Hardjono WS
Pagi itu aku akan melihat sebuah tontonan di Bajangratu, candi yang berdiri megah ini menjadi saksi bahwa negeri ini pernah menjadi negeri besar dan ternama.
Ratusan tahun candi ini berdiri dan telah mengalami perbaikan supaya tidak roboh. Berdiri di atas pelataran yang ditata rapi, menyapa pengunjung dengan kesepiannya sendiri dan tidak bisa berkata apa-apa meski mampu menjadi saksi bisu tentang sejarah negeri ini.
Aneh, pagi itu menjadi lain. Umbul-umbul sebagai kebesaran negeri ini masa lampau berkelebatan ditiup angin. Mobat-mabit amat anggunnya. Berwarna-warni merah, kuning, hitam dan putih sebagai lambang hidup diri manusia. Warnapun bagi nenek moyang kita dulu amat berarti untuk mawas diri.
Pemain musik telah menempati tempatnya masing masing, dan amat sederhana. Tidak seperti pementasan pementasan yang harus diiringi gamelan. Gender, gong dan kendang mulai terdengar pelan. Makin lama makin keras dan tiba-tiba berhenti ketika kendang menyentak kemudian ditimpali suara gender amat nyaring. Nikmat terdengar. Dari arah candi muncul arak-arakan dengan segala kebesarannya meski tidak mewah.
Seorang anak muda duduk di atas tandu sementara tembang pun muncul diantara bunyi gamelan. Aneh, suasana candi Bajangratu berubah tiba-tiba menjadi semarak seakan candi itu sendiri salah satu dari ratusan penonton yang saat itu menonton pementasan. Bajangratu saat itu seakan diam, tetapi menikmati dengan sepenuh hati tontonan pagi itu.
Setelah arak-arakan itu masuk, tiba-tiba muncul adegan perang dan seorang narator membaca naskahnya dengan cara dibaca seperti membaca puisi. Sesekali tembang muncul dengan suara khasnya, suara pesinden meski yang melakukan masih muda.
Tiba-tiba air mataku menetes keluar dari pelupuk mata. Aku ingat anakku Ganang beberapa tahun yang lalu pergi ke kota lain setelah membawa kekecewaan yang amat berat.
Masih ingat bagaimana ia menangis berkepanjangan agar diijinkan untuk mengikuti kegiatan semacam itu.
“Aku kan tidak melupakan tugas-tugas utamaku sebagai anak sekolah. Nilai di rapot kan tidak pernah jelek,” katanya meyakinkan diri. Pikiranku hanya satu kepada bapaknya yang sejak awal kurang senang kalau Ganang mengikuti kegiatan kesenian di sekolahnya. Ayahnya amat sayang kepada satu-satunya anak semata wayang itu. Mengapa mengikuti kegiatan teater tidak mengikuti tari atau menyanyi saja?
“Teater itu bagian pendidikan di sekolah pak dan itu bukan merupakan tujuan bagi anak-anak. Proses menjadi manusia pak,” katanya lagi saat berhadapan dengan ayahnya di gandok depan rumah menirukan kata-kata pelatihnya yang kebetulan juga gurunya sendiri. Aku terhenyak sejenak.
“Pokoknya kau harus berhenti dari kegiatan itu kalau kau mau meneruskan sekolah,” kata ayahnya keras. Tak ada yang diucapkan Ganang saat itu kecuali menangis dan langsung masuk kamarnya. Tak mampu melakukan perlawanan terhadap keputusan ayahnya, dan aku hanya bisa diam.
Tiba-tiba terdengar suara tepuk tangan amat meriah, dan tontonan di pelataran candi itupun usailah. Semua penonton memberi selamat berjabat tangan dengan para pemain termasuk kepada Ganang sutradaranya sendiri.
Air mataku tak dapat kubendung lagi, dan aku sendirilah yang tahu arti air mata itu. Terharu dan tersadar dengan apa yang baru kunikmati pagi itu. Aku menangis pagi itu. Candi Bajangratu tetap diam dengan gagahnya. Yang kulihat tidak hanya saja candi perkasa ini, tetapi seakan ikut mengucapkan selamat kepada para pemain dan kepada anakku yang saat itu tak mampu menolak pelukan candi dengan hangat seakan berbisik: ”Selamat dan terimakasih Ganang” Aku hari ini banyak dikunjungi anak cucuku dengan penuh suka cita.
Aku memandang dari jauh, seakan ikut melihat dan mendengar candi bajangratu bercerita tentang dirinya. Menurut ceritanya Bajangratu ini lebih tepat kalau tidak disebut candi, tetapi sebagai pura atau gapura. Ini kalau dilihat dari bentuknya. Hanya sebagai bangunan untuk lewat dari sebuah tempat ke tempat lain, melewati tangga yang naik dan turun, bentuk paduraksa.
Sejarah juga telah menulis dengan ragu-ragu tentang keberadaannya dan fungsi candi ini. Sebagai peringatan tentang pemerintahan sang raja Jayanegara atau tempat abu raja itu sendiri.
Sebagai seorang penonton yang cukup senang menikmati tontonan yang menarik ingin rasanya aku lari dan memberi selamat kepada seluruh pemain terutama kepada Ganang anakku sendiri, tetapi aku malu. Yang kulakukan hanya kubiarkan air mataku mengalir deras dan sesekali kupejet hidungku karena air hidung akhirnya tak mau mengalah ingin menunjukkan keharuanku juga. Pikiranku meloncat amat jauh menembus ruang dan waktu yang amat panjang.
Semenjak larangan ayahnya tak dapat dibantah lagi, akhirnya Ganang menjadi anak pendiam. Tak ingin mengikuti kegiatan apa-apa di sekolah. Ganang menjadi pemurung.
Aku tahu itu semua, tetapi aku tak mampu melawan, sampai ayahnya mendapat tugas di tempat yang masih sering terjadi perang saudara di negeri sendiri. Ayahnya harus berjuang memadamkan pemberontakan di daerah Timor Timor yang akhirnya harus pulang hanya nama saja.
Kematian ayah makin membuat Ganang semakin murung seakan tak ada lagi semangat untuk hidup. Hari-harinya hanya diisi dengan sekolah sebagai kewajiban saja bukan sebagai suatu hal yang membuat seseorang makin perkasa dan semangat.
Nilai rapotnya selalu pas-pasan dan benar-benar membuat Ganang tidak memiliki gairah sama sekali. Sampai suatu ketika ia bertemu lagi dengan pak Bagas pelatih keseniannya dulu.
“Tidak pak, aku sudah mati dan aku tak tahu harus melanjutkan ke mana nantinya, apalagi ibu kan hidup sendiri.”
“Kenapa tidak dendam?” tanya pak Bagas.
“Kepada siapa ?” Ganang balik bertanya.
“Kepada ayahmu sendiri?” pancing pak Bagas.
“Kepada ayahku?” tanya Ganang.
“Ya. Tahu bentuknya dendam itu?”
“Nggak pak” jawab Ganang tegas.
“Dendam tidak mesti selalu jelek.
Sekarang yakinkan pada orang tuamu apa yang kaulakukan amat baik dan bisa berguna untuk orang lain. Ganang dulu kan dilarang untuk kegiatan kesenian karena sayang berkelebihan dari ayahmu. Sekarang ayahmu sudah tidak ada. Yang melarang dan berkuasa tidak ada. Mengapa tidak kau teruskan lagi impianmu dulu sampai menjadi kenyataan?”
Ganang diam, berpikir agak lama. “Hidup ini milikmu Ganang, bukan milik siapa-siapa. Tergantung pada dirimu sendiri tentang pada dirimu sendiri tentang hidup ini. Kau buat apa hidupmu ini. Semua ini tergantung padamu.
“Mau kau buat baik atau jelek, semua ini tergantung pada dirimu.” Ganang makin diam. “Kau buat untuk merenung terus tanpa dendam yang positip? Tak ada yang bisa kaulahirkan dari pekerjaan merenung terus.”
Aku tersadar, bangku-bangku tempat penonton sudah mulai kosong. Seorang demi seorang sudah mulai pulang. Kulihat para pemain dan Ganang masih dikerumuni penonton malah beberapa wartawan sedang mewawancarai. Untuk yang kesekian kalinya aku menangis, air mataku menetes tetapi tidak sederas seperti tadi.
Angin semilir datang menerpa tubuhku terasa sedikit segar meski matahari sudah merangkak sejak tadi tetapi belum sampai di pertengahan langit atas Bajangratu.
Candi megah yang terletak didesa Dukuh Kraton Kecamatan Trowulan pagi itu benar-benar tampak semarak.
Biasanya sepi, tetapi pagi itu tampak semarak dan gairah.
Mobil wisata atau disebut mobil kereta dengan warna-warni yang semarak tampak berderet di tepi jalan. Begitu juga mobil-mobil pribadi juga berderet di tempat yang sudah tersedia.
Candi bajangratu tampak makin anggun seakan ikut mengantar tamu sampai di pagar kawasan candi. Dengan latar belakang pelataran yang ditumbuhi rumpaut dan pepohonan yang rimbun, candi ini makin anggun dan asri.
Candi ini pernah direnovasi agar tak roboh. Di bagian dalam candi ditahan dengan besi yang cukup kuat. Sayang, cara pengerjaannya sedikit kasar, sehingga besi itu sedikit menampakkan ketidakasliaan candi ini.
“Ayo bude ke mas Ganang,” ajak ponakanku. “Nanti saja. Kau saja yang ke sana,”jawabku menutupi rasa malu sekaligus kebanggaan yang tak mungkin kusembunyikan.
Setelah ayahnya gugur di medan perang, Ganang memaksaku untuk mengijinkan melanjutkan studinya di bidang kesenian dan satu-satunya kota yang dituju adalah Jogjakarta, karena di kota ini juga ada kakak ayahnya.
Ganang tak bisa dicegah, dan apa yang dilakukan saat pulang menjengukku adalah permohonan maafnya sekaligus doa restu dariku untuk meniti hidupnya sesuai pilihannya sendiri bukan pilihan ayahnya atau aku sendiri. Akhirnya aku yang menyerah kalah, kalah tanpa peperangan. “Ganang ingin melakukan sesuatu untuk kota kelahiranku,” katanya saat pulang ke rumah dengan beberapa temannya.
“Kalau ayah bisa berbuat sesuatu buat bangsa dan negaranya sampai harus gugur di medan perang, aku juga ingin mempersembahkan sesuatu meski hanya untuk sebuah kota,” katanya dengan keyakinan yang tampaknya tak mungkin mau surut kembali.
“Aku dilahirkan di kota yang pernah menjadi sebuah negeri pusat kebudayaan saat itu, ingin rasanya Ganang bercerita kepada siapa saja yang ingin mendengar ceritaku tentang negeri ini sekecil apapun,”katanya.
Aku makin percaya ada sesuatu kekuatan dalam dirinya, apalagi setelah berani beberapa tahun tinggal di luar kota kelahirannya. Trowulan kota kecil, sebuah kota kecamatan di kawasan kabupaten Mojokerto adalah kota yang menyimpan sejarah besar di negeri ini. Mojopahit yang mengenalkan bendera merah putih, mengumandangkan Bhinneka Tunggal Ika seperti Sumpah Palapa-nya Patih Gajamada.
Jauh sebelum negeri ini memiliki Sumpah Pemuda tahun 1928, Gajah Mada sudah menyampaikan Sumpah Palapa. Tak akan tidur nyenyak sebelum Nusantara ini menjadi sebuah kawasan yang bersatu. Trowulan inilah yang menjadi obsesi Ganang untuk berbuat sesuatu bagi kotanya. Membangunkan candi yang tidur panjang dengan rambutnya yang rapi dan bersih. Menggeliat bangun menyampaikan salam dan senyumnya yang hangat kepada pewaris bangsa ini lewat pertunjukkan keseniannya. Sejak aku masih kecil sampai menjadi guru, aku beberapa kali melihat candi ini, tak pernah berubah.
Bagaimana aku bersama temanku melihat candi-candi di Trowulan dengan perasaan senang hanya karena bisa bepergian bersama sama teman sekelas. Guru pun tak pernah memberikan cerita yang bisa kuingat sampai sekarang. Aku senang tetapi terasa hambar karena tak mendapat apa-apa. Begitu juga saat aku menjadi guru dan bisa mengajak murid-muridku melihat candi Bajangratu ini.
Kebahagiaanku hanya satu bisa menyenangkan hati murid-murid bisa menikmati warisan nenek moyang kita.
Saat aku menjadi murid sampai menjadi guru, candi ini tak pernah ada perubahan sama sekali. Asri, tetapi sepi dan lengang seakan tak ada kehidupan kecuali menikmati onggokan batu yang tersusun rapi, kuat dan indah.
Hari itu aku bisa merasakan bagaimana candi itu merasa amat bahagia karena merasa hidup kembali. Aku bahagia dan tiba-tiba air mataku menetes lagi, karena aku yakin ayah Ganang saat melihat dari sana jauh, dan amat jauh pasti kebahagiaan yang muncul dan pasti permintaan maaf akan disampaikan kepada anakku.
Seperti apa yang dimainkan para pemain, kisahnya tidak jauh dari sejarah candi itu sendiri sehingga para penonton bisa mengerti sejarahnya. Layaknya seorang guru bercerita tentang setangkai kembang, di tangan kanannya telah tersedia kembang yang diceritakan.
Bajang artinya kecil. Ratu artinya raja.
Raja yang memerintah Mojopahit setelah R. Wijaya adalah anaknya sendiri Raden Jayanegara. Ia diangkat menjadi raja ketika masih kecil. Pemerintahan tak bisa tenang dan damai. Di mana-mana perang saudara terjadi karena kurang puas dengan kebijakaksanaan sang raja. Muncul pemberontakan-pemberontakan Ra Kuti, Ronggolawe dan lain-lainnya. Jayanegara tak mampu memadamkan pemberontakan itu dan akhirnya mangkat karena ulah sahabat terdekatnya: Tanca.
Untuk memperingati wafatnya raja yang masih kecil itulah Bajangratu itu dibangun. Diperkirakan Bajangratu didirikan antara Abad XIII dan awal Abad XIV karena raja Jayanegara wafat pada tahun 1328 [strata dhinar meng kappongan, bhiseka ringesrenggapura pratista ring antawulan] ini tertulis pada Pararaton. Pigeud yang menerjemahkan Negara Kertagama menceritakan bahwa sang raja wafat tahun 1328 dan didharmakan di dalam kedaton. Arcanya dalam bentuk Wisnnu terdapat di Shila Petak dan Bubad. Bubad itu terletak di Trowulan, sedang Sela Petak yang belum diketahui dengan pasti sampai sekarang.
Kubaca sekali lagi tembang yang ditulis dalam synopsis serta cuplikan naskah pertunjukan pagi itu:
Hei prajurit kang angesti
Aja cidra neng negaramu
Andepani tanah wutah ludira
Anatepi sumpahira…
Para dewa di atas langit
Dengarkan sumpahku ini
Aku tak memiliki ibu dan bapak
Ibu bapakku adalah tempat ajalku kelak
Tempat aku lahir dan mengenyam nikmat
Para dewa di dalam bumi
Dengarkan sumpahku ini
Aku tak punya anggota badan lagi
Anggota badanku adalah bakti pada pertiwi
Anggota badanku adalah cinta pada negeri
Mereka adalah alat-alat yang tak mampu berkata tidak saat sang raja para penguasa memerintah lewat mulutnya
Mereka hanya mampu berkata daulat tuanku raja.
Perang terjadi dimana-mana, banjir darah menggenang dimana-mana.
Air mataku menetes lagi satu-satu. Yang lewat dan singgah di pikiran dan batinku adalah bayangan ayah si Ganang saat bertugas di daerah pertikaian di negeri ini: Timor Timur.
Dia hanyalah alat yang tak mampu berkata tidak saat sang raja para penguasa memerintah lewat mulutnya. Ia harus bertugas menumpas para pemberontak. Ia gugur di medan perang.
Ia tak punya anggota badan lagi. Anggota badannya hanya baktinya kepada negeri ini. Anggota badannya hanya cinta pada negeri ini sampai ia harus mati meninggalkan keluarganya.
Memang sebagai seorang prajurit sejati ia wajib memiliki semboyan yang ditulis Ganang anaknya sendiri. Anaknya yang tak pernah diperbolehkan memasuki dunia seni. Sampai pada saat pamit hendak pergi ke tempat tugas, pesan yang disampaikan tetap tak berubah: ”tolong Ganang, jangan diperbolehkan meneruskan kegiatannya. Sebuah tempat telah kusiapkan untuk hidupnya supaya baik untuk masa depannya.”
Aku tersadar saat seseorang mencari-cariku mendekat dan mengajak segera ke tempat para pemain karena Ganang sudah lama menungguku. Aku segera menuju para pemain yang masih sibuk untuk mengemasi pakaian dan bersiap untuk pulang. Pada wajah-wajah mereka tampak kebahagiaan yang pasti orang lain tak mampu merasakan. Berjabat tangan dan saling mengucapkan selamat seakan mereka telah menyelesaikan tugas yang amat besar.
Aku tak bisa menyembunyikan perasaanku sendiri. Dan aku tak mengerti perasaan apa yang muncul saat itu. Terharu, malu, bahagia, bercampur-aduk menjadi satu. Sementara seorang penonton tiba-tiba datang dan memberi selamat kepadaku.
“Selamat bu, putranya telah berhasil.” Tangan itu terus kugenggam erat, sebab yang muncul dalam pikiranku malah muncul hanya satu: malu.
“Kenapa bu?” tanyanya dengan heran
“ Tidak apa-apa,” jawabku agak berat.
“Mas Ganang berhasil membangunkan candi yang sudah ratusan tahun menikmati tidur panjangnya.” Aku makin terpuruk mendengar pujian itu. Aku ingin menangis keras-keras, karena merasa tak kuat menahan perasaan malu yang makin lama makin bertumpuk.
Ganang muncul dan aku tak ingin ia yang menjabat tanganku lebih dahulu. Kusambut tangannya dengan mesra, jabatan tangan seorang ibu yang menumpahkan segala perasaan tentang rasa terharu, malu, bahagia dan bersalah.
Bergejolak perasaan itu bergumpal-gumpal menyesakkan dada salaing tindih perasaan itu. Saling bergumul dan saling mencabik membuat nafasku makin sesak, dan satu-satunya jalan hanyalah sebuah pelukan dan air mata kubiarkan deras-sederas perasaanku padanya.
Kupeluk erat-erat bahu Ganang, tak ingin kulepaskan sebelum aku selesai mengucapkan segala perasaan dan rasa bersalahku, meski itu hanya bisa kuucapkan dalam hati. Setelah puas kulepaskan pelukanku, tetapi mataku tak mampu memandang arah lain. Kupandang anakku. Yang kulihat adalah seorang laki-laki gagah tak ubahnya bapaknya sendiri yang sekarang pasti berada di sana jauh di sana. Aku yakin ia memandangku berdua di altar candi Bajangratu yang menjadi saksi pertemuan batin antara ibu dan seorang anak laki-lakinya.
“Kenapa?” tanya Ganang dengan pandangan aneh. “Bapakmu lahir kembali di tempat ini Ganang,”kataku bangga.
“Lain Bu, bapak gagah di sana, Ganang gagah di sini,”katanya dengan enak, seenak hidupnya yang telah dimiliki dengan cara dan pilihannya sendiri. Aku lebih bangga lagi mendengar kata-kata itu.
Kugandeng Ganang dan benar, aku telah dipertemukan lagi dengan suamiku yang sudah almarhum, anakku sendiri di candi Bajangratu ini. Kedua-duanya adalah laki laki yang gagah dan kucintai. Kupamdang sekali lagi wajahnya saat meninggalkan kawasan candi dan sempat berkata meski hanya dalam batin.
“Benar Ganang, bapakmu gagah di sana, engkau gagah di sini.” Diam-diam candi Bajangratu mengantarkan kepergian kami dengan gagahnya. Sebentar lagi suasana kembali sepi.
[Jatidukuh,2004]
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Khoirul Anam
A Qorib Hidayatullah
A Rodhi Murtadho
A. Yusrianto Elga
A. Zakky Zulhazmi
A.S. Laksana
Aang Fatihul Islam
Aba Mardjani
Abd. Mun’im
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Gaffar Ruskhan
Abdul Hadi W. M.
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Malik
Abdul Muis
Abdul Wachid BS
Abdullah Khusairi
Abidah El Khalieqy
Abimardha Kurniawan
Abroorza A. Yusra
Abu Salman
Acep Iwan Saidi
Achmad Farid Tuasikal
Adek Alwi
Adi Marsiela
Adian Husaini
Adib Muttaqin Asfar
Adji Subela
Afandi Sido
Afriza Hanifa
Afrizal Malna
Ageng Wuri R. A.
Ags. Arya Dipayana
Aguk Irawan M.N.
Agus B. Harianto
Agus Bing
Agus Noor
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Sri Danardana
Agus Sulton
Agus Sunyoto
Agus Wibowo
Agus Wirawan
Agusri Junaidi
AH J Khuzaini
Ahda Imran
Ahid Hidayat
Ahm Soleh
Ahmad Asyhar
Ahmad Farid Yahya
Ahmad Fuadi
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Musthofa Haroen
Ahmad Rofiq
Ahmad Suhendra
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Aini Aviena Violeta
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Muhaimin Azzet
Akhmad Sekhu
Al Azhar Riau
Al-Fairish
Alex R. Nainggolan
Alexander G.B.
Alfian Zainal
Aliansyah
Alimuddin
Almania Rohmah
Alunk Estohank
Amien Kamil
Amien Wangsitalaja
Anata Siregar
Andi Sutisno
Andy Riza Hidayat
Anies Baswedan
Anindita S Thayf
Anis Ceha
Anis Faridatur Rofiah
Anjrah Lelono Broto
Anna Subekti
Anton Kurnia
Ari Hidayat
Ari Kristianawati
Arie MP Tamba
Arief Junianto
Aris Kurniawan
Arti Bumi Intaran
Arul Arista
AS Sumbawi
Asarpin
Asep Sambodja
Atiqurrahman
Awalludin GD Mualif
Ayu Purwaningsih
Babe Derwan
Bakdi Soemanto
Balada
Bale Aksara
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Bayu Dwi Mardana
Bellanissa Zoditama
Beni Setia
Benny Arnas
Beno Siang Pamungkas
Berita
Berita Duka
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Bokor Hutasuhut
Brunel University London
BSW Adjikoesoemo
Budaya
Budhi Setyawan
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budiawan Dwi Santoso
Bur Rasuanto
Burhanuddin Bella
Bustan Basir Maras
Catatan
Catullus
CB. Ismulyadi
Cerbung
Cerita Rakyat
Cerpen
Chavchay Syaifullah
Cikie Wahab
Cunong Nunuk Suraja
D Zawawi Imron
Dad Murniah
Dadang Ari Murtono
Dahlia Rasyad
Damhuri Muhammad
Damiri Mahmud
Danarto
Daniel Paranamesa
Darju Prasetya
Darman Djamaluddin
Darman Moenir
Dasman Djamaluddin
David Krisna Alka
Dea Anugrah
Dedy Tri Riyadi
Denny JA
Denny Mizhar
Desi Sommalia Gustina
Dewi Anggraeni
Dharma Setyawan
Dian Hartati
Didi Arsandi
Dina Oktaviani
Dipo Handoko
Djenar Maesa Ayu
Djoko Pitono
Doddi Ahmad Fauji
Doddy Hidayatullah
Dodi Chandra
Dodiek Adyttya Dwiwanto
Dody Kristianto
Donny Anggoro
Dony P. Herwanto
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Klik Santosa
Dwi Pranoto
Dwicipta
Edy A Effendi
Edy Firmansyah
Eka Budianta
Eka Fendri Putra
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Ellyzan Katan
Elnisya Mahendra
Emha Ainun Nadjib
Endah Imawati
Eni Suryanti
Eny Rose
Eriyandi Budiman
Eriyanti
Erwin Edhi Prasetya
Erwin Setia
Esai
Evan Ys
Evi Idawati
F Rahardi
Fadly Rahman
Fahrudin Nasrulloh
Faizah Sirajuddin
Faizal Syahreza
Fajar Alayubi
Fakhrunnas M.A. Jabbar
Fanny Chotimah
Fariz al-Nizar
Fariz Alneizar
Faruk HT
Fatah Anshori
Fatah Yasin Noor
Fathurrahman Karyadi
Fatimah Wahyu Sundari
Fauzan Santa
Fazabinal Alim
Festival Sastra Gresik
Fikri MS
Fiksi Mini
Fransisca Dewi Ria Utari
Franz Kafka
Fuad Anshori
Furqon Abdi
Fuska Sani Evani
Gendhotwukir
Gendut Riyanto
Gerson Poyk
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Gola Gong
Grathia Pitaloka
Gregorio Lopez y’ Fuentes
Gugun El-Guyanie
Gunawan Budi Susanto
Gus Noy
H.H. Tokoro
Hadi Napster
Hamberan Syahbana
Hamdy Salad
Hamsad Rangkuti
Han Gagas
Hang Kafrawi
Hani Pudjiarti
Hanna Fransisca
Hardi Hamzah
Hardjono WS
Haris del Hakim
Haris Priyatna
Harris Maulana
Hary B. Kori'un
Hasan Al Banna
Hasan Junus
Hasbullah Said
Hasnan Bachtiar
HE. Benyamine
Heidi Arbuckle
Helmi Y Haska
Helvy Tiana Rosa
Hendra Junaedi
Hendri Nova
Herdoni Syafriansyah
Heri Kurniawan
Heri Latief
Heri Ruslan
Herman RN
Hermawan Aksan
Hermien Y. Kleden
Herry Lamongan
Holy Adib
Humaidiy AS
Husni Anshori
I Nyoman Darma Putra
I Nyoman Tingkat
I Wayan Artika
Ibnu Wahyudi
Ida Farida
Ignas Kleden
Ilham Khoiri
Imam Cahyono
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Tohari
Indra Tranggono
Indrian Koto
Irwan Kelana
Isbedy Stiawan Z.S.
Iskandar Noe
Isma Swastiningrum
Ismi Wahid
Iwan Gardono Sujatmiko
Iwan Gunadi
Iwan Kurniawan
Iwan Nurdaya Djafar
Iwank
J.S. Badudu
Janoary M Wibowo
Javed Paul Syatha
JILFest 2008
JJ. Kusni
Jodhi Yudono
Joko Novianto Bp
Joko Pinurbo
Jones Gultom
Jual Buku Paket Hemat
Jusuf AN
Kadek Suartaya
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kasnadi
Kedung Darma Romansha
Kenedi Nurhan
Khaerudin Kurniawan
Khaerul Anwar
Ki Sugito Ha Es
Kirana Kejora
Komunitas Deo Gratias
Korrie Layun Rampan
Kritik Sastra
Kunthi Hastorini
Kuntowijoyo
Kurie Suditomo
Kurnia Effendi
Kurniawan
Kuswinarto
La Ode Rabbani
Lathifa Akmaliyah
Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember
Leon Agusta
Lily Siti Multatuliana
Lily Yulianti Farid
Lina Kelana
Liza Wahyuninto
Lona Olavia
Lugiena Dé
M Fadjroel Rachman
M Farid W Makkulau
M Syakir
M. Dawam Rahardjo
M. Faizi
M. Mustafied
M. Raudah Jambak
M. Taufan Musonip
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
M.Th. Krishdiana Putri
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Maklumat Sastra Profetik
Malkan Junaidi
Maman S. Mahayana
Mangun Kuncoro
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria D. Andriana
Maria Magdalena Bhoernomo
Mariana Amiruddin
Maryati
Marzuzak SY
Mashuri
Maulana Syamsuri
Media: Crayon on Paper
Mega Vristian
MG. Sungatno
Misbahus Surur
Mofik el-abrar
Moh. Amir Sutaarga
Moh. Ghufron Cholid
Mohammad Hatta
Mohammad Kh. Azad
Mohammad Takdir Ilahi
Much. Khoiri
Muhamad Taslim Dalma
Muhammad Rain
Muhammad Subhan
Muhammad Yasir
Muhammadun A.S
Muhidin M Dahlan
Mujtahid
Mulyawan Karim
Musa Ismail
Musfi Efrizal
Mustafa Ismail
Mustofa W Hasyim
N Teguh Prasetyo
N. Mursidi
Nadhi Kiara Zifen
Nana Riskhi Susanti
Nanang Suryadi
Naskah Teater
Nasrulloh Habibi
Neva Tuhella
Nietzsche
Nirwan Dewanto
Nizar Qabbani
Noor H. Dee
Nova Christina
Novelet
Nunung Nurdiah
Nur Wachid
Nurani Soyomukti
Nurel Javissyarqi
Nurman Hartono
Nuryana Asmaudi
Nyoman Tusthi Eddy
Obrolan
Oky Sanjaya
Oyos Saroso HN
P Ari Subagyo
Pagelaran Musim Tandur
Pamusuk Eneste
Panji Satrio
PDS H.B. Jassin
Penerbit dan Toko Buku PUstaka puJAngga
Pipiet Senja
Pramoedya Ananta Toer
Pringadi AS
Pringgo HR
Prosa
Puisi
Puji Santosa
Purnawan Andra
PUstaka puJAngga
Putu Fajar Arcana
Putu Satria Kusuma
Putu Wijaya
R Masri Sareb Putra
R. Adhi Kusumaputra
R. Timur Budi Raja
R.N. Bayu Aji
Radhar Panca Dahana
Ragdi F. Daye
Rahmi Hattani
Raja Ali Haji
Raju Febrian
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Rama Dira J
Rama Prabu
Ramadhan KH
Ramon Magsaysay
Ramses Ohee
Ratih Kumala
Raudal Tanjung Banua
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Resensi
Ressa Novita
Ressa Sagitariana Putri
Ria Ristiana Dewi
Rialita Fithra Asmara
Ribut Wijoto
Rida K Liamsi
Rifka Sibarani
Rilda A. Oe. Taneko
Rilda A.Oe. Taneko
Rimbun Natamarga
Rinto Andriono
Risang Anom Pujayanto
Rita Zahara
Riyon Fidwar
Robin Al Kautsar
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rohman Budijanto
Rukardi
S Yoga
S. Jai
S. Takdir Alisyahbana
S.W. Teofani
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Sajak
Sajak Sebatang Lisong
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Salman S. Yoga
Salyaputra
Samson Rambah Pasir
Samsudin Adlawi
Sanie B. Kuncoro
Santy Novaria
Sapardi Djoko Damono
Sarabunis Mubarok
Sartika Dian Nuraini
Sasti Gotama
Sastra Nusantara
Satmoko Budi Santoso
Satriani
Saut Poltak Tambunan
Saut Situmorang
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
Selasih
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Shadiqin Sudirman
Shiny.ane el’poesya
Shourisha Arashi
Sidik Nugroho
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sindu Putra
Siska Afriani
Siti Sa’adah
Sitok Srengenge
Siwi Dwi Saputro
Slamet Samsoerizal
Sobih Adnan
Sofyan RH. Zaid
Solihin
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sony Wibisono
Sosiawan Leak
Sri Wintala Achmad
Sri Wulan Rujiati Mulyadi
Stevani Elisabeth
Suci Ayu Latifah
Sucipto Hadi Purnomo
Sudarmoko
Sudirman HN
Suhadi Mukhan
Suharsono
Sukar
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Sunudyantoro
Supriyadi
Suriani
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Sutan Iwan Soekri Munaf
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Syahruddin El-Fikri
Syaripudin Zuhri
Syifa Aulia
Syu’bah Asa
T.A. Sakti
Tammalele
Tan Lioe Ie
Tasyriq Hifzhillah
Taufik Abdullah
Taufik Effendi Aria
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Wr. Hidayat
TE. Priyono
Teguh Winarsho AS
Tenas Effendy
Tengsoe Tjahjono
Thayeb Loh Angen
Theresia Purbandini
Tia Setiadi
Tias Tatanka
Tito Sianipar
Tjahjono EP
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Tjut Zakiyah Anshari
Topik Mulyana
Tosa Poetra
Tri Harun Syafii
TS Pinang
Tu-ngang Iskandar
Udo Z. Karzi
Uly Giznawati
Umar Fauzi Ballah
Umbu Landu Paranggi
Umi Kulsum
Uniawati
Universitas Indonesia
Usman Arrumy
Usman D.Ganggang
Utada Kamaru
UU Hamidy
Viddy AD Daery
W.S. Rendra
Wa Ode Wulan Ratna
Wahib Muthalib
Wahyudi Akmaliah Muhammad
Wardjito Soeharso
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Sunarta
Weli Meinindartato
Wicaksono
Widodo DS
Wina Karnie
Wisran Hadi
Wong Wing King
Yan Maniani
Yanti Mulatsih
Yanuar Arifin
Yasser Arafat
Yaumu Roikha
Yetti A. KA
Yohanes Padmo Adi Nugroho
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yudhi Ms
Yudhistira ANM Massardi
Yulianna
Yurnaldi
Yusi A. Pareanom
Yusi Avianto Pareanom
Yusri Fajar
Yusrizal KW
Yuyun Ifa Naliah
Zaim Rofiqi
Zainal Arifin Thoha
Zakki Amali
Zakky Zulhazmi
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zelfeni Wimra
Zuarman Ahmad
Zulfikar Akbar
Tidak ada komentar:
Posting Komentar