Kirana Kejora
CINTA MAYA
”Virus hampa telah rajam hati malam ini dewa…”
Larasati mulai membuka sapa mayanya di Yahoo Messenger pada sebuah id dewa_malam. Sambil dia pilih lagu-lagu cinta di mp3-nya. Teralunlah Dealova-nya Once…aku ingin menjadi mimpi indah dalam tidurmu…aku ingin kau tahu bahwaku selalu memujamu…
”Jingga lembayung tumpah dalam genangan, menyentuh kerling mata senja”
Laras nampak tersenyum ciut, sambil mata kejoranya menatap layar monitor PC- nya.
”Genangan asmara peri kecil dengan dewa malamnya..siangku bersenandung hampa tanpa ujarmu..kenapa tak kau runuti jejak hatiku yang kosong hari ini? Riakmupun tak kutemui, tak ada sentuh relungku..aku sedih…”
”Janganlah air mata tumpah tanpa ada di dadaku.”
”Namun kapan kau rasa hangatnya air mata di dada itu?”
”Saat rindumu mencapai klimaks, maka pejamkan matamu, panggil aku dengan mantramu.”
”Tak kah kau rasa asa pelukku? Setiap malam cekam rajam tubuh peri kecilmu?”
”Aku akan ada dengan keseluruhanmu.”
”Peri kecilmu jiwanya mulai sakit.”
”Dewa malammupun semakin gila! Makin sadar bahwa birahinya menjadi sumber inspirasinya! Tanpanya aku hilang!”
”Ketika birahi datang melanda, apa yang akan kamu lakukan? Make love dengan dewi mayamu?”
”Mendatangi kamar suciku, bercinta dengan tubuhku, mencipta dewi mayaku..kamu Peri Kecil.”
”The candle make love? Kita bikin sebuah mahakarya…kolaborasi yang indah sepasang pujangga khayal!”
”Ya! Sebuah cerita panjang tentang kisahnya sendiri…Perkawinan Surga judulnya.”
”Penulisnya cukup dewa malam feat peri kecil.”
”Perkawinan Surga/Kuda, Ksatria, dan Peri Kecil.”
”Jangan…better..Perkawinan Surga/Dewa Malam dan Peri Kecil.”
”Peri, kurang menggigit sub judulnya.”
”Ya sudah, bagaimana kalau begini saja, Perkawinan Surga/Kuda, Dewa Malam dan Peri Kecil.”
”Ya…bagus begitu Periku, bagaimana alurnya?”
”Energi Dewa Malamku bisa jadi jiwa tulisan itu, ketika real kita bertemu, tergantung aura pertemuan cinta kita kelak.”
”Peri Kecil dan Dewa Malam yang menemukan makna cinta sesungguhnya, cinta yang selama ini dianggapnya telah hilang.”
”Kali ini kita bikin skenario buat perjalanan kita sendiri…bukan fiksi murni Dewa…dan kau tahu, aku selalu bikin hentakan yang menyakitkan pembacanya di akhir cerpen-cerpenku selama ini.”
”Tunggu! Aku tak ingin kau un happy-kan tulisan ini, ingat, ini kolaborasi Dewa Malam dan Peri Kecil…tak bisa Peri Kecil egois dengan pilihannya..dan please, kamu jadi mengingatkanku dengan seseorang…NGGAK!”
”Kenapa kamu Dewa? Kamu telah bikin sakit seseorang? Atau kamu telah membuat sebuah luka?”
Tak ada jawaban…berhentilah kalimat-kalimat maya mereka berdua…tiba-tiba Dewa Malam offline. Wajah putih Laras semakin memucat, dia kernyitkan dahi, dan tangan kirinya mengambil HP yang tergeletak di samping kiri monitor PC-nya. Dia cari nama Dewa Malam dalam daftar contacts HP-nya.
Terdengar nada tunggu begitu panjang, tanpa jawaban…Kau tahu mengapa, percintaan ini, kembali terjadi, Tuhan semoga ini menjadi…suratan takdirku..hidup bersamanya, hingga maut memisahkan..Tuhan semoga ini terjadi…Tuhan Kau tahu, cintaku, tlah jatuh kepadanya…hati dan juga hidupku, tlah kuserahkan kepadanya..Tuhan Kau tahu…suara flamboyan Ari Lasso dengan Tuhan Kau Tahu-nya..begitu menyayat hati Larasati.
Lalu dimatikannya HP, Laras termenung, membatin,”Apa yang salah padaku? Aku telah menyakitinya Tuhan?”
Segera dia meninggalkan pesan di inbox ym dewa_malam, setelah sebelumnya dia klik Pujaanku milik Melly feat Jimmo. Larut dalam lagu hati adalah energi Laras buat menulis apa yang menjadi cerca pikir buat rehatkan hatinya, yang sesungguhnya sudah sangat lelah dengan sebuah kembara cintanya selama ini.
Persembahan kalbuku..nantikan dikau di tidur lelapku..pujaanku… Sayatan gitar Anto Hoed membalut kalut hatinya….burung berkicau tanda setia pada pagi, ku dengan engkau tak bisa dipisahkan lagi, jantung kau mintapun kan kuberikan, betapa dalamnya cinta untukmu…
”Kita buat sebuah persembahan nirwana hati yang putih, indah tak bernoda, kan kupakai gaun jingga pemberianmu, yang menjadi selimut sutra tubuhku yang dahaga…”
”Menjaring kekangan di tepian cakrawala, duduk di sutra langit yang terhampar, di belantar ruap yang bangun pura.”
Laras nampak girang, lega, ketika muncul jawaban dewa_malam, yang ternyata online, invisible. Jemarinya makin berenergi meraba huruf demi huruf keyboard PC-nya.
”Hingga aku klimaks pada puncak batas, aku tak tahu bahasa langitmu..terlalu tinggi buat Peri Kecil, yang tetap berusaha jadi telaga hatimu.”
”Aku sembunyi di balik bukit tubuh, yang terhempar di samudra luas, riak meriak mendawai senja, temaram rebah dalam pelukan bulan, menyatu dalam syair birahi, larut dan hilang.
”Ketika kau telah sentuh begitu dahsyat, Peri Kecilmu tak bisa berbuat”
”Sihir pesona tubuh, meradang, memerah bibir, meraih tubuh, mencipta aku dalam bayangan suci terhenti, mengaum, menindih, mencengkeram, dan terkulai
”Belai aku dg syair-syair romanmu yg dalam, peluk aku dalam remang rembulan, ajak aku berdansa dalam roman surgamu…aku lelah menulis orang lain…kali ini syahkan kita menulis tentang dera hati kita…syahkan percintaan nyata kita…tak dalam kembara maya yang hanya lamun khayal semata…kita buang sosok-sosok imajiner kita..saatnya kita bertarung dengan nyata raga, berani bercinta kembali!”
”Why silent?” kusambung sapaku lagi.
”Aku mati kata dan terantuk batu, mendengar syair-syairmu, kataku hilang begitu saja, nggak banyak kata-kata lagi…selain, L A K U K A N!”
”When?”
”Tiga hari lagi, senja menjelang maghrib, ku telah tiba pada pijakan bumimu.”
”Saat penampakan kau dan aku yang sebenarnya…kita akhiri ujaran-ujaran maya ini, buat memulai raba raga nyata..dengan makna cinta yang ada. Kutunggu sambutmu, sungguh.”
”Namun satu pintaku, jangan akhiri kolaborasi cerita ini dengan sebuah kepahitan. Meski selalu katamu…kepahitan, kepedihan itu adalah bagian dari sebuah realita hidup..cinta adalah luka…namun, tak bisakah kita tulis skenario ini dengan indah berbuah senyum?”
Larasati tak bisa menjawab ujaran Dewa Malam kali ini, terpaku diam, entah apa yang menjadi cerca pikirnya malam itu…***
TERHELA NYATA
Sebuah keberanian berkomitmen, tiba saat gelisahkan hati Larasati. Namun satu sisi hatinya, mengiyakannya.
Kembali terngiang wejangan alm. Ibunya,”Sampai kapan kamu bercinta di dunia maya? Tak ada ujungnya Laras, hadapi dengan nyata cinta itu. Berkomitmenlah dengan cinta yang sesungguhnya, kubur semua trauma yang bisa menyakitkanmu setiap saat. Sakitmu karena Diandra, tak harus membuatmu terus melukai diri sendiri, dengan sembunyi. Siapapun pujaanmu itu, ajaklah untuk bertemu…”
Dalam kesenyapan hati, sendiri mendiami rumah joglo yang begitu besar, akhir-akhir ini menjadi alasan kuat Laras untuk mendobrak kelambu-kelambu hitam yang sering membutakan hatinya untuk menguraikannya, melihat matahari menerangi rumah hatinya.
Baginya, telah cukup pertapaan semu ini, meski telah lahir beberapa buku dari kesenyapan hatinya selama ini. Namun saat ini, dia benar-benar ingin menjadi wanita seutuhnya, bercinta kembali, menikmati hidup dalam hangat dekap seorang lelaki sejati. Yang selama ini hanya ada dalam sosok-sosok imajiner novel-novelnya.
”Bangun Laras! Buang impian kamu tentang dia. Elang Lazuardi itu tak pernah ada! Dia hanya ada dalam bumi mayamu! Kamu harus keluar dari rumah gelapmu. Khayalanmu telah melewati batas nadirmu sebagai manusia normal…”
Dia ingat kembali kalimat-kalimat terakhir Jingga…dan tak terasa matanya yang telah lama kering, basah…Larasati menangisi kepergian orang-orang yang dicintainya…ibu, Jingga, Diandra?
Ah! Nggak! Nama terakhir itu tak boleh kutangisi kepergiannya! Go to hell! Namun air matanya makin deras membasahi ranum pipinya, menggenangi dua lesung pipi kanan kirinya. Menangisi sebuah kebodohan! Batinnya.
Tiba-tiba terdengar…wahai cintaku, andaikan kau tahu, bahwa sekali hidupku, hanya untuk mencintaimu, selamanya di hati…selamanya dalam hidupku…Mati Bersamamu-nya Bebi Romeo. Nada panggil Dewa Malam.
Segera Laras menghapus air matanya, diambilnnya HP dari dalam tas ransel hitamnya.
”Peri kecil, aku landing. Dimana posisi kamu? Ok, aku ke sana. Jangan ada getar berlebih karena sua awal ini…”
Tiba-tiba gemuruh riak dalam hati Larasati menjadi ombak besar yang terus menggulung paru-parunya, menyesakkan dadanya. Dia terus menghela nafas panjang.
Sebuah langkah berani, berkomitmen tanpa saling mengenal raga dan wajah! Gila! Sebuah gambling yang terlalu berani, mungkin...entah...begitu batinnya selama ini.
Tak terasa Larasati telah meneguk dua gelas orange juice, namun, minuman dingin itu, tetap tak kuasa mengusir keringat yang terus mengucur dari dahinya. Tissue di atas meja Nirwana Café bandara Juanda-pun, tak kuasa untuk menampik buliran-buliran hangat yang terus muncul di wajahnya.
”Duh! Lama banget ya? 60 menit berlalu, tak muncul jua…paling lama 20 menit telah sampai ke sini..” rutuknya.
Lalu ditelponnya Dewa Malam. Hingga 3 kali, hanya terdengar…. Tuhan Kau tahu, cintaku, tlah jatuh kepadanya, hati dan juga hidupku, tlah kuserahkan kepadanya…kembali penggalan syair Tuhan Kau Tahu-nya Ari Lasso.
”Shitt! You lie me! I hate you!
Tiba-tiba matanya basah, menangisi kebodohannya kali ini. Segera dia membayar bill café, dan keluar café secepatnya. Setengah berlari memanggil taxi.
”Peri kecil…”
Lambaian tangan kiri Larasati untuk menghentikan taxi, tiba-tiba ditangkap jemari kanan lelaki tegap berambut ikal sebahu, yang telah berdiri di samping kanan Larasati.
Setengah terperangah, Laras menoleh, menatap tajam wajah lelaki yang menangkup jemari tangan kirinya, tak kuasa dia melepas jemari tangannya, karena genggaman lelaki itu makin kuat.
Lirih, Larasati membuka bibirnya, berucap,” Dewa malam…”
”Dia seperti Elang Lazuardi-ku Tuhan…” batinnya.
”Kita bicarakan semua kenyataan yang tak pernah terbayang sebelumnya ini…”
Kalimat Dewa Malam, menghentikan lamunan sesaat Larasati. Sambil berjalan, terus memegang erat tangan Peri Kecil, Dewa Malam mengajaknya memasuki Nirwana café. Mereka duduk di sudut kanan café.
Senja yang makin merubung, membuat nyala lilin di meja kayu itu makin nampak terang berpijar.
Dewa Malam menatap tajam mata kejora Larasati, yang masih terpana dengan penampakan raga Dewa Malam. Dia begitu merasa, bertemu dengan sosok imajiner-nya sendiri.
”Aku tahu kalutmu, setelah 1 jam tepat, menungguku…”
Jemari tangan kiri Dewa menambah erat genggaman jemari kanannya menangkup jemari tangan kiri Laras yang terasa makin dingin.
”Jujur, aku telah 40 menit menatapmu dari luar jendela café…aku begitu terkejut, berkali-kali kupelototkan mataku menatapmu, tak percaya Peri Kecilku adalah kamu…”
”Kenapa?”
”Jujur, wajahmu mirip sekali dengan dia…”
”Ah..klise sekali!” tiba-tiba mendidih darah Larasati, terasa ada sesuatu yang membuatnya illfeel dengan kalimat-kalimat Dewa Malam barusan.
”Yakinilah, jujur… Kamu mirip sekali dengan dia, yang telah 3 tahun ini meninggalkanku…”
”Dewa…buat apa berlama-lama dengan imaji-mu? Masa lalumukah yang kau buat persembahan raga kita? Agar aku yakini cintamu? Kamu salah! Aku tak pernah mau dalam baying-bayang masamu! Apapun alasan kamu! Kita sudahi semua cerita konyol ini!”
Dewa semakin tajam menatap mata kejora Larasati. Kali ini, dia begitu nampak serius.
”Dengar Peri Kecil! Dia pergi karena suratan takdir! Dia berada di surga yang sebenarnya, karena dia meninggal dalam sebuah kecelakaan bersama ibunya…dan bersama benih cinta kami di dalam rahimnya…”
Nampak berkaca bening, mata elang Dewa Malam. Dan Larasati begitu merah matanya, tajam menatap mata lelaki yang telah jujur berujar tentang kisahnya. Hatinya mulai bisa meraba siapa Dewa Malam.
”Jadi…kamu Hans?”
Dewa Malam menggangguk, tanpa melepas pandang matanya ke wajah Laras yang makin nampak memerah.
”Ya Tuhan!”
”Kamu mirip sekali dengan Jingga…”
”Jingga tak pernah bercerita tentangmu…tiga hari menjelang peristiwa itu, dia menulis email ke aku, cerita romannya denganmu. Aku memutuskan pergi dari Surabaya, setelah Diandra meninggalkanku begitu saja, aku ingin mengubur semua ceritaku dengan lelaki brengsek itu di Surabaya.”
Sejenak Larasati berhenti bicara, ketika seorang waitress perempuan menyodorkan datfar menu.
”Minum apa kamu Peri? Air jeruk kesukaanmu?”
Larasati menggelengkan kepala, sambil menghela panjang nafasnya.
”Ok, nanti saja mbak…terima kasih.”
Setelah waitress café pergi meninggalkan meja mereka, Larasati melanjutkan ujarannya.
”Bagiku saat itu, Surabaya adalah neraka jahanam… Surabaya kembali menjadi bumi bagiku, setelah orang-orang yang kucintai, yang kutinggalkan selama 3 tahun, telah pergi dengan cintanya buatku. Ibu dan Jingga, menyusulku, menjemputku di tempat pengasinganku, tempat aku begitu larut dengan sosok-sosok imajiner-ku, yang kupikir, begitu tulus memiliki cinta buatku. Ibu dan Jingga begitu mencemaskan aku, karena banyak yang telah menganggapku gila, meski novel-novelku banyak yang menjadi best seller, aku terus hidden, mencintai kesenyapanku di sebuah pondok… lari dari kenyataan pahitnya cinta. Aku tak lebih dari seorang perempuan bodoh! Dosaku terbesar pada Ibu dan Jingga. Hingga maut menjemput mereka hanya sesaat, 10 menit, sebelum mereka menemuiku…untuk menjemput dan memberi tahuku tentang rencana pernikahan kalian.”
”Tapi, kenapa Jingga tak pernah bercerita tentangmu?”
”Sama. Diapun tak pernah bercerita tentangmu…dia tak ingin saudara kembarnya makin nelangsa, dengan tahu kisah roman apiknya denganmu, karena patah hati yang telah membelenggu hidupku selama ini. Aku salah, begitu mengkultuskan cintaku pada Diandra..”
”Sudahlah Peri…”
”Hans, kini kau tahu siapa Peri Kecilmu. Aku tak ingin cintamu jatuh, karena bayang-bayang Jingga, Bidadari Pelangi-mu…”
Hans, menggelengkan kepalanya, menyibakkan ikal rambut yang menutupi sebagian wajahnya.
”Bukankah, Dewa Malam menjatuhkan cintanya pada Peri Kecil, ketika belum tahu raga, wajah Peri Kecil itu? Kita bercinta karena syair roman maya, tanpa tersekat nyata raga mulanya. Dan bagiku, itu sebuah keindahan nirwana cinta yang sebenarnya. Aku tulus memilikinya buatmu Peri Kecilku. Harusnya kamu yakini itu, karena aku telah kubur namaku, Ksatria Malam, buat Bidadari Pelangi, yang nyata telah hilang dari kehidupanku, meski dia dulu pernah singgah begitu dalam, menelusupi ruang hatiku. Tapi itu harus kuakui, hanya masa lalu, yang harus segera kututup, tak perlu kubuka kembali, jika itu membuatku sakit.”
Larasati tak kuasa menatap tatapan tajam Hans, dia buang mukanya, memandangi pesawat yang landing di hamparan lantai beton di depan jendela café.
Burung besi yang telah memiliki masa yang tepat, buat mendaratkan tubuh, roda, dan sayap-sayapnya, ke sebuah landasan yang kuat. Karena dia tak ingin nyawa-nyawa yang terhela di dalam tubuhnya, hilang sia-sia karena salah landasan.
Begitupun hati Laras, mulai menemukan landasannya. Bisa menerima realita cintanya sebagai sang Peri Kecil dengan Hans, sang Dewa Malamnya.
“Inikah cintaku yang sesungguhnya Tuhan? Cintaku pada orang-orang yang mencintaiku dengan tulus? Ibu, Jingga, dan Hans? Maafkan aku Jingga, jika ternyata cintaku jatuh pada Ksatria Malam yang dulu pernah kau miliki…Tuhan, berilah surgamu, buat Jingga yang telah berkorban buatku…” batin Larasati.
Kembali buliran air bening keluar dari mata kejoranya. Jemari kanan Hans, mengusapnya pelan, namun Laras segera menampiknya.
”Biarkan air mata ini keluar Hans…aku ingin menangis buat Jingga. Dia telah berkorban buat cinta kita…persembahan nirwana itu buatnya Hans…”
Hans, memeluk erat Laras, dibiarkannya air mata Laras menghangati dadanya.
”Saat tepat kau tumpahkan semua air mata itu untuk menghangatkan senyap dadaku setelah kepergian Jingga… Bagiku, saat ini dan esok, kaulah Peri Kecilku, cinta nyata dalam hidupku. Jingga adalah seseorang yang membawa cintanya buat kita dalam keabadian nirwana cinta. Kita sama-sama memiliki cinta buatnya.”
Aku menangis mengenangmu…sgala tentangmu ku memanggilmu dalam hati ini...ku memanggilmu dalam hati ini..ku kenang dirimu…Lirih-nya Ari Lasso mengakhiri drama indah Peri Kecil dan Dewa Malam dalam temaram Nirwana café.
Larasati telah menemukan Elang Lazuardi yang sesungguhnya, sosok khayalannya itu, kini ada di hadapannya, memeluknya nyata. Dalam wujud seorang Hans, Dewa Malamnya, Ksatria Malam milik Jingga.
Tulisan hatinya malam itu, begini…Cinta sejati tak pernah terkuak oleh siapapun, hingga kapanpun, karena, cinta sejati tetap abadi menjadi rahasia Dia! Sang Maha Pecinta! Penulis Eksotik Maha Terbaik!
----
Rumah Putih, awal bulan ke tujuh 07, mengenangmu buat persembahan nirwana cinta,
sebuah energi dari dewa malam..
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Khoirul Anam
A Qorib Hidayatullah
A Rodhi Murtadho
A. Yusrianto Elga
A. Zakky Zulhazmi
A.S. Laksana
Aang Fatihul Islam
Aba Mardjani
Abd. Mun’im
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Gaffar Ruskhan
Abdul Hadi W. M.
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Malik
Abdul Muis
Abdul Wachid BS
Abdullah Khusairi
Abidah El Khalieqy
Abimardha Kurniawan
Abroorza A. Yusra
Abu Salman
Acep Iwan Saidi
Achmad Farid Tuasikal
Adek Alwi
Adi Marsiela
Adian Husaini
Adib Muttaqin Asfar
Adji Subela
Afandi Sido
Afriza Hanifa
Afrizal Malna
Ageng Wuri R. A.
Ags. Arya Dipayana
Aguk Irawan M.N.
Agus B. Harianto
Agus Bing
Agus Noor
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Sri Danardana
Agus Sulton
Agus Sunyoto
Agus Wibowo
Agus Wirawan
Agusri Junaidi
AH J Khuzaini
Ahda Imran
Ahid Hidayat
Ahm Soleh
Ahmad Asyhar
Ahmad Farid Yahya
Ahmad Fuadi
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Musthofa Haroen
Ahmad Rofiq
Ahmad Suhendra
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Aini Aviena Violeta
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Muhaimin Azzet
Akhmad Sekhu
Al Azhar Riau
Al-Fairish
Alex R. Nainggolan
Alexander G.B.
Alfian Zainal
Aliansyah
Alimuddin
Almania Rohmah
Alunk Estohank
Amien Kamil
Amien Wangsitalaja
Anata Siregar
Andi Sutisno
Andy Riza Hidayat
Anies Baswedan
Anindita S Thayf
Anis Ceha
Anis Faridatur Rofiah
Anjrah Lelono Broto
Anna Subekti
Anton Kurnia
Ari Hidayat
Ari Kristianawati
Arie MP Tamba
Arief Junianto
Aris Kurniawan
Arti Bumi Intaran
Arul Arista
AS Sumbawi
Asarpin
Asep Sambodja
Atiqurrahman
Awalludin GD Mualif
Ayu Purwaningsih
Babe Derwan
Bakdi Soemanto
Balada
Bale Aksara
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Bayu Dwi Mardana
Bellanissa Zoditama
Beni Setia
Benny Arnas
Beno Siang Pamungkas
Berita
Berita Duka
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Bokor Hutasuhut
Brunel University London
BSW Adjikoesoemo
Budaya
Budhi Setyawan
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budiawan Dwi Santoso
Bur Rasuanto
Burhanuddin Bella
Bustan Basir Maras
Catatan
Catullus
CB. Ismulyadi
Cerbung
Cerita Rakyat
Cerpen
Chavchay Syaifullah
Cikie Wahab
Cunong Nunuk Suraja
D Zawawi Imron
Dad Murniah
Dadang Ari Murtono
Dahlia Rasyad
Damhuri Muhammad
Damiri Mahmud
Danarto
Daniel Paranamesa
Darju Prasetya
Darman Djamaluddin
Darman Moenir
Dasman Djamaluddin
David Krisna Alka
Dea Anugrah
Dedy Tri Riyadi
Denny JA
Denny Mizhar
Desi Sommalia Gustina
Dewi Anggraeni
Dharma Setyawan
Dian Hartati
Didi Arsandi
Dina Oktaviani
Dipo Handoko
Djenar Maesa Ayu
Djoko Pitono
Doddi Ahmad Fauji
Doddy Hidayatullah
Dodi Chandra
Dodiek Adyttya Dwiwanto
Dody Kristianto
Donny Anggoro
Dony P. Herwanto
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Klik Santosa
Dwi Pranoto
Dwicipta
Edy A Effendi
Edy Firmansyah
Eka Budianta
Eka Fendri Putra
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Ellyzan Katan
Elnisya Mahendra
Emha Ainun Nadjib
Endah Imawati
Eni Suryanti
Eny Rose
Eriyandi Budiman
Eriyanti
Erwin Edhi Prasetya
Erwin Setia
Esai
Evan Ys
Evi Idawati
F Rahardi
Fadly Rahman
Fahrudin Nasrulloh
Faizah Sirajuddin
Faizal Syahreza
Fajar Alayubi
Fakhrunnas M.A. Jabbar
Fanny Chotimah
Fariz al-Nizar
Fariz Alneizar
Faruk HT
Fatah Anshori
Fatah Yasin Noor
Fathurrahman Karyadi
Fatimah Wahyu Sundari
Fauzan Santa
Fazabinal Alim
Festival Sastra Gresik
Fikri MS
Fiksi Mini
Fransisca Dewi Ria Utari
Franz Kafka
Fuad Anshori
Furqon Abdi
Fuska Sani Evani
Gendhotwukir
Gendut Riyanto
Gerson Poyk
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Gola Gong
Grathia Pitaloka
Gregorio Lopez y’ Fuentes
Gugun El-Guyanie
Gunawan Budi Susanto
Gus Noy
H.H. Tokoro
Hadi Napster
Hamberan Syahbana
Hamdy Salad
Hamsad Rangkuti
Han Gagas
Hang Kafrawi
Hani Pudjiarti
Hanna Fransisca
Hardi Hamzah
Hardjono WS
Haris del Hakim
Haris Priyatna
Harris Maulana
Hary B. Kori'un
Hasan Al Banna
Hasan Junus
Hasbullah Said
Hasnan Bachtiar
HE. Benyamine
Heidi Arbuckle
Helmi Y Haska
Helvy Tiana Rosa
Hendra Junaedi
Hendri Nova
Herdoni Syafriansyah
Heri Kurniawan
Heri Latief
Heri Ruslan
Herman RN
Hermawan Aksan
Hermien Y. Kleden
Herry Lamongan
Holy Adib
Humaidiy AS
Husni Anshori
I Nyoman Darma Putra
I Nyoman Tingkat
I Wayan Artika
Ibnu Wahyudi
Ida Farida
Ignas Kleden
Ilham Khoiri
Imam Cahyono
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Tohari
Indra Tranggono
Indrian Koto
Irwan Kelana
Isbedy Stiawan Z.S.
Iskandar Noe
Isma Swastiningrum
Ismi Wahid
Iwan Gardono Sujatmiko
Iwan Gunadi
Iwan Kurniawan
Iwan Nurdaya Djafar
Iwank
J.S. Badudu
Janoary M Wibowo
Javed Paul Syatha
JILFest 2008
JJ. Kusni
Jodhi Yudono
Joko Novianto Bp
Joko Pinurbo
Jones Gultom
Jual Buku Paket Hemat
Jusuf AN
Kadek Suartaya
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kasnadi
Kedung Darma Romansha
Kenedi Nurhan
Khaerudin Kurniawan
Khaerul Anwar
Ki Sugito Ha Es
Kirana Kejora
Komunitas Deo Gratias
Korrie Layun Rampan
Kritik Sastra
Kunthi Hastorini
Kuntowijoyo
Kurie Suditomo
Kurnia Effendi
Kurniawan
Kuswinarto
La Ode Rabbani
Lathifa Akmaliyah
Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember
Leon Agusta
Lily Siti Multatuliana
Lily Yulianti Farid
Lina Kelana
Liza Wahyuninto
Lona Olavia
Lugiena Dé
M Fadjroel Rachman
M Farid W Makkulau
M Syakir
M. Dawam Rahardjo
M. Faizi
M. Mustafied
M. Raudah Jambak
M. Taufan Musonip
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
M.Th. Krishdiana Putri
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Maklumat Sastra Profetik
Malkan Junaidi
Maman S. Mahayana
Mangun Kuncoro
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria D. Andriana
Maria Magdalena Bhoernomo
Mariana Amiruddin
Maryati
Marzuzak SY
Mashuri
Maulana Syamsuri
Media: Crayon on Paper
Mega Vristian
MG. Sungatno
Misbahus Surur
Mofik el-abrar
Moh. Amir Sutaarga
Moh. Ghufron Cholid
Mohammad Hatta
Mohammad Kh. Azad
Mohammad Takdir Ilahi
Much. Khoiri
Muhamad Taslim Dalma
Muhammad Rain
Muhammad Subhan
Muhammad Yasir
Muhammadun A.S
Muhidin M Dahlan
Mujtahid
Mulyawan Karim
Musa Ismail
Musfi Efrizal
Mustafa Ismail
Mustofa W Hasyim
N Teguh Prasetyo
N. Mursidi
Nadhi Kiara Zifen
Nana Riskhi Susanti
Nanang Suryadi
Naskah Teater
Nasrulloh Habibi
Neva Tuhella
Nietzsche
Nirwan Dewanto
Nizar Qabbani
Noor H. Dee
Nova Christina
Novelet
Nunung Nurdiah
Nur Wachid
Nurani Soyomukti
Nurel Javissyarqi
Nurman Hartono
Nuryana Asmaudi
Nyoman Tusthi Eddy
Obrolan
Oky Sanjaya
Oyos Saroso HN
P Ari Subagyo
Pagelaran Musim Tandur
Pamusuk Eneste
Panji Satrio
PDS H.B. Jassin
Penerbit dan Toko Buku PUstaka puJAngga
Pipiet Senja
Pramoedya Ananta Toer
Pringadi AS
Pringgo HR
Prosa
Puisi
Puji Santosa
Purnawan Andra
PUstaka puJAngga
Putu Fajar Arcana
Putu Satria Kusuma
Putu Wijaya
R Masri Sareb Putra
R. Adhi Kusumaputra
R. Timur Budi Raja
R.N. Bayu Aji
Radhar Panca Dahana
Ragdi F. Daye
Rahmi Hattani
Raja Ali Haji
Raju Febrian
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Rama Dira J
Rama Prabu
Ramadhan KH
Ramon Magsaysay
Ramses Ohee
Ratih Kumala
Raudal Tanjung Banua
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Resensi
Ressa Novita
Ressa Sagitariana Putri
Ria Ristiana Dewi
Rialita Fithra Asmara
Ribut Wijoto
Rida K Liamsi
Rifka Sibarani
Rilda A. Oe. Taneko
Rilda A.Oe. Taneko
Rimbun Natamarga
Rinto Andriono
Risang Anom Pujayanto
Rita Zahara
Riyon Fidwar
Robin Al Kautsar
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rohman Budijanto
Rukardi
S Yoga
S. Jai
S. Takdir Alisyahbana
S.W. Teofani
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Sajak
Sajak Sebatang Lisong
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Salman S. Yoga
Salyaputra
Samson Rambah Pasir
Samsudin Adlawi
Sanie B. Kuncoro
Santy Novaria
Sapardi Djoko Damono
Sarabunis Mubarok
Sartika Dian Nuraini
Sasti Gotama
Sastra Nusantara
Satmoko Budi Santoso
Satriani
Saut Poltak Tambunan
Saut Situmorang
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
Selasih
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Shadiqin Sudirman
Shiny.ane el’poesya
Shourisha Arashi
Sidik Nugroho
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sindu Putra
Siska Afriani
Siti Sa’adah
Sitok Srengenge
Siwi Dwi Saputro
Slamet Samsoerizal
Sobih Adnan
Sofyan RH. Zaid
Solihin
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sony Wibisono
Sosiawan Leak
Sri Wintala Achmad
Sri Wulan Rujiati Mulyadi
Stevani Elisabeth
Suci Ayu Latifah
Sucipto Hadi Purnomo
Sudarmoko
Sudirman HN
Suhadi Mukhan
Suharsono
Sukar
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Sunudyantoro
Supriyadi
Suriani
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Sutan Iwan Soekri Munaf
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Syahruddin El-Fikri
Syaripudin Zuhri
Syifa Aulia
Syu’bah Asa
T.A. Sakti
Tammalele
Tan Lioe Ie
Tasyriq Hifzhillah
Taufik Abdullah
Taufik Effendi Aria
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Wr. Hidayat
TE. Priyono
Teguh Winarsho AS
Tenas Effendy
Tengsoe Tjahjono
Thayeb Loh Angen
Theresia Purbandini
Tia Setiadi
Tias Tatanka
Tito Sianipar
Tjahjono EP
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Tjut Zakiyah Anshari
Topik Mulyana
Tosa Poetra
Tri Harun Syafii
TS Pinang
Tu-ngang Iskandar
Udo Z. Karzi
Uly Giznawati
Umar Fauzi Ballah
Umbu Landu Paranggi
Umi Kulsum
Uniawati
Universitas Indonesia
Usman Arrumy
Usman D.Ganggang
Utada Kamaru
UU Hamidy
Viddy AD Daery
W.S. Rendra
Wa Ode Wulan Ratna
Wahib Muthalib
Wahyudi Akmaliah Muhammad
Wardjito Soeharso
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Sunarta
Weli Meinindartato
Wicaksono
Widodo DS
Wina Karnie
Wisran Hadi
Wong Wing King
Yan Maniani
Yanti Mulatsih
Yanuar Arifin
Yasser Arafat
Yaumu Roikha
Yetti A. KA
Yohanes Padmo Adi Nugroho
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yudhi Ms
Yudhistira ANM Massardi
Yulianna
Yurnaldi
Yusi A. Pareanom
Yusi Avianto Pareanom
Yusri Fajar
Yusrizal KW
Yuyun Ifa Naliah
Zaim Rofiqi
Zainal Arifin Thoha
Zakki Amali
Zakky Zulhazmi
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zelfeni Wimra
Zuarman Ahmad
Zulfikar Akbar
Tidak ada komentar:
Posting Komentar