Marhalim Zaini
http://esai-marhalimzaini.blogspot.com/
Untuk memulai tulisan ini, saya hendak mengutip satu paragraf penting dalam salah satu esai Putu Wijaya. Begini bunyinya, “Tidak mudah menjadi seniman, kalau seniman bukan diartikan sebagai sekadar label dan status, tetapi fungsi. Sebagai fungsional ia dituntut untuk bekerja. Bekerja tidak hanya kalau ia sedang bernafsu, ketika tanpa nafsu pun ia mesti berekspresi. Karena kalau tidak berkarya ia berarti tidak berfungsi. Seni bukan lagi kesenangan, meskipun bisa menyenangkan sekali. Seni adalah pencarian yang tak pernah selesai. Sebuah tugas yang tak bisa ditolak. Bahkan sebuah kutukan bagi dia yang tak bisa memilih lain kecuali jadi seniman.” (Bor, 1999).
Itu kata Putu Wijaya. Seorang pengkarya yang sangat produktif. Sosok seniman yang sejak SMP sudah menulis cerpen dan main teater. Dan sampai kini, ketika rambutnya sudah ditumbuhi uban dan kulit wajah mulai berkeriput pun masih dengan semangat berkarya. Terakhir ia sms saya, yang mengkhabarkan bahwa ia bersama Teater Mandiri-nya itu akan pentas monolog berjudul “Seratus Menit” di UNPAR, selasa, 29 mei 2007. Dan saya cuma bisa membalas sms, “Selamat Mas Putu. Masih tetap terus bergelora…” Sungguh, saya iri. Orang sebaya Putu Wijaya, yang telah kokoh menancapkan namanya di dunia seni, meraih berbagai penghargaan, menciptakan ratusan karya tulis yang telah diterjemahkan ke lebih dari lima bahasa, masih terus bergelora dengan semangat tinggi melahirkan karya-karya. Dia hidup dalam dunia seni, dan dunia seni hidup dalam dirinya.
Dan Putu Wijaya, saya kira, adalah salah satu saja dari sejumlah seniman (di) Indonesia (dari yang tak banyak ini) yang terus-menerus bergulat dan merasa selalu kembali ke titik nol saat mulai masuk ke dalam proses kreatif penciptaan seni. Artinya, ada yang belum selesai dalam upaya menggali kemungkinan-kemungkinan estetik dalam ranah seni kita. Ada ruang-ruang atau celah-celah yang menunggu direspon oleh seniman sebagai sosok manusia yang tidak dengan mudah menerima realitas (kenyataan) begitu saja, sebelum ia menemukan harapan-harapan lain di sebaliknya. Harapan-harapan lain itu adalah pencerahan. Adalah sebuah kondisi di mana kenyatan-kenyataan lain dapat tumbuh sebagai benih-benih imajinasi.
Benih-benih inilah kemudian yang berkeliaran ke rahim-rahim kreatif. Ia bersetubuh. Dan selalu, persetubuhan adalah sebuah kenikmatan yang kerap tak dapat kita maknai dengan terang dan jelas bentuknya. Ia terasa ada, meski tampak tiada. Maka kelahiran agaknya bukanlah sesuatu yang luar biasa dalam proses berkesenian. Sebab ia, dengan segera, dan secepatnya, akan “menolak” dan melihat sesuatu yang lahir itu berjalan pergi, menjauh, meninggalkan sang rahim. Ia berkelana ke mana pun, sampai ia menemui ajalnya sendiri. Penolakan ini, adalah semacam posisi yang sengaja diambil oleh seniman. Sebab, kata Van Gogh, “kita tidak boleh menilai Tuhan berdasar dunia ini. Dunia ini adalah hasil lukisan Tuhan yang gagal.”
Konsepsi filosofis perjalanan kreatif seorang seniman semacam itu boleh jadi hanya dimiliki oleh mereka yang bersepakat dengan Albert Camus, bahwa “……” Perjuangan dalam konteks tulisan ini merujuk pada sebuah fenomena “kekacauan paradigma” kita terhadap sosok seniman yang kerap hadir dalam wilayah yang (seolah) sangat sulit diidentifikasi. Kekacauan ini kelak menimbulkan ekses yang bias dalam persepsi publik. Hingga bermuara pada labilnya eksistensi seniman di mata publik dan negara. Menyebut ‘negara’ dalam konteks ini, adalah mengacu kepada posisi ‘kekuasaan” yang sempat merecoki ingatan kita tentang wacana represif dalam perjalanan sejarah bangsa ini. Ada trauma yang membekas bagai barut luka di tubuh kesenian kita, mulai dari pelarangan pentas seni dan penerbitan buku sastra, sampai pada penangkapan dan penculikan para aktivis kesenian.
Akan tetapi, catatlah. Bahwa seniman-seniman yang ‘terbelenggu” oleh kekuasaan di zaman itu, justru dengan tegas dan jelas menggaungkan karya-karya mereka ke tengah publik. Pramudya Ananta Toer (terlepas dari soal politis yang membabitkan namanya) sejak masa penjajahan sampai rezim Orde Baru yang membuang dan memenjarakannya, justru tak henti-hentinya melahirkan karya sampai akhir hayatnya. Rendra dan Nano Riantiarno bersama Teater Koma-nya, termasuklah juga Putu Wijaya, berulangkali dicekal dalam pembacaan sajak-sajak juga pementasan teaternya. Wiji Thukul, sang penyair buruh itu, tiba-tiba lenyap seperti ditelan pantai laut selatan, gara-gara sajak-sajaknya yang kritis terhadap pemerintah. Dan tentu banyak lagi contoh, yang menceritakan bagaimana sesungguhnya kondisi represif itu justru dapat mencuatkan sejumlah nama dalam dunia seni kita. Meski, satu problem lain juga muncul, bahwa tak sedikit juga “seniman” yang berteriak dan meratap tentang kebebasan dan kemerdekaan. Mereka merasa terpasung kreativitasnya, merasa terpenjara, terbelenggu, dan merasa tak berdaya untuk berkarya.
Lalu, datanglah sebuah masa di mana kemerdekaan dan kebebasan yang diratapi dulu itu tersaji di hadapan mata para seniman. Dunia seolah kini tampak telanjang tanpa pakaian. Sebuah dunia yang bebas-lepas, simpang siur dalam lintasan peristiwa yang mengejutkan. Di zaman serupa ini, tentu saja bagai bentangan surga bagi dunia kreativitas yang identik dengan “ketidak-terbatasan.” Namun, apa kenyataannya? Apakah dengan demikian maka para seniman melahirkan karya-karya bermutu, menonjol, keluar dari batas-batas konvensi seni dan melompat ke dunia eksploratif yang lebih liar? Apakah dengan demikian, komunitas-komunitas seni kian tumbuh dan berdialektika menggagas berbagai wacana seni, dan menghadirkan gerakan-gerakan kebudayaan yang lebih luas? Hemat saya, setakat ini, tidak.
Malah yang tampak seperti ada belenggu-belenggu baru yang mengungkung proses berkesenian kita. Belenggu-belenggu itu menjelma dalam wujudnya yang lain, berupa “kebebasan” itu sendiri. Sebab rupanya, kita memang belum siap untuk dengan kritis dan kreatif memaknai kebebasan yang mengglobal ini. Kegamangan pun masuk dalam bentuk-bentuk kesenian yang kita produksi. Dunia kapitalisme yang sejak lama mengambil porsi teramat besar dalam konstelasi berkehidupan kita kini bahkan seolah menemukan signifikansinya yang lebih terbuka dan konkret. Hingga ia pun kemudian ikut masuk dalam rumah-rumah kecil individu-individu para seniman. Tersebab ia selalu dan terlalu menggoda, maka sungguh sulit untuk sesiapa pun dapat menepisnya. Godaan-godaan ini kemudian menjelma jadi salah satu bentuk keterbelengguan yang lain pula.
Negara, pada situasi kini, memang sangat terbuka dan tak secara gamblang mencengkeramkan tangan-tangan kuasanya pada kreativitas seniman. Negara, tampak lebih arif dan seolah hendak bergandengan tangan degan seniman, termasuk support material yang disuguhkan. Namun agaknya harus dilihat juga, bahwa ‘kebaikan’ negara ini pada titik tertentu, rupanya membangkitkan satu ‘keterbelengguan’ yang baru pula bagi seniman. Dapatlah kita tengok dan dengar, bahwa masih saja ada yang mengeluhkan tentang ketiadaan dana untuk memulai sebuah kreativitas seni.
Persepsi semacam ini seolah menggiring sebuah sikap berkesenian yang manja dan menyederhanakan proses kreatif penciptaan seni hanya pada ketersediaan dana. Anehnya, begitu dana tersedia demikian layak bahkan lebih dari layak, seniman malah masuk kembali dalam belenggu pragmatisme, memosisikan diri sebagai sekedar aktivisme, bahkan kemudian ikut ‘menyederhanakan’ ke(seni)an dalam kamuflase-kamuflase. Dan ketika perahu kesenian telah merapat dekat dengan pelabuhan negara, maka pada saat yang bersamaan, sebuah proses intervensi sedang bekerja di balik layar. Ketika proses intervensi ini kemudian diam-diam menemukan signal yang kuat, seniman lagi-lagi akan masuk ke dalam belenggu-belenggu baru pula.
Dapatkah seniman keluar dari belenggu-belenggu ini? Hemat saya, jawabannya adalah “pemberontakan.” Meski saya cukup kuatir menyebut kata ‘pemberontakan’ ini, sebab ia telah demikian negatif dalam minda kita, karena ia memang pernah dikambing-hitamkan oleh dunia politik sebagai yang subversif, sebagai “penjahat’. Padahal, dunia seniman, dunia kreativitas, rasa-rasanya tak mungkin untuk dipisahkan dengan kata pemberontakan. Sebab setiap karya yang lahir adalah hasil dari proses pemberontakan seniman terhadap realitas, terhadap ‘kemapanan’, terhadap tatanan status quo yang dianggap usang. Bukankah sebuah hipotesis pernah bilang bahwa “kreativitas dan pemberontakan tidak lain adalah gerak alam raya itu sendiri, keduanya adalah esensi dari kehidupan.”
Dan entah apa jadinya, kalau sikap dan tindak pemberontakan tak ada dalam diri mereka yang mengaku dirinya sebagai seorang seniman. Mungkin saja kita hanya akan menyaksikan ke(seni)an kita terus menerus berada dalam belenggu jiwa-jiwa konvensional, dalam belenggu elitisme budaya. Maka izinkanlah saya, untuk menutup tulisan ini dengan mengutip paragraf penting lainnya dari esai Putu Wijaya, “seniman yang malas, yang tidak kreatif, mungkin benar akan menjadi mati rasa dalam pembebasannya. Ia menjadi mandul. Tetapi seniman yang kreatif tidak akan mau masuk lubang kubur macam itu, bahkan ketika ia mati pun, karya-karyanya masih bersuara lantang. Ia akan senantiasa berjuang. Karena kesenian adalah perjuangan, bukan kesenangan.”***
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Khoirul Anam
A Qorib Hidayatullah
A Rodhi Murtadho
A. Yusrianto Elga
A. Zakky Zulhazmi
A.S. Laksana
Aang Fatihul Islam
Aba Mardjani
Abd. Mun’im
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Gaffar Ruskhan
Abdul Hadi W. M.
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Malik
Abdul Muis
Abdul Wachid BS
Abdullah Khusairi
Abidah El Khalieqy
Abimardha Kurniawan
Abroorza A. Yusra
Abu Salman
Acep Iwan Saidi
Achmad Farid Tuasikal
Adek Alwi
Adi Marsiela
Adian Husaini
Adib Muttaqin Asfar
Adji Subela
Afandi Sido
Afriza Hanifa
Afrizal Malna
Ageng Wuri R. A.
Ags. Arya Dipayana
Aguk Irawan M.N.
Agus B. Harianto
Agus Bing
Agus Noor
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Sri Danardana
Agus Sulton
Agus Sunyoto
Agus Wibowo
Agus Wirawan
Agusri Junaidi
AH J Khuzaini
Ahda Imran
Ahid Hidayat
Ahm Soleh
Ahmad Asyhar
Ahmad Farid Yahya
Ahmad Fuadi
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Musthofa Haroen
Ahmad Rofiq
Ahmad Suhendra
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Aini Aviena Violeta
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Muhaimin Azzet
Akhmad Sekhu
Al Azhar Riau
Al-Fairish
Alex R. Nainggolan
Alexander G.B.
Alfian Zainal
Aliansyah
Alimuddin
Almania Rohmah
Alunk Estohank
Amien Kamil
Amien Wangsitalaja
Anata Siregar
Andi Sutisno
Andy Riza Hidayat
Anies Baswedan
Anindita S Thayf
Anis Ceha
Anis Faridatur Rofiah
Anjrah Lelono Broto
Anna Subekti
Anton Kurnia
Ari Hidayat
Ari Kristianawati
Arie MP Tamba
Arief Junianto
Aris Kurniawan
Arti Bumi Intaran
Arul Arista
AS Sumbawi
Asarpin
Asep Sambodja
Atiqurrahman
Awalludin GD Mualif
Ayu Purwaningsih
Babe Derwan
Bakdi Soemanto
Balada
Bale Aksara
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Bayu Dwi Mardana
Bellanissa Zoditama
Beni Setia
Benny Arnas
Beno Siang Pamungkas
Berita
Berita Duka
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Bokor Hutasuhut
Brunel University London
BSW Adjikoesoemo
Budaya
Budhi Setyawan
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budiawan Dwi Santoso
Bur Rasuanto
Burhanuddin Bella
Bustan Basir Maras
Catatan
Catullus
CB. Ismulyadi
Cerbung
Cerita Rakyat
Cerpen
Chavchay Syaifullah
Cikie Wahab
Cunong Nunuk Suraja
D Zawawi Imron
Dad Murniah
Dadang Ari Murtono
Dahlia Rasyad
Damhuri Muhammad
Damiri Mahmud
Danarto
Daniel Paranamesa
Darju Prasetya
Darman Djamaluddin
Darman Moenir
Dasman Djamaluddin
David Krisna Alka
Dea Anugrah
Dedy Tri Riyadi
Denny JA
Denny Mizhar
Desi Sommalia Gustina
Dewi Anggraeni
Dharma Setyawan
Dian Hartati
Didi Arsandi
Dina Oktaviani
Dipo Handoko
Djenar Maesa Ayu
Djoko Pitono
Doddi Ahmad Fauji
Doddy Hidayatullah
Dodi Chandra
Dodiek Adyttya Dwiwanto
Dody Kristianto
Donny Anggoro
Dony P. Herwanto
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Klik Santosa
Dwi Pranoto
Dwicipta
Edy A Effendi
Edy Firmansyah
Eka Budianta
Eka Fendri Putra
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Ellyzan Katan
Elnisya Mahendra
Emha Ainun Nadjib
Endah Imawati
Eni Suryanti
Eny Rose
Eriyandi Budiman
Eriyanti
Erwin Edhi Prasetya
Erwin Setia
Esai
Evan Ys
Evi Idawati
F Rahardi
Fadly Rahman
Fahrudin Nasrulloh
Faizah Sirajuddin
Faizal Syahreza
Fajar Alayubi
Fakhrunnas M.A. Jabbar
Fanny Chotimah
Fariz al-Nizar
Fariz Alneizar
Faruk HT
Fatah Anshori
Fatah Yasin Noor
Fathurrahman Karyadi
Fatimah Wahyu Sundari
Fauzan Santa
Fazabinal Alim
Festival Sastra Gresik
Fikri MS
Fiksi Mini
Fransisca Dewi Ria Utari
Franz Kafka
Fuad Anshori
Furqon Abdi
Fuska Sani Evani
Gendhotwukir
Gendut Riyanto
Gerson Poyk
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Gola Gong
Grathia Pitaloka
Gregorio Lopez y’ Fuentes
Gugun El-Guyanie
Gunawan Budi Susanto
Gus Noy
H.H. Tokoro
Hadi Napster
Hamberan Syahbana
Hamdy Salad
Hamsad Rangkuti
Han Gagas
Hang Kafrawi
Hani Pudjiarti
Hanna Fransisca
Hardi Hamzah
Hardjono WS
Haris del Hakim
Haris Priyatna
Harris Maulana
Hary B. Kori'un
Hasan Al Banna
Hasan Junus
Hasbullah Said
Hasnan Bachtiar
HE. Benyamine
Heidi Arbuckle
Helmi Y Haska
Helvy Tiana Rosa
Hendra Junaedi
Hendri Nova
Herdoni Syafriansyah
Heri Kurniawan
Heri Latief
Heri Ruslan
Herman RN
Hermawan Aksan
Hermien Y. Kleden
Herry Lamongan
Holy Adib
Humaidiy AS
Husni Anshori
I Nyoman Darma Putra
I Nyoman Tingkat
I Wayan Artika
Ibnu Wahyudi
Ida Farida
Ignas Kleden
Ilham Khoiri
Imam Cahyono
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Tohari
Indra Tranggono
Indrian Koto
Irwan Kelana
Isbedy Stiawan Z.S.
Iskandar Noe
Isma Swastiningrum
Ismi Wahid
Iwan Gardono Sujatmiko
Iwan Gunadi
Iwan Kurniawan
Iwan Nurdaya Djafar
Iwank
J.S. Badudu
Janoary M Wibowo
Javed Paul Syatha
JILFest 2008
JJ. Kusni
Jodhi Yudono
Joko Novianto Bp
Joko Pinurbo
Jones Gultom
Jual Buku Paket Hemat
Jusuf AN
Kadek Suartaya
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kasnadi
Kedung Darma Romansha
Kenedi Nurhan
Khaerudin Kurniawan
Khaerul Anwar
Ki Sugito Ha Es
Kirana Kejora
Komunitas Deo Gratias
Korrie Layun Rampan
Kritik Sastra
Kunthi Hastorini
Kuntowijoyo
Kurie Suditomo
Kurnia Effendi
Kurniawan
Kuswinarto
La Ode Rabbani
Lathifa Akmaliyah
Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember
Leon Agusta
Lily Siti Multatuliana
Lily Yulianti Farid
Lina Kelana
Liza Wahyuninto
Lona Olavia
Lugiena Dé
M Fadjroel Rachman
M Farid W Makkulau
M Syakir
M. Dawam Rahardjo
M. Faizi
M. Mustafied
M. Raudah Jambak
M. Taufan Musonip
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
M.Th. Krishdiana Putri
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Maklumat Sastra Profetik
Malkan Junaidi
Maman S. Mahayana
Mangun Kuncoro
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria D. Andriana
Maria Magdalena Bhoernomo
Mariana Amiruddin
Maryati
Marzuzak SY
Mashuri
Maulana Syamsuri
Media: Crayon on Paper
Mega Vristian
MG. Sungatno
Misbahus Surur
Mofik el-abrar
Moh. Amir Sutaarga
Moh. Ghufron Cholid
Mohammad Hatta
Mohammad Kh. Azad
Mohammad Takdir Ilahi
Much. Khoiri
Muhamad Taslim Dalma
Muhammad Rain
Muhammad Subhan
Muhammad Yasir
Muhammadun A.S
Muhidin M Dahlan
Mujtahid
Mulyawan Karim
Musa Ismail
Musfi Efrizal
Mustafa Ismail
Mustofa W Hasyim
N Teguh Prasetyo
N. Mursidi
Nadhi Kiara Zifen
Nana Riskhi Susanti
Nanang Suryadi
Naskah Teater
Nasrulloh Habibi
Neva Tuhella
Nietzsche
Nirwan Dewanto
Nizar Qabbani
Noor H. Dee
Nova Christina
Novelet
Nunung Nurdiah
Nur Wachid
Nurani Soyomukti
Nurel Javissyarqi
Nurman Hartono
Nuryana Asmaudi
Nyoman Tusthi Eddy
Obrolan
Oky Sanjaya
Oyos Saroso HN
P Ari Subagyo
Pagelaran Musim Tandur
Pamusuk Eneste
Panji Satrio
PDS H.B. Jassin
Penerbit dan Toko Buku PUstaka puJAngga
Pipiet Senja
Pramoedya Ananta Toer
Pringadi AS
Pringgo HR
Prosa
Puisi
Puji Santosa
Purnawan Andra
PUstaka puJAngga
Putu Fajar Arcana
Putu Satria Kusuma
Putu Wijaya
R Masri Sareb Putra
R. Adhi Kusumaputra
R. Timur Budi Raja
R.N. Bayu Aji
Radhar Panca Dahana
Ragdi F. Daye
Rahmi Hattani
Raja Ali Haji
Raju Febrian
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Rama Dira J
Rama Prabu
Ramadhan KH
Ramon Magsaysay
Ramses Ohee
Ratih Kumala
Raudal Tanjung Banua
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Resensi
Ressa Novita
Ressa Sagitariana Putri
Ria Ristiana Dewi
Rialita Fithra Asmara
Ribut Wijoto
Rida K Liamsi
Rifka Sibarani
Rilda A. Oe. Taneko
Rilda A.Oe. Taneko
Rimbun Natamarga
Rinto Andriono
Risang Anom Pujayanto
Rita Zahara
Riyon Fidwar
Robin Al Kautsar
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rohman Budijanto
Rukardi
S Yoga
S. Jai
S. Takdir Alisyahbana
S.W. Teofani
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Sajak
Sajak Sebatang Lisong
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Salman S. Yoga
Salyaputra
Samson Rambah Pasir
Samsudin Adlawi
Sanie B. Kuncoro
Santy Novaria
Sapardi Djoko Damono
Sarabunis Mubarok
Sartika Dian Nuraini
Sasti Gotama
Sastra Nusantara
Satmoko Budi Santoso
Satriani
Saut Poltak Tambunan
Saut Situmorang
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
Selasih
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Shadiqin Sudirman
Shiny.ane el’poesya
Shourisha Arashi
Sidik Nugroho
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sindu Putra
Siska Afriani
Siti Sa’adah
Sitok Srengenge
Siwi Dwi Saputro
Slamet Samsoerizal
Sobih Adnan
Sofyan RH. Zaid
Solihin
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sony Wibisono
Sosiawan Leak
Sri Wintala Achmad
Sri Wulan Rujiati Mulyadi
Stevani Elisabeth
Suci Ayu Latifah
Sucipto Hadi Purnomo
Sudarmoko
Sudirman HN
Suhadi Mukhan
Suharsono
Sukar
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Sunudyantoro
Supriyadi
Suriani
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Sutan Iwan Soekri Munaf
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Syahruddin El-Fikri
Syaripudin Zuhri
Syifa Aulia
Syu’bah Asa
T.A. Sakti
Tammalele
Tan Lioe Ie
Tasyriq Hifzhillah
Taufik Abdullah
Taufik Effendi Aria
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Wr. Hidayat
TE. Priyono
Teguh Winarsho AS
Tenas Effendy
Tengsoe Tjahjono
Thayeb Loh Angen
Theresia Purbandini
Tia Setiadi
Tias Tatanka
Tito Sianipar
Tjahjono EP
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Tjut Zakiyah Anshari
Topik Mulyana
Tosa Poetra
Tri Harun Syafii
TS Pinang
Tu-ngang Iskandar
Udo Z. Karzi
Uly Giznawati
Umar Fauzi Ballah
Umbu Landu Paranggi
Umi Kulsum
Uniawati
Universitas Indonesia
Usman Arrumy
Usman D.Ganggang
Utada Kamaru
UU Hamidy
Viddy AD Daery
W.S. Rendra
Wa Ode Wulan Ratna
Wahib Muthalib
Wahyudi Akmaliah Muhammad
Wardjito Soeharso
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Sunarta
Weli Meinindartato
Wicaksono
Widodo DS
Wina Karnie
Wisran Hadi
Wong Wing King
Yan Maniani
Yanti Mulatsih
Yanuar Arifin
Yasser Arafat
Yaumu Roikha
Yetti A. KA
Yohanes Padmo Adi Nugroho
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yudhi Ms
Yudhistira ANM Massardi
Yulianna
Yurnaldi
Yusi A. Pareanom
Yusi Avianto Pareanom
Yusri Fajar
Yusrizal KW
Yuyun Ifa Naliah
Zaim Rofiqi
Zainal Arifin Thoha
Zakki Amali
Zakky Zulhazmi
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zelfeni Wimra
Zuarman Ahmad
Zulfikar Akbar
Tidak ada komentar:
Posting Komentar