Haris del Hakim
Kehadiran bayi pertama pada usia sepuluh tahun pernikahan merupakan kebahagiaan tak terkira bagi Juragan Kosim. Kekayaan yang melimpah ruah hasil keringat bertahun-tahun tidak akan hilang begitu saja. Sayangnya, kebahagiaan itu belum sempurna. Bayi itu belum pernah menangis sejak lahir. Sebagaimana kata orang, anak itu akan tumbuh dewasa sebagai orang bisu.
Meskipun demikian, setiap pagi Juragan Kosim bangun lebih awal dari sebelumnya. Dia langsung mencumbu anaknya dengan mencubitnya keras-keras. Dia berharap bayi mungil itu menangis. Tetapi, makhluk kecil itu hanya bergerak-gerak sambil mengerutkan pipinya, layaknya anak yang menangis karena kesakitan. Juragan Kosim terus mencubit hingga terlihat kulit yang memerah di beberapa tempat. Setelah itu Juragan Kosim menggendong bayinya keliling kampung. Apa pun keadaannya, bayi itu adalah anak yang lahir dari rahim istrinya. Selama ini orang-orang menganggap dirinya mandul dan bayi itu dengan sendirinya telah membongkar kebohongan mereka. Dia adalah lelaki sehat.
Sementara itu, desas-desus di masyarakat bermacam-macam. Sebagian orang mengatakan bayi itu hasil perselingkuhan istri Juragan Kosim dengan Juragan Seno, mitra bisnis Juragan Kosim. Sebagian lagi mengatakan benih Pak Modin. Sebagian lagi mengatakan Juragan Kosim sengaja menyuruh Bondan, satu-satunya sarjana kedokteran di kampung. Dan masih banyak cerita yang menunjukkan bayi itu bukan putra Juragan Kosim. Untungnya, bayi itu hanya mirip dengan ibunya, bagai pinang dibelah dua, sehingga orang-orang tidak bisa membenarkan desas-desus yang beredar di kalangan mereka.
Pada hari ketujuh Juragan Kosim mengundang hampir seluruh penduduk dalam acara pemberian nama dan potong rambut bayi. Seusai acara dan semua tamu undangan sudah pulang, tiba-tiba anak Juragan Kosim menangis sekeras-kerasnya. Juragan Kosim hampir melompat kegirangan. Dia merasa bayi itu menolongnya terhindar dari anggapan orang-orang kalau anaknya akan tumbuh dewasa sebagai orang bisu. Dia memanggil kembali tamu-tamu yang pulang untuk membuktikan sendiri kalau anaknya dapat menangis. Beberapa tamu hendak kembali, namun mengurungkan niatnya begitu tercium bau amis seperti darah dan bacin seperti nanah.
Juragan Kosim menghentikan seruannya. Cuping hidungnya kempas-kempis mencium bau yang semakin lama semakin anyir. Dia mencari-cari dari mana asal bau itu. Cahaya lampu yang terpantul dari dinding berkeramik biru muda tidak banyak membantunya. Juragan Kosim pun merasa lelah dan bermaksud merebahkan bayinya di kamar, di samping istrinya. Istrinya yang berbaring segera menyumbat hidung dan menyuruh suaminya pergi.
“Jangan lama-lama di sini!” kata istrinya. “Baumu busuk sekali.”
“Ya, ya. Aku sendiri tidak tahu mengapa tiba-tiba ada bau busuk dan membuatku mau muntah seperti ini,” jawab Juragan Kosim.
Bayi yang tertidur pulas dalam gendongan bapaknya tiba-tiba menangis lagi, mungkin hendak dibaringkan atau mendengar suara bentakan ibunya. Juragan Kosim mengangkat lagi anaknya, namun pandangannya nanar pada tahi mata yang keluar dari sudut mata anaknya. Tahi mata itu tidak berwarna putih kekuningan layaknya tahi mata, tetapi kehitaman dan mirip lumpur. Seperti menyesali mengapa tidak memperhatikan sejak tadi, dia segera merebahkan anaknya dan menyuruh istrinya untuk menyusui bayi itu. Dia sendiri memeriksa pakaiannya dan melihat tahi mata hitam itu menempel di sana-sini. Ujung telunjuknya mengambil tahi mata itu dan menciumnya, kemudian secepat kilat dia menutup hidung rapat-rapat karena tidak tahan dengan baunya. Dia menyodorkan tahi mata itu ke hidung istrinya seraya mengatakan, “Bau busuk itu berasal dari tahi mata anak kita.”
Istri Juragan Kosim hampir muntah. Suaranya cukup keras hingga mengundang rasa ingin tahu sanak kerabat yang belum pulang. Kepala mereka terjulur di pintu seraya bertanya ada apa dan segera saja Juragan Kosim memijat leher istrinya. Dia tersenyum-senyum, “Istriku tidak apa-apa. Mungkin dia sedang masuk angin.”
Istrinya mengangguk dengan tangan yang berusaha menutupi mulutnya. Kemudian, kepala-kepala di pintu itu pun menghilang. Juragan Kosim cepat-cepat mengganti pakaiannya juga kain gedongan anaknya yang ternodai oleh tahi mata hitam itu. Dia membungkusnya rapat-rapat kemudian menyemprotkan minyak pengharum ruangan dalam bungkusan itu.
“Kita harus menyimpan rahasia ini. Betapa malunya kita bila penduduk tahu hal ini.” kata Juragan Kosim yang disepakati oleh istrinya.
Akan tetapi, kabar tentang bayi Juragan Kosim bertahi mata lumpur dan berbau tidak sedap segera menyebar ke seluruh penduduk. Padahal, Juragan Kosim sudah berusaha menyimpan rahasia itu dengan tidak lagi mengajak bayinya jalan-jalan pagi keliling kampung. Dia merasa kuatir bayinya tiba-tiba mengeluarkan tahi mata yang menyebarkan bau tidak sedap itu. Begitu pula dengan memandikan bayi. Biasanya sengaja dilakukan di depan rumah, tapi kemudian dipindahkan ke belakang rumah. Hal itu justru membuat orang-orang curiga dan menyirap kabar tentang perubahan kebiasaan Juragan Kosim. Mereka pun berhasil mengorek kabar dari dukun beranak yang memandikan anak Juragan Kosim dan dikuatkan oleh perempuan-perempuan yang bermaksud menjenguk bayi itu, namun dilarang masuk kamar dengan alasan bayinya sedang tidur dan dikuatirkan akan mengganggunya.
Keadaan itu berdampak pada usaha Juragan Kosim. Warung makannya yang tidak pernah sepi pembeli berubah menjadi lengang. Para penggarap sawahnya satu persatu mengundurkan diri. Orang-orang pun tidak mau lagi menjual hasil tambak mereka kepadanya. Bahkan, perlahan-lahan orang-orang mulai mengasingkannya.
Berbagai usaha telah dilakukan Juragan Kosim untuk menyembuhkan kelainan pada anaknya itu. Puluhan dokter telah dikunjunginya dan hampir semua bersepakat untuk menghiburnya tanpa memberikan sedikit perubahan pada anaknya. Mereka mengatakan tahi mata hitam itu tidak berbahaya dan akan hilang dengan sendirinya saat usia dewasa. Tiga orang dokter spesialis menyarankannya untuk menyerahkan bayinya pada laboratorium kesehatan, karena kejadian itu sangat aneh dan merupakan fenomena baru di bidang kesehatan. Tentu saja Juragan Kosim menolaknya mentah-mentah. Beberapa kiai juga didatanginya. Mereka juga seakan telah bersepakat bahwa di balik tahi mata hitam itu pasti ada hikmahnya.
Hampir setahun usia bayi itu dan hampir pula dapat berjalan, tetapi tahi mata hitam berbau itu tidak kunjung hilang. Setiap bangun tidur tahi mata itu sudah meleleh di pipinya. Juragan Kosim sudah kehabisan akal.
“Bu,” kata Juragan Kosim pada istrinya. “Aku sudah tidak kuat lagi dengan anak kita. Lama kelamaan kita akan berubah menjadi melarat. Dulu kita mengharap-harapkan kelahirannya semoga membahagiakan kita, tetapi kehadirannya justru menyengsarakan kita.”
Istri Juragan Kosim memperhatikan raut muka suaminya. Ia bertanya, “Lantas kamu mau membuangnya?”
Juragan Kosim hanya menundukkan pandangan. Pikiran seperti itu pernah terbersit dalam benaknya, namun hingga saat ini dia masih membiarkan dan bahkan merawat bayi itu dengan baik. Apabila dia benar-benar hendak menyingkirkan anak itu, tentu lebih baik dia menyerahkannya pada laboratorium kesehatan. Para polisi tidak akan memburunya sebagai seorang pembunuh.
Sementara itu, keadaan ekonomi Juragan Kosim semakin parah. Warung makannya tutup. Sawahnya terbengkalai. Usaha jual beli ikan pun tidak berjalan. Tabungannya tidak hanya habis, tetapi berganti tumpukan hutang untuk biaya pengobatan anaknya.
Sepanjang hari Juragan Kosim duduk termenung di belakang rumah. Dia hanya memata-matai tanpa menoleh ke arah istrinya yang sedang menuntun anaknya berjalan. Sesekali dia mengusap-usap hidungnya dan istrinya mafhum kalau anaknya sedang mengeluarkan tahi mata. Istrinya pun segera mengeluarkan tissu harum dan menghapus tahi mata itu dari pipi anaknya.
“Bu,” kata Juragan Kosim pada istrinya. “Aku tidak tahu apakah aku masih kuat dengan anak kita. Kita sudah berubah menjadi melarat. Dulu kita mengharapkan kelahirannya akan membahagiakan kita, tetapi kehadirannya justru menyengsarakan kita.”
“Sudah berapa kali kamu mengatakan kalimat itu?” tanya istrinya. “Telingaku seakan tidak dapat mendengar kata-kata lain.”
Juragan Kosim mengeluarkan nafas berat seakan telah memendam ucapannya selama berhari-hari. “Aku akan menyerahkan anak itu ke laboratorium kesehatan. Mudah-mudahan mereka mau menebusnya sejumlah kekayaan yang kita keluarkan untuk membiayainya. Paling sedikit, separuh saja cukup untuk modal usaha kita lagi.”
“Aku tidak rela. Aku yakin tahi mata anak kita akan berubah menjadi putih kekuningan, seperti layaknya anak-anak yang lain.”
“Kita sudah sering menghibur diri dan kita tidak menemukan buktinya,” bantah suaminya. “Aku tahu kamu pasti tidak rela. Aku pun tidak rela, tapi aku belajar menguatkan hati untuk merelakannya. Kukira kamu bisa berlatih sejak sekarang, sebelum anak itu benar-benar kuserahkan pada laboratorium kesehatan.”
Kemudian Juragan Kosim memberi batasan waktu selama setahun lagi. Apabila tidak ada perkembangan yang lebih baik, maka merelakan anak tunggalnya adalah jalan terbaik. Istrinya tidak memberikan pendapat.
Setahun tenggang waktu itu tinggal sebulan lagi. Anak Juragan Kosim, yang sekarang melarat, tidak kunjung lebih baik. Tahi matanya masih hitam dan berbau. Istri Juragan Kosim jatuh sakit memikirkan nasib anaknya, sehingga Juragan Kosim sendiri yang harus memasak di dapur. Saat itulah tangan Juragan Kosim tersayat pisau dan mengeluarkan darah berwarna hitam legam dengan bau menyengat hidung.
Surabaya, september 2007
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Jumat, 15 Agustus 2008
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Khoirul Anam
A Qorib Hidayatullah
A Rodhi Murtadho
A. Yusrianto Elga
A. Zakky Zulhazmi
A.S. Laksana
Aang Fatihul Islam
Aba Mardjani
Abd. Mun’im
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Gaffar Ruskhan
Abdul Hadi W. M.
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Malik
Abdul Muis
Abdul Wachid BS
Abdullah Khusairi
Abidah El Khalieqy
Abimardha Kurniawan
Abroorza A. Yusra
Abu Salman
Acep Iwan Saidi
Achmad Farid Tuasikal
Adek Alwi
Adi Marsiela
Adian Husaini
Adib Muttaqin Asfar
Adji Subela
Afandi Sido
Afriza Hanifa
Afrizal Malna
Ageng Wuri R. A.
Ags. Arya Dipayana
Aguk Irawan M.N.
Agus B. Harianto
Agus Bing
Agus Noor
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Sri Danardana
Agus Sulton
Agus Sunyoto
Agus Wibowo
Agus Wirawan
Agusri Junaidi
AH J Khuzaini
Ahda Imran
Ahid Hidayat
Ahm Soleh
Ahmad Asyhar
Ahmad Farid Yahya
Ahmad Fuadi
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Musthofa Haroen
Ahmad Rofiq
Ahmad Suhendra
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Aini Aviena Violeta
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Muhaimin Azzet
Akhmad Sekhu
Al Azhar Riau
Al-Fairish
Alex R. Nainggolan
Alexander G.B.
Alfian Zainal
Aliansyah
Alimuddin
Almania Rohmah
Alunk Estohank
Amien Kamil
Amien Wangsitalaja
Anata Siregar
Andi Sutisno
Andy Riza Hidayat
Anies Baswedan
Anindita S Thayf
Anis Ceha
Anis Faridatur Rofiah
Anjrah Lelono Broto
Anna Subekti
Anton Kurnia
Ari Hidayat
Ari Kristianawati
Arie MP Tamba
Arief Junianto
Aris Kurniawan
Arti Bumi Intaran
Arul Arista
AS Sumbawi
Asarpin
Asep Sambodja
Atiqurrahman
Awalludin GD Mualif
Ayu Purwaningsih
Babe Derwan
Bakdi Soemanto
Balada
Bale Aksara
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Bayu Dwi Mardana
Bellanissa Zoditama
Beni Setia
Benny Arnas
Beno Siang Pamungkas
Berita
Berita Duka
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Bokor Hutasuhut
Brunel University London
BSW Adjikoesoemo
Budaya
Budhi Setyawan
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budiawan Dwi Santoso
Bur Rasuanto
Burhanuddin Bella
Bustan Basir Maras
Catatan
Catullus
CB. Ismulyadi
Cerbung
Cerita Rakyat
Cerpen
Chavchay Syaifullah
Cikie Wahab
Cunong Nunuk Suraja
D Zawawi Imron
Dad Murniah
Dadang Ari Murtono
Dahlia Rasyad
Damhuri Muhammad
Damiri Mahmud
Danarto
Daniel Paranamesa
Darju Prasetya
Darman Djamaluddin
Darman Moenir
Dasman Djamaluddin
David Krisna Alka
Dea Anugrah
Dedy Tri Riyadi
Denny JA
Denny Mizhar
Desi Sommalia Gustina
Dewi Anggraeni
Dharma Setyawan
Dian Hartati
Didi Arsandi
Dina Oktaviani
Dipo Handoko
Djenar Maesa Ayu
Djoko Pitono
Doddi Ahmad Fauji
Doddy Hidayatullah
Dodi Chandra
Dodiek Adyttya Dwiwanto
Dody Kristianto
Donny Anggoro
Dony P. Herwanto
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Klik Santosa
Dwi Pranoto
Dwicipta
Edy A Effendi
Edy Firmansyah
Eka Budianta
Eka Fendri Putra
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Ellyzan Katan
Elnisya Mahendra
Emha Ainun Nadjib
Endah Imawati
Eni Suryanti
Eny Rose
Eriyandi Budiman
Eriyanti
Erwin Edhi Prasetya
Erwin Setia
Esai
Evan Ys
Evi Idawati
F Rahardi
Fadly Rahman
Fahrudin Nasrulloh
Faizah Sirajuddin
Faizal Syahreza
Fajar Alayubi
Fakhrunnas M.A. Jabbar
Fanny Chotimah
Fariz al-Nizar
Fariz Alneizar
Faruk HT
Fatah Anshori
Fatah Yasin Noor
Fathurrahman Karyadi
Fatimah Wahyu Sundari
Fauzan Santa
Fazabinal Alim
Festival Sastra Gresik
Fikri MS
Fiksi Mini
Fransisca Dewi Ria Utari
Franz Kafka
Fuad Anshori
Furqon Abdi
Fuska Sani Evani
Gendhotwukir
Gendut Riyanto
Gerson Poyk
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Gola Gong
Grathia Pitaloka
Gregorio Lopez y’ Fuentes
Gugun El-Guyanie
Gunawan Budi Susanto
Gus Noy
H.H. Tokoro
Hadi Napster
Hamberan Syahbana
Hamdy Salad
Hamsad Rangkuti
Han Gagas
Hang Kafrawi
Hani Pudjiarti
Hanna Fransisca
Hardi Hamzah
Hardjono WS
Haris del Hakim
Haris Priyatna
Harris Maulana
Hary B. Kori'un
Hasan Al Banna
Hasan Junus
Hasbullah Said
Hasnan Bachtiar
HE. Benyamine
Heidi Arbuckle
Helmi Y Haska
Helvy Tiana Rosa
Hendra Junaedi
Hendri Nova
Herdoni Syafriansyah
Heri Kurniawan
Heri Latief
Heri Ruslan
Herman RN
Hermawan Aksan
Hermien Y. Kleden
Herry Lamongan
Holy Adib
Humaidiy AS
Husni Anshori
I Nyoman Darma Putra
I Nyoman Tingkat
I Wayan Artika
Ibnu Wahyudi
Ida Farida
Ignas Kleden
Ilham Khoiri
Imam Cahyono
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Tohari
Indra Tranggono
Indrian Koto
Irwan Kelana
Isbedy Stiawan Z.S.
Iskandar Noe
Isma Swastiningrum
Ismi Wahid
Iwan Gardono Sujatmiko
Iwan Gunadi
Iwan Kurniawan
Iwan Nurdaya Djafar
Iwank
J.S. Badudu
Janoary M Wibowo
Javed Paul Syatha
JILFest 2008
JJ. Kusni
Jodhi Yudono
Joko Novianto Bp
Joko Pinurbo
Jones Gultom
Jual Buku Paket Hemat
Jusuf AN
Kadek Suartaya
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kasnadi
Kedung Darma Romansha
Kenedi Nurhan
Khaerudin Kurniawan
Khaerul Anwar
Ki Sugito Ha Es
Kirana Kejora
Komunitas Deo Gratias
Korrie Layun Rampan
Kritik Sastra
Kunthi Hastorini
Kuntowijoyo
Kurie Suditomo
Kurnia Effendi
Kurniawan
Kuswinarto
La Ode Rabbani
Lathifa Akmaliyah
Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember
Leon Agusta
Lily Siti Multatuliana
Lily Yulianti Farid
Lina Kelana
Liza Wahyuninto
Lona Olavia
Lugiena Dé
M Fadjroel Rachman
M Farid W Makkulau
M Syakir
M. Dawam Rahardjo
M. Faizi
M. Mustafied
M. Raudah Jambak
M. Taufan Musonip
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
M.Th. Krishdiana Putri
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Maklumat Sastra Profetik
Malkan Junaidi
Maman S. Mahayana
Mangun Kuncoro
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria D. Andriana
Maria Magdalena Bhoernomo
Mariana Amiruddin
Maryati
Marzuzak SY
Mashuri
Maulana Syamsuri
Media: Crayon on Paper
Mega Vristian
MG. Sungatno
Misbahus Surur
Mofik el-abrar
Moh. Amir Sutaarga
Moh. Ghufron Cholid
Mohammad Hatta
Mohammad Kh. Azad
Mohammad Takdir Ilahi
Much. Khoiri
Muhamad Taslim Dalma
Muhammad Rain
Muhammad Subhan
Muhammad Yasir
Muhammadun A.S
Muhidin M Dahlan
Mujtahid
Mulyawan Karim
Musa Ismail
Musfi Efrizal
Mustafa Ismail
Mustofa W Hasyim
N Teguh Prasetyo
N. Mursidi
Nadhi Kiara Zifen
Nana Riskhi Susanti
Nanang Suryadi
Naskah Teater
Nasrulloh Habibi
Neva Tuhella
Nietzsche
Nirwan Dewanto
Nizar Qabbani
Noor H. Dee
Nova Christina
Novelet
Nunung Nurdiah
Nur Wachid
Nurani Soyomukti
Nurel Javissyarqi
Nurman Hartono
Nuryana Asmaudi
Nyoman Tusthi Eddy
Obrolan
Oky Sanjaya
Oyos Saroso HN
P Ari Subagyo
Pagelaran Musim Tandur
Pamusuk Eneste
Panji Satrio
PDS H.B. Jassin
Penerbit dan Toko Buku PUstaka puJAngga
Pipiet Senja
Pramoedya Ananta Toer
Pringadi AS
Pringgo HR
Prosa
Puisi
Puji Santosa
Purnawan Andra
PUstaka puJAngga
Putu Fajar Arcana
Putu Satria Kusuma
Putu Wijaya
R Masri Sareb Putra
R. Adhi Kusumaputra
R. Timur Budi Raja
R.N. Bayu Aji
Radhar Panca Dahana
Ragdi F. Daye
Rahmi Hattani
Raja Ali Haji
Raju Febrian
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Rama Dira J
Rama Prabu
Ramadhan KH
Ramon Magsaysay
Ramses Ohee
Ratih Kumala
Raudal Tanjung Banua
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Resensi
Ressa Novita
Ressa Sagitariana Putri
Ria Ristiana Dewi
Rialita Fithra Asmara
Ribut Wijoto
Rida K Liamsi
Rifka Sibarani
Rilda A. Oe. Taneko
Rilda A.Oe. Taneko
Rimbun Natamarga
Rinto Andriono
Risang Anom Pujayanto
Rita Zahara
Riyon Fidwar
Robin Al Kautsar
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rohman Budijanto
Rukardi
S Yoga
S. Jai
S. Takdir Alisyahbana
S.W. Teofani
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Sajak
Sajak Sebatang Lisong
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Salman S. Yoga
Salyaputra
Samson Rambah Pasir
Samsudin Adlawi
Sanie B. Kuncoro
Santy Novaria
Sapardi Djoko Damono
Sarabunis Mubarok
Sartika Dian Nuraini
Sasti Gotama
Sastra Nusantara
Satmoko Budi Santoso
Satriani
Saut Poltak Tambunan
Saut Situmorang
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
Selasih
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Shadiqin Sudirman
Shiny.ane el’poesya
Shourisha Arashi
Sidik Nugroho
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sindu Putra
Siska Afriani
Siti Sa’adah
Sitok Srengenge
Siwi Dwi Saputro
Slamet Samsoerizal
Sobih Adnan
Sofyan RH. Zaid
Solihin
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sony Wibisono
Sosiawan Leak
Sri Wintala Achmad
Sri Wulan Rujiati Mulyadi
Stevani Elisabeth
Suci Ayu Latifah
Sucipto Hadi Purnomo
Sudarmoko
Sudirman HN
Suhadi Mukhan
Suharsono
Sukar
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Sunudyantoro
Supriyadi
Suriani
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Sutan Iwan Soekri Munaf
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Syahruddin El-Fikri
Syaripudin Zuhri
Syifa Aulia
Syu’bah Asa
T.A. Sakti
Tammalele
Tan Lioe Ie
Tasyriq Hifzhillah
Taufik Abdullah
Taufik Effendi Aria
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Wr. Hidayat
TE. Priyono
Teguh Winarsho AS
Tenas Effendy
Tengsoe Tjahjono
Thayeb Loh Angen
Theresia Purbandini
Tia Setiadi
Tias Tatanka
Tito Sianipar
Tjahjono EP
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Tjut Zakiyah Anshari
Topik Mulyana
Tosa Poetra
Tri Harun Syafii
TS Pinang
Tu-ngang Iskandar
Udo Z. Karzi
Uly Giznawati
Umar Fauzi Ballah
Umbu Landu Paranggi
Umi Kulsum
Uniawati
Universitas Indonesia
Usman Arrumy
Usman D.Ganggang
Utada Kamaru
UU Hamidy
Viddy AD Daery
W.S. Rendra
Wa Ode Wulan Ratna
Wahib Muthalib
Wahyudi Akmaliah Muhammad
Wardjito Soeharso
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Sunarta
Weli Meinindartato
Wicaksono
Widodo DS
Wina Karnie
Wisran Hadi
Wong Wing King
Yan Maniani
Yanti Mulatsih
Yanuar Arifin
Yasser Arafat
Yaumu Roikha
Yetti A. KA
Yohanes Padmo Adi Nugroho
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yudhi Ms
Yudhistira ANM Massardi
Yulianna
Yurnaldi
Yusi A. Pareanom
Yusi Avianto Pareanom
Yusri Fajar
Yusrizal KW
Yuyun Ifa Naliah
Zaim Rofiqi
Zainal Arifin Thoha
Zakki Amali
Zakky Zulhazmi
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zelfeni Wimra
Zuarman Ahmad
Zulfikar Akbar
Tidak ada komentar:
Posting Komentar