Maman S. Mahayana
http://mahayana-mahadewa.com/
Indonesia adalah lanskap pelangi. Di sana, terhampar panorama warna-warni dengan beragam kultur etnik, bahasa, agama, bahkan juga ideologi. Ia menyimpan kekayaan atas keberagaman dan keberbedaan. Maka, keindonesiaan sejatinya adalah keberagaman dan keberbedaan itu yang dalam ideologi negara dirumuskan dalam satu kata: kebhinekaan. Keindonesiaan yang menyatukan segala keberagaman dan keberbedaan itu. Jadi, yang dimaksud keindonesiaan adalah sebuah lanskap multikultural. Di sana bersemayam berbagai kultur etnik dengan segala keberagaman dan keberbedaannya.
Di atas segenap kultur etnik itu lahirlah klaim kebudayaan Indonesia. Tentu saja peristiwanya tidak sekali jadi. Segalanya wujud melalui proses panjang dan rumit. Kedatangan bangsa asing adalah bagian penting dari perkembangannya itu. India dengan Hinduisme dan Buddhismenya, mula diterima begitu saja. Tetapi kemudian secara kreatif diolah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari kultur Indonesia.
Kedatangan Islam juga diterima dengan mempertahankan corak dan semangat lokalitas (tempatan) yang khas. Jadilah Islam—Indonesia memperlihatkan homogenitas pada keimanan dan panduan yang sama, dan sekaligus kekayaan heterogenitasnya yang sarat dengan warna lokal ketika ia diterjemahkan ke dalam berbagai ritual. Islam yang mewarnai keindonesiaan itu menjadi begitu unik, khas, dan beragam.
Selepas itu, masuk pula Portugis, Cina, Jepang, Persia, dan bangsa-bangsa Barat sambil menawarkan Kristen—Katolik dengan segala cabang-rantingnya. Semua itu juga pada gilirannya ikut mewarnai keindonesiaan. Jadilah kebudayaan Indonesia wujud sebagai produk yang merepresentasikan proses terjadinya akulturasi dan sekaligus inkulturasi yang rumit. Kultur lokal dengan segala etnisitasnya terus dipelihara dan dijaga. Tetapi, saat bersamaan, inklusivitasnya telah membiarkan diri dimasuki berbagai pengaruh luar.
***
Sesungguhnya persoalan keindonesiaan ini sudah selesai ketika para pemuda Indonesia, 28 Oktober 1928 mendeklarasikan Sumpah Pemuda: “bertumpah darah yang satu, tanah Indonesia; berbangsa yang satu, bangsa Indonesia, dan menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia.” Sejak itu, bahasa Melayu –sebagai bahasa etnik masyarakat Semenanjung— diangkat menjadi bahasa persatuan dalam semangat politik mendirikan Indonesia.
Selepas peristiwa itu, berbagai puak dengan keanekaragaman kultur dan bahasanya, dipersatukan melalui klaim kesadaran adanya persamaan tanah air (wilayah), persamaan nasib bangsa yang terjajah, dan persamaan menggunakan alat komunikasi antar-etnik (bahasa). Klaim kesadaran keindonesiaan para pemuda itu dalam konteks kebangsaan yang lebih bersifat politis. Dalam lampiran hasil keputusan kongres itu, dinyatakan bahwa dasar persatuan Indonesia itu dilandasi kesamaan semangat “kemauan, sejarah, hukum adat, serta pendidikan dan kepanduan.” Pertanyaannya: di mana kultur etnik hendak ditempatkan, apakah yang dimaksud kemauan, sejarah, dan hukum adat, berada dalam konteks etnisitas, lalu mengapa persoalan kebudayaan (etnik) tidak dijadikan landasan semangat persatuan keindonesiaan?
***
Di situlah pernyataan “menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia,” punya makna penting sebagai alat perekat. Jauh sebelum Sumpah Pemuda, bahasa Melayu telah menjadi lingua franca bagi penduduk di wilayah Nusantara. Jadi, de facto, bahasa Melayu sudah menjadi alat komunikasi antar-etnis, sekaligus juga sebagai sarana untuk saling mengenal keberagaman kultur etnik. Bukankah fungsi bahasa, di antaranya, untuk melakukan adaptasi dan integrasi sosial? Sejak Sumpah Pemuda dicetuskan, sejak itulah terbuka peluang untuk saling memahami berbagai kultur etnik dalam kerangka keindonesiaan.
Dalam perjalanannya, peluang untuk memahami berbagai kultur etnik melalui kesamaan bahasa itu, seperti diabaikan. Sutan Takdir Alisjahbana, misalnya, tiba-tiba saja menyodorkan konsep kebudayaan Indonesia dengan orientasi ke Barat. Ia tak menyinggung kebudayaan etnik dan terperangkap pemikiran dikotomis mengenai kebudayaan tradisional (Indonesia lama) dan modern (Indonesia baru). Dikatakannya, “Tiada sekali-kali termaksud untuk mencela segala yang lama, untuk menyuruh orang melemparkan segala yang tumbuh dalam berabad-abad di lingkungan tanah Indonesia ini. Dalam pusaka turun-temurun itupun pastilah masih banyak tersimpan yang baik-baik yang dapat dipakai untuk perumahan yang baru.… dalam zaman jarak menjadi dekat dan watas menjadi kabur oleh radio, surat kabar, buku, dan mesin terbang ini, Indonesia menjadi sebahagian daripada dunia yang luas… dalam pembangunan kebudayaan Indonesia yang baru, yang akan menjadi sebahagian daripada kebudayaan dunia, Indonesia Muda tiada mungkin menjadi penonton…” (Pujangga Baru, No. 12, Th. I, Juni 1934).
Beberapa artikel Alisjahbana yang lain dalam Polemik Kebudayaan, di satu pihak memberi penyadaran pentingnya orientasi bangsa Indonesia dalam membangun kebudayaan sendiri, di lain pihak memberi penekanan pada pengaruh asing (Barat) yang mesti disikapi dengan menyerap pengaruh itu dan menjadikan kebudayaan Indonesia sebagai bagian dari kebudayaan dunia. Oleh karena itu, menurutnya, kebudayaan tradisional mesti ditempatkan sebagai masa lalu. Secara eksplisit dikatakannya: masa lalu sudah mati semati-matinya!
Meski awalnya Alisjahbana menyatakan, bahwa “Dalam pusaka turun-temurun itupun pastilah masih banyak tersimpan yang baik-baik yang dapat dipakai untuk perumahan yang baru,” ia sama sekali tak menyinggung signifikansi kebudayaan daerah (etnik) sebagai bagian dari usaha membangun kebudayaan Indonesia. Bagi Alisjahbana, kebudayaan etnik pun sekadar kisah masa lalu. Bahwa pandangan itu menafikan keberadaan kultur etnik, masalahnya berkaitan dengan tuntutan semangat zaman. Boleh jadi pertimbangannya atas dasar pentingnya bangsa Indonesia mengejar ketertinggalan dari bangsa lain. Atau, Alisjahbana sengaja menutup mata atas kebudayaan etnik. Itulah sumber masalah yang menimpa kebudayaan Indonesia. Masalah itu terus bergulir mengikuti perjalanan waktu. Kebudayaan Indonesia seolah-olah menjelma begitu saja secara serempak, tanpa keterlibatan –atau perlu melibatkan—kultur etnik.
Pertanyaannya: apa yang dimaksud dengan kebudayaan Indonesia? Apakah kebudayaan Indonesia yang baru itu, semua unsurnya diambil dari kebudayaan asing atau kebudayaan daerah yang menyerap pengaruh asing? Perdebatan dalam Polemik Kebudayaan juga tidak merumuskan konsep kebudayaan Indonesia. Yang ditekankan, bagaimana bangsa Indonesia menyikapi pengaruh asing dan menempatkan tradisi sebagai bagian dari masa lalu yang harus dibenamkan atau yang justru dijadikan sebagai sumber inspirasi.
Ketidakjelasan rumusan itu pula yang dihadapi para penyusun Undang-Undang Dasar 1945. Dalam Pasal 32 UUD 1945, dinyatakan: “Pemerintah memajukan kebudayaan nasional Indonesia.” Lalu apa yang dimaksud dengan kebudayaan nasional Indonesia? Dalam penjelasan Pasal 32 itu, dinyatakan, “Kebudayaan bangsa ialah kebudayaan yang timbul sebagai buah usaha budinya rakyat Indonesia seluruhnya. Kebudayaan lama dan asli terdapat sebagai puncak-puncak kebudayaan daerah-daerah di seluruh Indonesia, terhitung sebagai kebudayaan bangsa. Usaha kebudayaan harus menuju ke arah kemajuan adab, budaya, dan persatuan dengan tidak menolak bahan-bahan baru dari kebudayaan asing yang dapat memperkembangkan atau memperkaya kebudayaan bangsa sendiri, serta mempertinggi derajat kemanusiaan bangsa Indonesia.”
Kembali, ketidakjelasan mendudukkan konsep kebudayaan nasional Indonesia, kebudayaan bangsa, dan (puncak-puncak) kebudayaan daerah, justru menimbulkan persoalan baru. Bukankah pernyataan puncak-puncak kebudayaan daerah sebagai kebudayaan bangsa, justru menafikan sebagian kebudayaan daerah sebagai bukan kebudayaan bangsa. Tentu saja mengidentifikasikan kebudayaan daerah sebagai kebudayaan nasional, tidak dapat dilakukan begitu saja mengingat keduanya punya wilayah dan peranan yang berbeda.
Kebudayaan daerah dan kebudayaan nasional menempati kotaknya sendiri yang tidak gampang dapat dipertukarkan tempatnya. Lalu, bagaimana dengan para pekerja budaya yang tidak berada di wilayah kebudayaan daerah. Tentu saja mereka tidak mungkin dapat mencapai “puncak-puncak” kebudayaan daerah. Rumusan yang berbau hegemonik ini sepatutnya tak muncul jika ada kesadaran bahwa kebudayaan Indonesia tidak dapat lepas dari hubungan antara kebudayaan nasional (bangsa) dan kebudayaan daerah (etnik).
Penafikan kebudayaan daerah sebagai kebudayaan yang lahir dari rahim masyarakat etnik, juga muncul dalam semangat yang melandasi mereka yang tergabung dalam “Gelanggang Seniman Merdeka”. Sikap berkebudayaan yang dirumuskan dalam “Surat Kepercayaan Gelanggang” menempatkan kebudayaan Indonesia sebagai bagian dari kebudayaan dunia, dan sama sekali tidak mempertimbangkan kebudayaan etnik yang sesungguhnya merupakan bagian yang tak terpisahkan dari keindonesiaan. Mungkinkah kebudayaan etnik diabaikan, jika mereka sendiri lahir dan dibesarkan dalam lingkaran kebudayaan etnik. Jadi, tidak dapat lain, usaha merumuskan kebudayaan Indonesia dan penjelasannya tentang itu, mesti berangkat dan bersumber dari kebudayaan daerah—kebudayaan etnik. Tanpa itu, kita akan terjebak pada perumusan yang mengawang-awang dan tidak membumi.
***
Pemaparan tadi menegaskan, betapa rumusan tentang kebudayaan Indonesia selama ini, telah gagal mengakomodasi keberadaan kebudayaan daerah –kebudayaan etnik. Jadi, titik tekan dalam mencermati persoalan kebudayaan Indonesia, mesti tidak lagi terpaku dan berkutat pada konsep yang abstrak, tetapi pada cara pandang dan pemahaman yang bersifat praksis.
Pemahaman kebudayaan etnik dalam bentuk pengetahuan hapalan tentang pakaian, jenis kesenian, dan nama suku bangsa sebagaimana banyak terdapat dalam buku pelajaran sekolah, tanpa penjelasan lebih lanjut tentang filsafat yang mendiaminya, semangat yang menjiwainya, dan ruh kebudayaan yang melatarbelakanginya, telah mereduksi kekayaan dan kekhasan kebudayaan etnik itu sendiri. Dengan begitu, sangat mungkin kita sekadar hapal nama, istilah, atau konsep tentang kebudayaan etnik tertentu, tetapi sama sekali tidak dapat memahami peristiwa besar kebudayaan yang berada di sebaliknya.
Perlu dipikirkan langkah-langkah praksis yang memungkinkan kita dapat mengenal, memahami, dan memberi apresiasi sewajarnya atas berbagai macam budaya etnik. Dengan kata lain, diperlukan sikap inklusif dan terbuka dalam menerima kebudayaan etnik lain sebagai bagian dari kekayaan keindonesiaan. Sikap apresiatif terhadap kultur etnik mana pun, akan membawa kita mengenal, memahami dan memberi penghargaan, bahwa kultur etnik yang tersebar di Nusantara ini merupakan bagian dari diri kita, milik kita sebagai warga Indonesia.
Dalam kerangka itu, pengajaran tentang multikulturalisme di semua jenjang pendidikan menjadi sangat penting. Ia dapat digunakan sebagai pintu masuk memahami keberagaman dan keberbedaan suku-suku bangsa di Indonesia, juga sebagai usaha mengangkat marwah keindonesiaan dan meneguhkan rasa kebangsaan. Bukankah multikulturalisme didasarkan pada keyakinan bahwa semua kelompok budaya secara sosial dapat diwujudkan, direpresentasikan, dan dapat hidup berdampingan. Selain itu, diyakini pula bahwa rasisme dapat direduksi oleh penetapan citra positif keanekaragaman etnik dan lewat pengetahuan kebudayaan-kebudayaan lain. Oleh karena itu, pengajaran multikulturalisme dapat dimanfaatkan untuk menanamkan sebuah filosofi liberal dari pluralisme budaya demokratis.
Pengetahuan kebudayaan lain juga penting dalam rangka pembukaan ruang interaksi antaretnis, antarsuku bangsa, antarbudaya, bahkan juga antar-agama. Dari sanalah pemahaman tentang keberagaman dan keberbedaan dapat ditempatkan dalam posisi setara. Ia dapat diapresiasi etnis mana pun atau umat beragama apa pun, tanpa merasa diri lebih tinggi atau lebih rendah derajatnya. Secara ideologis, multikulturalisme sangat mengagungkan perbedaan budaya; mengakui dan mendorong terwujudnya pluralisme sebagai corak kehidupan kemasyarakatan.
Pusat perhatian multikulturalisme adalah pada pemahaman dan kesadaran bahwa individu dan kelompok sosial sejatinya hidup dalam berbagai perbedaan ideologi, agama, suku bangsa, dan budaya. Melalui pemahaman dan kesadaran itu, setiap individu dalam kelompok sosial dan warga suku bangsa akan dapat menempatkan perbedaan dalam kerangka kesetaraan derajat, dan bukan dalam kategori kelompok mayoritas yang mendominasi kelompok minoritas. Di situlah semangat multikulturalisme dapat menumbuhkan toleransi, tenggang rasa, dan sikap saling menghargai perbedaan. Ia pada gilirannya akan menjadi dasar pengajaran demokrasi yang sejalan dengan kultur Indonesia lantaran ia lahir dari rahim budaya sendiri.
Saatnya kini Depdiknas atau institusi terkait mempertimbangkan gagasan ini!
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Khoirul Anam
A Qorib Hidayatullah
A Rodhi Murtadho
A. Yusrianto Elga
A. Zakky Zulhazmi
A.S. Laksana
Aang Fatihul Islam
Aba Mardjani
Abd. Mun’im
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Gaffar Ruskhan
Abdul Hadi W. M.
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Malik
Abdul Muis
Abdul Wachid BS
Abdullah Khusairi
Abidah El Khalieqy
Abimardha Kurniawan
Abroorza A. Yusra
Abu Salman
Acep Iwan Saidi
Achmad Farid Tuasikal
Adek Alwi
Adi Marsiela
Adian Husaini
Adib Muttaqin Asfar
Adji Subela
Afandi Sido
Afriza Hanifa
Afrizal Malna
Ageng Wuri R. A.
Ags. Arya Dipayana
Aguk Irawan M.N.
Agus B. Harianto
Agus Bing
Agus Noor
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Sri Danardana
Agus Sulton
Agus Sunyoto
Agus Wibowo
Agus Wirawan
Agusri Junaidi
AH J Khuzaini
Ahda Imran
Ahid Hidayat
Ahm Soleh
Ahmad Asyhar
Ahmad Farid Yahya
Ahmad Fuadi
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Musthofa Haroen
Ahmad Rofiq
Ahmad Suhendra
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Aini Aviena Violeta
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Muhaimin Azzet
Akhmad Sekhu
Al Azhar Riau
Al-Fairish
Alex R. Nainggolan
Alexander G.B.
Alfian Zainal
Aliansyah
Alimuddin
Almania Rohmah
Alunk Estohank
Amien Kamil
Amien Wangsitalaja
Anata Siregar
Andi Sutisno
Andy Riza Hidayat
Anies Baswedan
Anindita S Thayf
Anis Ceha
Anis Faridatur Rofiah
Anjrah Lelono Broto
Anna Subekti
Anton Kurnia
Ari Hidayat
Ari Kristianawati
Arie MP Tamba
Arief Junianto
Aris Kurniawan
Arti Bumi Intaran
Arul Arista
AS Sumbawi
Asarpin
Asep Sambodja
Atiqurrahman
Awalludin GD Mualif
Ayu Purwaningsih
Babe Derwan
Bakdi Soemanto
Balada
Bale Aksara
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Bayu Dwi Mardana
Bellanissa Zoditama
Beni Setia
Benny Arnas
Beno Siang Pamungkas
Berita
Berita Duka
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Bokor Hutasuhut
Brunel University London
BSW Adjikoesoemo
Budaya
Budhi Setyawan
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budiawan Dwi Santoso
Bur Rasuanto
Burhanuddin Bella
Bustan Basir Maras
Catatan
Catullus
CB. Ismulyadi
Cerbung
Cerita Rakyat
Cerpen
Chavchay Syaifullah
Cikie Wahab
Cunong Nunuk Suraja
D Zawawi Imron
Dad Murniah
Dadang Ari Murtono
Dahlia Rasyad
Damhuri Muhammad
Damiri Mahmud
Danarto
Daniel Paranamesa
Darju Prasetya
Darman Djamaluddin
Darman Moenir
Dasman Djamaluddin
David Krisna Alka
Dea Anugrah
Dedy Tri Riyadi
Denny JA
Denny Mizhar
Desi Sommalia Gustina
Dewi Anggraeni
Dharma Setyawan
Dian Hartati
Didi Arsandi
Dina Oktaviani
Dipo Handoko
Djenar Maesa Ayu
Djoko Pitono
Doddi Ahmad Fauji
Doddy Hidayatullah
Dodi Chandra
Dodiek Adyttya Dwiwanto
Dody Kristianto
Donny Anggoro
Dony P. Herwanto
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Klik Santosa
Dwi Pranoto
Dwicipta
Edy A Effendi
Edy Firmansyah
Eka Budianta
Eka Fendri Putra
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Ellyzan Katan
Elnisya Mahendra
Emha Ainun Nadjib
Endah Imawati
Eni Suryanti
Eny Rose
Eriyandi Budiman
Eriyanti
Erwin Edhi Prasetya
Erwin Setia
Esai
Evan Ys
Evi Idawati
F Rahardi
Fadly Rahman
Fahrudin Nasrulloh
Faizah Sirajuddin
Faizal Syahreza
Fajar Alayubi
Fakhrunnas M.A. Jabbar
Fanny Chotimah
Fariz al-Nizar
Fariz Alneizar
Faruk HT
Fatah Anshori
Fatah Yasin Noor
Fathurrahman Karyadi
Fatimah Wahyu Sundari
Fauzan Santa
Fazabinal Alim
Festival Sastra Gresik
Fikri MS
Fiksi Mini
Fransisca Dewi Ria Utari
Franz Kafka
Fuad Anshori
Furqon Abdi
Fuska Sani Evani
Gendhotwukir
Gendut Riyanto
Gerson Poyk
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Gola Gong
Grathia Pitaloka
Gregorio Lopez y’ Fuentes
Gugun El-Guyanie
Gunawan Budi Susanto
Gus Noy
H.H. Tokoro
Hadi Napster
Hamberan Syahbana
Hamdy Salad
Hamsad Rangkuti
Han Gagas
Hang Kafrawi
Hani Pudjiarti
Hanna Fransisca
Hardi Hamzah
Hardjono WS
Haris del Hakim
Haris Priyatna
Harris Maulana
Hary B. Kori'un
Hasan Al Banna
Hasan Junus
Hasbullah Said
Hasnan Bachtiar
HE. Benyamine
Heidi Arbuckle
Helmi Y Haska
Helvy Tiana Rosa
Hendra Junaedi
Hendri Nova
Herdoni Syafriansyah
Heri Kurniawan
Heri Latief
Heri Ruslan
Herman RN
Hermawan Aksan
Hermien Y. Kleden
Herry Lamongan
Holy Adib
Humaidiy AS
Husni Anshori
I Nyoman Darma Putra
I Nyoman Tingkat
I Wayan Artika
Ibnu Wahyudi
Ida Farida
Ignas Kleden
Ilham Khoiri
Imam Cahyono
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Tohari
Indra Tranggono
Indrian Koto
Irwan Kelana
Isbedy Stiawan Z.S.
Iskandar Noe
Isma Swastiningrum
Ismi Wahid
Iwan Gardono Sujatmiko
Iwan Gunadi
Iwan Kurniawan
Iwan Nurdaya Djafar
Iwank
J.S. Badudu
Janoary M Wibowo
Javed Paul Syatha
JILFest 2008
JJ. Kusni
Jodhi Yudono
Joko Novianto Bp
Joko Pinurbo
Jones Gultom
Jual Buku Paket Hemat
Jusuf AN
Kadek Suartaya
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kasnadi
Kedung Darma Romansha
Kenedi Nurhan
Khaerudin Kurniawan
Khaerul Anwar
Ki Sugito Ha Es
Kirana Kejora
Komunitas Deo Gratias
Korrie Layun Rampan
Kritik Sastra
Kunthi Hastorini
Kuntowijoyo
Kurie Suditomo
Kurnia Effendi
Kurniawan
Kuswinarto
La Ode Rabbani
Lathifa Akmaliyah
Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember
Leon Agusta
Lily Siti Multatuliana
Lily Yulianti Farid
Lina Kelana
Liza Wahyuninto
Lona Olavia
Lugiena Dé
M Fadjroel Rachman
M Farid W Makkulau
M Syakir
M. Dawam Rahardjo
M. Faizi
M. Mustafied
M. Raudah Jambak
M. Taufan Musonip
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
M.Th. Krishdiana Putri
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Maklumat Sastra Profetik
Malkan Junaidi
Maman S. Mahayana
Mangun Kuncoro
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria D. Andriana
Maria Magdalena Bhoernomo
Mariana Amiruddin
Maryati
Marzuzak SY
Mashuri
Maulana Syamsuri
Media: Crayon on Paper
Mega Vristian
MG. Sungatno
Misbahus Surur
Mofik el-abrar
Moh. Amir Sutaarga
Moh. Ghufron Cholid
Mohammad Hatta
Mohammad Kh. Azad
Mohammad Takdir Ilahi
Much. Khoiri
Muhamad Taslim Dalma
Muhammad Rain
Muhammad Subhan
Muhammad Yasir
Muhammadun A.S
Muhidin M Dahlan
Mujtahid
Mulyawan Karim
Musa Ismail
Musfi Efrizal
Mustafa Ismail
Mustofa W Hasyim
N Teguh Prasetyo
N. Mursidi
Nadhi Kiara Zifen
Nana Riskhi Susanti
Nanang Suryadi
Naskah Teater
Nasrulloh Habibi
Neva Tuhella
Nietzsche
Nirwan Dewanto
Nizar Qabbani
Noor H. Dee
Nova Christina
Novelet
Nunung Nurdiah
Nur Wachid
Nurani Soyomukti
Nurel Javissyarqi
Nurman Hartono
Nuryana Asmaudi
Nyoman Tusthi Eddy
Obrolan
Oky Sanjaya
Oyos Saroso HN
P Ari Subagyo
Pagelaran Musim Tandur
Pamusuk Eneste
Panji Satrio
PDS H.B. Jassin
Penerbit dan Toko Buku PUstaka puJAngga
Pipiet Senja
Pramoedya Ananta Toer
Pringadi AS
Pringgo HR
Prosa
Puisi
Puji Santosa
Purnawan Andra
PUstaka puJAngga
Putu Fajar Arcana
Putu Satria Kusuma
Putu Wijaya
R Masri Sareb Putra
R. Adhi Kusumaputra
R. Timur Budi Raja
R.N. Bayu Aji
Radhar Panca Dahana
Ragdi F. Daye
Rahmi Hattani
Raja Ali Haji
Raju Febrian
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Rama Dira J
Rama Prabu
Ramadhan KH
Ramon Magsaysay
Ramses Ohee
Ratih Kumala
Raudal Tanjung Banua
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Resensi
Ressa Novita
Ressa Sagitariana Putri
Ria Ristiana Dewi
Rialita Fithra Asmara
Ribut Wijoto
Rida K Liamsi
Rifka Sibarani
Rilda A. Oe. Taneko
Rilda A.Oe. Taneko
Rimbun Natamarga
Rinto Andriono
Risang Anom Pujayanto
Rita Zahara
Riyon Fidwar
Robin Al Kautsar
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rohman Budijanto
Rukardi
S Yoga
S. Jai
S. Takdir Alisyahbana
S.W. Teofani
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Sajak
Sajak Sebatang Lisong
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Salman S. Yoga
Salyaputra
Samson Rambah Pasir
Samsudin Adlawi
Sanie B. Kuncoro
Santy Novaria
Sapardi Djoko Damono
Sarabunis Mubarok
Sartika Dian Nuraini
Sasti Gotama
Sastra Nusantara
Satmoko Budi Santoso
Satriani
Saut Poltak Tambunan
Saut Situmorang
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
Selasih
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Shadiqin Sudirman
Shiny.ane el’poesya
Shourisha Arashi
Sidik Nugroho
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sindu Putra
Siska Afriani
Siti Sa’adah
Sitok Srengenge
Siwi Dwi Saputro
Slamet Samsoerizal
Sobih Adnan
Sofyan RH. Zaid
Solihin
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sony Wibisono
Sosiawan Leak
Sri Wintala Achmad
Sri Wulan Rujiati Mulyadi
Stevani Elisabeth
Suci Ayu Latifah
Sucipto Hadi Purnomo
Sudarmoko
Sudirman HN
Suhadi Mukhan
Suharsono
Sukar
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Sunudyantoro
Supriyadi
Suriani
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Sutan Iwan Soekri Munaf
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Syahruddin El-Fikri
Syaripudin Zuhri
Syifa Aulia
Syu’bah Asa
T.A. Sakti
Tammalele
Tan Lioe Ie
Tasyriq Hifzhillah
Taufik Abdullah
Taufik Effendi Aria
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Wr. Hidayat
TE. Priyono
Teguh Winarsho AS
Tenas Effendy
Tengsoe Tjahjono
Thayeb Loh Angen
Theresia Purbandini
Tia Setiadi
Tias Tatanka
Tito Sianipar
Tjahjono EP
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Tjut Zakiyah Anshari
Topik Mulyana
Tosa Poetra
Tri Harun Syafii
TS Pinang
Tu-ngang Iskandar
Udo Z. Karzi
Uly Giznawati
Umar Fauzi Ballah
Umbu Landu Paranggi
Umi Kulsum
Uniawati
Universitas Indonesia
Usman Arrumy
Usman D.Ganggang
Utada Kamaru
UU Hamidy
Viddy AD Daery
W.S. Rendra
Wa Ode Wulan Ratna
Wahib Muthalib
Wahyudi Akmaliah Muhammad
Wardjito Soeharso
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Sunarta
Weli Meinindartato
Wicaksono
Widodo DS
Wina Karnie
Wisran Hadi
Wong Wing King
Yan Maniani
Yanti Mulatsih
Yanuar Arifin
Yasser Arafat
Yaumu Roikha
Yetti A. KA
Yohanes Padmo Adi Nugroho
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yudhi Ms
Yudhistira ANM Massardi
Yulianna
Yurnaldi
Yusi A. Pareanom
Yusi Avianto Pareanom
Yusri Fajar
Yusrizal KW
Yuyun Ifa Naliah
Zaim Rofiqi
Zainal Arifin Thoha
Zakki Amali
Zakky Zulhazmi
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zelfeni Wimra
Zuarman Ahmad
Zulfikar Akbar
Tidak ada komentar:
Posting Komentar