Minggu, 27 Juni 2021

PETA KONSTELASI PENYAIR SUMATERA

Maman S. Mahayana *
 
Pertemuan penyair se-Sumatera (Aceh, Babel, Bengkulu, Jambi, Kepri, Lampung, Riau, Sumbar, Sumsel, Sumut) di Bengkalis, 17—19 Januari 2003, memperlihatkan, betapa sesungguhnya Sumatera masih menyimpan potensi yang kaya dan berlimpah. Kepenyairan Sumatera yang pernah mendominasi perjalanan sastra Indonesia sebelum dan awal merdeka –seperti yang pernah dibangun sastrawan Balai Pustaka, Pujangga Baru, Angkatan 45, hingga ke nama-nama Taufiq Ismail, Leon Agusta, Sutardji Calzoum Bachri, Hamid Jabar, dan sederet panjang nama lain—sangat mungkin kini akan bangkit kembali.
 
Empat skenario mungkin dapat dijalankan penyair Sumatera. Pertama, melakukan perlawanan dan mencoba menyeruak di antara kemapanan sastrawan di luar Sumatera. Kedua, bergerak menghimpun kekuatan guna membangun mazhab sendiri. Ketiga, seolah-olah “menafikan” Jakarta dan berorientasi ke Singapura atau Kuala Lumpur. Keempat, menjalankan semua skenario itu dengan mengusung kultur etnik dan sejarah masa lalunya.
 
Dengan keempat skenario itu, penyair Sumatera kini lebih leluasa bergerak. Dan itu membuka peluang bagi kebangkitan kembali peranan mereka dalam konstelasi peta sastra Indonesia modern. Persoalannya tinggal bergantung pada kesiapan mereka menjalankan skenario itu? Tanpa kerja keras dan usaha yang serius, skenario itu tetap akan menjadi sebuah mimpi. Peran mereka akan jatuh pada sebutan sekadar pelengkap dan kontribusinya dalam peta kesusastraan Indonesia tidak cukup signifikan.
 
Antologi Purnama Kata: Sajak-Sajak se-Sumatera (Bengkalis: Dewan Kesenian Bengkalis, 2003; 112 halaman) barangkali boleh dipandang sebagai representasi gerakan penyair Sumatera. Antologi ini menghimpun karya-karya penyair Aceh, Medan, Padang, Riau, Tanjung Pinang, Jambi, Palembang, dan Lampung. Adakah mereka punya potensi untuk menjalankan skenario itu atau sekadar kekenesan belaka?
***
 
Diawali enam buah puisi A.A. Manggeng (Aceh) yang melantunkan kegetiran atas tragedi berdarah yang menimpa tanah rencong. Gaya persajakannya yang seperti monolog antara narasi dan refleksi, mewartakan duka panjang yang dijawab dengan pertanyaan retoris: “berapa harga kemerdekaan dibandingkan nyawa?” Keenam buah puisinya menyampaikan tema yang sama: tragedi Aceh. Manggeng memang tidak mengangkat kultur etnik. Ia terpaku pada musibah puaknya yang dilakukan justru oleh saudaranya yang entah siapa dan dari mana asalnya. Rupanya, musibah itu begitu menggetarkan batinnya.
 
Sebagai puisi yang coba mengangkat luka-duka-darah, Manggeng menyajikannya dengan puitis. Ia seperti sedang menggambar pesona gadis cantik yang seketika diterjang kereta. Kita ikut nelangsa, tetapi pandangan mata masih terpaku pada pesona gadis itu, dan bukan pada tubuh hancur, koyak-moyak dan berdarah-darah. Dalam hal ini, Manggeng melantunkan rintih kematian tanpa menyentuh tubuh hancur, koyak-moyak dan berdarah. Di sinilah pemahaman ruh kultural menjadi penting. Ia mesti menyatu dalam pewartaan puitik ketika penyair dilanda kegelisahan atas tragedi yang menimpa puaknya. Cukupkah ia digambarkan dengan: Siapa yang pecahkan vas bunga/di pekarangan rumah kita/Padahal angin tidak menggerakkan daun-daunnya// Di manakah denting kilat rencong dan hingar-bingar semangat jihad? Di mana pula ledakan amarah yang tiba-tiba jadi kobaran api?
 
Thompson Hs (Medan) agaknya mengalami problem yang sama ketika ia dikaitkan dengan persoalan kultur. Ia cenderung mengangkat refleksi dirinya sendiri dalam hubungannya dengan orang per orang. Boleh jadi kesengajaan menyelimuti pesan merupakan representasi dari khawatirannya terjebak pada eksplisitas. Kecenderungan seperti itu memang banyak terjadi pada diri penyair kita. Akibatnya, sebagai pembaca sering kali kita merasakan sesuatu yang entah, tetapi entah apa pula yang kita tangkap. Dalam puisi “Mendengar Ruang yang bisa Berbisik” misalnya, kuda dapatlah kita tafsirkan sebagai simbolisasi nafsu. Boleh juga kita menafsirkan sebuah kisah persenggamaan. Tetapi, ia tidak coba memanfaatkan citraan. Sebaliknya, dengan pernyataan yang abstrak, kisah persenggamaan itu menjadi seperti narasi untuk dirinya sendiri. Demikian juga, ketika berbicara tentang Palestina—Israel, ia terjebak pada pewartaan, dan bukan kegelisahan kultural, meski ia mencoba mengangkat kisah-kisah lama dari al-Kitab.
 
Yusrizal KW (Padang) dengan enam puisinya –kecuali “Perasaan Berkerikil” dan “Sajak untuk Maya” lainnya pernah dimuat dalam Interior Kelahiran— tampak melompat ke sana ke mari. Ia bisa mengangkat apa saja yang dilihat atau direnungkannya. Dengan begitu, ia dapat leluasa mewartakan peristiwa atau benda apapun, tanpa harus mengalami kegelisahan yang dahsyat. Dalam hal itulah, puisi-puisi Yusrizal seperti sebuah narasi tanpa pretensi. Pilihannya untuk mengangkat apa pun, tentu saja tak menjadi soal. Dan ia bebas menentukannya sendiri. Meskipun demikian, ketika kita menghubungkaitkan puisi (sastra) sebagai ruh kultural, kita kehilangan cantelannya. Lalu, muncul pertanyaan: Di manakah Minangkabau? Maka, yang dapat kita tangkap adalah serangkaian peristiwa biasa, suasana keseharian yang juga biasa atau sesuatu yang diperlakukan seperti adanya. Ketika semua itu diejawantahkan dalam puisi, kita sangat mungkin akan hanyut dalam suasana yang seperti itu. Sebuah refleksi yang justeru tidak kita jumpai dalam cerpen-cerpennya.
 
Berbeda dengan Yusrizal, Taufik Ikram Jamil seperti penjelajah yang tak kunjung sampai pada tujuan. Ia tiada henti dibakar kegelisahan atas sejarah puaknya, meski boleh jadi ia sadar, sesuatu itu tak bakal dijumpainya kini. Puisinya, “Datang lagi ke Bengkalis” dan “Aku sudah Menjawab” merupakan bentuk kegelisahan kultur etnis masa lalunya. Kesetiaannya pada puak, romantisismenya, dan rasa duka pada kondisi sosial kini, berjalin kelindan dalam idiom Melayu. Maka, alam di sekeliling yang menjadi bagian hidupnya, muncul begitu saja seperti anak panah yang melesat, namun gagal membawa kurban.
 
Kegelisahan kulturalnya tak pernah berhenti menggelegak. Jamil berusaha konsisten pada obsesi yang dibangunnya sendiri. Lalu, ketika ia menghadapi kenyataan kini, masa silam dan catatan sejarah seperti datang begitu saja. Dikatakannya: kubentangkan tubuhmu telanjang/antara sulalatus salatin dan tuhfat al-nafis/alasmu adalah wustan wal-qubra/ buku sejarah yang belum selesai ditulis. Di sana ada luka sejarah yang tak pernah sembuh: bukankah kita terbanting dalam traktat london.
 
Bagi Jamil, romantisisme masa lalu, catatan sejarah, dan persahabatannya dengan alam telah memberinya banyak hal. Segalanya itu telah menjadi alat permainan yang lalu menjelma menjadi larik-larik puisi. Jika ia tampak begitu lincah memanfaatkan semuanya itu, sesungguhnya itu hasil dari sebuah proses panjang cintanya pada Melayu.
 
Dengan gaya persajakan yang berbeda, Syaukani Alkarim (Riau) juga mengusung kegelisahan kultural. Ia juga jatuh pada masa lalu puaknya. Pengucapannya sangat kuat sebagai refleksi penghayatan masa lalu dalam konteks problem yang dihadapi puaknya kini. Perhatikan sebaik puisinya, “Membaca Diri”. Kita yang sekarang bukan lagi sejarah yang kau baca, hanya ting­gal hari-hari yang gagap/ sekeping luka, dan beribu janji yang meminta jawaban. Kemenangan yang pernah/ menuliskan risalah, kini menjelma sekapal rindu,/dan engkau harus bertarung dengan/ gelom­bang, atau tenggelam di laut waktu.//
 
Di luar luka sejarah puaknya yang tergambar dalam “Air Mata 1824”, Syaukani menukik menjelajah masuk wilayah yang agak filosofis. Dalam Hikayat Perjalanan Lumpur (1999), sejarah dan simbol sufistik mengemuka sangat padat, sekaligus menunjukkan, betapa penyair ini tidak sekadar bermain dengan larik-larik yang disusun lewat diksi yang matang dan cerdas, menyajikan kesungguhannya memanfaatkan wawasan, tetapi juga menegaskan bahwa ia masih menyimpan kekuatan napas yang panjang.
 
Di antara para penyair itu, menyeruak penyair wanita, Murparsaulian. Dalam deretan penyair wanita Riau, ia tergolong generasi di belakang Ar. Kemalawati, Tien Marni dan Herlela Ningsih. Agak berbeda dengan kebanyakan penyair wanita yang terpaku pada dunia romantik, Murparsaulian menjelajah pada persoalan sosio-kultural etniknya. Ada hasrat melakukan kritik sosial atas dampak modernisasi dan pembangunan. Ada kecemasan atas derasnya budaya populer. Dan penyair coba mengangkat problem itu berkaitan dengan romantisisme masa lalu puaknya. “Syair buat Marina” misalnya, mewartakan perubahan alam dan arus dunia modern. Dikatakannya, pelabuhan itu sebagai seorang tua yang merayau di tengah kelam di satu pihak, dan dunia modern yang menerjangnya di pihak lain. Sebuah gambaran dua dunia: kehidupan tradisional yang tergusur oleh modernisme.
 
Kegelisahan Murparsaulian agaknya tidak hanya jatuh pada lingkungan sekitar. Ia juga protes atas carut-marut negeri ini, seperti dalam “Mengeja Sejarah” dan “Kulabuh Kasih pada Negeri yang Perih”. Ada usaha mengangkat masalah itu lewat persajakan dan diksi atau citraan alam. Kadangkala ia tak sabar menahan gejolak kemarahannya sendiri. Meski begitu, keberanian melakukan pilihan tema itu, memang membawa persoalan yang tak sederhana. Dan itu perlu perenungan yang lebih intens, sebagaimana yang diungkapkan dalam “Di mana Selat Kita?” Usaha Murparsaulian menemukan jati diri kepenyairan, telah dijumpai di sana. Sebuah pola yang memperlihatkan perkembangan kepenyairan yang lebih matang dan berpribadi, meski ia tak dapat menyembunyikan pengaruh penyair lain.
 
Permainan bunyi dalam larik dengan memanfaatkan pesona persajakan, hadir dalam karya Hoesnizar Hoed (Kepri). Ia memang tak berusaha mengangkat sejarah. Persahabatan dengan alam dan dukanya pada problem sosial, merepresentasikan kegelisahan yang tak dapat diajak berdamai. Beberapa puisi yang lain, seperti “Shelma”, “Membaca Jakarta” atau “Aku Diam dalam Kaca” terasa lebih cair dibandingkan puisi-puisinya dalam Tarian Orang Lagoi (1999). Meski begitu, kita masih melihat kekuatannya dalam permainan kata dan usahanya memanfaatkan bunyi persajakan. “Surat dari Simpang Lagoi” sesungguhnya merupakan pola yang pas memperlihatkan kepenyairannya yang lebih berpribadi. Ada pesona yang kuat dalam larik dan repetisi persajakan dalam puisi itu.
 
Kembali, perenungan yang intens menjadi penting saat penyair mengejawantahkan ekspresi puitiknya. Dan Lagoi telah mencengkram Hoed begitu kuat. Ia hanyut di sana dan berteriak mewartakan kepedihan orang-orang Lagoi. Ia berhasil menukik dan menyembul kembali lewat ekspresi puitiknya. Di sinilah kebersatuan ruh penyair dengan dunia yang hendak diangkatnya sering kali melahirkan potret yang mempesona.
 
Ari Setya Ardhi (Jambi) condong bermain dengan abstraksi. Di sana ia mencoba memanfaatkan alam untuk membangun citraan. Dalam puisinya, “Mempersiapkan Waktu” Ardhi hanyut dalam subjektivitas ekspresinya sendiri. Akibatnya, sinyal-sinyal yang dapat membantu pembaca memahami teks, terganggu oleh kecenderungannya memadukan realitas dengan dunia abstrak. Meskipun begitu, dalam puisinya yang berjudul “Merebut Sejarah”, penyair berhasil mengangkat potret perubahan secara meyakinkan.
 
Bahwa Ardhi melakukan pilihan itu, tentu dengan kesadaran kepenyairannya. Dalam puisinya “Menjaga Musim Purba” kita menemukan rangkaian kata yang enak dibaca. Tetapi agak menyulitkan pemahaman kita mengingat kecenderungannya membangun abstraksi. Atau barangkali, Ardhi memang sengaja memanfaatkan itu untuk membangun semacam close reading yang mensyaratkan pembacaan yang berulang-ulang. Justru di situ estetika puitiknya menggoda untuk menjelajahi dunia yang ditawarkannya.
 
Kecenderungan yang sama terjadi pada diri Anwar Putra Bayu (Sumsel). Bahkan, lebih dari itu, ia lebih banyak mengobral pernyataan daripada citraan. Dalam hal ini, Bayu seperti memberi jarak antara dunia yang ditawarkan dengan teks yang membawakannya. Akibatnya, kegelisahan tentang masalah disintegrasi yang terjadi di negeri ini, sebagaimana tampak dalam “Abad Burung Bangkai” menjadi semacam pewartaan tekstual. Hal itu pula yang tampak kentara dalam “Nyonya Anwar dan Sepotong Tulang”. Kembali, perenungan menjadi sesuatu yang penting. Ia mesti menjadi bagian dari proses kreatif yang lahir dari kegelisahan atau ketakjuban pada sesuatu. Puisi “Kepada Alexandre Pusjkin” misalnya, memperlihatkan, betapa penyair punya jarak yang jauh dengan sastrawan Rusia itu.
 
Isbedy Stiawan ZS dalam “Telah Kulepas Pakaian Sunyiku” sungguh telah menunjukkan sebuah perkembangan kepenyairan yang meyakinkan. Dibandingkan antologi Daun-Daun Tadarus (1997), puisi-puisinya kali ini tampak lebih matang dan kokoh. Ia tak lagi menjadikan subjek yang melihat benda-benda sebagai objek, melainkan objek yang menyatu lebih dalam sebagai diri subjek, atau sebaliknya.
 
Ia seperti bertutur begitu saja, mengalir, dan tiba-tiba berhenti pada pertanyaan yang menggoda: siapakah aku lirik? Dalam hal ini, napas religiusitas dan kerinduannya pada sesuatu yang entah, menyatu dalam kerinduan itu sendiri. Isbedy hadir dengan pribadi yang kuat dan matang. Pencarian si aku liris telah sampai pada hakikat. Sebuah gaya kepenyairan yang banyak dianut para penyair ketika ia mengalami kegelisahan sufistik.
 
Dalam “Aku Masih Rasakan” hubungan aku liris dengan alam dan dunia sekitar, terasa sangat padu, menyatu dalam narasi aku lirik. Dalam hal ini, subjek tidak lagi melihat alam sebagai objek, melainkan sebagai subjek itu sendiri. Bahkan, kadangkala, aku liris sengaja diperlakukan sebagai objek untuk member ruang yang lebih leluasa bagi alam mencengkeram dan menjadi bagian dari alam itu sendiri, sebagaimana dikatakannya: bahwa kita seperti butiran air itu/bahwa kita juga ada di atas daun itu/ diamdiam menunggu tergelincir// Dalam “Dermaga Lama” Isbedy memanfaatkan kisah masa lalu yang menjadi bagian dari kekayaan kulturnya. Dengan itu, ia tak bakal kehabisan bahan. Bahkan, niscaya pula ia makin memperlihatkan kekayaan bentuk ekspresinya.
***
 
Catatan kecil ini tentu masih perlu pendalaman. Di sana tercecer nama Gus tf Sakai, Iyut Fitra, Upita Agustine, Ratna Komala Sari (Minang), Junewal Muchtar (Kepri), Eddy Ahmad, DM Ningsih, Merie I. Zairi, Zainurmawaty, Cecen Cendrahati, Kunni Masrohanti (Riau), Syaiful Tanpaka, Naim Prahana, Panji Utama (Lampung), Wina SW I, Kemalawati, Rosni Idham (Aceh), Gita Romadhona, Iriani R. Tandy (Jambi), Laswiyati Pisca, Neny Rosaria (Medan) dan nama-nama lain yang sering kita jumpai dalam berbagai antologi.
 
Dalam kaitannya dengan peta konstelasi penyair Sumatera, catatan ini sekadar hendak menegaskan, bahwa mereka mustahil kehabisan ekspresi puitik jika ada usaha melakukan eksplorasi pada kultur yang telah melahirkan dan membesarkannya. Dengan cara itu, mereka akan mengangkat kekayaan kultur lokalnya, sekaligus menempatkannya dalam problem kemanusiaan sejagat. Bagaimanapun juga, sastra yang baik selalu akan menghadirkan unikum, dan sekaligus universalitasnya. Masalahnya tinggal, bagaimana sastrawan Sumatera memanfaatkan kekayaannya sendiri.
***

*) Maman S. Mahayana, lahir di Cirebon, Jawa Barat, 18 Agustus 1957. Dia salah satu penerima Tanda Kehormatan Satyalancana Karya Satya dari Presiden Republik Indonesia, Dr. H. Susilo Bambang Yudhoyono (2005). Menyelesaikan pendidikannya di Fakultas Sastra Universitas Indonesia (FS UI) tahun 1986, dan sejak itu mengajar di almamaternya yang kini menjadi Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia (FIB-UI). Tahun 1997 selesai Program Pascasarjana Universitas Indonesia. Pernah tinggal lama di Seoul, dan menjadi pengajar di Department of Malay-Indonesian Studies, Hankuk University of Foreign Studies, Seoul, Korea Selatan. Selain mengajar, banyak melakukan penelitian. Beberapa hasil penelitiannya antara lain, “Inventarisasi Ungkapan-Ungkapan Bahasa Indonesia” (LPUI, 1993), “Pencatatan dan Inventarisasi Naskah-Naskah Cirebon” (Anggota Tim Peneliti, LPUI, 1994), dan “Majalah Wanita Awal Abad XX (1908-1928)” (LPUI, 2000). http://sastra-indonesia.com/2010/05/peta-konstelasi-penyair-sumatera/

Tidak ada komentar:

A Khoirul Anam A Qorib Hidayatullah A Rodhi Murtadho A. Yusrianto Elga A. Zakky Zulhazmi A.S. Laksana Aang Fatihul Islam Aba Mardjani Abd. Mun’im Abdul Aziz Rasjid Abdul Gaffar Ruskhan Abdul Hadi W. M. Abdul Kadir Ibrahim Abdul Malik Abdul Muis Abdul Wachid BS Abdullah Khusairi Abidah El Khalieqy Abimardha Kurniawan Abroorza A. Yusra Abu Salman Acep Iwan Saidi Achmad Farid Tuasikal Adek Alwi Adi Marsiela Adian Husaini Adib Muttaqin Asfar Adji Subela Afandi Sido Afriza Hanifa Afrizal Malna Ageng Wuri R. A. Ags. Arya Dipayana Aguk Irawan M.N. Agus B. Harianto Agus Bing Agus Noor Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sri Danardana Agus Sulton Agus Sunyoto Agus Wibowo Agus Wirawan Agusri Junaidi AH J Khuzaini Ahda Imran Ahid Hidayat Ahm Soleh Ahmad Asyhar Ahmad Farid Yahya Ahmad Fuadi Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musthofa Haroen Ahmad Rofiq Ahmad Suhendra Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Aini Aviena Violeta Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sekhu Al Azhar Riau Al-Fairish Alex R. Nainggolan Alexander G.B. Alfian Zainal Aliansyah Alimuddin Almania Rohmah Alunk Estohank Amien Kamil Amien Wangsitalaja Anata Siregar Andi Sutisno Andy Riza Hidayat Anies Baswedan Anindita S Thayf Anis Ceha Anis Faridatur Rofiah Anjrah Lelono Broto Anna Subekti Anton Kurnia Ari Hidayat Ari Kristianawati Arie MP Tamba Arief Junianto Aris Kurniawan Arti Bumi Intaran Arul Arista AS Sumbawi Asarpin Asep Sambodja Atiqurrahman Awalludin GD Mualif Ayu Purwaningsih Babe Derwan Bakdi Soemanto Balada Bale Aksara Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Bayu Dwi Mardana Bellanissa Zoditama Beni Setia Benny Arnas Beno Siang Pamungkas Berita Berita Duka Bernando J. Sujibto Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Bokor Hutasuhut Brunel University London BSW Adjikoesoemo Budaya Budhi Setyawan Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiawan Dwi Santoso Bur Rasuanto Burhanuddin Bella Bustan Basir Maras Catatan Catullus CB. Ismulyadi Cerbung Cerita Rakyat Cerpen Chavchay Syaifullah Cikie Wahab Cunong Nunuk Suraja D Zawawi Imron Dad Murniah Dadang Ari Murtono Dahlia Rasyad Damhuri Muhammad Damiri Mahmud Danarto Daniel Paranamesa Darju Prasetya Darman Djamaluddin Darman Moenir Dasman Djamaluddin David Krisna Alka Dea Anugrah Dedy Tri Riyadi Denny JA Denny Mizhar Desi Sommalia Gustina Dewi Anggraeni Dharma Setyawan Dian Hartati Didi Arsandi Dina Oktaviani Dipo Handoko Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Doddi Ahmad Fauji Doddy Hidayatullah Dodi Chandra Dodiek Adyttya Dwiwanto Dody Kristianto Donny Anggoro Dony P. Herwanto Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Klik Santosa Dwi Pranoto Dwicipta Edy A Effendi Edy Firmansyah Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Eko Darmoko Ellyzan Katan Elnisya Mahendra Emha Ainun Nadjib Endah Imawati Eni Suryanti Eny Rose Eriyandi Budiman Eriyanti Erwin Edhi Prasetya Erwin Setia Esai Evan Ys Evi Idawati F Rahardi Fadly Rahman Fahrudin Nasrulloh Faizah Sirajuddin Faizal Syahreza Fajar Alayubi Fakhrunnas M.A. Jabbar Fanny Chotimah Fariz al-Nizar Fariz Alneizar Faruk HT Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fathurrahman Karyadi Fatimah Wahyu Sundari Fauzan Santa Fazabinal Alim Festival Sastra Gresik Fikri MS Fiksi Mini Fransisca Dewi Ria Utari Franz Kafka Fuad Anshori Furqon Abdi Fuska Sani Evani Gendhotwukir Gendut Riyanto Gerson Poyk Gita Pratama Goenawan Mohamad Gola Gong Grathia Pitaloka Gregorio Lopez y’ Fuentes Gugun El-Guyanie Gunawan Budi Susanto Gus Noy H.H. Tokoro Hadi Napster Hamberan Syahbana Hamdy Salad Hamsad Rangkuti Han Gagas Hang Kafrawi Hani Pudjiarti Hanna Fransisca Hardi Hamzah Hardjono WS Haris del Hakim Haris Priyatna Harris Maulana Hary B. Kori'un Hasan Al Banna Hasan Junus Hasbullah Said Hasnan Bachtiar HE. Benyamine Heidi Arbuckle Helmi Y Haska Helvy Tiana Rosa Hendra Junaedi Hendri Nova Herdoni Syafriansyah Heri Kurniawan Heri Latief Heri Ruslan Herman RN Hermawan Aksan Hermien Y. Kleden Herry Lamongan Holy Adib Humaidiy AS Husni Anshori I Nyoman Darma Putra I Nyoman Tingkat I Wayan Artika Ibnu Wahyudi Ida Farida Ignas Kleden Ilham Khoiri Imam Cahyono Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Tohari Indra Tranggono Indrian Koto Irwan Kelana Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Isma Swastiningrum Ismi Wahid Iwan Gardono Sujatmiko Iwan Gunadi Iwan Kurniawan Iwan Nurdaya Djafar Iwank J.S. Badudu Janoary M Wibowo Javed Paul Syatha JILFest 2008 JJ. Kusni Jodhi Yudono Joko Novianto Bp Joko Pinurbo Jones Gultom Jual Buku Paket Hemat Jusuf AN Kadek Suartaya Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Kedung Darma Romansha Kenedi Nurhan Khaerudin Kurniawan Khaerul Anwar Ki Sugito Ha Es Kirana Kejora Komunitas Deo Gratias Korrie Layun Rampan Kritik Sastra Kunthi Hastorini Kuntowijoyo Kurie Suditomo Kurnia Effendi Kurniawan Kuswinarto La Ode Rabbani Lathifa Akmaliyah Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember Leon Agusta Lily Siti Multatuliana Lily Yulianti Farid Lina Kelana Liza Wahyuninto Lona Olavia Lugiena Dé M Fadjroel Rachman M Farid W Makkulau M Syakir M. Dawam Rahardjo M. Faizi M. Mustafied M. Raudah Jambak M. Taufan Musonip M. Yoesoef M.D. Atmaja M.Th. Krishdiana Putri Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Maklumat Sastra Profetik Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mangun Kuncoro Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria D. Andriana Maria Magdalena Bhoernomo Mariana Amiruddin Maryati Marzuzak SY Mashuri Maulana Syamsuri Media: Crayon on Paper Mega Vristian MG. Sungatno Misbahus Surur Mofik el-abrar Moh. Amir Sutaarga Moh. Ghufron Cholid Mohammad Hatta Mohammad Kh. Azad Mohammad Takdir Ilahi Much. Khoiri Muhamad Taslim Dalma Muhammad Rain Muhammad Subhan Muhammad Yasir Muhammadun A.S Muhidin M Dahlan Mujtahid Mulyawan Karim Musa Ismail Musfi Efrizal Mustafa Ismail Mustofa W Hasyim N Teguh Prasetyo N. Mursidi Nadhi Kiara Zifen Nana Riskhi Susanti Nanang Suryadi Naskah Teater Nasrulloh Habibi Neva Tuhella Nietzsche Nirwan Dewanto Nizar Qabbani Noor H. Dee Nova Christina Novelet Nunung Nurdiah Nur Wachid Nurani Soyomukti Nurel Javissyarqi Nurman Hartono Nuryana Asmaudi Nyoman Tusthi Eddy Obrolan Oky Sanjaya Oyos Saroso HN P Ari Subagyo Pagelaran Musim Tandur Pamusuk Eneste Panji Satrio PDS H.B. Jassin Penerbit dan Toko Buku PUstaka puJAngga Pipiet Senja Pramoedya Ananta Toer Pringadi AS Pringgo HR Prosa Puisi Puji Santosa Purnawan Andra PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Satria Kusuma Putu Wijaya R Masri Sareb Putra R. Adhi Kusumaputra R. Timur Budi Raja R.N. Bayu Aji Radhar Panca Dahana Ragdi F. Daye Rahmi Hattani Raja Ali Haji Raju Febrian Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Dira J Rama Prabu Ramadhan KH Ramon Magsaysay Ramses Ohee Ratih Kumala Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Ressa Novita Ressa Sagitariana Putri Ria Ristiana Dewi Rialita Fithra Asmara Ribut Wijoto Rida K Liamsi Rifka Sibarani Rilda A. Oe. Taneko Rilda A.Oe. Taneko Rimbun Natamarga Rinto Andriono Risang Anom Pujayanto Rita Zahara Riyon Fidwar Robin Al Kautsar Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Rohman Budijanto Rukardi S Yoga S. Jai S. Takdir Alisyahbana S.W. Teofani Sabrank Suparno Sahaya Santayana Sajak Sajak Sebatang Lisong Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Salman S. Yoga Salyaputra Samson Rambah Pasir Samsudin Adlawi Sanie B. Kuncoro Santy Novaria Sapardi Djoko Damono Sarabunis Mubarok Sartika Dian Nuraini Sasti Gotama Sastra Nusantara Satmoko Budi Santoso Satriani Saut Poltak Tambunan Saut Situmorang Sekolah Literasi Gratis (SLG) Selasih Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Shadiqin Sudirman Shiny.ane el’poesya Shourisha Arashi Sidik Nugroho Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sindu Putra Siska Afriani Siti Sa’adah Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Slamet Samsoerizal Sobih Adnan Sofyan RH. Zaid Solihin Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sony Wibisono Sosiawan Leak Sri Wintala Achmad Sri Wulan Rujiati Mulyadi Stevani Elisabeth Suci Ayu Latifah Sucipto Hadi Purnomo Sudarmoko Sudirman HN Suhadi Mukhan Suharsono Sukar Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sunudyantoro Supriyadi Suriani Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syahruddin El-Fikri Syaripudin Zuhri Syifa Aulia Syu’bah Asa T.A. Sakti Tammalele Tan Lioe Ie Tasyriq Hifzhillah Taufik Abdullah Taufik Effendi Aria Taufik Ikram Jamil Taufiq Wr. Hidayat TE. Priyono Teguh Winarsho AS Tenas Effendy Tengsoe Tjahjono Thayeb Loh Angen Theresia Purbandini Tia Setiadi Tias Tatanka Tito Sianipar Tjahjono EP Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tjut Zakiyah Anshari Topik Mulyana Tosa Poetra Tri Harun Syafii TS Pinang Tu-ngang Iskandar Udo Z. Karzi Uly Giznawati Umar Fauzi Ballah Umbu Landu Paranggi Umi Kulsum Uniawati Universitas Indonesia Usman Arrumy Usman D.Ganggang Utada Kamaru UU Hamidy Viddy AD Daery W.S. Rendra Wa Ode Wulan Ratna Wahib Muthalib Wahyudi Akmaliah Muhammad Wardjito Soeharso Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Sunarta Weli Meinindartato Wicaksono Widodo DS Wina Karnie Wisran Hadi Wong Wing King Yan Maniani Yanti Mulatsih Yanuar Arifin Yasser Arafat Yaumu Roikha Yetti A. KA Yohanes Padmo Adi Nugroho Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yudhi Ms Yudhistira ANM Massardi Yulianna Yurnaldi Yusi A. Pareanom Yusi Avianto Pareanom Yusri Fajar Yusrizal KW Yuyun Ifa Naliah Zaim Rofiqi Zainal Arifin Thoha Zakki Amali Zakky Zulhazmi Zawawi Se Zehan Zareez Zelfeni Wimra Zuarman Ahmad Zulfikar Akbar