Rabu, 08 Oktober 2008

PENAMPAKAN DOA SEMALAM, XI: I- CVI

Nurel Javissyarqi*
http://pustakapujangga.com/?p=213


Darimu gairah meledakkan kulit dan isi, ruh hayat timur barat menggelinjak
ke dada awan merangkul ombak, ketika warna tak lagi persoalkan cahaya ( XI:I).

Kepadamu berakhirnya jiwa-jiwa dahaga, dayadinaya persetubuhan harum
merangsek di altar puja, kelepakan kekupu bercinta menggelepar lelah (XI:II).

Inikah telempap sembahyang? Persinggahan paling menyenangkan?
Atau persembahan sungguh menakutkan? (XI:III).

Di balik awan senja, sukma terpenjara berkata; menyambar dedahan
senyawa petir liar persekutuan menjelma lengan sungai mengalirkan cita (XI:IV).

Mula berhitung hulu lalu nasib menuntun ke samudra renungmu (XI:V).

Setiap tapak-tapak langkah mentari mematangkan usia pohon jati, batuan kali
terawat denyutan kasih, melepas lumut berelusan kencang mengarus deras (XI:VI).

Menyendiri di udara, sayapnya tenang tiada ketahui tiraninya pedut (XI:VII).

Datang belaian keikhlasan, pepadian merunduk, reranting ringan dilewati,
sesampai waktu ditunggu, setentram jabang jabang bayi dalam dekapan ibu (XI:VIII).

Ia melanjutkan walau jauh gelisah mengingatnya,
kecepatan petapa bertafakkur dalam kubur leluka (XI:IX).

Siur bayu pada pelepah pohon kelapa menyuarakan masa,
musim-musim menyeret gelegak bintang memberi kecupan (XI:X).

Percayalah Garuda Ngawangga menuntunnya dari abad dulu,
mengajarkan bagaimana menerbangkan sayap-sayap harapan (XI:XI)

; tiada jemu mesranya cahaya jiwa mengepak dikibas ke pantai,
mengenang ombak warna pagi-senja, siang-wengi mematangkan (XI:XII).

Ia berjanji tiada ingkar meminum madu dari rimba kelana
atas perasaan selama ini mendekapkan kehangatan mesra (XI:XIII).

Mengerahkan daya batin menghadirkan keganjilan serupa,
datang kembali arus samudra menghampiri langit paling tepi (XI:XIV).

Mengajarkan banyak hal, tapi kau malah bimbang gelayutan,
merawat alam limunan menghitung waktu bertepat kelahiran,
sebelum tubuh terhampar di atas panggung kesemestaan (XI: XV).

Menuntunnya ke petamanan hati, persinggahan menyetiai diri,
kelak serentak mencipta ombak melingkar oleh lemparan batu ke telaga,
mereka tidak memperhatikan, padahal telah sampai ke kakinya (XI: XVI).

Upayakan kantukmu sanggup memuara ke aliran parit ladang lelah,
sebab suara penantian sangatlah merdu, bagi yang resah tertawan kesendirian
dalam sangkar mengajari kicauan, udara bebas berkuasa menantimu (XI: XVII).

Lembut penamu menyusuri ngarai terbuai gairah sendiri, kendang ditabuh
bertalu bagi unsur nyawamu mencipta bunyi di telinga berkah rindu (XI: XVIII).

Berlenggang di pematang, melamun di bukit senja, pemilik kebun kesepian,
berjalan pada jarak terpencil mengamati dirimu bergetar-gemetar keluar (XI: XIX).

Cepatlah membelai kabut mencoba berlatih keseimbangan, atas sebatang
kayu di muka sungai, soal beban berayun ringan uap timbangan masa (XI: XX).

Kegilaan menyebut tanpa sungkan, demi daya rengkuh tiada berakhir,
tiada hirau puncak atau banyaknya putaran menjerat pujangga (XI: XXI).

Seteguk air sejuk menyegarkan tenggorokan, melupakan lapar
memunculkan duga, mengantarkan hidangan kaum tirakat (XI: XXII).

Laluan menjangkau cahaya, gerimis tertangkap benang laba-laba, seiring bayu
menerobos jendela, mengembalikan langkah di sepanjang kesekaratan (XI: XXIII).

Kau mencari diri dengan memecahkan bentuk batu,
membuyarkan debu penghuni latar sepimu (XI: XXIV).

Gelap-cahaya bersulaman menuju ruang hening,
mencipta derap awan-gemawan ke sarang langitan (XI: XXV).

Seruling bayu berhembus menafaskan wengi puja-pujian,
tangisan embun tiba-tiba gugur dalam pergumulan rumput (XI: XXVI).

Seyogyanya selalu berharap tanpa menanti,
selayaknya pejalan kaki enteng tanpa bekal (XI: XXVII).

Menunggu dini hari memberatkan timbangan, burung terbang jatuh
lelah kepakannya lebih dulu sampai ke batas kemampuan mimpi
serupa sapuan kuas terkabul, melukis kehendak kasih (XI: XXVIII).

Keyakinan semurni tangis bayi di kala sunyi membebas (XI: XXIX).

Setiap bersama kepurnaanmu melulu bercincin pelangi
memandang mendung berbondong ke bilik hati, lintang menari di tanah kelahiran
sewaktu hujan deras menentramkan gelisah, meski pun berselimut galau (XI: XXX).

Hawa tajam wengi menampakkan gapura kapujanggan
sedari dayadinaya membangkitkan kehakikian (XI: XXXI).

Kau merawat diri berbasuh guyuran kalimah suci,
sepucuk surat sampaikan hasrat, kebeningan lelehkan beku (XI: XXXII).

Di kota tua sedikit orang berlalu, hanya segelintir yang lalang,
menuntun keyakinan hilang dari rekaan, demi tapak waktu panjatan (XI: XXXIII).

Ia merawat anak-anak malam, nyala pelita tidak padam menyetiai hening,
tapi kelelawar pucat diguyur cahaya lelampu tercekam, oleh
kidungan purba menghitung usia batu-batu (XI: XXXIV).

Gerak irama bersahut-sahutan menghidupi pagelaran,
ini pendiskusian diri, katak menyantukan irama merawat telaga
setingkat kesadaran ombak mengejar pepintu goa (XI: XXXV).

Layaknya hempasan doa tangisan murni, jujur airmata
pengaduan kekal telaga, menyimak nyanyian kalbu (XI: XXXVI).

Angin menghargai kicauan ganjil di kala tidak dihiraukan
pudarlah awan tersentak dari singgahsana lamunan (XI: XXXVII).

Sedu-sedan kesempatan mengangkasa, tengoklah lewat jendela
oleh gembalaan dituntun pulang menuju kesepian senja (XI: XXXVIII).

Siapa merawat awan mengembalikan bentuk yang tertinggal menerka,
dari sudut ruang bunga, wangi berkabar khusuk tenggelamkan rasa (XI: XXXIX).

Menyulami mimpi-mimpi lampau kesadaran kini, melepas kulitan rasa
bertambah gelisah, manakala detik-detik menemui kebenaran nyata (XI: XL).

Seputih padi ditanak rindu, harap sesuap menikmati arti (XI: XLI).

Nasib doa semalam, siangnya ranum apel puja-puji kelestarian
membuka pepintu awan, dan perasaan rebah pelahan-lahan (XI: XLII).

Derap rombongan angin rimba fajar menyisakan kelembutan, pandanglah
mawar di taman timur, warnanya bergantian, tak kenal surut seraut kenang (XI: XLIII).

Sungguh tiada pernah menghentikan kejaran, tidak menginjak rerumputan
melintasi lintang saling cemburu, memahami cemberut
di setiap mengunjungi paras permaisurimu (XI: XLIV).

Bintang tak berwaktu, doa terjatuh, karam di lautan demam (XI: XLV).

Ditarik senjakala, bebuah terhanyut aliran sungai mengarungi teka-teki,
bertumpukan masa kerongkongan pendayung terbakar anggur rindu (XI: XLVI).

Siang mengajarkan kemuliaan bimbang, tidak diambili rerantai teluk-kutub
seakan hajat tidak mau terkabulkan, merindu enggan badan penasaran (XI: XLVII).

Biarkan membebas sampai tahu kematian tanpa membaca
yang terahasia dalam lebam jiwa (XI: XLVIII).

Ia tidak membuang waktu di sesal batu,
tapi terus menggelinding, membekasi setiap laluan melestarikanmu (XI: XLIX)

; doa ibarat langgam, surut-tergulung tarian sendiri,
puncaknya terjadi, manakala ombak bersemangat (XI: L).

Teguklah ilmu di teluk bisu dalam ceruk cahaya, jangan buta mata,
eratkan peganganmu, juga tampung percik berdenyut kasih sayang (XI: LI).

Asmara menyapa kali itu ialah salam damai bagimu,
berkendara angin waktu menyetubuhi ruang subuh (XI: LII).

Siapa terenyuh di pebukitan gemerlap, tersimpan wengi berimbang
pada laut penyadaran, ruang-ruang kosong berjubel sakit patah hati (XI: LIII).

Nafas bukan terkira berapa sebab di kedalaman hikmah siapa menduga,
cecapi asinnya butiran garam, bak kejora mencengkeram kalbu
seumpama celak pada lentik mata waktu penemu (XI: LIV).

Harum bijian jarak memanggil cahaya, jalan tempuh di pantai ketabahan,
jangan meminta sedurung habis dipunggah,
rawatlah lentik jemarimu, sebelum melenggang menari (XI: LV).

Alunan tangismu menggerakkan sukma, bila beriring nada lama, tariklah
kembali serupa ruh diruapi, agar sayap ilmu menyentuh abadi (XI: LVI).

Lepaslah pakaianmu saat bermandi dalam telaga kasih,
molek bibirmu merona, setarikan senyum mawar bertubuh duri,
seumpama mencari kayu, pengganjal hidup dan mati (XI: LVII).

Mulanya kelana hati mengunjungi ketinggian,
siapa menjembatani berjumpa dasarnya? Runtut pelana keledaimu longgar
berguna sebagai cambuk, berasal lilitan kulit pohon rahasia rasa (XI: LVIII).

Sepucuk surat terselip di bulu sayapmu, pundak ringan menjangkau
keagungan pebukitan rindu, menghampiri cinta kudunya berbekal (XI: LIX).

Meminum seteguk air bening di meja tuan rumah, jangan curiga hantu,
kumpulkan sunyi di renungan, segenap jiwa suci senantiasa membuka (XI:LX).

Jamahlah rambut terbias lentera sesirat senjakala, walau masa tidak utuh
ia beri tetesan lembayung jingga, sesingkat bayu lenyap memasuki dada (XI: LXI).

Menghela nafas kebugaran,
menghirup embun sedaun di saat bulan menguncup (XI: LXII).

Sengaja membuka jendela, hawa di luar memikat sayang
dan kasihnya sampai terkumpul dalam daya kekuatan (XI: LXIII).

Tidakkah mencium bau tidak sedap saat berpaling? Maka
setiai, rukuknya bunga-bunga rumput di lembah subuh (XI: LXIV).

Rangkai kembang mantra, cahaya kasih melejit sewaku kau
bertafakkur, ditempa purnama didatangi para kekasih (XI: LXV).

Tidak selalu bayu menyapa, maka tegurlah terlebih dulu
agar segera menemukan tebaran serbuk sarimu (XI: LXVI).

Pepohon itu saling berkawin, mendendangkan lagu di udara,
sedekat tubuh dengan getaran cinta akan bayangan suara (XI: LXVII).

Belum cukup tegak teguklah, perutmu hening keroncongan,
habis malam jujur melompati detak nadi ke kuburan (XI: LXVIII).

Ke sana teramat lelah letaknya, jiwa setia badan membatu
dan duka cita bilamana kau tak sabar kelahiran kembali (XI: LXIX).

Hari-hari penuh kebugaran meminum keringat buah syair
menggelantung ranum dalam pebukitan ditenggelamkan kabut basah,
mentari tubuhmu bersimpan bara pencapaian, penciptaan (XI: LXX).

Kedipan gemintang menerangi malam,
menari-nari pepucuk cemara dirundung gebalau bahagia (XI: LXXI).

Sayup-sayup renggang di petang pertama, menjelang hadir dentuman niat
kepada taman semerbak harum warna bunga-bunga ke udara (XI: LXXII).

Ialah seputih melati yang terselip di telinga gadis desa,
sesuci kembang kemboja pada pangkuan ibunda (XI: LXXIII).

Berkepompong membuta arah kiblat, ulat membujur mengucapkan doa,
masa-masa berlapisan kulit bertambah serat mantra-mantra puja (XI: LXXIV).

Sekecup kecapi di kening sunyi mengisyarat langit pudarkan benang,
sayap-sayap meresapi bulir-bulir cahaya embun pada lelembaran daun-daun,
danau tenang menanti kuncupnya teratai berpandangan pagi (XI: LXXV).

Hari-hari musim kawin memunguti serbuk sari kejatuhan hening,
putik-putik terkagum menatap rumput mekar menggigil (XI: LXXVI).

Angin terpendam menerpa tubuhmu menapaki tangga kekasih,
tapi kau mengukur perjalanan sekadar bertanya-tanya (XI: LXXVII).

Ia bagi-bagikan cahaya, terimalah kerling lembut matanya
merambah hasrat mendekapkan diri paling erat (XI: LXXVIII).

Pegang kuat-kuat mendaki niat beranjak menghampiri (XI: LXXIX).

Tidak mengurangi kangen jiwamu cepat kelelahan, berhati-hatilah
pertaruhkan damai bergairah dan lagi menggairahkan sukma (XI: LXXX).

Kebun bunga letak berjenis semut, kekupu, lebah madu bertemu,
laksana kicauan camar ditarik kidungan bayu semesta pantai (XI: LXXXI).

Gula-gula buah bibir dihafalnya, senyum menghiasi pintu kantuk,
kan segera tercuri lelap keikhlasan sedari kelelahan bercinta (XI: LXXXII).

Hilang was-was tumpah seluruh kangen menjamah rengkuhan setia,
nafas-nafas keluar-masuk sewaktu menghisap kasih sayang (XI: LXXXIII).

Tembang kesejatian hadir dari rasa syukur tampakkan muara madu
pada lesung pipitmu yang kemerah jambu, terbelai rasa malu (XI: LXXXIV).

Hendak menyentuh ganjil nan lembut, tidak amblas keutamaan,
berduyun di jalan bebatuan terjal, kilatan petir merawat tetangkai kembang
ialah kesaksianmu menyelami mimpi menyusuri tengah wengi (XI: LXXXV).

Siapa terpaku? Sedang ia sekejap meninggalkan perkara jasad, melesat
ke penghias temanten jiwa, jejanur-bebuah dijadikan mahkota (XI: LXXXVI).

Kepada tempat waktu, bala tentara semut mengusung pebekalan,
merayapi kelalaian, demi hari esok kemarau berpeluk (XI: LXXXVII).

Kau dilepas bebas melanda mengarungi gelombang demi badai,
lihatlah itu bintang membimbing pelaut ke pusaran ombak keyakinan,
pastikan saat di hadapanmu angin pasang berserah! (XI: LXXXVIII).

Yakinlah layarmu sanggup menampung bayu segara, dan tenangkan
lampu-lampu kapal berkerlipan di kaki gunung malam penjaga (XI: LXXXIX).

Ikan-ikan mendampingimu penentu, selamatkan yang bernilai ke pantai,
itu jalan ke halamanmu seterang hati ingin bertemu (XI: XC).

Menembusi selaput hangat mengunjungi sayap keemasan,
menerbangkan bayu, tempat waktu tiada terkira sebelum jauh (XI: XCI).

Yang kangen membesar tenaga kepakan, sedari lembah pesawahan
kepada ketinggian siur nurani, pelepah-pelepah kering berjatuhan (XI: XCII).

Kalian boleh mengelak ajakannya tapi jilati keringatnya terlebih dulu
yang mengucur di sepanjang langkah kaki-kaki tidak terhitung itu (XI: XCIII).

Bulan malu ditempuh berat kaki-kaki kecil sarat membatu,
ketika pegal berkurang, para pendaki bergairah kembali (XI: XCIV).

Segenggam rindu kau bawa ke mana-mana,
laksana batuan bermutu dari jarak pantul (XI: XCV)

; setelah diterima hawa dingin selubung malam,
jika tersambar badai, dikokohkan selimut perasaan (XI: XCVI).

Maksud lebih agung dari menara, mengikuti alunan terkumpul
dalam degupan jantung nyawa, terpenggal tidaklah sia-sia (XI: XCVII).

Dia datang kepadamu saat kalian hendak melupa,
jika menuju ketersesatan, masihlah dipantau (XI: XCVIII).

Walau bagaimana terpaksa harus belajar menjinjit
demi satu-satunya pilihan keyakinan terbang (XI: XCIX).

Angin berdesing pada dedahan menerjang batuan terjal,
menghempas sayap burung menyabet ikan menyayat ombak,
percikan air secercah pelangi di mata sungai pagi (XI: C).

Hendak muntah lautan, mabuk meringankan beban, pena jiwa terhanyut
ke dalam pusaran awan, sedang tukikan busur panah sejauh penciptaan (XI: CI).

Padamu garam setelah mengambili bagian dilalaikan,
lantas harapan disentak terkabul berdendang sayang (XI: CII).

Kuas menoreh warna pada kanvas, dan tajam palet ditentukan,
mengemban perasaan bermain layang saat awan mendukung (XI: CIII).

Lumrah rindunya melesat jauh mengembalikan ada di mata maya,
daging ikan nan gurih tersebab hidupnya melawan arus deras
yang mengelupas lumut-lumut di batuan cadas (XI: CIV).

Makin jarak tidak berbilang lebih dekat bersatunya jiwa,
seerat kasih damai, bagi kurungan pemilik hasrat semesta (XI: CV).

Kesadaran ke dasar hatinya, kerahasiaan lembut membayang memberi arah,
ia lebih dulu sampai kepadamu, manakala kau bermaksud menemuinya (XI: CVI).
----

*) Pengelana dari Lamongan, JaTim, yang ingin jadi penyair sungguhan.

Tidak ada komentar:

A Khoirul Anam A Qorib Hidayatullah A Rodhi Murtadho A. Yusrianto Elga A. Zakky Zulhazmi A.S. Laksana Aang Fatihul Islam Aba Mardjani Abd. Mun’im Abdul Aziz Rasjid Abdul Gaffar Ruskhan Abdul Hadi W. M. Abdul Kadir Ibrahim Abdul Malik Abdul Muis Abdul Wachid BS Abdullah Khusairi Abidah El Khalieqy Abimardha Kurniawan Abroorza A. Yusra Abu Salman Acep Iwan Saidi Achmad Farid Tuasikal Adek Alwi Adi Marsiela Adian Husaini Adib Muttaqin Asfar Adji Subela Afandi Sido Afriza Hanifa Afrizal Malna Ageng Wuri R. A. Ags. Arya Dipayana Aguk Irawan M.N. Agus B. Harianto Agus Bing Agus Noor Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sri Danardana Agus Sulton Agus Sunyoto Agus Wibowo Agus Wirawan Agusri Junaidi AH J Khuzaini Ahda Imran Ahid Hidayat Ahm Soleh Ahmad Asyhar Ahmad Farid Yahya Ahmad Fuadi Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musthofa Haroen Ahmad Rofiq Ahmad Suhendra Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Aini Aviena Violeta Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sekhu Al Azhar Riau Al-Fairish Alex R. Nainggolan Alexander G.B. Alfian Zainal Aliansyah Alimuddin Almania Rohmah Alunk Estohank Amien Kamil Amien Wangsitalaja Anata Siregar Andi Sutisno Andy Riza Hidayat Anies Baswedan Anindita S Thayf Anis Ceha Anis Faridatur Rofiah Anjrah Lelono Broto Anna Subekti Anton Kurnia Ari Hidayat Ari Kristianawati Arie MP Tamba Arief Junianto Aris Kurniawan Arti Bumi Intaran Arul Arista AS Sumbawi Asarpin Asep Sambodja Atiqurrahman Awalludin GD Mualif Ayu Purwaningsih Babe Derwan Bakdi Soemanto Balada Bale Aksara Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Bayu Dwi Mardana Bellanissa Zoditama Beni Setia Benny Arnas Beno Siang Pamungkas Berita Berita Duka Bernando J. Sujibto Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Bokor Hutasuhut Brunel University London BSW Adjikoesoemo Budaya Budhi Setyawan Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiawan Dwi Santoso Bur Rasuanto Burhanuddin Bella Bustan Basir Maras Catatan Catullus CB. Ismulyadi Cerbung Cerita Rakyat Cerpen Chavchay Syaifullah Cikie Wahab Cunong Nunuk Suraja D Zawawi Imron Dad Murniah Dadang Ari Murtono Dahlia Rasyad Damhuri Muhammad Damiri Mahmud Danarto Daniel Paranamesa Darju Prasetya Darman Djamaluddin Darman Moenir Dasman Djamaluddin David Krisna Alka Dea Anugrah Dedy Tri Riyadi Denny JA Denny Mizhar Desi Sommalia Gustina Dewi Anggraeni Dharma Setyawan Dian Hartati Didi Arsandi Dina Oktaviani Dipo Handoko Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Doddi Ahmad Fauji Doddy Hidayatullah Dodi Chandra Dodiek Adyttya Dwiwanto Dody Kristianto Donny Anggoro Dony P. Herwanto Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Klik Santosa Dwi Pranoto Dwicipta Edy A Effendi Edy Firmansyah Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Eko Darmoko Ellyzan Katan Elnisya Mahendra Emha Ainun Nadjib Endah Imawati Eni Suryanti Eny Rose Eriyandi Budiman Eriyanti Erwin Edhi Prasetya Erwin Setia Esai Evan Ys Evi Idawati F Rahardi Fadly Rahman Fahrudin Nasrulloh Faizah Sirajuddin Faizal Syahreza Fajar Alayubi Fakhrunnas M.A. Jabbar Fanny Chotimah Fariz al-Nizar Fariz Alneizar Faruk HT Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fathurrahman Karyadi Fatimah Wahyu Sundari Fauzan Santa Fazabinal Alim Festival Sastra Gresik Fikri MS Fiksi Mini Fransisca Dewi Ria Utari Franz Kafka Fuad Anshori Furqon Abdi Fuska Sani Evani Gendhotwukir Gendut Riyanto Gerson Poyk Gita Pratama Goenawan Mohamad Gola Gong Grathia Pitaloka Gregorio Lopez y’ Fuentes Gugun El-Guyanie Gunawan Budi Susanto Gus Noy H.H. Tokoro Hadi Napster Hamberan Syahbana Hamdy Salad Hamsad Rangkuti Han Gagas Hang Kafrawi Hani Pudjiarti Hanna Fransisca Hardi Hamzah Hardjono WS Haris del Hakim Haris Priyatna Harris Maulana Hary B. Kori'un Hasan Al Banna Hasan Junus Hasbullah Said Hasnan Bachtiar HE. Benyamine Heidi Arbuckle Helmi Y Haska Helvy Tiana Rosa Hendra Junaedi Hendri Nova Herdoni Syafriansyah Heri Kurniawan Heri Latief Heri Ruslan Herman RN Hermawan Aksan Hermien Y. Kleden Herry Lamongan Holy Adib Humaidiy AS Husni Anshori I Nyoman Darma Putra I Nyoman Tingkat I Wayan Artika Ibnu Wahyudi Ida Farida Ignas Kleden Ilham Khoiri Imam Cahyono Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Tohari Indra Tranggono Indrian Koto Irwan Kelana Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Isma Swastiningrum Ismi Wahid Iwan Gardono Sujatmiko Iwan Gunadi Iwan Kurniawan Iwan Nurdaya Djafar Iwank J.S. Badudu Janoary M Wibowo Javed Paul Syatha JILFest 2008 JJ. Kusni Jodhi Yudono Joko Novianto Bp Joko Pinurbo Jones Gultom Jual Buku Paket Hemat Jusuf AN Kadek Suartaya Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Kedung Darma Romansha Kenedi Nurhan Khaerudin Kurniawan Khaerul Anwar Ki Sugito Ha Es Kirana Kejora Komunitas Deo Gratias Korrie Layun Rampan Kritik Sastra Kunthi Hastorini Kuntowijoyo Kurie Suditomo Kurnia Effendi Kurniawan Kuswinarto La Ode Rabbani Lathifa Akmaliyah Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember Leon Agusta Lily Siti Multatuliana Lily Yulianti Farid Lina Kelana Liza Wahyuninto Lona Olavia Lugiena Dé M Fadjroel Rachman M Farid W Makkulau M Syakir M. Dawam Rahardjo M. Faizi M. Mustafied M. Raudah Jambak M. Taufan Musonip M. Yoesoef M.D. Atmaja M.Th. Krishdiana Putri Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Maklumat Sastra Profetik Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mangun Kuncoro Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria D. Andriana Maria Magdalena Bhoernomo Mariana Amiruddin Maryati Marzuzak SY Mashuri Maulana Syamsuri Media: Crayon on Paper Mega Vristian MG. Sungatno Misbahus Surur Mofik el-abrar Moh. Amir Sutaarga Moh. Ghufron Cholid Mohammad Hatta Mohammad Kh. Azad Mohammad Takdir Ilahi Much. Khoiri Muhamad Taslim Dalma Muhammad Rain Muhammad Subhan Muhammad Yasir Muhammadun A.S Muhidin M Dahlan Mujtahid Mulyawan Karim Musa Ismail Musfi Efrizal Mustafa Ismail Mustofa W Hasyim N Teguh Prasetyo N. Mursidi Nadhi Kiara Zifen Nana Riskhi Susanti Nanang Suryadi Naskah Teater Nasrulloh Habibi Neva Tuhella Nietzsche Nirwan Dewanto Nizar Qabbani Noor H. Dee Nova Christina Novelet Nunung Nurdiah Nur Wachid Nurani Soyomukti Nurel Javissyarqi Nurman Hartono Nuryana Asmaudi Nyoman Tusthi Eddy Obrolan Oky Sanjaya Oyos Saroso HN P Ari Subagyo Pagelaran Musim Tandur Pamusuk Eneste Panji Satrio PDS H.B. Jassin Penerbit dan Toko Buku PUstaka puJAngga Pipiet Senja Pramoedya Ananta Toer Pringadi AS Pringgo HR Prosa Puisi Puji Santosa Purnawan Andra PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Satria Kusuma Putu Wijaya R Masri Sareb Putra R. Adhi Kusumaputra R. Timur Budi Raja R.N. Bayu Aji Radhar Panca Dahana Ragdi F. Daye Rahmi Hattani Raja Ali Haji Raju Febrian Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Dira J Rama Prabu Ramadhan KH Ramon Magsaysay Ramses Ohee Ratih Kumala Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Ressa Novita Ressa Sagitariana Putri Ria Ristiana Dewi Rialita Fithra Asmara Ribut Wijoto Rida K Liamsi Rifka Sibarani Rilda A. Oe. Taneko Rilda A.Oe. Taneko Rimbun Natamarga Rinto Andriono Risang Anom Pujayanto Rita Zahara Riyon Fidwar Robin Al Kautsar Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Rohman Budijanto Rukardi S Yoga S. Jai S. Takdir Alisyahbana S.W. Teofani Sabrank Suparno Sahaya Santayana Sajak Sajak Sebatang Lisong Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Salman S. Yoga Salyaputra Samson Rambah Pasir Samsudin Adlawi Sanie B. Kuncoro Santy Novaria Sapardi Djoko Damono Sarabunis Mubarok Sartika Dian Nuraini Sasti Gotama Sastra Nusantara Satmoko Budi Santoso Satriani Saut Poltak Tambunan Saut Situmorang Sekolah Literasi Gratis (SLG) Selasih Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Shadiqin Sudirman Shiny.ane el’poesya Shourisha Arashi Sidik Nugroho Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sindu Putra Siska Afriani Siti Sa’adah Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Slamet Samsoerizal Sobih Adnan Sofyan RH. Zaid Solihin Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sony Wibisono Sosiawan Leak Sri Wintala Achmad Sri Wulan Rujiati Mulyadi Stevani Elisabeth Suci Ayu Latifah Sucipto Hadi Purnomo Sudarmoko Sudirman HN Suhadi Mukhan Suharsono Sukar Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sunudyantoro Supriyadi Suriani Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syahruddin El-Fikri Syaripudin Zuhri Syifa Aulia Syu’bah Asa T.A. Sakti Tammalele Tan Lioe Ie Tasyriq Hifzhillah Taufik Abdullah Taufik Effendi Aria Taufik Ikram Jamil Taufiq Wr. Hidayat TE. Priyono Teguh Winarsho AS Tenas Effendy Tengsoe Tjahjono Thayeb Loh Angen Theresia Purbandini Tia Setiadi Tias Tatanka Tito Sianipar Tjahjono EP Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tjut Zakiyah Anshari Topik Mulyana Tosa Poetra Tri Harun Syafii TS Pinang Tu-ngang Iskandar Udo Z. Karzi Uly Giznawati Umar Fauzi Ballah Umbu Landu Paranggi Umi Kulsum Uniawati Universitas Indonesia Usman Arrumy Usman D.Ganggang Utada Kamaru UU Hamidy Viddy AD Daery W.S. Rendra Wa Ode Wulan Ratna Wahib Muthalib Wahyudi Akmaliah Muhammad Wardjito Soeharso Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Sunarta Weli Meinindartato Wicaksono Widodo DS Wina Karnie Wisran Hadi Wong Wing King Yan Maniani Yanti Mulatsih Yanuar Arifin Yasser Arafat Yaumu Roikha Yetti A. KA Yohanes Padmo Adi Nugroho Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yudhi Ms Yudhistira ANM Massardi Yulianna Yurnaldi Yusi A. Pareanom Yusi Avianto Pareanom Yusri Fajar Yusrizal KW Yuyun Ifa Naliah Zaim Rofiqi Zainal Arifin Thoha Zakki Amali Zakky Zulhazmi Zawawi Se Zehan Zareez Zelfeni Wimra Zuarman Ahmad Zulfikar Akbar