Rabu, 08 Oktober 2008

Seni(man) yang Terbelenggu

Marhalim Zaini
http://esai-marhalimzaini.blogspot.com/

Untuk memulai tulisan ini, saya hendak mengutip satu paragraf penting dalam salah satu esai Putu Wijaya. Begini bunyinya, “Tidak mudah menjadi seniman, kalau seniman bukan diartikan sebagai sekadar label dan status, tetapi fungsi. Sebagai fungsional ia dituntut untuk bekerja. Bekerja tidak hanya kalau ia sedang bernafsu, ketika tanpa nafsu pun ia mesti berekspresi. Karena kalau tidak berkarya ia berarti tidak berfungsi. Seni bukan lagi kesenangan, meskipun bisa menyenangkan sekali. Seni adalah pencarian yang tak pernah selesai. Sebuah tugas yang tak bisa ditolak. Bahkan sebuah kutukan bagi dia yang tak bisa memilih lain kecuali jadi seniman.” (Bor, 1999).

Itu kata Putu Wijaya. Seorang pengkarya yang sangat produktif. Sosok seniman yang sejak SMP sudah menulis cerpen dan main teater. Dan sampai kini, ketika rambutnya sudah ditumbuhi uban dan kulit wajah mulai berkeriput pun masih dengan semangat berkarya. Terakhir ia sms saya, yang mengkhabarkan bahwa ia bersama Teater Mandiri-nya itu akan pentas monolog berjudul “Seratus Menit” di UNPAR, selasa, 29 mei 2007. Dan saya cuma bisa membalas sms, “Selamat Mas Putu. Masih tetap terus bergelora…” Sungguh, saya iri. Orang sebaya Putu Wijaya, yang telah kokoh menancapkan namanya di dunia seni, meraih berbagai penghargaan, menciptakan ratusan karya tulis yang telah diterjemahkan ke lebih dari lima bahasa, masih terus bergelora dengan semangat tinggi melahirkan karya-karya. Dia hidup dalam dunia seni, dan dunia seni hidup dalam dirinya.

Dan Putu Wijaya, saya kira, adalah salah satu saja dari sejumlah seniman (di) Indonesia (dari yang tak banyak ini) yang terus-menerus bergulat dan merasa selalu kembali ke titik nol saat mulai masuk ke dalam proses kreatif penciptaan seni. Artinya, ada yang belum selesai dalam upaya menggali kemungkinan-kemungkinan estetik dalam ranah seni kita. Ada ruang-ruang atau celah-celah yang menunggu direspon oleh seniman sebagai sosok manusia yang tidak dengan mudah menerima realitas (kenyataan) begitu saja, sebelum ia menemukan harapan-harapan lain di sebaliknya. Harapan-harapan lain itu adalah pencerahan. Adalah sebuah kondisi di mana kenyatan-kenyataan lain dapat tumbuh sebagai benih-benih imajinasi.

Benih-benih inilah kemudian yang berkeliaran ke rahim-rahim kreatif. Ia bersetubuh. Dan selalu, persetubuhan adalah sebuah kenikmatan yang kerap tak dapat kita maknai dengan terang dan jelas bentuknya. Ia terasa ada, meski tampak tiada. Maka kelahiran agaknya bukanlah sesuatu yang luar biasa dalam proses berkesenian. Sebab ia, dengan segera, dan secepatnya, akan “menolak” dan melihat sesuatu yang lahir itu berjalan pergi, menjauh, meninggalkan sang rahim. Ia berkelana ke mana pun, sampai ia menemui ajalnya sendiri. Penolakan ini, adalah semacam posisi yang sengaja diambil oleh seniman. Sebab, kata Van Gogh, “kita tidak boleh menilai Tuhan berdasar dunia ini. Dunia ini adalah hasil lukisan Tuhan yang gagal.”

Konsepsi filosofis perjalanan kreatif seorang seniman semacam itu boleh jadi hanya dimiliki oleh mereka yang bersepakat dengan Albert Camus, bahwa “……” Perjuangan dalam konteks tulisan ini merujuk pada sebuah fenomena “kekacauan paradigma” kita terhadap sosok seniman yang kerap hadir dalam wilayah yang (seolah) sangat sulit diidentifikasi. Kekacauan ini kelak menimbulkan ekses yang bias dalam persepsi publik. Hingga bermuara pada labilnya eksistensi seniman di mata publik dan negara. Menyebut ‘negara’ dalam konteks ini, adalah mengacu kepada posisi ‘kekuasaan” yang sempat merecoki ingatan kita tentang wacana represif dalam perjalanan sejarah bangsa ini. Ada trauma yang membekas bagai barut luka di tubuh kesenian kita, mulai dari pelarangan pentas seni dan penerbitan buku sastra, sampai pada penangkapan dan penculikan para aktivis kesenian.

Akan tetapi, catatlah. Bahwa seniman-seniman yang ‘terbelenggu” oleh kekuasaan di zaman itu, justru dengan tegas dan jelas menggaungkan karya-karya mereka ke tengah publik. Pramudya Ananta Toer (terlepas dari soal politis yang membabitkan namanya) sejak masa penjajahan sampai rezim Orde Baru yang membuang dan memenjarakannya, justru tak henti-hentinya melahirkan karya sampai akhir hayatnya. Rendra dan Nano Riantiarno bersama Teater Koma-nya, termasuklah juga Putu Wijaya, berulangkali dicekal dalam pembacaan sajak-sajak juga pementasan teaternya. Wiji Thukul, sang penyair buruh itu, tiba-tiba lenyap seperti ditelan pantai laut selatan, gara-gara sajak-sajaknya yang kritis terhadap pemerintah. Dan tentu banyak lagi contoh, yang menceritakan bagaimana sesungguhnya kondisi represif itu justru dapat mencuatkan sejumlah nama dalam dunia seni kita. Meski, satu problem lain juga muncul, bahwa tak sedikit juga “seniman” yang berteriak dan meratap tentang kebebasan dan kemerdekaan. Mereka merasa terpasung kreativitasnya, merasa terpenjara, terbelenggu, dan merasa tak berdaya untuk berkarya.

Lalu, datanglah sebuah masa di mana kemerdekaan dan kebebasan yang diratapi dulu itu tersaji di hadapan mata para seniman. Dunia seolah kini tampak telanjang tanpa pakaian. Sebuah dunia yang bebas-lepas, simpang siur dalam lintasan peristiwa yang mengejutkan. Di zaman serupa ini, tentu saja bagai bentangan surga bagi dunia kreativitas yang identik dengan “ketidak-terbatasan.” Namun, apa kenyataannya? Apakah dengan demikian maka para seniman melahirkan karya-karya bermutu, menonjol, keluar dari batas-batas konvensi seni dan melompat ke dunia eksploratif yang lebih liar? Apakah dengan demikian, komunitas-komunitas seni kian tumbuh dan berdialektika menggagas berbagai wacana seni, dan menghadirkan gerakan-gerakan kebudayaan yang lebih luas? Hemat saya, setakat ini, tidak.

Malah yang tampak seperti ada belenggu-belenggu baru yang mengungkung proses berkesenian kita. Belenggu-belenggu itu menjelma dalam wujudnya yang lain, berupa “kebebasan” itu sendiri. Sebab rupanya, kita memang belum siap untuk dengan kritis dan kreatif memaknai kebebasan yang mengglobal ini. Kegamangan pun masuk dalam bentuk-bentuk kesenian yang kita produksi. Dunia kapitalisme yang sejak lama mengambil porsi teramat besar dalam konstelasi berkehidupan kita kini bahkan seolah menemukan signifikansinya yang lebih terbuka dan konkret. Hingga ia pun kemudian ikut masuk dalam rumah-rumah kecil individu-individu para seniman. Tersebab ia selalu dan terlalu menggoda, maka sungguh sulit untuk sesiapa pun dapat menepisnya. Godaan-godaan ini kemudian menjelma jadi salah satu bentuk keterbelengguan yang lain pula.

Negara, pada situasi kini, memang sangat terbuka dan tak secara gamblang mencengkeramkan tangan-tangan kuasanya pada kreativitas seniman. Negara, tampak lebih arif dan seolah hendak bergandengan tangan degan seniman, termasuk support material yang disuguhkan. Namun agaknya harus dilihat juga, bahwa ‘kebaikan’ negara ini pada titik tertentu, rupanya membangkitkan satu ‘keterbelengguan’ yang baru pula bagi seniman. Dapatlah kita tengok dan dengar, bahwa masih saja ada yang mengeluhkan tentang ketiadaan dana untuk memulai sebuah kreativitas seni.

Persepsi semacam ini seolah menggiring sebuah sikap berkesenian yang manja dan menyederhanakan proses kreatif penciptaan seni hanya pada ketersediaan dana. Anehnya, begitu dana tersedia demikian layak bahkan lebih dari layak, seniman malah masuk kembali dalam belenggu pragmatisme, memosisikan diri sebagai sekedar aktivisme, bahkan kemudian ikut ‘menyederhanakan’ ke(seni)an dalam kamuflase-kamuflase. Dan ketika perahu kesenian telah merapat dekat dengan pelabuhan negara, maka pada saat yang bersamaan, sebuah proses intervensi sedang bekerja di balik layar. Ketika proses intervensi ini kemudian diam-diam menemukan signal yang kuat, seniman lagi-lagi akan masuk ke dalam belenggu-belenggu baru pula.

Dapatkah seniman keluar dari belenggu-belenggu ini? Hemat saya, jawabannya adalah “pemberontakan.” Meski saya cukup kuatir menyebut kata ‘pemberontakan’ ini, sebab ia telah demikian negatif dalam minda kita, karena ia memang pernah dikambing-hitamkan oleh dunia politik sebagai yang subversif, sebagai “penjahat’. Padahal, dunia seniman, dunia kreativitas, rasa-rasanya tak mungkin untuk dipisahkan dengan kata pemberontakan. Sebab setiap karya yang lahir adalah hasil dari proses pemberontakan seniman terhadap realitas, terhadap ‘kemapanan’, terhadap tatanan status quo yang dianggap usang. Bukankah sebuah hipotesis pernah bilang bahwa “kreativitas dan pemberontakan tidak lain adalah gerak alam raya itu sendiri, keduanya adalah esensi dari kehidupan.”

Dan entah apa jadinya, kalau sikap dan tindak pemberontakan tak ada dalam diri mereka yang mengaku dirinya sebagai seorang seniman. Mungkin saja kita hanya akan menyaksikan ke(seni)an kita terus menerus berada dalam belenggu jiwa-jiwa konvensional, dalam belenggu elitisme budaya. Maka izinkanlah saya, untuk menutup tulisan ini dengan mengutip paragraf penting lainnya dari esai Putu Wijaya, “seniman yang malas, yang tidak kreatif, mungkin benar akan menjadi mati rasa dalam pembebasannya. Ia menjadi mandul. Tetapi seniman yang kreatif tidak akan mau masuk lubang kubur macam itu, bahkan ketika ia mati pun, karya-karyanya masih bersuara lantang. Ia akan senantiasa berjuang. Karena kesenian adalah perjuangan, bukan kesenangan.”***

Tidak ada komentar:

A Khoirul Anam A Qorib Hidayatullah A Rodhi Murtadho A. Yusrianto Elga A. Zakky Zulhazmi A.S. Laksana Aang Fatihul Islam Aba Mardjani Abd. Mun’im Abdul Aziz Rasjid Abdul Gaffar Ruskhan Abdul Hadi W. M. Abdul Kadir Ibrahim Abdul Malik Abdul Muis Abdul Wachid BS Abdullah Khusairi Abidah El Khalieqy Abimardha Kurniawan Abroorza A. Yusra Abu Salman Acep Iwan Saidi Achmad Farid Tuasikal Adek Alwi Adi Marsiela Adian Husaini Adib Muttaqin Asfar Adji Subela Afandi Sido Afriza Hanifa Afrizal Malna Ageng Wuri R. A. Ags. Arya Dipayana Aguk Irawan M.N. Agus B. Harianto Agus Bing Agus Noor Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sri Danardana Agus Sulton Agus Sunyoto Agus Wibowo Agus Wirawan Agusri Junaidi AH J Khuzaini Ahda Imran Ahid Hidayat Ahm Soleh Ahmad Asyhar Ahmad Farid Yahya Ahmad Fuadi Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musthofa Haroen Ahmad Rofiq Ahmad Suhendra Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Aini Aviena Violeta Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sekhu Al Azhar Riau Al-Fairish Alex R. Nainggolan Alexander G.B. Alfian Zainal Aliansyah Alimuddin Almania Rohmah Alunk Estohank Amien Kamil Amien Wangsitalaja Anata Siregar Andi Sutisno Andy Riza Hidayat Anies Baswedan Anindita S Thayf Anis Ceha Anis Faridatur Rofiah Anjrah Lelono Broto Anna Subekti Anton Kurnia Ari Hidayat Ari Kristianawati Arie MP Tamba Arief Junianto Aris Kurniawan Arti Bumi Intaran Arul Arista AS Sumbawi Asarpin Asep Sambodja Atiqurrahman Awalludin GD Mualif Ayu Purwaningsih Babe Derwan Bakdi Soemanto Balada Bale Aksara Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Bayu Dwi Mardana Bellanissa Zoditama Beni Setia Benny Arnas Beno Siang Pamungkas Berita Berita Duka Bernando J. Sujibto Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Bokor Hutasuhut Brunel University London BSW Adjikoesoemo Budaya Budhi Setyawan Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiawan Dwi Santoso Bur Rasuanto Burhanuddin Bella Bustan Basir Maras Catatan Catullus CB. Ismulyadi Cerbung Cerita Rakyat Cerpen Chavchay Syaifullah Cikie Wahab Cunong Nunuk Suraja D Zawawi Imron Dad Murniah Dadang Ari Murtono Dahlia Rasyad Damhuri Muhammad Damiri Mahmud Danarto Daniel Paranamesa Darju Prasetya Darman Djamaluddin Darman Moenir Dasman Djamaluddin David Krisna Alka Dea Anugrah Dedy Tri Riyadi Denny JA Denny Mizhar Desi Sommalia Gustina Dewi Anggraeni Dharma Setyawan Dian Hartati Didi Arsandi Dina Oktaviani Dipo Handoko Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Doddi Ahmad Fauji Doddy Hidayatullah Dodi Chandra Dodiek Adyttya Dwiwanto Dody Kristianto Donny Anggoro Dony P. Herwanto Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Klik Santosa Dwi Pranoto Dwicipta Edy A Effendi Edy Firmansyah Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Eko Darmoko Ellyzan Katan Elnisya Mahendra Emha Ainun Nadjib Endah Imawati Eni Suryanti Eny Rose Eriyandi Budiman Eriyanti Erwin Edhi Prasetya Erwin Setia Esai Evan Ys Evi Idawati F Rahardi Fadly Rahman Fahrudin Nasrulloh Faizah Sirajuddin Faizal Syahreza Fajar Alayubi Fakhrunnas M.A. Jabbar Fanny Chotimah Fariz al-Nizar Fariz Alneizar Faruk HT Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fathurrahman Karyadi Fatimah Wahyu Sundari Fauzan Santa Fazabinal Alim Festival Sastra Gresik Fikri MS Fiksi Mini Fransisca Dewi Ria Utari Franz Kafka Fuad Anshori Furqon Abdi Fuska Sani Evani Gendhotwukir Gendut Riyanto Gerson Poyk Gita Pratama Goenawan Mohamad Gola Gong Grathia Pitaloka Gregorio Lopez y’ Fuentes Gugun El-Guyanie Gunawan Budi Susanto Gus Noy H.H. Tokoro Hadi Napster Hamberan Syahbana Hamdy Salad Hamsad Rangkuti Han Gagas Hang Kafrawi Hani Pudjiarti Hanna Fransisca Hardi Hamzah Hardjono WS Haris del Hakim Haris Priyatna Harris Maulana Hary B. Kori'un Hasan Al Banna Hasan Junus Hasbullah Said Hasnan Bachtiar HE. Benyamine Heidi Arbuckle Helmi Y Haska Helvy Tiana Rosa Hendra Junaedi Hendri Nova Herdoni Syafriansyah Heri Kurniawan Heri Latief Heri Ruslan Herman RN Hermawan Aksan Hermien Y. Kleden Herry Lamongan Holy Adib Humaidiy AS Husni Anshori I Nyoman Darma Putra I Nyoman Tingkat I Wayan Artika Ibnu Wahyudi Ida Farida Ignas Kleden Ilham Khoiri Imam Cahyono Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Tohari Indra Tranggono Indrian Koto Irwan Kelana Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Isma Swastiningrum Ismi Wahid Iwan Gardono Sujatmiko Iwan Gunadi Iwan Kurniawan Iwan Nurdaya Djafar Iwank J.S. Badudu Janoary M Wibowo Javed Paul Syatha JILFest 2008 JJ. Kusni Jodhi Yudono Joko Novianto Bp Joko Pinurbo Jones Gultom Jual Buku Paket Hemat Jusuf AN Kadek Suartaya Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Kedung Darma Romansha Kenedi Nurhan Khaerudin Kurniawan Khaerul Anwar Ki Sugito Ha Es Kirana Kejora Komunitas Deo Gratias Korrie Layun Rampan Kritik Sastra Kunthi Hastorini Kuntowijoyo Kurie Suditomo Kurnia Effendi Kurniawan Kuswinarto La Ode Rabbani Lathifa Akmaliyah Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember Leon Agusta Lily Siti Multatuliana Lily Yulianti Farid Lina Kelana Liza Wahyuninto Lona Olavia Lugiena Dé M Fadjroel Rachman M Farid W Makkulau M Syakir M. Dawam Rahardjo M. Faizi M. Mustafied M. Raudah Jambak M. Taufan Musonip M. Yoesoef M.D. Atmaja M.Th. Krishdiana Putri Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Maklumat Sastra Profetik Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mangun Kuncoro Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria D. Andriana Maria Magdalena Bhoernomo Mariana Amiruddin Maryati Marzuzak SY Mashuri Maulana Syamsuri Media: Crayon on Paper Mega Vristian MG. Sungatno Misbahus Surur Mofik el-abrar Moh. Amir Sutaarga Moh. Ghufron Cholid Mohammad Hatta Mohammad Kh. Azad Mohammad Takdir Ilahi Much. Khoiri Muhamad Taslim Dalma Muhammad Rain Muhammad Subhan Muhammad Yasir Muhammadun A.S Muhidin M Dahlan Mujtahid Mulyawan Karim Musa Ismail Musfi Efrizal Mustafa Ismail Mustofa W Hasyim N Teguh Prasetyo N. Mursidi Nadhi Kiara Zifen Nana Riskhi Susanti Nanang Suryadi Naskah Teater Nasrulloh Habibi Neva Tuhella Nietzsche Nirwan Dewanto Nizar Qabbani Noor H. Dee Nova Christina Novelet Nunung Nurdiah Nur Wachid Nurani Soyomukti Nurel Javissyarqi Nurman Hartono Nuryana Asmaudi Nyoman Tusthi Eddy Obrolan Oky Sanjaya Oyos Saroso HN P Ari Subagyo Pagelaran Musim Tandur Pamusuk Eneste Panji Satrio PDS H.B. Jassin Penerbit dan Toko Buku PUstaka puJAngga Pipiet Senja Pramoedya Ananta Toer Pringadi AS Pringgo HR Prosa Puisi Puji Santosa Purnawan Andra PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Satria Kusuma Putu Wijaya R Masri Sareb Putra R. Adhi Kusumaputra R. Timur Budi Raja R.N. Bayu Aji Radhar Panca Dahana Ragdi F. Daye Rahmi Hattani Raja Ali Haji Raju Febrian Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Dira J Rama Prabu Ramadhan KH Ramon Magsaysay Ramses Ohee Ratih Kumala Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Ressa Novita Ressa Sagitariana Putri Ria Ristiana Dewi Rialita Fithra Asmara Ribut Wijoto Rida K Liamsi Rifka Sibarani Rilda A. Oe. Taneko Rilda A.Oe. Taneko Rimbun Natamarga Rinto Andriono Risang Anom Pujayanto Rita Zahara Riyon Fidwar Robin Al Kautsar Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Rohman Budijanto Rukardi S Yoga S. Jai S. Takdir Alisyahbana S.W. Teofani Sabrank Suparno Sahaya Santayana Sajak Sajak Sebatang Lisong Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Salman S. Yoga Salyaputra Samson Rambah Pasir Samsudin Adlawi Sanie B. Kuncoro Santy Novaria Sapardi Djoko Damono Sarabunis Mubarok Sartika Dian Nuraini Sasti Gotama Sastra Nusantara Satmoko Budi Santoso Satriani Saut Poltak Tambunan Saut Situmorang Sekolah Literasi Gratis (SLG) Selasih Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Shadiqin Sudirman Shiny.ane el’poesya Shourisha Arashi Sidik Nugroho Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sindu Putra Siska Afriani Siti Sa’adah Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Slamet Samsoerizal Sobih Adnan Sofyan RH. Zaid Solihin Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sony Wibisono Sosiawan Leak Sri Wintala Achmad Sri Wulan Rujiati Mulyadi Stevani Elisabeth Suci Ayu Latifah Sucipto Hadi Purnomo Sudarmoko Sudirman HN Suhadi Mukhan Suharsono Sukar Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sunudyantoro Supriyadi Suriani Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syahruddin El-Fikri Syaripudin Zuhri Syifa Aulia Syu’bah Asa T.A. Sakti Tammalele Tan Lioe Ie Tasyriq Hifzhillah Taufik Abdullah Taufik Effendi Aria Taufik Ikram Jamil Taufiq Wr. Hidayat TE. Priyono Teguh Winarsho AS Tenas Effendy Tengsoe Tjahjono Thayeb Loh Angen Theresia Purbandini Tia Setiadi Tias Tatanka Tito Sianipar Tjahjono EP Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tjut Zakiyah Anshari Topik Mulyana Tosa Poetra Tri Harun Syafii TS Pinang Tu-ngang Iskandar Udo Z. Karzi Uly Giznawati Umar Fauzi Ballah Umbu Landu Paranggi Umi Kulsum Uniawati Universitas Indonesia Usman Arrumy Usman D.Ganggang Utada Kamaru UU Hamidy Viddy AD Daery W.S. Rendra Wa Ode Wulan Ratna Wahib Muthalib Wahyudi Akmaliah Muhammad Wardjito Soeharso Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Sunarta Weli Meinindartato Wicaksono Widodo DS Wina Karnie Wisran Hadi Wong Wing King Yan Maniani Yanti Mulatsih Yanuar Arifin Yasser Arafat Yaumu Roikha Yetti A. KA Yohanes Padmo Adi Nugroho Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yudhi Ms Yudhistira ANM Massardi Yulianna Yurnaldi Yusi A. Pareanom Yusi Avianto Pareanom Yusri Fajar Yusrizal KW Yuyun Ifa Naliah Zaim Rofiqi Zainal Arifin Thoha Zakki Amali Zakky Zulhazmi Zawawi Se Zehan Zareez Zelfeni Wimra Zuarman Ahmad Zulfikar Akbar