Kamis, 14 Agustus 2008

PERNIKAHAN DUA BULAN

Haris del Hakim

Purwani menjatuhkan dua butir jagung di atas tanah yang telah di-cebloki. Angin sawah musim kemarau yang panas menembus kain bajunya. Keringat menetes dari dahinya. Kulitnya yang sawo matang tampak semakin gelap mendapatkan sinar pantulan dari tanah yang coklat. Sementara itu, suaminya terus menjatuhkan batang kayu yang berfungsi untuk membuat lubang di atas tanah. Pandangan matanya terus ke bawah.

Mereka menikah dua bulan yang lalu. Bagi mereka bulan madu hanya berumur seminggu dan selebihnya adalah kembali bekerja, memeras keringat untuk mencukupi kebutuhan mereka sendiri. Tidak ada yang luar biasa dalam pernikahan. Seperti sendawa. Nafas berhenti sejenak kemudian mengalir kembali.

Sejak pagi mereka telah bekerja dan baru separuh lahan yang tertanami. Mereka seperti sengaja menentang panasnya matahari dan menakar kekuatan kulit kakinya. Kaki-kaki mereka yang telanjang terus melangkah.

“Ndalu, aku lelah,” ujar Purwani menyeka keringat di dahinya.
Pandalu menoleh ke belakang dan melihat keringat yang berjatuhan dari dahi istrinya. “Istirahatlah!”

“Tapi, kita belum selesai menaburkan benih ini.”
“Istirahatlah sebentar dan nanti lanjutkan kembali. Biarkan aku nyebloki guludan ini sampai selesai dan kubantu menanam.”

Purwani memberi tanda batas tanah yang telah ditanaminya dengan tonggak jagung yang masih tersisa dari panen sebelumnya. Ia melangkah ke pematang, di bawah rimbun pohon pisang. Didudukkannya tubuhnya yang ramping. Ia memandang suaminya, mengikuti irama langkah kaki dan batang ceblok yang jatuh. Satu dua. Satu dua.

Perempuan muda itu pun membuka kain penutup makanan yang dibawanya dari rumah. “Ndalu, kita makan dulu,” teriaknya.

Pandalu menjawab dengan pandangan yang terus ke bawah, seakan takut jatuhnya kayu di genggaman tangannya tidak tepat di atas kowakan. Sedangkan istrinya telah memasukkan nasi jagung ke dalam mulutnya. Sayur lodeh dan ikan asin terasa nikmat di mulutnya, apalagi angin yang berubah semilir begitu bersentuhan dengan pepohonan pisang.

Beberapa saat kemudian, Pandalu merasa lelah dan menyusul istrinya untuk istirahat. Ia beranjak ke tempat istrinya. Dibiarkan saja istrinya yang bersandar di batang pohon pisang. Ia pandangi wajah manis yang dipujanya sejak setahun lalu. Masa-masa bunga bersemi ketika jatuh cinta telah menjelma keberanian dan membuat mereka harus menjalani kenyataan. Kehidupan suami istri seperti penyerbukan putik dan kembangsari yang dihembus oleh angin. Terkadang hanya sejumput yang didapatkan dan berbuah bogang, namun tidak ada yang berharap seperti itu. Semua petani berharap bahwa tanamannya harus tumbuh dengan subur dan berisi.

Pandalu tidak mau membangunkan istrinya. Ia membuka sendiri kain penutup makanan dan mulai memasukkan nasi jagung itu ke mulutnya. Decak-decak pelan terdengar, mengiringi gerakan bibirnya yang terbuka saat melahap makanan.

Nasi jagung dalam bakul itu pun tinggal separuh. Ia mengakhiri makan dan matanya mencari-cari botol air minum kemasan yang telah diisi dengan air tanakan istrinya. Ia bersedah-sedah merasakan pedas sayur lodeh.

Ia bertanya pada istrinya, “Wan, di mana minumnya.”
Purwani tidak memberikan jawaban. Angin yang berhembus seperti membuatnya semakin menikmati keadaannya. Pandalu coba berdiri dan melengok ke sana kemari, mencari air. Tetapi, air yang dicarinya seakan sengaja sembunyi begitu tahu ia diperlukan.

“Wan, di mana air minumnya,” tanya Pandalu kembali.
Tetapi, tetap saja tidak ada jawaban. Pandalu coba menyentuh tangan istrinya. Lemas. Perempuan yang dicintainya tidak memberikan tanggapan apa pun. Dingin. Pandalu coba menggoyang bahu istrinya dengan tangan kiri, tapi perempuan itu tidak juga membuka matanya. Pandalu semakin gelisah. Ia letakkan piring ke tanah kemudian membersihkan tangannya yang kotor dengan mengusapkan ke batang pohon pisang.

Lelaki berkulit coklat itu menggoyang-goyang tubuh istrinya lebih kuat dengan kedua tangannya. Perempuan itu belum juga bergeming. Benak Pandalu penuh dengan bayangan-bayangan yang menakutkan. Perpisahan sepanajng kehidupan yang akan dijalaninya. Betapa menyakitkan. Putik akan terbang sesuka hati menuruti ke mana arah angin, tanpa keyakinan sebonggol jagung yang ranum setia menunggunya. Pandalu meraba hidung istrinya, mencari udara yang keluar masuk sebagai tanda kehidupan. Aliran udara itu begitu lemah, seperti angin yang terhadang rerimbun dedaunan.

“Wan, bangun!” jerit Pandalu.
Seperti isyarat yang diterimanya begitu saja, ia mendekap tubuh istrinya. Tetes air mata mulai membasahi kelopak matanya dan jatuh ke dada istrinya. Tetesan itu semakin lama kian deras dan tidak terbendung lagi. Tangis yang perlahan berubah menjadi sesenggukan.

“Wan, bangun!”
Entah kepada siapa kata itu ditujukan. Sebujur tubuh yang didekapnya benar-benar tidak menghirup udara. Perempuan yang bersedia setia menjadi istrinya hanya menjadi tubuh yang lemas dan perlahan mulai memucat. Burung kutilang yang berkicau seakan telah menyanyikan lagu duka.

“Wani, mengapa kamu tinggalkan aku sendirian.”
Gairah yang semula penuh gelisah dan cemas telah berubah menjadi ratapan. Ia hendak mengutuk waktu yang tidak mau bersekutu dengannya untuk menikmati kebahagiaan. Seperti masih tidak percaya, ia memandang wajah istrinya. Bibir coklat tua itu tersenyum dan mengenangkan kalimat yang pernah dikatakannya saat mereka berjanji untuk mengikat kasih cinta.

“Wani, kamu harus berjanji untuk tidak menangis. Walau seberat apa pun cobaan yang akan menghadang kita, kita harus tersenyum.”

Dan perempuan yang berada di dekapannya itu yang memberikan jawaban, “Ya, kamu juga tidak boleh meneteskan air mata atas apa pun yang menimpa kita.”

Saat kembang cinta bersemi tentu jauh dari musim gugur. Ia mencubit pipi istrinya dan berkata, “Tidak! Aku tidak akan menangis, karena yang kupuja telah kutanam dalam hatiku.”

Kemudian mereka tertawa bersama.
Pandalu tersenyum getir. Betapa pahit rasanya menahan air mata dari dada yang bergemuruh. “Aku tidak akan menangis, Wani.”

Ladang-ladang senyap tanpa manusia. Panas matahari telah menyuruh petani-petani tua yang mudah lelah agar segera pulang. Petani-petani muda hanyalah nama yang tidak dapat membuat seseorang bangga kepada temannya. Lagipula, tanah-tanah sudah tidak berharga dan mendapatkan air mesti bersusah payah dengan biaya yang tidak sedikit, sementara panen bukan harapan yang menyenangkan. Hanya keyakinan bahwa alam pun tidak sudi hanya sekedar sebagai tempat berpijak bagi cakar-cakar beton, yang membuat Pandalu dan Purwani mempertaruhkan hidupnya. Hanya kekuatan cinta yang mengajari mereka cara menanam dengan indah, seperti pula tanaman yang mengajari mereka cinta yang tulus.

Pandalu membujurkan tubuh istrinya. Disedekapkannya kedua belah tangan. Matanya terjenak pada butir-butir kecil warna merah di sela jari tangan kanan istrinya. Ia menatap tidak percaya dengan mendekatkan tangan itu lekat ke depan matanya. Nafasnya begitu berat ditarik dan dihembuskan. Setets air matanya jatuh dan selagi masih mengalir di pipinya segera diseka dengan bahunya yang hitam kekar.

“Mengapa kamu tidak mencuci tanganmu, Wan?” bisik lirih Pandalu. “Benarkah perutmu sudah sangat lapar, sehingga kamu lupa racun itu akan membunuhmu perlahan-lahan?”

Ia seperti berbicara pada angin dan tak pernah ada jawaban. Ia menyesal, mengapa tidak menyuruh istrinya untuk mencuci tangan, karena fungisida yang ditaburkan pada benih jagung bukan hanya untuk membunuh tikus, namun juga makhluk hidup. Perlahan-lahan sekali.

Sekali lagi tidak boleh ada air mata yang menetes, sepahit apa pun kenyataan yang harus dijalani.

Pandalu menyedekapkan tangan istrinya dan menutupinya dengan sarung. Tubuh itu telah bersentuhan erat dengan tanah dan ia di ambang bimbang antara menunggu hingga seseorang datang dan memberitahukan kematian istrinya ke rumah atau pulang dan membiarkan tubuh istrinya dirayapi oleh semut-semut.

“Aku akan setia di sini sampai senja sekalipun, sebab aku percaya petani pun setia mengunjungi ladangnya di waktu senja.”

Ia duduk di samping istrinya, tepat di sebelah kanan kepalanya. Doa-doa dilantunkan. Mohon ampun dipanjatkan. Segala khilaf kiranya lumrah. Manusia tidak lebih sehelai rambut yang kerap goyah dihembus angin.

Sekali lagi tidak boleh ada air mata yang menetes, sepahit apa pun kenyataan yang harus dijalani. Apalah doa bila hanya ratapan.

Pandalu bergegas meninggalkan istrinya kemudian mengambil wadah benih dan melanjutkan sampai di mana istrinya tadi menanam. Batinnya terbentang lapang seluas padang Kurusetra, medan pertempuran Pandawa dan Kurawa. Dia bukan Pandawa atau Kurawa. Dia adalah Kurusetra yang tidak hendak berpihak kepada yang kalah dan menang. Dia hanyalah saksi.

Sebelum genap ia menjatuhkan jagung di atas ceblokan yang dibuatnya, Pandalu menumpahkan bulir benih di wadah dan menimbunnya di dalam tanah. Kemudian ia pergi ke arah istrinya.

“Wani, aku sudah membuang benih beracun itu. Kalau nanti benih yang kamu tanam telah tumbuh, maafkan aku bila harus membabatnya. Bukan karena aku tidak ingin kenangan darimu, tetapi aku tidak mau kematianmu akan disusul oleh kematian-kematian yang lain.”

Pandalu mengangkat tubuh istrinya dan membawanya pulang.
Sekali lagi tidak boleh ada air mata yang menetes, sepahit apa pun kenyataan yang harus dijalani.
--------

Kediri, 29 Agustus 2005
• Ceblok adalah batang kayu yang ujungnya dilancipi dan berfungsi untuk membuat lubang di dalam tanah sebagai tempat taburan benih. Sementara ceblokan adalah lubang yang dihasilkan oleh ceblok.
• Guludan merupakan gundukan tanah di tengah ladang sebagai tempat kowakan, cerungan di atas guludan yang biasanya sebesar cangkul.

Tidak ada komentar:

A Khoirul Anam A Qorib Hidayatullah A Rodhi Murtadho A. Yusrianto Elga A. Zakky Zulhazmi A.S. Laksana Aang Fatihul Islam Aba Mardjani Abd. Mun’im Abdul Aziz Rasjid Abdul Gaffar Ruskhan Abdul Hadi W. M. Abdul Kadir Ibrahim Abdul Malik Abdul Muis Abdul Wachid BS Abdullah Khusairi Abidah El Khalieqy Abimardha Kurniawan Abroorza A. Yusra Abu Salman Acep Iwan Saidi Achmad Farid Tuasikal Adek Alwi Adi Marsiela Adian Husaini Adib Muttaqin Asfar Adji Subela Afandi Sido Afriza Hanifa Afrizal Malna Ageng Wuri R. A. Ags. Arya Dipayana Aguk Irawan M.N. Agus B. Harianto Agus Bing Agus Noor Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sri Danardana Agus Sulton Agus Sunyoto Agus Wibowo Agus Wirawan Agusri Junaidi AH J Khuzaini Ahda Imran Ahid Hidayat Ahm Soleh Ahmad Asyhar Ahmad Farid Yahya Ahmad Fuadi Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musthofa Haroen Ahmad Rofiq Ahmad Suhendra Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Aini Aviena Violeta Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sekhu Al Azhar Riau Al-Fairish Alex R. Nainggolan Alexander G.B. Alfian Zainal Aliansyah Alimuddin Almania Rohmah Alunk Estohank Amien Kamil Amien Wangsitalaja Anata Siregar Andi Sutisno Andy Riza Hidayat Anies Baswedan Anindita S Thayf Anis Ceha Anis Faridatur Rofiah Anjrah Lelono Broto Anna Subekti Anton Kurnia Ari Hidayat Ari Kristianawati Arie MP Tamba Arief Junianto Aris Kurniawan Arti Bumi Intaran Arul Arista AS Sumbawi Asarpin Asep Sambodja Atiqurrahman Awalludin GD Mualif Ayu Purwaningsih Babe Derwan Bakdi Soemanto Balada Bale Aksara Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Bayu Dwi Mardana Bellanissa Zoditama Beni Setia Benny Arnas Beno Siang Pamungkas Berita Berita Duka Bernando J. Sujibto Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Bokor Hutasuhut Brunel University London BSW Adjikoesoemo Budaya Budhi Setyawan Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiawan Dwi Santoso Bur Rasuanto Burhanuddin Bella Bustan Basir Maras Catatan Catullus CB. Ismulyadi Cerbung Cerita Rakyat Cerpen Chavchay Syaifullah Cikie Wahab Cunong Nunuk Suraja D Zawawi Imron Dad Murniah Dadang Ari Murtono Dahlia Rasyad Damhuri Muhammad Damiri Mahmud Danarto Daniel Paranamesa Darju Prasetya Darman Djamaluddin Darman Moenir Dasman Djamaluddin David Krisna Alka Dea Anugrah Dedy Tri Riyadi Denny JA Denny Mizhar Desi Sommalia Gustina Dewi Anggraeni Dharma Setyawan Dian Hartati Didi Arsandi Dina Oktaviani Dipo Handoko Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Doddi Ahmad Fauji Doddy Hidayatullah Dodi Chandra Dodiek Adyttya Dwiwanto Dody Kristianto Donny Anggoro Dony P. Herwanto Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Klik Santosa Dwi Pranoto Dwicipta Edy A Effendi Edy Firmansyah Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Eko Darmoko Ellyzan Katan Elnisya Mahendra Emha Ainun Nadjib Endah Imawati Eni Suryanti Eny Rose Eriyandi Budiman Eriyanti Erwin Edhi Prasetya Erwin Setia Esai Evan Ys Evi Idawati F Rahardi Fadly Rahman Fahrudin Nasrulloh Faizah Sirajuddin Faizal Syahreza Fajar Alayubi Fakhrunnas M.A. Jabbar Fanny Chotimah Fariz al-Nizar Fariz Alneizar Faruk HT Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fathurrahman Karyadi Fatimah Wahyu Sundari Fauzan Santa Fazabinal Alim Festival Sastra Gresik Fikri MS Fiksi Mini Fransisca Dewi Ria Utari Franz Kafka Fuad Anshori Furqon Abdi Fuska Sani Evani Gendhotwukir Gendut Riyanto Gerson Poyk Gita Pratama Goenawan Mohamad Gola Gong Grathia Pitaloka Gregorio Lopez y’ Fuentes Gugun El-Guyanie Gunawan Budi Susanto Gus Noy H.H. Tokoro Hadi Napster Hamberan Syahbana Hamdy Salad Hamsad Rangkuti Han Gagas Hang Kafrawi Hani Pudjiarti Hanna Fransisca Hardi Hamzah Hardjono WS Haris del Hakim Haris Priyatna Harris Maulana Hary B. Kori'un Hasan Al Banna Hasan Junus Hasbullah Said Hasnan Bachtiar HE. Benyamine Heidi Arbuckle Helmi Y Haska Helvy Tiana Rosa Hendra Junaedi Hendri Nova Herdoni Syafriansyah Heri Kurniawan Heri Latief Heri Ruslan Herman RN Hermawan Aksan Hermien Y. Kleden Herry Lamongan Holy Adib Humaidiy AS Husni Anshori I Nyoman Darma Putra I Nyoman Tingkat I Wayan Artika Ibnu Wahyudi Ida Farida Ignas Kleden Ilham Khoiri Imam Cahyono Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Tohari Indra Tranggono Indrian Koto Irwan Kelana Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Isma Swastiningrum Ismi Wahid Iwan Gardono Sujatmiko Iwan Gunadi Iwan Kurniawan Iwan Nurdaya Djafar Iwank J.S. Badudu Janoary M Wibowo Javed Paul Syatha JILFest 2008 JJ. Kusni Jodhi Yudono Joko Novianto Bp Joko Pinurbo Jones Gultom Jual Buku Paket Hemat Jusuf AN Kadek Suartaya Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Kedung Darma Romansha Kenedi Nurhan Khaerudin Kurniawan Khaerul Anwar Ki Sugito Ha Es Kirana Kejora Komunitas Deo Gratias Korrie Layun Rampan Kritik Sastra Kunthi Hastorini Kuntowijoyo Kurie Suditomo Kurnia Effendi Kurniawan Kuswinarto La Ode Rabbani Lathifa Akmaliyah Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember Leon Agusta Lily Siti Multatuliana Lily Yulianti Farid Lina Kelana Liza Wahyuninto Lona Olavia Lugiena Dé M Fadjroel Rachman M Farid W Makkulau M Syakir M. Dawam Rahardjo M. Faizi M. Mustafied M. Raudah Jambak M. Taufan Musonip M. Yoesoef M.D. Atmaja M.Th. Krishdiana Putri Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Maklumat Sastra Profetik Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mangun Kuncoro Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria D. Andriana Maria Magdalena Bhoernomo Mariana Amiruddin Maryati Marzuzak SY Mashuri Maulana Syamsuri Media: Crayon on Paper Mega Vristian MG. Sungatno Misbahus Surur Mofik el-abrar Moh. Amir Sutaarga Moh. Ghufron Cholid Mohammad Hatta Mohammad Kh. Azad Mohammad Takdir Ilahi Much. Khoiri Muhamad Taslim Dalma Muhammad Rain Muhammad Subhan Muhammad Yasir Muhammadun A.S Muhidin M Dahlan Mujtahid Mulyawan Karim Musa Ismail Musfi Efrizal Mustafa Ismail Mustofa W Hasyim N Teguh Prasetyo N. Mursidi Nadhi Kiara Zifen Nana Riskhi Susanti Nanang Suryadi Naskah Teater Nasrulloh Habibi Neva Tuhella Nietzsche Nirwan Dewanto Nizar Qabbani Noor H. Dee Nova Christina Novelet Nunung Nurdiah Nur Wachid Nurani Soyomukti Nurel Javissyarqi Nurman Hartono Nuryana Asmaudi Nyoman Tusthi Eddy Obrolan Oky Sanjaya Oyos Saroso HN P Ari Subagyo Pagelaran Musim Tandur Pamusuk Eneste Panji Satrio PDS H.B. Jassin Penerbit dan Toko Buku PUstaka puJAngga Pipiet Senja Pramoedya Ananta Toer Pringadi AS Pringgo HR Prosa Puisi Puji Santosa Purnawan Andra PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Satria Kusuma Putu Wijaya R Masri Sareb Putra R. Adhi Kusumaputra R. Timur Budi Raja R.N. Bayu Aji Radhar Panca Dahana Ragdi F. Daye Rahmi Hattani Raja Ali Haji Raju Febrian Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Dira J Rama Prabu Ramadhan KH Ramon Magsaysay Ramses Ohee Ratih Kumala Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Ressa Novita Ressa Sagitariana Putri Ria Ristiana Dewi Rialita Fithra Asmara Ribut Wijoto Rida K Liamsi Rifka Sibarani Rilda A. Oe. Taneko Rilda A.Oe. Taneko Rimbun Natamarga Rinto Andriono Risang Anom Pujayanto Rita Zahara Riyon Fidwar Robin Al Kautsar Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Rohman Budijanto Rukardi S Yoga S. Jai S. Takdir Alisyahbana S.W. Teofani Sabrank Suparno Sahaya Santayana Sajak Sajak Sebatang Lisong Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Salman S. Yoga Salyaputra Samson Rambah Pasir Samsudin Adlawi Sanie B. Kuncoro Santy Novaria Sapardi Djoko Damono Sarabunis Mubarok Sartika Dian Nuraini Sasti Gotama Sastra Nusantara Satmoko Budi Santoso Satriani Saut Poltak Tambunan Saut Situmorang Sekolah Literasi Gratis (SLG) Selasih Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Shadiqin Sudirman Shiny.ane el’poesya Shourisha Arashi Sidik Nugroho Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sindu Putra Siska Afriani Siti Sa’adah Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Slamet Samsoerizal Sobih Adnan Sofyan RH. Zaid Solihin Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sony Wibisono Sosiawan Leak Sri Wintala Achmad Sri Wulan Rujiati Mulyadi Stevani Elisabeth Suci Ayu Latifah Sucipto Hadi Purnomo Sudarmoko Sudirman HN Suhadi Mukhan Suharsono Sukar Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sunudyantoro Supriyadi Suriani Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syahruddin El-Fikri Syaripudin Zuhri Syifa Aulia Syu’bah Asa T.A. Sakti Tammalele Tan Lioe Ie Tasyriq Hifzhillah Taufik Abdullah Taufik Effendi Aria Taufik Ikram Jamil Taufiq Wr. Hidayat TE. Priyono Teguh Winarsho AS Tenas Effendy Tengsoe Tjahjono Thayeb Loh Angen Theresia Purbandini Tia Setiadi Tias Tatanka Tito Sianipar Tjahjono EP Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tjut Zakiyah Anshari Topik Mulyana Tosa Poetra Tri Harun Syafii TS Pinang Tu-ngang Iskandar Udo Z. Karzi Uly Giznawati Umar Fauzi Ballah Umbu Landu Paranggi Umi Kulsum Uniawati Universitas Indonesia Usman Arrumy Usman D.Ganggang Utada Kamaru UU Hamidy Viddy AD Daery W.S. Rendra Wa Ode Wulan Ratna Wahib Muthalib Wahyudi Akmaliah Muhammad Wardjito Soeharso Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Sunarta Weli Meinindartato Wicaksono Widodo DS Wina Karnie Wisran Hadi Wong Wing King Yan Maniani Yanti Mulatsih Yanuar Arifin Yasser Arafat Yaumu Roikha Yetti A. KA Yohanes Padmo Adi Nugroho Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yudhi Ms Yudhistira ANM Massardi Yulianna Yurnaldi Yusi A. Pareanom Yusi Avianto Pareanom Yusri Fajar Yusrizal KW Yuyun Ifa Naliah Zaim Rofiqi Zainal Arifin Thoha Zakki Amali Zakky Zulhazmi Zawawi Se Zehan Zareez Zelfeni Wimra Zuarman Ahmad Zulfikar Akbar