Khaerudin Kurniawan
Khaerul Anwar
Ki Sugito Ha Es
Kirana Kejora
Komunitas Deo Gratias
Korrie Layun Rampan
Kritik Sastra
Kunthi Hastorini
Kuntowijoyo
Kurie Suditomo
Kurnia Effendi
Kurniawan
Kuswinarto
La Ode Rabbani
Lathifa Akmaliyah
Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember
Leon Agusta
Lily Siti Multatuliana
Lily Yulianti Farid
Lina Kelana
Liza Wahyuninto
Lona Olavia
Lugiena Dé
M Fadjroel Rachman
M Farid W Makkulau
M Syakir
M. Dawam Rahardjo
M. Faizi
M. Mustafied
M. Raudah Jambak
M. Taufan Musonip
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
M.Th. Krishdiana Putri
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Maklumat Sastra Profetik
Malkan Junaidi
Maman S. Mahayana
Mangun Kuncoro
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria D. Andriana
Maria Magdalena Bhoernomo
Mariana Amiruddin
Maryati
Marzuzak SY
Mashuri
Maulana Syamsuri
Media: Crayon on Paper
Mega Vristian
MG. Sungatno
Misbahus Surur
Mofik el-abrar
Moh. Amir Sutaarga
Moh. Ghufron Cholid
Mohammad Hatta
Mohammad Kh. Azad
Mohammad Takdir Ilahi
Much. Khoiri
Muhamad Taslim Dalma
Muhammad Rain
Muhammad Subhan
Muhammad Yasir
Muhammadun A.S
Muhidin M Dahlan
Mujtahid
Mulyawan Karim
Musa Ismail
Musfi Efrizal
Mustafa Ismail
Mustofa W Hasyim
N Teguh Prasetyo
N. Mursidi
Nadhi Kiara Zifen
Nana Riskhi Susanti
Nanang Suryadi
Naskah Teater
Nasrulloh Habibi
Neva Tuhella
Nietzsche
Nirwan Dewanto
Nizar Qabbani
Noor H. Dee
Nova Christina
Novelet
Nunung Nurdiah
Nur Wachid
Nurani Soyomukti
Nurel Javissyarqi
Nurman Hartono
Nuryana Asmaudi
Nyoman Tusthi Eddy
Obrolan
Oky Sanjaya
Oyos Saroso HN
P Ari Subagyo
Pagelaran Musim Tandur
Pamusuk Eneste
Panji Satrio
PDS H.B. Jassin
Penerbit dan Toko Buku PUstaka puJAngga
Pipiet Senja
Pramoedya Ananta Toer
Pringadi AS
Pringgo HR
Prosa
Puisi
Puji Santosa
Purnawan Andra
PUstaka puJAngga
Putu Fajar Arcana
Putu Satria Kusuma
Putu Wijaya
R Masri Sareb Putra
R. Adhi Kusumaputra
R. Timur Budi Raja
R.N. Bayu Aji
Radhar Panca Dahana
Ragdi F. Daye
Rahmi Hattani
Raja Ali Haji
Raju Febrian
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Rama Dira J
Rama Prabu
Ramadhan KH
Ramon Magsaysay
Ramses Ohee
Ratih Kumala
Raudal Tanjung Banua
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Resensi
Ressa Novita
Ressa Sagitariana Putri
Ria Ristiana Dewi
Rialita Fithra Asmara
Ribut Wijoto
Rida K Liamsi
Rifka Sibarani
Rilda A. Oe. Taneko
Rilda A.Oe. Taneko
Rimbun Natamarga
Rinto Andriono
Risang Anom Pujayanto
Rita Zahara
Riyon Fidwar
Robin Al Kautsar
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rohman Budijanto
Rukardi
S Yoga
S. Jai
S. Takdir Alisyahbana
S.W. Teofani
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Sajak
Sajak Sebatang Lisong
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Salman S. Yoga
Salyaputra
Samson Rambah Pasir
Samsudin Adlawi
Sanie B. Kuncoro
Santy Novaria
Sapardi Djoko Damono
Sarabunis Mubarok
Sartika Dian Nuraini
Sasti Gotama
Sastra Nusantara
Satmoko Budi Santoso
Satriani
Saut Poltak Tambunan
Saut Situmorang
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
Selasih
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Shadiqin Sudirman
Shiny.ane el’poesya
Shourisha Arashi
Sidik Nugroho
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sindu Putra
Siska Afriani
Siti Sa’adah
Sitok Srengenge
Siwi Dwi Saputro
Slamet Samsoerizal
Sobih Adnan
Sofyan RH. Zaid
Solihin
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sony Wibisono
Sosiawan Leak
Sri Wintala Achmad
Sri Wulan Rujiati Mulyadi
Stevani Elisabeth
Suci Ayu Latifah
Sucipto Hadi Purnomo
Sudarmoko
Sudirman HN
Suhadi Mukhan
Suharsono
Sukar
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Sunudyantoro
Supriyadi
Suriani
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Sutan Iwan Soekri Munaf
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Syahruddin El-Fikri
Syaripudin Zuhri
Syifa Aulia
Syu’bah Asa
T.A. Sakti
Tammalele
Tan Lioe Ie
Tasyriq Hifzhillah
Taufik Abdullah
Taufik Effendi Aria
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Wr. Hidayat
TE. Priyono
Teguh Winarsho AS
Tenas Effendy
Tengsoe Tjahjono
Thayeb Loh Angen
Theresia Purbandini
Tia Setiadi
Tias Tatanka
Tito Sianipar
Tjahjono EP
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Tjut Zakiyah Anshari
Topik Mulyana
Tosa Poetra
Tri Harun Syafii
TS Pinang
Tu-ngang Iskandar
Udo Z. Karzi
Uly Giznawati
Umar Fauzi Ballah
Umbu Landu Paranggi
Umi Kulsum
Uniawati
Universitas Indonesia
Usman Arrumy
Usman D.Ganggang
Utada Kamaru
UU Hamidy
Viddy AD Daery
W.S. Rendra
Wa Ode Wulan Ratna
Wahib Muthalib
Wahyudi Akmaliah Muhammad
Wardjito Soeharso
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Sunarta
Weli Meinindartato
Wicaksono
Widodo DS
Wina Karnie
Wisran Hadi
Wong Wing King
Yan Maniani
Yanti Mulatsih
Yanuar Arifin
Yasser Arafat
Yaumu Roikha
Yetti A. KA
Yohanes Padmo Adi Nugroho
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yudhi Ms
Yudhistira ANM Massardi
Yulianna
Yurnaldi
Yusi A. Pareanom
Yusi Avianto Pareanom
Yusri Fajar
Yusrizal KW
Yuyun Ifa Naliah
Zaim Rofiqi
Zainal Arifin Thoha
Zakki Amali
Zakky Zulhazmi
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zelfeni Wimra
Zuarman Ahmad
Zulfikar Akbar
Tidak ada komentar:
Posting Komentar