Mashuri
http://mashurii.blogspot.com/
Ketika ia memperkenalkan namanya dengan: Bajra, aku sudah curiga. Kulihat matanya yang berongga dan terkesan sangat dalam. Tulang tengkoraknya besar dan menonjol, alis mata tebal dan sekuntum kamboja terselip di kupingnya. Aku seperti menemukan sosok asing tetapi terasa dekat dan sangat kukenal. Aku lalu mulai menebaknya.
”Kau orang Bali?” tanyaku.
Ia menggeleng. Aku lalu mengambil sebatang lisong dari saku, kunyalakan dan kukepulkan asap ke langit-langit ruangan. Ia masih tampak membisu, sambil mempermainkan matanya. Ia seperti punya sihir di mata itu. Siapa pun yang dipandangnya, pasti berdebar, terseret dalam pusaran tak berujung dan akhirnya terkapar.
”Aku berasal dari sebuah wilayah yang kau tak ingin tahu,” ia mulai membuka percakapan.
Kali ini aku diam saja. Kupandang matanya yang tiba-tiba saja terpejam. Tak kutemukan apa-apa di sana, kecuali lubang hitam yang sangat dalam dan memendam sejuta rahasia. Dari relung gelap itu, peta-peta dan sekuntum mawar dengan duri-duri tajam yang keluar. Ia menantangku untuk menerjemahkan gelap berpalung-palung yang mengurung pandangannya. Sayang ia tahu, bahwa aku mengikutinya dan berusaha membaca peta-peta yang terkabar dari pupil, retina dan sesobek kornea.
”Kau menjajakiku. Aku sumur, wilayah yang tak terukur dan kau tak ingin tahu. Kenapa kau mengikutiku?” ia berbicara seperti pada dinding, dingin.
Aku tepekur. Tak ada suara dalam ruang itu, kecuali napasku. Napas sosok yang memperkenalkan diri sebagai Bajra itu sudah hilang entah kapan, tetapi aku menangkap kehidupan dari hawa kehadirannya, dalam sintuhnya yang diam. Di sana, aku menangkap sebuah jarak yang terbentang tapi akrab dan menantang.
Di ujung diam, ketika lisongku tinggal puntungnya, kudengar sebuah pengakuan yang menggelegar. Aku tidak hanya terkapar, tetapi seakan merasakan diriku melantai di altar, dan duri-duri kaktus menancap di telapakku hingga aku merasakan kesakitan yang sangat.
”Aku adalah plungsunganmu, masa lalumu. Kau reinkarnasiku,” katanya.
Aku diam dalam bahasa yang tak bisa dipahami siapa pun, termasuk juga kunang-kunang yang mendadak menyergap korneaku dan pandanganku terasa gelap dan gelap
***@***
”Dari mana saja kamu, berhari-hari kucari, tak tahunya muncul dengan tubuh kurus kering begini,” aku kenal suara itu, meskipun mataku tertutup. Itu suara Frida, teman wanitaku paling karib. Ia pacar temanku Ronald. Meski ia sudah punya pacar, ia sangat sayang padaku. Malah, kami kadang bobok bersama, ketika Ronald yang anak band itu sedang keluar kota.
Aku diam saja, karena aku memang tak ingin membuka mata. Kepalaku terasa digodam, terasa berat dan penat.
Kuingat perjumpaan kami yang pertama. Kala itu aku sedang di lobi Hyatt, ada sebuah pameran lukisan. Kulihat ia sedang menikmati sebuah lukisan karya seorang temanku, Amang Pekasih. Ia memandangnya sampai lama, ketika matanya sampai di ujung lukisan, ia mengernyitkan keningnya. Aku tertarik dengan perubahan rona muka yang demikian ekstrem itu.
”Itu memang lukisan yang berpikir,” tukasku, begitu aku berada di dekatnya.
Ia tidak memandangku, tetapi terus memandang lukisan itu. Di sana, ada dua orang perempuan dalam bingkai biru laut, rambutnya seperti tertiup angin dan membentuk awan. Di atasnya, rembulan bersinar sama warnanya dengan rambut dua perempuan itu. Kedua perempuan itu seperti melangkah pada sebuah lubang bercahaya yang tak tahu di mana letaknya karena berupa kuasan-kuasan yang terang. Lubang itu berada di ujung lukisan. Lubang yang cukup dalam.
”Salah satu dari mereka adalah aku,” ia berkata tanpa menengok padaku. ”Aku sering berkisah tentang diriku yang lain dan menuju ke lubang itu. Pelukisnya pasti seorang saman dan tahu arah perjalanan. Ini bukan lukisan berpikir, Bung, ini lukisan darah,” lanjutnya.
Aku berusaha mengikuti arah pembicaraannya, tetapi aku gagal. Mungkin karena lama melihatku membisu, ia lalu memalingkan pandangannya kepadaku. Ia tersenyum, dan aku semakin bingung. Aku sama sekali tak tahu apa yang sedang ia senyumkan. Ia lalu mengulurkan tangan, dan berkata dengan kata-kata yang tak akan pernah kulupakan sepanjang hayat.
”Kamu Bayu kan? Kita pernah bertemu dan saling mengasihi. Rumahmu menghadap ke selatan, dan rumahku dua gang dari rumahmu, di gang Kertopaten. Kita dulu suami istri, ketika Panembahan Senopati menjadi penguasa Mataram,” tandasnya, sambil menggenggam tanganku.
Aku sama sekali tidak mengerti dan ia sama sekali tak peduli.
Sejak itu, aku mulai dekat dengannya. Meskipun, ia juga memperkenalkan pacarnya yang rambutnya dicat merah kepadaku, tetapi aku tidak bisa berhenti untuk selalu dekat dengannya. Sepertinya, aku pernah dekat dengannya dan aku tak tahu itu di mana dan kapan.
Aku tersenyum mengingat itu semua. Meski terkesan misterius, tetapi aku menikmatinya. Aku berkutat dalam dunia yang tak jelas. Mungkin dunia bayang-bayang.
”Lho begitu, disapa malah tidak membuka mata, malah tersenyum,” suara Frida kembali terdengar.
Setelah itu kurasakan ada benda basah menempel di keningku. Kutahu, itu bibir Frida. Ia sepertinya mengecupku. Kemudian, kurasakan ada benda basah pula menempel di bibirku. Kurasakan itu bibir Frida. Ia masih tetap seperti dulu, suka mengulum lama dan tak mau dilepaskan kalau tidak digigit. Tetapi, kali ini aku tidak bisa menggigitnya. Ia pun mengulum cukup lama, sampai aku hampir hilang napas. Begitu ia melepaskan kulumannya, kurasakan bibir bawahku basah, terasa asin. O ternyata, bibirku berdarah. Kali ini Frida yang menggigit bibirku.
”Cepet sembuh, kutunggu di apartemenku. Awas, kalau tidak lekas sembuh, aku gigit lagi!” tandasnya.
***@***
Ketika aku sadar, orang pertama yang ada di hadapanku adalah ibu. Seorang wanita yang sudah cukup tua, dengan penderitaan yang berderet di belakangnya. Kulihat ia sedang membersihkan kaca ruang serba putih yang sempit itu, seperti kamar rumah sakit.
”Ibu..!” bisikku lirih.
Mungkin di sinilah keajaibannya. Meski suaraku lirih, tetapi ibu itu bisa mendengarnya. Ia berpaling ke arahku, lalu menghambur dan memelukku. Tak lagi kurasakan kepalaku yang berat dan penat. Aku merasakan belaian hangat yang selama ini selalu setia menemaniku. Belaian dari orang tua tunggal yang bersusah payah mendidikku dan mengajariku tentang terumbu dan hidup.
Aku tak ingat kapan ayahku meninggal, karena ia meninggal ketika aku masih di kandungan. Kata ibu, usiaku kala itu masih 7 bulan di kandungan. Ayah meninggal, setelah ibu mitoni. Sejak itu, ibu bertekad tidak akan menikah lagi, meski ratusan perjaka dan duda melamarnya. Ia bersikeras untuk membesarkanku sendiri. Ia masih terlalu takut berspekulasi kawin, karena ia takut aku membencinya. Sebab, ia tidak bisa menjamin, laki-laki yang dikawaninya kelak, bisa sebagai bapak yang baik.
”Aku tak ingin kau menjadi Sangkuriang,” demikian ia menuturkan alasannya yang paling dasar tentang pilihannya itu. ”Aku takut kau menjadi Sangkuriang, karena moyangmu adalah Sangkuriang. Kau anak anjing, kau anak angin!”
Aku tak mengerti betul alasan ibu itu, tetapi kupikir itu alasan yang baik. Kuanggap baik, karena keluar dari bibir ibuku.
Meski aku sudah beranjak remaja dan dewasa, ia masih juga bertahan dengan prinsipnya itu. Ia selalu mengatakan tak tega mencarikanku bapak tiri. Biarlah kesetiaanku pada ayahmu kubawa sampai mati, katanya. Aku mencatat, segala apa yang dilakukannya, sampai aku kehabisan daya ingat. Tetapi, kali ini, aku harus bisa menahan diri, sebab kurasakan pelukan ibuku semakin lama semakin erat, dan bajuku terasa basah, bukan karena keringat.
Sepertinya, bukan ibuku saja yang menangis saat itu.
****@****
Di buku harian kucatat kejadian pada hari naasku itu.
Surabaya, 17 Agustus 2000
Pada pagi hari, ketika aku sedang belanja buku di pasar Blauran. Tiba-tiba ada seorang perempuan setengah baya berteriak: copet! copet!. Aku langsung meloncat, begitu kulihat seorang lelaki berlari kencang menuju jalan umum. Begitu dapat kujangkau, ia langsung kupukul punggungnya dan terjerembab.
Ketika ia berusaha bangkit dan akan lari, aku langsung meneriakinya: copet, copet copet!
Tetapi tak ada yang datang membantu. Malah, ada empat orang datang menghampiriku. Seorang menendang perutku, seorang lagi menendang kakiku. Aku kini yang terjerembab. Lamat-lamat, kulihat pencopet yang kupukul tadi, berjalan ke arahku. Anjing! Begitu ia menyerapahiku, lalu diambilnya batu di pinggir jalan, lalu dihantamkannya ke kepalaku. Aku tak ingat apa-apa lagi.
Setelah itu yang kuingat aku seperti berada di padang tak bertuan. Di sana aku sendiri berjalan menembus panas. Aku tak tahu itu tempat apa. Ketika aku merasa kehausan, aku bertemu dengan seorang anak kecil. Ia membawa kendi dan kumintai minum. Tetapi ia mengatakan, sedang menunggu ibunya.
Aku tak tahu harus ke mana.
Tiba-tiba aku didatangi seorang lelaki tinggi besar. Ia lalu melemparkanku ke sebuah lubang. Aku sadar berada di sebuah bangsal, tetapi setelah itu aku tidak ingat apa-apa lagi.
Sepanjang hari, aku didatangi seorang teman baruku, ia mengaku bernama Bajra. Katanya, aku adalah reinkarnasinya. Aku sama sekali tidak mengerti dengan omongannya.
Mungkin aku harus mempelajari ajaran Budha, karena reinkarnasi itu adalah ajaran Budha. Katanya, berisi kelahiran kembali. Aku tidak tahu, apa maksudnya…
Aku ngantuk, aku tidur dulu, lain kali disambung. Dah, my diary, I always love you, you’re my best friend… mmuah!
****#****
Aku jalan-jalan dengan Frida di Tunjungan Plasa. Mumpung Ronald sedang manggung di luar kota. Ketika kami melewati sebuah toko buku, aku mengajaknya mampir.
”Mau cari buku apa?” ia bertanya kepadaku.
”Buku kebatinan”
”Sok suci kamu”
Aku diam saja. Ternyata aku tidak menemukan buku kebatinan yang sesuai harapanku. Aku lalu cabut dan mampir di sebuah gerai fast food.
Setelah memesan makanan, Frida duduk persis di depanku. Kuamati wajahnya yang sering kujamah tanpa ampun. Ketika ia sedang lengah, kutelusuri rongga matanya yang dalam sedalam sumur tanpa dasar. Kali ini, aku sangat terkejut, katika kulihat sisa tatapan Bajra di sana.
”Kau kenal Bajra?” tanyaku, spontan.
Ia tak menjawabku, masih sibuk mengunyah sayap ayam yang dicampur dengan saos tomat dan sambal, ia tersenyum.
”Ya, aku mengenalnya,” katanya.
”Hah! Di mana? Kapan?” sergahku.
”Ia kini ada di hadapanku” jawabnya.
Entah apa yang sedang menimpaku, mendadak kurasakan kunang-kunang hadir di mataku, dan berputar-putar. Aku merasa terjatuh ke dalam lubang sumur. Kurasakan gelap, dan gelap.
* Cerpen ini pernah dimuat di Sinar Harapan.
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Khoirul Anam
A Qorib Hidayatullah
A Rodhi Murtadho
A. Yusrianto Elga
A. Zakky Zulhazmi
A.S. Laksana
Aang Fatihul Islam
Aba Mardjani
Abd. Mun’im
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Gaffar Ruskhan
Abdul Hadi W. M.
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Malik
Abdul Muis
Abdul Wachid BS
Abdullah Khusairi
Abidah El Khalieqy
Abimardha Kurniawan
Abroorza A. Yusra
Abu Salman
Acep Iwan Saidi
Achmad Farid Tuasikal
Adek Alwi
Adi Marsiela
Adian Husaini
Adib Muttaqin Asfar
Adji Subela
Afandi Sido
Afriza Hanifa
Afrizal Malna
Ageng Wuri R. A.
Ags. Arya Dipayana
Aguk Irawan M.N.
Agus B. Harianto
Agus Bing
Agus Noor
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Sri Danardana
Agus Sulton
Agus Sunyoto
Agus Wibowo
Agus Wirawan
Agusri Junaidi
AH J Khuzaini
Ahda Imran
Ahid Hidayat
Ahm Soleh
Ahmad Asyhar
Ahmad Farid Yahya
Ahmad Fuadi
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Musthofa Haroen
Ahmad Rofiq
Ahmad Suhendra
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Aini Aviena Violeta
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Muhaimin Azzet
Akhmad Sekhu
Al Azhar Riau
Al-Fairish
Alex R. Nainggolan
Alexander G.B.
Alfian Zainal
Aliansyah
Alimuddin
Almania Rohmah
Alunk Estohank
Amien Kamil
Amien Wangsitalaja
Anata Siregar
Andi Sutisno
Andy Riza Hidayat
Anies Baswedan
Anindita S Thayf
Anis Ceha
Anis Faridatur Rofiah
Anjrah Lelono Broto
Anna Subekti
Anton Kurnia
Ari Hidayat
Ari Kristianawati
Arie MP Tamba
Arief Junianto
Aris Kurniawan
Arti Bumi Intaran
Arul Arista
AS Sumbawi
Asarpin
Asep Sambodja
Atiqurrahman
Awalludin GD Mualif
Ayu Purwaningsih
Babe Derwan
Bakdi Soemanto
Balada
Bale Aksara
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Bayu Dwi Mardana
Bellanissa Zoditama
Beni Setia
Benny Arnas
Beno Siang Pamungkas
Berita
Berita Duka
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Bokor Hutasuhut
Brunel University London
BSW Adjikoesoemo
Budaya
Budhi Setyawan
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budiawan Dwi Santoso
Bur Rasuanto
Burhanuddin Bella
Bustan Basir Maras
Catatan
Catullus
CB. Ismulyadi
Cerbung
Cerita Rakyat
Cerpen
Chavchay Syaifullah
Cikie Wahab
Cunong Nunuk Suraja
D Zawawi Imron
Dad Murniah
Dadang Ari Murtono
Dahlia Rasyad
Damhuri Muhammad
Damiri Mahmud
Danarto
Daniel Paranamesa
Darju Prasetya
Darman Djamaluddin
Darman Moenir
Dasman Djamaluddin
David Krisna Alka
Dea Anugrah
Dedy Tri Riyadi
Denny JA
Denny Mizhar
Desi Sommalia Gustina
Dewi Anggraeni
Dharma Setyawan
Dian Hartati
Didi Arsandi
Dina Oktaviani
Dipo Handoko
Djenar Maesa Ayu
Djoko Pitono
Doddi Ahmad Fauji
Doddy Hidayatullah
Dodi Chandra
Dodiek Adyttya Dwiwanto
Dody Kristianto
Donny Anggoro
Dony P. Herwanto
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Klik Santosa
Dwi Pranoto
Dwicipta
Edy A Effendi
Edy Firmansyah
Eka Budianta
Eka Fendri Putra
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Ellyzan Katan
Elnisya Mahendra
Emha Ainun Nadjib
Endah Imawati
Eni Suryanti
Eny Rose
Eriyandi Budiman
Eriyanti
Erwin Edhi Prasetya
Erwin Setia
Esai
Evan Ys
Evi Idawati
F Rahardi
Fadly Rahman
Fahrudin Nasrulloh
Faizah Sirajuddin
Faizal Syahreza
Fajar Alayubi
Fakhrunnas M.A. Jabbar
Fanny Chotimah
Fariz al-Nizar
Fariz Alneizar
Faruk HT
Fatah Anshori
Fatah Yasin Noor
Fathurrahman Karyadi
Fatimah Wahyu Sundari
Fauzan Santa
Fazabinal Alim
Festival Sastra Gresik
Fikri MS
Fiksi Mini
Fransisca Dewi Ria Utari
Franz Kafka
Fuad Anshori
Furqon Abdi
Fuska Sani Evani
Gendhotwukir
Gendut Riyanto
Gerson Poyk
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Gola Gong
Grathia Pitaloka
Gregorio Lopez y’ Fuentes
Gugun El-Guyanie
Gunawan Budi Susanto
Gus Noy
H.H. Tokoro
Hadi Napster
Hamberan Syahbana
Hamdy Salad
Hamsad Rangkuti
Han Gagas
Hang Kafrawi
Hani Pudjiarti
Hanna Fransisca
Hardi Hamzah
Hardjono WS
Haris del Hakim
Haris Priyatna
Harris Maulana
Hary B. Kori'un
Hasan Al Banna
Hasan Junus
Hasbullah Said
Hasnan Bachtiar
HE. Benyamine
Heidi Arbuckle
Helmi Y Haska
Helvy Tiana Rosa
Hendra Junaedi
Hendri Nova
Herdoni Syafriansyah
Heri Kurniawan
Heri Latief
Heri Ruslan
Herman RN
Hermawan Aksan
Hermien Y. Kleden
Herry Lamongan
Holy Adib
Humaidiy AS
Husni Anshori
I Nyoman Darma Putra
I Nyoman Tingkat
I Wayan Artika
Ibnu Wahyudi
Ida Farida
Ignas Kleden
Ilham Khoiri
Imam Cahyono
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Tohari
Indra Tranggono
Indrian Koto
Irwan Kelana
Isbedy Stiawan Z.S.
Iskandar Noe
Isma Swastiningrum
Ismi Wahid
Iwan Gardono Sujatmiko
Iwan Gunadi
Iwan Kurniawan
Iwan Nurdaya Djafar
Iwank
J.S. Badudu
Janoary M Wibowo
Javed Paul Syatha
JILFest 2008
JJ. Kusni
Jodhi Yudono
Joko Novianto Bp
Joko Pinurbo
Jones Gultom
Jual Buku Paket Hemat
Jusuf AN
Kadek Suartaya
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kasnadi
Kedung Darma Romansha
Kenedi Nurhan
Khaerudin Kurniawan
Khaerul Anwar
Ki Sugito Ha Es
Kirana Kejora
Komunitas Deo Gratias
Korrie Layun Rampan
Kritik Sastra
Kunthi Hastorini
Kuntowijoyo
Kurie Suditomo
Kurnia Effendi
Kurniawan
Kuswinarto
La Ode Rabbani
Lathifa Akmaliyah
Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember
Leon Agusta
Lily Siti Multatuliana
Lily Yulianti Farid
Lina Kelana
Liza Wahyuninto
Lona Olavia
Lugiena Dé
M Fadjroel Rachman
M Farid W Makkulau
M Syakir
M. Dawam Rahardjo
M. Faizi
M. Mustafied
M. Raudah Jambak
M. Taufan Musonip
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
M.Th. Krishdiana Putri
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Maklumat Sastra Profetik
Malkan Junaidi
Maman S. Mahayana
Mangun Kuncoro
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria D. Andriana
Maria Magdalena Bhoernomo
Mariana Amiruddin
Maryati
Marzuzak SY
Mashuri
Maulana Syamsuri
Media: Crayon on Paper
Mega Vristian
MG. Sungatno
Misbahus Surur
Mofik el-abrar
Moh. Amir Sutaarga
Moh. Ghufron Cholid
Mohammad Hatta
Mohammad Kh. Azad
Mohammad Takdir Ilahi
Much. Khoiri
Muhamad Taslim Dalma
Muhammad Rain
Muhammad Subhan
Muhammad Yasir
Muhammadun A.S
Muhidin M Dahlan
Mujtahid
Mulyawan Karim
Musa Ismail
Musfi Efrizal
Mustafa Ismail
Mustofa W Hasyim
N Teguh Prasetyo
N. Mursidi
Nadhi Kiara Zifen
Nana Riskhi Susanti
Nanang Suryadi
Naskah Teater
Nasrulloh Habibi
Neva Tuhella
Nietzsche
Nirwan Dewanto
Nizar Qabbani
Noor H. Dee
Nova Christina
Novelet
Nunung Nurdiah
Nur Wachid
Nurani Soyomukti
Nurel Javissyarqi
Nurman Hartono
Nuryana Asmaudi
Nyoman Tusthi Eddy
Obrolan
Oky Sanjaya
Oyos Saroso HN
P Ari Subagyo
Pagelaran Musim Tandur
Pamusuk Eneste
Panji Satrio
PDS H.B. Jassin
Penerbit dan Toko Buku PUstaka puJAngga
Pipiet Senja
Pramoedya Ananta Toer
Pringadi AS
Pringgo HR
Prosa
Puisi
Puji Santosa
Purnawan Andra
PUstaka puJAngga
Putu Fajar Arcana
Putu Satria Kusuma
Putu Wijaya
R Masri Sareb Putra
R. Adhi Kusumaputra
R. Timur Budi Raja
R.N. Bayu Aji
Radhar Panca Dahana
Ragdi F. Daye
Rahmi Hattani
Raja Ali Haji
Raju Febrian
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Rama Dira J
Rama Prabu
Ramadhan KH
Ramon Magsaysay
Ramses Ohee
Ratih Kumala
Raudal Tanjung Banua
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Resensi
Ressa Novita
Ressa Sagitariana Putri
Ria Ristiana Dewi
Rialita Fithra Asmara
Ribut Wijoto
Rida K Liamsi
Rifka Sibarani
Rilda A. Oe. Taneko
Rilda A.Oe. Taneko
Rimbun Natamarga
Rinto Andriono
Risang Anom Pujayanto
Rita Zahara
Riyon Fidwar
Robin Al Kautsar
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rohman Budijanto
Rukardi
S Yoga
S. Jai
S. Takdir Alisyahbana
S.W. Teofani
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Sajak
Sajak Sebatang Lisong
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Salman S. Yoga
Salyaputra
Samson Rambah Pasir
Samsudin Adlawi
Sanie B. Kuncoro
Santy Novaria
Sapardi Djoko Damono
Sarabunis Mubarok
Sartika Dian Nuraini
Sasti Gotama
Sastra Nusantara
Satmoko Budi Santoso
Satriani
Saut Poltak Tambunan
Saut Situmorang
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
Selasih
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Shadiqin Sudirman
Shiny.ane el’poesya
Shourisha Arashi
Sidik Nugroho
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sindu Putra
Siska Afriani
Siti Sa’adah
Sitok Srengenge
Siwi Dwi Saputro
Slamet Samsoerizal
Sobih Adnan
Sofyan RH. Zaid
Solihin
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sony Wibisono
Sosiawan Leak
Sri Wintala Achmad
Sri Wulan Rujiati Mulyadi
Stevani Elisabeth
Suci Ayu Latifah
Sucipto Hadi Purnomo
Sudarmoko
Sudirman HN
Suhadi Mukhan
Suharsono
Sukar
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Sunudyantoro
Supriyadi
Suriani
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Sutan Iwan Soekri Munaf
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Syahruddin El-Fikri
Syaripudin Zuhri
Syifa Aulia
Syu’bah Asa
T.A. Sakti
Tammalele
Tan Lioe Ie
Tasyriq Hifzhillah
Taufik Abdullah
Taufik Effendi Aria
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Wr. Hidayat
TE. Priyono
Teguh Winarsho AS
Tenas Effendy
Tengsoe Tjahjono
Thayeb Loh Angen
Theresia Purbandini
Tia Setiadi
Tias Tatanka
Tito Sianipar
Tjahjono EP
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Tjut Zakiyah Anshari
Topik Mulyana
Tosa Poetra
Tri Harun Syafii
TS Pinang
Tu-ngang Iskandar
Udo Z. Karzi
Uly Giznawati
Umar Fauzi Ballah
Umbu Landu Paranggi
Umi Kulsum
Uniawati
Universitas Indonesia
Usman Arrumy
Usman D.Ganggang
Utada Kamaru
UU Hamidy
Viddy AD Daery
W.S. Rendra
Wa Ode Wulan Ratna
Wahib Muthalib
Wahyudi Akmaliah Muhammad
Wardjito Soeharso
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Sunarta
Weli Meinindartato
Wicaksono
Widodo DS
Wina Karnie
Wisran Hadi
Wong Wing King
Yan Maniani
Yanti Mulatsih
Yanuar Arifin
Yasser Arafat
Yaumu Roikha
Yetti A. KA
Yohanes Padmo Adi Nugroho
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yudhi Ms
Yudhistira ANM Massardi
Yulianna
Yurnaldi
Yusi A. Pareanom
Yusi Avianto Pareanom
Yusri Fajar
Yusrizal KW
Yuyun Ifa Naliah
Zaim Rofiqi
Zainal Arifin Thoha
Zakki Amali
Zakky Zulhazmi
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zelfeni Wimra
Zuarman Ahmad
Zulfikar Akbar
Tidak ada komentar:
Posting Komentar