Nurel Javissyarqi*
http://pustakapujangga.com/?p=213
Darimu gairah meledakkan kulit dan isi, ruh hayat timur barat menggelinjak
ke dada awan merangkul ombak, ketika warna tak lagi persoalkan cahaya ( XI:I).
Kepadamu berakhirnya jiwa-jiwa dahaga, dayadinaya persetubuhan harum
merangsek di altar puja, kelepakan kekupu bercinta menggelepar lelah (XI:II).
Inikah telempap sembahyang? Persinggahan paling menyenangkan?
Atau persembahan sungguh menakutkan? (XI:III).
Di balik awan senja, sukma terpenjara berkata; menyambar dedahan
senyawa petir liar persekutuan menjelma lengan sungai mengalirkan cita (XI:IV).
Mula berhitung hulu lalu nasib menuntun ke samudra renungmu (XI:V).
Setiap tapak-tapak langkah mentari mematangkan usia pohon jati, batuan kali
terawat denyutan kasih, melepas lumut berelusan kencang mengarus deras (XI:VI).
Menyendiri di udara, sayapnya tenang tiada ketahui tiraninya pedut (XI:VII).
Datang belaian keikhlasan, pepadian merunduk, reranting ringan dilewati,
sesampai waktu ditunggu, setentram jabang jabang bayi dalam dekapan ibu (XI:VIII).
Ia melanjutkan walau jauh gelisah mengingatnya,
kecepatan petapa bertafakkur dalam kubur leluka (XI:IX).
Siur bayu pada pelepah pohon kelapa menyuarakan masa,
musim-musim menyeret gelegak bintang memberi kecupan (XI:X).
Percayalah Garuda Ngawangga menuntunnya dari abad dulu,
mengajarkan bagaimana menerbangkan sayap-sayap harapan (XI:XI)
; tiada jemu mesranya cahaya jiwa mengepak dikibas ke pantai,
mengenang ombak warna pagi-senja, siang-wengi mematangkan (XI:XII).
Ia berjanji tiada ingkar meminum madu dari rimba kelana
atas perasaan selama ini mendekapkan kehangatan mesra (XI:XIII).
Mengerahkan daya batin menghadirkan keganjilan serupa,
datang kembali arus samudra menghampiri langit paling tepi (XI:XIV).
Mengajarkan banyak hal, tapi kau malah bimbang gelayutan,
merawat alam limunan menghitung waktu bertepat kelahiran,
sebelum tubuh terhampar di atas panggung kesemestaan (XI: XV).
Menuntunnya ke petamanan hati, persinggahan menyetiai diri,
kelak serentak mencipta ombak melingkar oleh lemparan batu ke telaga,
mereka tidak memperhatikan, padahal telah sampai ke kakinya (XI: XVI).
Upayakan kantukmu sanggup memuara ke aliran parit ladang lelah,
sebab suara penantian sangatlah merdu, bagi yang resah tertawan kesendirian
dalam sangkar mengajari kicauan, udara bebas berkuasa menantimu (XI: XVII).
Lembut penamu menyusuri ngarai terbuai gairah sendiri, kendang ditabuh
bertalu bagi unsur nyawamu mencipta bunyi di telinga berkah rindu (XI: XVIII).
Berlenggang di pematang, melamun di bukit senja, pemilik kebun kesepian,
berjalan pada jarak terpencil mengamati dirimu bergetar-gemetar keluar (XI: XIX).
Cepatlah membelai kabut mencoba berlatih keseimbangan, atas sebatang
kayu di muka sungai, soal beban berayun ringan uap timbangan masa (XI: XX).
Kegilaan menyebut tanpa sungkan, demi daya rengkuh tiada berakhir,
tiada hirau puncak atau banyaknya putaran menjerat pujangga (XI: XXI).
Seteguk air sejuk menyegarkan tenggorokan, melupakan lapar
memunculkan duga, mengantarkan hidangan kaum tirakat (XI: XXII).
Laluan menjangkau cahaya, gerimis tertangkap benang laba-laba, seiring bayu
menerobos jendela, mengembalikan langkah di sepanjang kesekaratan (XI: XXIII).
Kau mencari diri dengan memecahkan bentuk batu,
membuyarkan debu penghuni latar sepimu (XI: XXIV).
Gelap-cahaya bersulaman menuju ruang hening,
mencipta derap awan-gemawan ke sarang langitan (XI: XXV).
Seruling bayu berhembus menafaskan wengi puja-pujian,
tangisan embun tiba-tiba gugur dalam pergumulan rumput (XI: XXVI).
Seyogyanya selalu berharap tanpa menanti,
selayaknya pejalan kaki enteng tanpa bekal (XI: XXVII).
Menunggu dini hari memberatkan timbangan, burung terbang jatuh
lelah kepakannya lebih dulu sampai ke batas kemampuan mimpi
serupa sapuan kuas terkabul, melukis kehendak kasih (XI: XXVIII).
Keyakinan semurni tangis bayi di kala sunyi membebas (XI: XXIX).
Setiap bersama kepurnaanmu melulu bercincin pelangi
memandang mendung berbondong ke bilik hati, lintang menari di tanah kelahiran
sewaktu hujan deras menentramkan gelisah, meski pun berselimut galau (XI: XXX).
Hawa tajam wengi menampakkan gapura kapujanggan
sedari dayadinaya membangkitkan kehakikian (XI: XXXI).
Kau merawat diri berbasuh guyuran kalimah suci,
sepucuk surat sampaikan hasrat, kebeningan lelehkan beku (XI: XXXII).
Di kota tua sedikit orang berlalu, hanya segelintir yang lalang,
menuntun keyakinan hilang dari rekaan, demi tapak waktu panjatan (XI: XXXIII).
Ia merawat anak-anak malam, nyala pelita tidak padam menyetiai hening,
tapi kelelawar pucat diguyur cahaya lelampu tercekam, oleh
kidungan purba menghitung usia batu-batu (XI: XXXIV).
Gerak irama bersahut-sahutan menghidupi pagelaran,
ini pendiskusian diri, katak menyantukan irama merawat telaga
setingkat kesadaran ombak mengejar pepintu goa (XI: XXXV).
Layaknya hempasan doa tangisan murni, jujur airmata
pengaduan kekal telaga, menyimak nyanyian kalbu (XI: XXXVI).
Angin menghargai kicauan ganjil di kala tidak dihiraukan
pudarlah awan tersentak dari singgahsana lamunan (XI: XXXVII).
Sedu-sedan kesempatan mengangkasa, tengoklah lewat jendela
oleh gembalaan dituntun pulang menuju kesepian senja (XI: XXXVIII).
Siapa merawat awan mengembalikan bentuk yang tertinggal menerka,
dari sudut ruang bunga, wangi berkabar khusuk tenggelamkan rasa (XI: XXXIX).
Menyulami mimpi-mimpi lampau kesadaran kini, melepas kulitan rasa
bertambah gelisah, manakala detik-detik menemui kebenaran nyata (XI: XL).
Seputih padi ditanak rindu, harap sesuap menikmati arti (XI: XLI).
Nasib doa semalam, siangnya ranum apel puja-puji kelestarian
membuka pepintu awan, dan perasaan rebah pelahan-lahan (XI: XLII).
Derap rombongan angin rimba fajar menyisakan kelembutan, pandanglah
mawar di taman timur, warnanya bergantian, tak kenal surut seraut kenang (XI: XLIII).
Sungguh tiada pernah menghentikan kejaran, tidak menginjak rerumputan
melintasi lintang saling cemburu, memahami cemberut
di setiap mengunjungi paras permaisurimu (XI: XLIV).
Bintang tak berwaktu, doa terjatuh, karam di lautan demam (XI: XLV).
Ditarik senjakala, bebuah terhanyut aliran sungai mengarungi teka-teki,
bertumpukan masa kerongkongan pendayung terbakar anggur rindu (XI: XLVI).
Siang mengajarkan kemuliaan bimbang, tidak diambili rerantai teluk-kutub
seakan hajat tidak mau terkabulkan, merindu enggan badan penasaran (XI: XLVII).
Biarkan membebas sampai tahu kematian tanpa membaca
yang terahasia dalam lebam jiwa (XI: XLVIII).
Ia tidak membuang waktu di sesal batu,
tapi terus menggelinding, membekasi setiap laluan melestarikanmu (XI: XLIX)
; doa ibarat langgam, surut-tergulung tarian sendiri,
puncaknya terjadi, manakala ombak bersemangat (XI: L).
Teguklah ilmu di teluk bisu dalam ceruk cahaya, jangan buta mata,
eratkan peganganmu, juga tampung percik berdenyut kasih sayang (XI: LI).
Asmara menyapa kali itu ialah salam damai bagimu,
berkendara angin waktu menyetubuhi ruang subuh (XI: LII).
Siapa terenyuh di pebukitan gemerlap, tersimpan wengi berimbang
pada laut penyadaran, ruang-ruang kosong berjubel sakit patah hati (XI: LIII).
Nafas bukan terkira berapa sebab di kedalaman hikmah siapa menduga,
cecapi asinnya butiran garam, bak kejora mencengkeram kalbu
seumpama celak pada lentik mata waktu penemu (XI: LIV).
Harum bijian jarak memanggil cahaya, jalan tempuh di pantai ketabahan,
jangan meminta sedurung habis dipunggah,
rawatlah lentik jemarimu, sebelum melenggang menari (XI: LV).
Alunan tangismu menggerakkan sukma, bila beriring nada lama, tariklah
kembali serupa ruh diruapi, agar sayap ilmu menyentuh abadi (XI: LVI).
Lepaslah pakaianmu saat bermandi dalam telaga kasih,
molek bibirmu merona, setarikan senyum mawar bertubuh duri,
seumpama mencari kayu, pengganjal hidup dan mati (XI: LVII).
Mulanya kelana hati mengunjungi ketinggian,
siapa menjembatani berjumpa dasarnya? Runtut pelana keledaimu longgar
berguna sebagai cambuk, berasal lilitan kulit pohon rahasia rasa (XI: LVIII).
Sepucuk surat terselip di bulu sayapmu, pundak ringan menjangkau
keagungan pebukitan rindu, menghampiri cinta kudunya berbekal (XI: LIX).
Meminum seteguk air bening di meja tuan rumah, jangan curiga hantu,
kumpulkan sunyi di renungan, segenap jiwa suci senantiasa membuka (XI:LX).
Jamahlah rambut terbias lentera sesirat senjakala, walau masa tidak utuh
ia beri tetesan lembayung jingga, sesingkat bayu lenyap memasuki dada (XI: LXI).
Menghela nafas kebugaran,
menghirup embun sedaun di saat bulan menguncup (XI: LXII).
Sengaja membuka jendela, hawa di luar memikat sayang
dan kasihnya sampai terkumpul dalam daya kekuatan (XI: LXIII).
Tidakkah mencium bau tidak sedap saat berpaling? Maka
setiai, rukuknya bunga-bunga rumput di lembah subuh (XI: LXIV).
Rangkai kembang mantra, cahaya kasih melejit sewaku kau
bertafakkur, ditempa purnama didatangi para kekasih (XI: LXV).
Tidak selalu bayu menyapa, maka tegurlah terlebih dulu
agar segera menemukan tebaran serbuk sarimu (XI: LXVI).
Pepohon itu saling berkawin, mendendangkan lagu di udara,
sedekat tubuh dengan getaran cinta akan bayangan suara (XI: LXVII).
Belum cukup tegak teguklah, perutmu hening keroncongan,
habis malam jujur melompati detak nadi ke kuburan (XI: LXVIII).
Ke sana teramat lelah letaknya, jiwa setia badan membatu
dan duka cita bilamana kau tak sabar kelahiran kembali (XI: LXIX).
Hari-hari penuh kebugaran meminum keringat buah syair
menggelantung ranum dalam pebukitan ditenggelamkan kabut basah,
mentari tubuhmu bersimpan bara pencapaian, penciptaan (XI: LXX).
Kedipan gemintang menerangi malam,
menari-nari pepucuk cemara dirundung gebalau bahagia (XI: LXXI).
Sayup-sayup renggang di petang pertama, menjelang hadir dentuman niat
kepada taman semerbak harum warna bunga-bunga ke udara (XI: LXXII).
Ialah seputih melati yang terselip di telinga gadis desa,
sesuci kembang kemboja pada pangkuan ibunda (XI: LXXIII).
Berkepompong membuta arah kiblat, ulat membujur mengucapkan doa,
masa-masa berlapisan kulit bertambah serat mantra-mantra puja (XI: LXXIV).
Sekecup kecapi di kening sunyi mengisyarat langit pudarkan benang,
sayap-sayap meresapi bulir-bulir cahaya embun pada lelembaran daun-daun,
danau tenang menanti kuncupnya teratai berpandangan pagi (XI: LXXV).
Hari-hari musim kawin memunguti serbuk sari kejatuhan hening,
putik-putik terkagum menatap rumput mekar menggigil (XI: LXXVI).
Angin terpendam menerpa tubuhmu menapaki tangga kekasih,
tapi kau mengukur perjalanan sekadar bertanya-tanya (XI: LXXVII).
Ia bagi-bagikan cahaya, terimalah kerling lembut matanya
merambah hasrat mendekapkan diri paling erat (XI: LXXVIII).
Pegang kuat-kuat mendaki niat beranjak menghampiri (XI: LXXIX).
Tidak mengurangi kangen jiwamu cepat kelelahan, berhati-hatilah
pertaruhkan damai bergairah dan lagi menggairahkan sukma (XI: LXXX).
Kebun bunga letak berjenis semut, kekupu, lebah madu bertemu,
laksana kicauan camar ditarik kidungan bayu semesta pantai (XI: LXXXI).
Gula-gula buah bibir dihafalnya, senyum menghiasi pintu kantuk,
kan segera tercuri lelap keikhlasan sedari kelelahan bercinta (XI: LXXXII).
Hilang was-was tumpah seluruh kangen menjamah rengkuhan setia,
nafas-nafas keluar-masuk sewaktu menghisap kasih sayang (XI: LXXXIII).
Tembang kesejatian hadir dari rasa syukur tampakkan muara madu
pada lesung pipitmu yang kemerah jambu, terbelai rasa malu (XI: LXXXIV).
Hendak menyentuh ganjil nan lembut, tidak amblas keutamaan,
berduyun di jalan bebatuan terjal, kilatan petir merawat tetangkai kembang
ialah kesaksianmu menyelami mimpi menyusuri tengah wengi (XI: LXXXV).
Siapa terpaku? Sedang ia sekejap meninggalkan perkara jasad, melesat
ke penghias temanten jiwa, jejanur-bebuah dijadikan mahkota (XI: LXXXVI).
Kepada tempat waktu, bala tentara semut mengusung pebekalan,
merayapi kelalaian, demi hari esok kemarau berpeluk (XI: LXXXVII).
Kau dilepas bebas melanda mengarungi gelombang demi badai,
lihatlah itu bintang membimbing pelaut ke pusaran ombak keyakinan,
pastikan saat di hadapanmu angin pasang berserah! (XI: LXXXVIII).
Yakinlah layarmu sanggup menampung bayu segara, dan tenangkan
lampu-lampu kapal berkerlipan di kaki gunung malam penjaga (XI: LXXXIX).
Ikan-ikan mendampingimu penentu, selamatkan yang bernilai ke pantai,
itu jalan ke halamanmu seterang hati ingin bertemu (XI: XC).
Menembusi selaput hangat mengunjungi sayap keemasan,
menerbangkan bayu, tempat waktu tiada terkira sebelum jauh (XI: XCI).
Yang kangen membesar tenaga kepakan, sedari lembah pesawahan
kepada ketinggian siur nurani, pelepah-pelepah kering berjatuhan (XI: XCII).
Kalian boleh mengelak ajakannya tapi jilati keringatnya terlebih dulu
yang mengucur di sepanjang langkah kaki-kaki tidak terhitung itu (XI: XCIII).
Bulan malu ditempuh berat kaki-kaki kecil sarat membatu,
ketika pegal berkurang, para pendaki bergairah kembali (XI: XCIV).
Segenggam rindu kau bawa ke mana-mana,
laksana batuan bermutu dari jarak pantul (XI: XCV)
; setelah diterima hawa dingin selubung malam,
jika tersambar badai, dikokohkan selimut perasaan (XI: XCVI).
Maksud lebih agung dari menara, mengikuti alunan terkumpul
dalam degupan jantung nyawa, terpenggal tidaklah sia-sia (XI: XCVII).
Dia datang kepadamu saat kalian hendak melupa,
jika menuju ketersesatan, masihlah dipantau (XI: XCVIII).
Walau bagaimana terpaksa harus belajar menjinjit
demi satu-satunya pilihan keyakinan terbang (XI: XCIX).
Angin berdesing pada dedahan menerjang batuan terjal,
menghempas sayap burung menyabet ikan menyayat ombak,
percikan air secercah pelangi di mata sungai pagi (XI: C).
Hendak muntah lautan, mabuk meringankan beban, pena jiwa terhanyut
ke dalam pusaran awan, sedang tukikan busur panah sejauh penciptaan (XI: CI).
Padamu garam setelah mengambili bagian dilalaikan,
lantas harapan disentak terkabul berdendang sayang (XI: CII).
Kuas menoreh warna pada kanvas, dan tajam palet ditentukan,
mengemban perasaan bermain layang saat awan mendukung (XI: CIII).
Lumrah rindunya melesat jauh mengembalikan ada di mata maya,
daging ikan nan gurih tersebab hidupnya melawan arus deras
yang mengelupas lumut-lumut di batuan cadas (XI: CIV).
Makin jarak tidak berbilang lebih dekat bersatunya jiwa,
seerat kasih damai, bagi kurungan pemilik hasrat semesta (XI: CV).
Kesadaran ke dasar hatinya, kerahasiaan lembut membayang memberi arah,
ia lebih dulu sampai kepadamu, manakala kau bermaksud menemuinya (XI: CVI).
----
*) Pengelana dari Lamongan, JaTim, yang ingin jadi penyair sungguhan.
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Khoirul Anam
A Qorib Hidayatullah
A Rodhi Murtadho
A. Yusrianto Elga
A. Zakky Zulhazmi
A.S. Laksana
Aang Fatihul Islam
Aba Mardjani
Abd. Mun’im
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Gaffar Ruskhan
Abdul Hadi W. M.
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Malik
Abdul Muis
Abdul Wachid BS
Abdullah Khusairi
Abidah El Khalieqy
Abimardha Kurniawan
Abroorza A. Yusra
Abu Salman
Acep Iwan Saidi
Achmad Farid Tuasikal
Adek Alwi
Adi Marsiela
Adian Husaini
Adib Muttaqin Asfar
Adji Subela
Afandi Sido
Afriza Hanifa
Afrizal Malna
Ageng Wuri R. A.
Ags. Arya Dipayana
Aguk Irawan M.N.
Agus B. Harianto
Agus Bing
Agus Noor
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Sri Danardana
Agus Sulton
Agus Sunyoto
Agus Wibowo
Agus Wirawan
Agusri Junaidi
AH J Khuzaini
Ahda Imran
Ahid Hidayat
Ahm Soleh
Ahmad Asyhar
Ahmad Farid Yahya
Ahmad Fuadi
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Musthofa Haroen
Ahmad Rofiq
Ahmad Suhendra
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Aini Aviena Violeta
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Muhaimin Azzet
Akhmad Sekhu
Al Azhar Riau
Al-Fairish
Alex R. Nainggolan
Alexander G.B.
Alfian Zainal
Aliansyah
Alimuddin
Almania Rohmah
Alunk Estohank
Amien Kamil
Amien Wangsitalaja
Anata Siregar
Andi Sutisno
Andy Riza Hidayat
Anies Baswedan
Anindita S Thayf
Anis Ceha
Anis Faridatur Rofiah
Anjrah Lelono Broto
Anna Subekti
Anton Kurnia
Ari Hidayat
Ari Kristianawati
Arie MP Tamba
Arief Junianto
Aris Kurniawan
Arti Bumi Intaran
Arul Arista
AS Sumbawi
Asarpin
Asep Sambodja
Atiqurrahman
Awalludin GD Mualif
Ayu Purwaningsih
Babe Derwan
Bakdi Soemanto
Balada
Bale Aksara
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Bayu Dwi Mardana
Bellanissa Zoditama
Beni Setia
Benny Arnas
Beno Siang Pamungkas
Berita
Berita Duka
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Bokor Hutasuhut
Brunel University London
BSW Adjikoesoemo
Budaya
Budhi Setyawan
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budiawan Dwi Santoso
Bur Rasuanto
Burhanuddin Bella
Bustan Basir Maras
Catatan
Catullus
CB. Ismulyadi
Cerbung
Cerita Rakyat
Cerpen
Chavchay Syaifullah
Cikie Wahab
Cunong Nunuk Suraja
D Zawawi Imron
Dad Murniah
Dadang Ari Murtono
Dahlia Rasyad
Damhuri Muhammad
Damiri Mahmud
Danarto
Daniel Paranamesa
Darju Prasetya
Darman Djamaluddin
Darman Moenir
Dasman Djamaluddin
David Krisna Alka
Dea Anugrah
Dedy Tri Riyadi
Denny JA
Denny Mizhar
Desi Sommalia Gustina
Dewi Anggraeni
Dharma Setyawan
Dian Hartati
Didi Arsandi
Dina Oktaviani
Dipo Handoko
Djenar Maesa Ayu
Djoko Pitono
Doddi Ahmad Fauji
Doddy Hidayatullah
Dodi Chandra
Dodiek Adyttya Dwiwanto
Dody Kristianto
Donny Anggoro
Dony P. Herwanto
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Klik Santosa
Dwi Pranoto
Dwicipta
Edy A Effendi
Edy Firmansyah
Eka Budianta
Eka Fendri Putra
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Ellyzan Katan
Elnisya Mahendra
Emha Ainun Nadjib
Endah Imawati
Eni Suryanti
Eny Rose
Eriyandi Budiman
Eriyanti
Erwin Edhi Prasetya
Erwin Setia
Esai
Evan Ys
Evi Idawati
F Rahardi
Fadly Rahman
Fahrudin Nasrulloh
Faizah Sirajuddin
Faizal Syahreza
Fajar Alayubi
Fakhrunnas M.A. Jabbar
Fanny Chotimah
Fariz al-Nizar
Fariz Alneizar
Faruk HT
Fatah Anshori
Fatah Yasin Noor
Fathurrahman Karyadi
Fatimah Wahyu Sundari
Fauzan Santa
Fazabinal Alim
Festival Sastra Gresik
Fikri MS
Fiksi Mini
Fransisca Dewi Ria Utari
Franz Kafka
Fuad Anshori
Furqon Abdi
Fuska Sani Evani
Gendhotwukir
Gendut Riyanto
Gerson Poyk
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Gola Gong
Grathia Pitaloka
Gregorio Lopez y’ Fuentes
Gugun El-Guyanie
Gunawan Budi Susanto
Gus Noy
H.H. Tokoro
Hadi Napster
Hamberan Syahbana
Hamdy Salad
Hamsad Rangkuti
Han Gagas
Hang Kafrawi
Hani Pudjiarti
Hanna Fransisca
Hardi Hamzah
Hardjono WS
Haris del Hakim
Haris Priyatna
Harris Maulana
Hary B. Kori'un
Hasan Al Banna
Hasan Junus
Hasbullah Said
Hasnan Bachtiar
HE. Benyamine
Heidi Arbuckle
Helmi Y Haska
Helvy Tiana Rosa
Hendra Junaedi
Hendri Nova
Herdoni Syafriansyah
Heri Kurniawan
Heri Latief
Heri Ruslan
Herman RN
Hermawan Aksan
Hermien Y. Kleden
Herry Lamongan
Holy Adib
Humaidiy AS
Husni Anshori
I Nyoman Darma Putra
I Nyoman Tingkat
I Wayan Artika
Ibnu Wahyudi
Ida Farida
Ignas Kleden
Ilham Khoiri
Imam Cahyono
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Tohari
Indra Tranggono
Indrian Koto
Irwan Kelana
Isbedy Stiawan Z.S.
Iskandar Noe
Isma Swastiningrum
Ismi Wahid
Iwan Gardono Sujatmiko
Iwan Gunadi
Iwan Kurniawan
Iwan Nurdaya Djafar
Iwank
J.S. Badudu
Janoary M Wibowo
Javed Paul Syatha
JILFest 2008
JJ. Kusni
Jodhi Yudono
Joko Novianto Bp
Joko Pinurbo
Jones Gultom
Jual Buku Paket Hemat
Jusuf AN
Kadek Suartaya
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kasnadi
Kedung Darma Romansha
Kenedi Nurhan
Khaerudin Kurniawan
Khaerul Anwar
Ki Sugito Ha Es
Kirana Kejora
Komunitas Deo Gratias
Korrie Layun Rampan
Kritik Sastra
Kunthi Hastorini
Kuntowijoyo
Kurie Suditomo
Kurnia Effendi
Kurniawan
Kuswinarto
La Ode Rabbani
Lathifa Akmaliyah
Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember
Leon Agusta
Lily Siti Multatuliana
Lily Yulianti Farid
Lina Kelana
Liza Wahyuninto
Lona Olavia
Lugiena Dé
M Fadjroel Rachman
M Farid W Makkulau
M Syakir
M. Dawam Rahardjo
M. Faizi
M. Mustafied
M. Raudah Jambak
M. Taufan Musonip
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
M.Th. Krishdiana Putri
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Maklumat Sastra Profetik
Malkan Junaidi
Maman S. Mahayana
Mangun Kuncoro
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria D. Andriana
Maria Magdalena Bhoernomo
Mariana Amiruddin
Maryati
Marzuzak SY
Mashuri
Maulana Syamsuri
Media: Crayon on Paper
Mega Vristian
MG. Sungatno
Misbahus Surur
Mofik el-abrar
Moh. Amir Sutaarga
Moh. Ghufron Cholid
Mohammad Hatta
Mohammad Kh. Azad
Mohammad Takdir Ilahi
Much. Khoiri
Muhamad Taslim Dalma
Muhammad Rain
Muhammad Subhan
Muhammad Yasir
Muhammadun A.S
Muhidin M Dahlan
Mujtahid
Mulyawan Karim
Musa Ismail
Musfi Efrizal
Mustafa Ismail
Mustofa W Hasyim
N Teguh Prasetyo
N. Mursidi
Nadhi Kiara Zifen
Nana Riskhi Susanti
Nanang Suryadi
Naskah Teater
Nasrulloh Habibi
Neva Tuhella
Nietzsche
Nirwan Dewanto
Nizar Qabbani
Noor H. Dee
Nova Christina
Novelet
Nunung Nurdiah
Nur Wachid
Nurani Soyomukti
Nurel Javissyarqi
Nurman Hartono
Nuryana Asmaudi
Nyoman Tusthi Eddy
Obrolan
Oky Sanjaya
Oyos Saroso HN
P Ari Subagyo
Pagelaran Musim Tandur
Pamusuk Eneste
Panji Satrio
PDS H.B. Jassin
Penerbit dan Toko Buku PUstaka puJAngga
Pipiet Senja
Pramoedya Ananta Toer
Pringadi AS
Pringgo HR
Prosa
Puisi
Puji Santosa
Purnawan Andra
PUstaka puJAngga
Putu Fajar Arcana
Putu Satria Kusuma
Putu Wijaya
R Masri Sareb Putra
R. Adhi Kusumaputra
R. Timur Budi Raja
R.N. Bayu Aji
Radhar Panca Dahana
Ragdi F. Daye
Rahmi Hattani
Raja Ali Haji
Raju Febrian
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Rama Dira J
Rama Prabu
Ramadhan KH
Ramon Magsaysay
Ramses Ohee
Ratih Kumala
Raudal Tanjung Banua
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Resensi
Ressa Novita
Ressa Sagitariana Putri
Ria Ristiana Dewi
Rialita Fithra Asmara
Ribut Wijoto
Rida K Liamsi
Rifka Sibarani
Rilda A. Oe. Taneko
Rilda A.Oe. Taneko
Rimbun Natamarga
Rinto Andriono
Risang Anom Pujayanto
Rita Zahara
Riyon Fidwar
Robin Al Kautsar
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rohman Budijanto
Rukardi
S Yoga
S. Jai
S. Takdir Alisyahbana
S.W. Teofani
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Sajak
Sajak Sebatang Lisong
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Salman S. Yoga
Salyaputra
Samson Rambah Pasir
Samsudin Adlawi
Sanie B. Kuncoro
Santy Novaria
Sapardi Djoko Damono
Sarabunis Mubarok
Sartika Dian Nuraini
Sasti Gotama
Sastra Nusantara
Satmoko Budi Santoso
Satriani
Saut Poltak Tambunan
Saut Situmorang
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
Selasih
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Shadiqin Sudirman
Shiny.ane el’poesya
Shourisha Arashi
Sidik Nugroho
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sindu Putra
Siska Afriani
Siti Sa’adah
Sitok Srengenge
Siwi Dwi Saputro
Slamet Samsoerizal
Sobih Adnan
Sofyan RH. Zaid
Solihin
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sony Wibisono
Sosiawan Leak
Sri Wintala Achmad
Sri Wulan Rujiati Mulyadi
Stevani Elisabeth
Suci Ayu Latifah
Sucipto Hadi Purnomo
Sudarmoko
Sudirman HN
Suhadi Mukhan
Suharsono
Sukar
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Sunudyantoro
Supriyadi
Suriani
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Sutan Iwan Soekri Munaf
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Syahruddin El-Fikri
Syaripudin Zuhri
Syifa Aulia
Syu’bah Asa
T.A. Sakti
Tammalele
Tan Lioe Ie
Tasyriq Hifzhillah
Taufik Abdullah
Taufik Effendi Aria
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Wr. Hidayat
TE. Priyono
Teguh Winarsho AS
Tenas Effendy
Tengsoe Tjahjono
Thayeb Loh Angen
Theresia Purbandini
Tia Setiadi
Tias Tatanka
Tito Sianipar
Tjahjono EP
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Tjut Zakiyah Anshari
Topik Mulyana
Tosa Poetra
Tri Harun Syafii
TS Pinang
Tu-ngang Iskandar
Udo Z. Karzi
Uly Giznawati
Umar Fauzi Ballah
Umbu Landu Paranggi
Umi Kulsum
Uniawati
Universitas Indonesia
Usman Arrumy
Usman D.Ganggang
Utada Kamaru
UU Hamidy
Viddy AD Daery
W.S. Rendra
Wa Ode Wulan Ratna
Wahib Muthalib
Wahyudi Akmaliah Muhammad
Wardjito Soeharso
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Sunarta
Weli Meinindartato
Wicaksono
Widodo DS
Wina Karnie
Wisran Hadi
Wong Wing King
Yan Maniani
Yanti Mulatsih
Yanuar Arifin
Yasser Arafat
Yaumu Roikha
Yetti A. KA
Yohanes Padmo Adi Nugroho
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yudhi Ms
Yudhistira ANM Massardi
Yulianna
Yurnaldi
Yusi A. Pareanom
Yusi Avianto Pareanom
Yusri Fajar
Yusrizal KW
Yuyun Ifa Naliah
Zaim Rofiqi
Zainal Arifin Thoha
Zakki Amali
Zakky Zulhazmi
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zelfeni Wimra
Zuarman Ahmad
Zulfikar Akbar
Tidak ada komentar:
Posting Komentar