Selasa, 12 Agustus 2008

PERI KECIL DAN DEWA MALAM

Kirana Kejora

CINTA MAYA

”Virus hampa telah rajam hati malam ini dewa…”
Larasati mulai membuka sapa mayanya di Yahoo Messenger pada sebuah id dewa_malam. Sambil dia pilih lagu-lagu cinta di mp3-nya. Teralunlah Dealova-nya Once…aku ingin menjadi mimpi indah dalam tidurmu…aku ingin kau tahu bahwaku selalu memujamu…

”Jingga lembayung tumpah dalam genangan, menyentuh kerling mata senja”
Laras nampak tersenyum ciut, sambil mata kejoranya menatap layar monitor PC- nya.
”Genangan asmara peri kecil dengan dewa malamnya..siangku bersenandung hampa tanpa ujarmu..kenapa tak kau runuti jejak hatiku yang kosong hari ini? Riakmupun tak kutemui, tak ada sentuh relungku..aku sedih…”
”Janganlah air mata tumpah tanpa ada di dadaku.”
”Namun kapan kau rasa hangatnya air mata di dada itu?”
”Saat rindumu mencapai klimaks, maka pejamkan matamu, panggil aku dengan mantramu.”

”Tak kah kau rasa asa pelukku? Setiap malam cekam rajam tubuh peri kecilmu?”
”Aku akan ada dengan keseluruhanmu.”
”Peri kecilmu jiwanya mulai sakit.”
”Dewa malammupun semakin gila! Makin sadar bahwa birahinya menjadi sumber inspirasinya! Tanpanya aku hilang!”
”Ketika birahi datang melanda, apa yang akan kamu lakukan? Make love dengan dewi mayamu?”
”Mendatangi kamar suciku, bercinta dengan tubuhku, mencipta dewi mayaku..kamu Peri Kecil.”
”The candle make love? Kita bikin sebuah mahakarya…kolaborasi yang indah sepasang pujangga khayal!”
”Ya! Sebuah cerita panjang tentang kisahnya sendiri…Perkawinan Surga judulnya.”

”Penulisnya cukup dewa malam feat peri kecil.”
”Perkawinan Surga/Kuda, Ksatria, dan Peri Kecil.”
”Jangan…better..Perkawinan Surga/Dewa Malam dan Peri Kecil.”
”Peri, kurang menggigit sub judulnya.”
”Ya sudah, bagaimana kalau begini saja, Perkawinan Surga/Kuda, Dewa Malam dan Peri Kecil.”
”Ya…bagus begitu Periku, bagaimana alurnya?”
”Energi Dewa Malamku bisa jadi jiwa tulisan itu, ketika real kita bertemu, tergantung aura pertemuan cinta kita kelak.”
”Peri Kecil dan Dewa Malam yang menemukan makna cinta sesungguhnya, cinta yang selama ini dianggapnya telah hilang.”

”Kali ini kita bikin skenario buat perjalanan kita sendiri…bukan fiksi murni Dewa…dan kau tahu, aku selalu bikin hentakan yang menyakitkan pembacanya di akhir cerpen-cerpenku selama ini.”
”Tunggu! Aku tak ingin kau un happy-kan tulisan ini, ingat, ini kolaborasi Dewa Malam dan Peri Kecil…tak bisa Peri Kecil egois dengan pilihannya..dan please, kamu jadi mengingatkanku dengan seseorang…NGGAK!”
”Kenapa kamu Dewa? Kamu telah bikin sakit seseorang? Atau kamu telah membuat sebuah luka?”

Tak ada jawaban…berhentilah kalimat-kalimat maya mereka berdua…tiba-tiba Dewa Malam offline. Wajah putih Laras semakin memucat, dia kernyitkan dahi, dan tangan kirinya mengambil HP yang tergeletak di samping kiri monitor PC-nya. Dia cari nama Dewa Malam dalam daftar contacts HP-nya.

Terdengar nada tunggu begitu panjang, tanpa jawaban…Kau tahu mengapa, percintaan ini, kembali terjadi, Tuhan semoga ini menjadi…suratan takdirku..hidup bersamanya, hingga maut memisahkan..Tuhan semoga ini terjadi…Tuhan Kau tahu, cintaku, tlah jatuh kepadanya…hati dan juga hidupku, tlah kuserahkan kepadanya..Tuhan Kau tahu…suara flamboyan Ari Lasso dengan Tuhan Kau Tahu-nya..begitu menyayat hati Larasati.
Lalu dimatikannya HP, Laras termenung, membatin,”Apa yang salah padaku? Aku telah menyakitinya Tuhan?”

Segera dia meninggalkan pesan di inbox ym dewa_malam, setelah sebelumnya dia klik Pujaanku milik Melly feat Jimmo. Larut dalam lagu hati adalah energi Laras buat menulis apa yang menjadi cerca pikir buat rehatkan hatinya, yang sesungguhnya sudah sangat lelah dengan sebuah kembara cintanya selama ini.
Persembahan kalbuku..nantikan dikau di tidur lelapku..pujaanku… Sayatan gitar Anto Hoed membalut kalut hatinya….burung berkicau tanda setia pada pagi, ku dengan engkau tak bisa dipisahkan lagi, jantung kau mintapun kan kuberikan, betapa dalamnya cinta untukmu…

”Kita buat sebuah persembahan nirwana hati yang putih, indah tak bernoda, kan kupakai gaun jingga pemberianmu, yang menjadi selimut sutra tubuhku yang dahaga…”
”Menjaring kekangan di tepian cakrawala, duduk di sutra langit yang terhampar, di belantar ruap yang bangun pura.”
Laras nampak girang, lega, ketika muncul jawaban dewa_malam, yang ternyata online, invisible. Jemarinya makin berenergi meraba huruf demi huruf keyboard PC-nya.
”Hingga aku klimaks pada puncak batas, aku tak tahu bahasa langitmu..terlalu tinggi buat Peri Kecil, yang tetap berusaha jadi telaga hatimu.”
”Aku sembunyi di balik bukit tubuh, yang terhempar di samudra luas, riak meriak mendawai senja, temaram rebah dalam pelukan bulan, menyatu dalam syair birahi, larut dan hilang.

”Ketika kau telah sentuh begitu dahsyat, Peri Kecilmu tak bisa berbuat”
”Sihir pesona tubuh, meradang, memerah bibir, meraih tubuh, mencipta aku dalam bayangan suci terhenti, mengaum, menindih, mencengkeram, dan terkulai
”Belai aku dg syair-syair romanmu yg dalam, peluk aku dalam remang rembulan, ajak aku berdansa dalam roman surgamu…aku lelah menulis orang lain…kali ini syahkan kita menulis tentang dera hati kita…syahkan percintaan nyata kita…tak dalam kembara maya yang hanya lamun khayal semata…kita buang sosok-sosok imajiner kita..saatnya kita bertarung dengan nyata raga, berani bercinta kembali!”

”Why silent?” kusambung sapaku lagi.
”Aku mati kata dan terantuk batu, mendengar syair-syairmu, kataku hilang begitu saja, nggak banyak kata-kata lagi…selain, L A K U K A N!”
”When?”
”Tiga hari lagi, senja menjelang maghrib, ku telah tiba pada pijakan bumimu.”
”Saat penampakan kau dan aku yang sebenarnya…kita akhiri ujaran-ujaran maya ini, buat memulai raba raga nyata..dengan makna cinta yang ada. Kutunggu sambutmu, sungguh.”
”Namun satu pintaku, jangan akhiri kolaborasi cerita ini dengan sebuah kepahitan. Meski selalu katamu…kepahitan, kepedihan itu adalah bagian dari sebuah realita hidup..cinta adalah luka…namun, tak bisakah kita tulis skenario ini dengan indah berbuah senyum?”

Larasati tak bisa menjawab ujaran Dewa Malam kali ini, terpaku diam, entah apa yang menjadi cerca pikirnya malam itu…***

TERHELA NYATA

Sebuah keberanian berkomitmen, tiba saat gelisahkan hati Larasati. Namun satu sisi hatinya, mengiyakannya.

Kembali terngiang wejangan alm. Ibunya,”Sampai kapan kamu bercinta di dunia maya? Tak ada ujungnya Laras, hadapi dengan nyata cinta itu. Berkomitmenlah dengan cinta yang sesungguhnya, kubur semua trauma yang bisa menyakitkanmu setiap saat. Sakitmu karena Diandra, tak harus membuatmu terus melukai diri sendiri, dengan sembunyi. Siapapun pujaanmu itu, ajaklah untuk bertemu…”

Dalam kesenyapan hati, sendiri mendiami rumah joglo yang begitu besar, akhir-akhir ini menjadi alasan kuat Laras untuk mendobrak kelambu-kelambu hitam yang sering membutakan hatinya untuk menguraikannya, melihat matahari menerangi rumah hatinya.

Baginya, telah cukup pertapaan semu ini, meski telah lahir beberapa buku dari kesenyapan hatinya selama ini. Namun saat ini, dia benar-benar ingin menjadi wanita seutuhnya, bercinta kembali, menikmati hidup dalam hangat dekap seorang lelaki sejati. Yang selama ini hanya ada dalam sosok-sosok imajiner novel-novelnya.
”Bangun Laras! Buang impian kamu tentang dia. Elang Lazuardi itu tak pernah ada! Dia hanya ada dalam bumi mayamu! Kamu harus keluar dari rumah gelapmu. Khayalanmu telah melewati batas nadirmu sebagai manusia normal…”

Dia ingat kembali kalimat-kalimat terakhir Jingga…dan tak terasa matanya yang telah lama kering, basah…Larasati menangisi kepergian orang-orang yang dicintainya…ibu, Jingga, Diandra?

Ah! Nggak! Nama terakhir itu tak boleh kutangisi kepergiannya! Go to hell! Namun air matanya makin deras membasahi ranum pipinya, menggenangi dua lesung pipi kanan kirinya. Menangisi sebuah kebodohan! Batinnya.

Tiba-tiba terdengar…wahai cintaku, andaikan kau tahu, bahwa sekali hidupku, hanya untuk mencintaimu, selamanya di hati…selamanya dalam hidupku…Mati Bersamamu-nya Bebi Romeo. Nada panggil Dewa Malam.

Segera Laras menghapus air matanya, diambilnnya HP dari dalam tas ransel hitamnya.
”Peri kecil, aku landing. Dimana posisi kamu? Ok, aku ke sana. Jangan ada getar berlebih karena sua awal ini…”
Tiba-tiba gemuruh riak dalam hati Larasati menjadi ombak besar yang terus menggulung paru-parunya, menyesakkan dadanya. Dia terus menghela nafas panjang.
Sebuah langkah berani, berkomitmen tanpa saling mengenal raga dan wajah! Gila! Sebuah gambling yang terlalu berani, mungkin...entah...begitu batinnya selama ini.

Tak terasa Larasati telah meneguk dua gelas orange juice, namun, minuman dingin itu, tetap tak kuasa mengusir keringat yang terus mengucur dari dahinya. Tissue di atas meja Nirwana Café bandara Juanda-pun, tak kuasa untuk menampik buliran-buliran hangat yang terus muncul di wajahnya.
”Duh! Lama banget ya? 60 menit berlalu, tak muncul jua…paling lama 20 menit telah sampai ke sini..” rutuknya.

Lalu ditelponnya Dewa Malam. Hingga 3 kali, hanya terdengar…. Tuhan Kau tahu, cintaku, tlah jatuh kepadanya, hati dan juga hidupku, tlah kuserahkan kepadanya…kembali penggalan syair Tuhan Kau Tahu-nya Ari Lasso.
”Shitt! You lie me! I hate you!
Tiba-tiba matanya basah, menangisi kebodohannya kali ini. Segera dia membayar bill café, dan keluar café secepatnya. Setengah berlari memanggil taxi.
”Peri kecil…”
Lambaian tangan kiri Larasati untuk menghentikan taxi, tiba-tiba ditangkap jemari kanan lelaki tegap berambut ikal sebahu, yang telah berdiri di samping kanan Larasati.

Setengah terperangah, Laras menoleh, menatap tajam wajah lelaki yang menangkup jemari tangan kirinya, tak kuasa dia melepas jemari tangannya, karena genggaman lelaki itu makin kuat.
Lirih, Larasati membuka bibirnya, berucap,” Dewa malam…”
”Dia seperti Elang Lazuardi-ku Tuhan…” batinnya.
”Kita bicarakan semua kenyataan yang tak pernah terbayang sebelumnya ini…”
Kalimat Dewa Malam, menghentikan lamunan sesaat Larasati. Sambil berjalan, terus memegang erat tangan Peri Kecil, Dewa Malam mengajaknya memasuki Nirwana café. Mereka duduk di sudut kanan café.
Senja yang makin merubung, membuat nyala lilin di meja kayu itu makin nampak terang berpijar.

Dewa Malam menatap tajam mata kejora Larasati, yang masih terpana dengan penampakan raga Dewa Malam. Dia begitu merasa, bertemu dengan sosok imajiner-nya sendiri.
”Aku tahu kalutmu, setelah 1 jam tepat, menungguku…”
Jemari tangan kiri Dewa menambah erat genggaman jemari kanannya menangkup jemari tangan kiri Laras yang terasa makin dingin.
”Jujur, aku telah 40 menit menatapmu dari luar jendela café…aku begitu terkejut, berkali-kali kupelototkan mataku menatapmu, tak percaya Peri Kecilku adalah kamu…”
”Kenapa?”
”Jujur, wajahmu mirip sekali dengan dia…”
”Ah..klise sekali!” tiba-tiba mendidih darah Larasati, terasa ada sesuatu yang membuatnya illfeel dengan kalimat-kalimat Dewa Malam barusan.
”Yakinilah, jujur… Kamu mirip sekali dengan dia, yang telah 3 tahun ini meninggalkanku…”
”Dewa…buat apa berlama-lama dengan imaji-mu? Masa lalumukah yang kau buat persembahan raga kita? Agar aku yakini cintamu? Kamu salah! Aku tak pernah mau dalam baying-bayang masamu! Apapun alasan kamu! Kita sudahi semua cerita konyol ini!”
Dewa semakin tajam menatap mata kejora Larasati. Kali ini, dia begitu nampak serius.
”Dengar Peri Kecil! Dia pergi karena suratan takdir! Dia berada di surga yang sebenarnya, karena dia meninggal dalam sebuah kecelakaan bersama ibunya…dan bersama benih cinta kami di dalam rahimnya…”

Nampak berkaca bening, mata elang Dewa Malam. Dan Larasati begitu merah matanya, tajam menatap mata lelaki yang telah jujur berujar tentang kisahnya. Hatinya mulai bisa meraba siapa Dewa Malam.
”Jadi…kamu Hans?”
Dewa Malam menggangguk, tanpa melepas pandang matanya ke wajah Laras yang makin nampak memerah.
”Ya Tuhan!”
”Kamu mirip sekali dengan Jingga…”
”Jingga tak pernah bercerita tentangmu…tiga hari menjelang peristiwa itu, dia menulis email ke aku, cerita romannya denganmu. Aku memutuskan pergi dari Surabaya, setelah Diandra meninggalkanku begitu saja, aku ingin mengubur semua ceritaku dengan lelaki brengsek itu di Surabaya.”
Sejenak Larasati berhenti bicara, ketika seorang waitress perempuan menyodorkan datfar menu.
”Minum apa kamu Peri? Air jeruk kesukaanmu?”
Larasati menggelengkan kepala, sambil menghela panjang nafasnya.

”Ok, nanti saja mbak…terima kasih.”
Setelah waitress café pergi meninggalkan meja mereka, Larasati melanjutkan ujarannya.
”Bagiku saat itu, Surabaya adalah neraka jahanam… Surabaya kembali menjadi bumi bagiku, setelah orang-orang yang kucintai, yang kutinggalkan selama 3 tahun, telah pergi dengan cintanya buatku. Ibu dan Jingga, menyusulku, menjemputku di tempat pengasinganku, tempat aku begitu larut dengan sosok-sosok imajiner-ku, yang kupikir, begitu tulus memiliki cinta buatku. Ibu dan Jingga begitu mencemaskan aku, karena banyak yang telah menganggapku gila, meski novel-novelku banyak yang menjadi best seller, aku terus hidden, mencintai kesenyapanku di sebuah pondok… lari dari kenyataan pahitnya cinta. Aku tak lebih dari seorang perempuan bodoh! Dosaku terbesar pada Ibu dan Jingga. Hingga maut menjemput mereka hanya sesaat, 10 menit, sebelum mereka menemuiku…untuk menjemput dan memberi tahuku tentang rencana pernikahan kalian.”

”Tapi, kenapa Jingga tak pernah bercerita tentangmu?”
”Sama. Diapun tak pernah bercerita tentangmu…dia tak ingin saudara kembarnya makin nelangsa, dengan tahu kisah roman apiknya denganmu, karena patah hati yang telah membelenggu hidupku selama ini. Aku salah, begitu mengkultuskan cintaku pada Diandra..”
”Sudahlah Peri…”
”Hans, kini kau tahu siapa Peri Kecilmu. Aku tak ingin cintamu jatuh, karena bayang-bayang Jingga, Bidadari Pelangi-mu…”
Hans, menggelengkan kepalanya, menyibakkan ikal rambut yang menutupi sebagian wajahnya.

”Bukankah, Dewa Malam menjatuhkan cintanya pada Peri Kecil, ketika belum tahu raga, wajah Peri Kecil itu? Kita bercinta karena syair roman maya, tanpa tersekat nyata raga mulanya. Dan bagiku, itu sebuah keindahan nirwana cinta yang sebenarnya. Aku tulus memilikinya buatmu Peri Kecilku. Harusnya kamu yakini itu, karena aku telah kubur namaku, Ksatria Malam, buat Bidadari Pelangi, yang nyata telah hilang dari kehidupanku, meski dia dulu pernah singgah begitu dalam, menelusupi ruang hatiku. Tapi itu harus kuakui, hanya masa lalu, yang harus segera kututup, tak perlu kubuka kembali, jika itu membuatku sakit.”

Larasati tak kuasa menatap tatapan tajam Hans, dia buang mukanya, memandangi pesawat yang landing di hamparan lantai beton di depan jendela café.
Burung besi yang telah memiliki masa yang tepat, buat mendaratkan tubuh, roda, dan sayap-sayapnya, ke sebuah landasan yang kuat. Karena dia tak ingin nyawa-nyawa yang terhela di dalam tubuhnya, hilang sia-sia karena salah landasan.
Begitupun hati Laras, mulai menemukan landasannya. Bisa menerima realita cintanya sebagai sang Peri Kecil dengan Hans, sang Dewa Malamnya.
“Inikah cintaku yang sesungguhnya Tuhan? Cintaku pada orang-orang yang mencintaiku dengan tulus? Ibu, Jingga, dan Hans? Maafkan aku Jingga, jika ternyata cintaku jatuh pada Ksatria Malam yang dulu pernah kau miliki…Tuhan, berilah surgamu, buat Jingga yang telah berkorban buatku…” batin Larasati.

Kembali buliran air bening keluar dari mata kejoranya. Jemari kanan Hans, mengusapnya pelan, namun Laras segera menampiknya.
”Biarkan air mata ini keluar Hans…aku ingin menangis buat Jingga. Dia telah berkorban buat cinta kita…persembahan nirwana itu buatnya Hans…”
Hans, memeluk erat Laras, dibiarkannya air mata Laras menghangati dadanya.

”Saat tepat kau tumpahkan semua air mata itu untuk menghangatkan senyap dadaku setelah kepergian Jingga… Bagiku, saat ini dan esok, kaulah Peri Kecilku, cinta nyata dalam hidupku. Jingga adalah seseorang yang membawa cintanya buat kita dalam keabadian nirwana cinta. Kita sama-sama memiliki cinta buatnya.”

Aku menangis mengenangmu…sgala tentangmu ku memanggilmu dalam hati ini...ku memanggilmu dalam hati ini..ku kenang dirimu…Lirih-nya Ari Lasso mengakhiri drama indah Peri Kecil dan Dewa Malam dalam temaram Nirwana café.

Larasati telah menemukan Elang Lazuardi yang sesungguhnya, sosok khayalannya itu, kini ada di hadapannya, memeluknya nyata. Dalam wujud seorang Hans, Dewa Malamnya, Ksatria Malam milik Jingga.
Tulisan hatinya malam itu, begini…Cinta sejati tak pernah terkuak oleh siapapun, hingga kapanpun, karena, cinta sejati tetap abadi menjadi rahasia Dia! Sang Maha Pecinta! Penulis Eksotik Maha Terbaik!

----
Rumah Putih, awal bulan ke tujuh 07, mengenangmu buat persembahan nirwana cinta,
sebuah energi dari dewa malam..

Tidak ada komentar:

A Khoirul Anam A Qorib Hidayatullah A Rodhi Murtadho A. Yusrianto Elga A. Zakky Zulhazmi A.S. Laksana Aang Fatihul Islam Aba Mardjani Abd. Mun’im Abdul Aziz Rasjid Abdul Gaffar Ruskhan Abdul Hadi W. M. Abdul Kadir Ibrahim Abdul Malik Abdul Muis Abdul Wachid BS Abdullah Khusairi Abidah El Khalieqy Abimardha Kurniawan Abroorza A. Yusra Abu Salman Acep Iwan Saidi Achmad Farid Tuasikal Adek Alwi Adi Marsiela Adian Husaini Adib Muttaqin Asfar Adji Subela Afandi Sido Afriza Hanifa Afrizal Malna Ageng Wuri R. A. Ags. Arya Dipayana Aguk Irawan M.N. Agus B. Harianto Agus Bing Agus Noor Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sri Danardana Agus Sulton Agus Sunyoto Agus Wibowo Agus Wirawan Agusri Junaidi AH J Khuzaini Ahda Imran Ahid Hidayat Ahm Soleh Ahmad Asyhar Ahmad Farid Yahya Ahmad Fuadi Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musthofa Haroen Ahmad Rofiq Ahmad Suhendra Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Aini Aviena Violeta Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sekhu Al Azhar Riau Al-Fairish Alex R. Nainggolan Alexander G.B. Alfian Zainal Aliansyah Alimuddin Almania Rohmah Alunk Estohank Amien Kamil Amien Wangsitalaja Anata Siregar Andi Sutisno Andy Riza Hidayat Anies Baswedan Anindita S Thayf Anis Ceha Anis Faridatur Rofiah Anjrah Lelono Broto Anna Subekti Anton Kurnia Ari Hidayat Ari Kristianawati Arie MP Tamba Arief Junianto Aris Kurniawan Arti Bumi Intaran Arul Arista AS Sumbawi Asarpin Asep Sambodja Atiqurrahman Awalludin GD Mualif Ayu Purwaningsih Babe Derwan Bakdi Soemanto Balada Bale Aksara Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Bayu Dwi Mardana Bellanissa Zoditama Beni Setia Benny Arnas Beno Siang Pamungkas Berita Berita Duka Bernando J. Sujibto Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Bokor Hutasuhut Brunel University London BSW Adjikoesoemo Budaya Budhi Setyawan Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiawan Dwi Santoso Bur Rasuanto Burhanuddin Bella Bustan Basir Maras Catatan Catullus CB. Ismulyadi Cerbung Cerita Rakyat Cerpen Chavchay Syaifullah Cikie Wahab Cunong Nunuk Suraja D Zawawi Imron Dad Murniah Dadang Ari Murtono Dahlia Rasyad Damhuri Muhammad Damiri Mahmud Danarto Daniel Paranamesa Darju Prasetya Darman Djamaluddin Darman Moenir Dasman Djamaluddin David Krisna Alka Dea Anugrah Dedy Tri Riyadi Denny JA Denny Mizhar Desi Sommalia Gustina Dewi Anggraeni Dharma Setyawan Dian Hartati Didi Arsandi Dina Oktaviani Dipo Handoko Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Doddi Ahmad Fauji Doddy Hidayatullah Dodi Chandra Dodiek Adyttya Dwiwanto Dody Kristianto Donny Anggoro Dony P. Herwanto Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Klik Santosa Dwi Pranoto Dwicipta Edy A Effendi Edy Firmansyah Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Eko Darmoko Ellyzan Katan Elnisya Mahendra Emha Ainun Nadjib Endah Imawati Eni Suryanti Eny Rose Eriyandi Budiman Eriyanti Erwin Edhi Prasetya Erwin Setia Esai Evan Ys Evi Idawati F Rahardi Fadly Rahman Fahrudin Nasrulloh Faizah Sirajuddin Faizal Syahreza Fajar Alayubi Fakhrunnas M.A. Jabbar Fanny Chotimah Fariz al-Nizar Fariz Alneizar Faruk HT Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fathurrahman Karyadi Fatimah Wahyu Sundari Fauzan Santa Fazabinal Alim Festival Sastra Gresik Fikri MS Fiksi Mini Fransisca Dewi Ria Utari Franz Kafka Fuad Anshori Furqon Abdi Fuska Sani Evani Gendhotwukir Gendut Riyanto Gerson Poyk Gita Pratama Goenawan Mohamad Gola Gong Grathia Pitaloka Gregorio Lopez y’ Fuentes Gugun El-Guyanie Gunawan Budi Susanto Gus Noy H.H. Tokoro Hadi Napster Hamberan Syahbana Hamdy Salad Hamsad Rangkuti Han Gagas Hang Kafrawi Hani Pudjiarti Hanna Fransisca Hardi Hamzah Hardjono WS Haris del Hakim Haris Priyatna Harris Maulana Hary B. Kori'un Hasan Al Banna Hasan Junus Hasbullah Said Hasnan Bachtiar HE. Benyamine Heidi Arbuckle Helmi Y Haska Helvy Tiana Rosa Hendra Junaedi Hendri Nova Herdoni Syafriansyah Heri Kurniawan Heri Latief Heri Ruslan Herman RN Hermawan Aksan Hermien Y. Kleden Herry Lamongan Holy Adib Humaidiy AS Husni Anshori I Nyoman Darma Putra I Nyoman Tingkat I Wayan Artika Ibnu Wahyudi Ida Farida Ignas Kleden Ilham Khoiri Imam Cahyono Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Tohari Indra Tranggono Indrian Koto Irwan Kelana Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Isma Swastiningrum Ismi Wahid Iwan Gardono Sujatmiko Iwan Gunadi Iwan Kurniawan Iwan Nurdaya Djafar Iwank J.S. Badudu Janoary M Wibowo Javed Paul Syatha JILFest 2008 JJ. Kusni Jodhi Yudono Joko Novianto Bp Joko Pinurbo Jones Gultom Jual Buku Paket Hemat Jusuf AN Kadek Suartaya Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Kedung Darma Romansha Kenedi Nurhan Khaerudin Kurniawan Khaerul Anwar Ki Sugito Ha Es Kirana Kejora Komunitas Deo Gratias Korrie Layun Rampan Kritik Sastra Kunthi Hastorini Kuntowijoyo Kurie Suditomo Kurnia Effendi Kurniawan Kuswinarto La Ode Rabbani Lathifa Akmaliyah Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember Leon Agusta Lily Siti Multatuliana Lily Yulianti Farid Lina Kelana Liza Wahyuninto Lona Olavia Lugiena Dé M Fadjroel Rachman M Farid W Makkulau M Syakir M. Dawam Rahardjo M. Faizi M. Mustafied M. Raudah Jambak M. Taufan Musonip M. Yoesoef M.D. Atmaja M.Th. Krishdiana Putri Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Maklumat Sastra Profetik Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mangun Kuncoro Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria D. Andriana Maria Magdalena Bhoernomo Mariana Amiruddin Maryati Marzuzak SY Mashuri Maulana Syamsuri Media: Crayon on Paper Mega Vristian MG. Sungatno Misbahus Surur Mofik el-abrar Moh. Amir Sutaarga Moh. Ghufron Cholid Mohammad Hatta Mohammad Kh. Azad Mohammad Takdir Ilahi Much. Khoiri Muhamad Taslim Dalma Muhammad Rain Muhammad Subhan Muhammad Yasir Muhammadun A.S Muhidin M Dahlan Mujtahid Mulyawan Karim Musa Ismail Musfi Efrizal Mustafa Ismail Mustofa W Hasyim N Teguh Prasetyo N. Mursidi Nadhi Kiara Zifen Nana Riskhi Susanti Nanang Suryadi Naskah Teater Nasrulloh Habibi Neva Tuhella Nietzsche Nirwan Dewanto Nizar Qabbani Noor H. Dee Nova Christina Novelet Nunung Nurdiah Nur Wachid Nurani Soyomukti Nurel Javissyarqi Nurman Hartono Nuryana Asmaudi Nyoman Tusthi Eddy Obrolan Oky Sanjaya Oyos Saroso HN P Ari Subagyo Pagelaran Musim Tandur Pamusuk Eneste Panji Satrio PDS H.B. Jassin Penerbit dan Toko Buku PUstaka puJAngga Pipiet Senja Pramoedya Ananta Toer Pringadi AS Pringgo HR Prosa Puisi Puji Santosa Purnawan Andra PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Satria Kusuma Putu Wijaya R Masri Sareb Putra R. Adhi Kusumaputra R. Timur Budi Raja R.N. Bayu Aji Radhar Panca Dahana Ragdi F. Daye Rahmi Hattani Raja Ali Haji Raju Febrian Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Dira J Rama Prabu Ramadhan KH Ramon Magsaysay Ramses Ohee Ratih Kumala Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Ressa Novita Ressa Sagitariana Putri Ria Ristiana Dewi Rialita Fithra Asmara Ribut Wijoto Rida K Liamsi Rifka Sibarani Rilda A. Oe. Taneko Rilda A.Oe. Taneko Rimbun Natamarga Rinto Andriono Risang Anom Pujayanto Rita Zahara Riyon Fidwar Robin Al Kautsar Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Rohman Budijanto Rukardi S Yoga S. Jai S. Takdir Alisyahbana S.W. Teofani Sabrank Suparno Sahaya Santayana Sajak Sajak Sebatang Lisong Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Salman S. Yoga Salyaputra Samson Rambah Pasir Samsudin Adlawi Sanie B. Kuncoro Santy Novaria Sapardi Djoko Damono Sarabunis Mubarok Sartika Dian Nuraini Sasti Gotama Sastra Nusantara Satmoko Budi Santoso Satriani Saut Poltak Tambunan Saut Situmorang Sekolah Literasi Gratis (SLG) Selasih Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Shadiqin Sudirman Shiny.ane el’poesya Shourisha Arashi Sidik Nugroho Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sindu Putra Siska Afriani Siti Sa’adah Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Slamet Samsoerizal Sobih Adnan Sofyan RH. Zaid Solihin Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sony Wibisono Sosiawan Leak Sri Wintala Achmad Sri Wulan Rujiati Mulyadi Stevani Elisabeth Suci Ayu Latifah Sucipto Hadi Purnomo Sudarmoko Sudirman HN Suhadi Mukhan Suharsono Sukar Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sunudyantoro Supriyadi Suriani Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syahruddin El-Fikri Syaripudin Zuhri Syifa Aulia Syu’bah Asa T.A. Sakti Tammalele Tan Lioe Ie Tasyriq Hifzhillah Taufik Abdullah Taufik Effendi Aria Taufik Ikram Jamil Taufiq Wr. Hidayat TE. Priyono Teguh Winarsho AS Tenas Effendy Tengsoe Tjahjono Thayeb Loh Angen Theresia Purbandini Tia Setiadi Tias Tatanka Tito Sianipar Tjahjono EP Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tjut Zakiyah Anshari Topik Mulyana Tosa Poetra Tri Harun Syafii TS Pinang Tu-ngang Iskandar Udo Z. Karzi Uly Giznawati Umar Fauzi Ballah Umbu Landu Paranggi Umi Kulsum Uniawati Universitas Indonesia Usman Arrumy Usman D.Ganggang Utada Kamaru UU Hamidy Viddy AD Daery W.S. Rendra Wa Ode Wulan Ratna Wahib Muthalib Wahyudi Akmaliah Muhammad Wardjito Soeharso Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Sunarta Weli Meinindartato Wicaksono Widodo DS Wina Karnie Wisran Hadi Wong Wing King Yan Maniani Yanti Mulatsih Yanuar Arifin Yasser Arafat Yaumu Roikha Yetti A. KA Yohanes Padmo Adi Nugroho Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yudhi Ms Yudhistira ANM Massardi Yulianna Yurnaldi Yusi A. Pareanom Yusi Avianto Pareanom Yusri Fajar Yusrizal KW Yuyun Ifa Naliah Zaim Rofiqi Zainal Arifin Thoha Zakki Amali Zakky Zulhazmi Zawawi Se Zehan Zareez Zelfeni Wimra Zuarman Ahmad Zulfikar Akbar