Jumat, 18 Juni 2021

Mohammad Hatta: yang Berumah di tepi Air

Ignas Kleden *
Edisikhusustempo, 12 Agu 2002
 
GENERASI pendiri republik ini, yaitu para bapak bangsa, dikenal sebagai orang yang sangat terdidik dan terpelajar. Mereka bisa disejajarkan dengan kaum terpelajar di negeri lain mana pun pada masa itu, baik di negara berkembang maupun di negara maju. Tapi pembawaan tiap orang telah membuat mereka masing-masing menghayati keterpelajarannya dengan cara yang khas, yang sedikit berbeda satu dan yang lainnya. Bung Karno, misalnya, boleh dikata salah satu orang yang paling banyak dan luas bacaannya pada masa itu, yang mengikuti perkembangan politik dunia dengan penuh perhatian dan gairah.
 
Namun yang mencolok pada dirinya adalah perhatian seorang politisi sejati tanpa minat khusus pada the state of the art dari perkembangan ilmu pengetahuan masa itu. Sjahrir adalah tipe intelektual dengan kecenderungan cendekiawan yang barangkali paling kuat di antara rekan seangkatannya. Seorang intelektual tidak mencari dan mengumpulkan pengetahuan sebagai tujuan utamanya, tapi menerjemahkan pengetahuan dan erudisinya menjadi sikap moral atau visi kebudayaan. Haji Agus Salim, sang poliglot, mempergunakan pengetahuannya untuk mengajari kader-kader politiknya di samping memanfaatkan kemahiran bahasa asingnya yang luar biasa itu untuk keperluan diplomasi.
 
Tan Malaka barangkali orang yang mengambil peranan sadar sebagai ideolog dan memakai semua informasi ilmiah untuk memberikan pendasaran pada ideologinya. Di antara politisi masa itu mungkin dialah seorang ideolog dengan kemampuan foundationalist yang paling solid. Pada hemat saya, Hatta tampil secara mengesankan dengan sikap seorang sarjana, seorang scholar, yang di samping berjuang dan terlibat aktif secara politik, selalu memberikan perhatian pada perkembangan ilmu pengetahuan dan mengumumkan tulisan-tulisannya menurut tata cara yang jamak dalam dunia akademis.
 
Di antara para bapak bangsa itu barangkali hanya dia seorang (dan Tan Malaka, sampai tingkat tertentu) yang tekun menuliskan buku-buku teks, baik dalam bidang ekonomi (Pengantar ke Jalan Ekonomi Sosiologi), sejarah filsafat (Alam Pikiran Yunani,), maupun filsafat ilmu pengetahuan (Pengantar ke Jalan Ilmu dan Pengetahuan). Selain itu, dia selalu teliti memberikan sumber dan rujukan untuk gagasan yang diumumkannya dalam tulisan lepas di media massa. Maka seseorang yang tertarik pada sejarah ilmu pengetahuan akan segera melihat ke mana Hatta berorientasi pada waktu itu untuk bidang-bidang ilmu pengetahuan yang digelutinya.
 
Dalam ilmu ekonomi, dia tidak banyak terpukau pada ekonomi klasik, tapi pada aliran historis dan ekonomi politik. Hatta selalu membedakan dengan tegas teori ekonomi, politik ekonomi, dan orde ekonomi. Gagasan-gagasan ekonominya lebih berorientasi pada Gustav Schmoller, Werner Sombart, dan Karl Marx daripada Adam Smith. Ilmu ekonomi dalam pandangannya bukanlah ilmu yang ahistoris seperti matematika, melainkan ilmu sosial yang hidup menurut perkembangan zaman, sehingga buku teksnya memakai judul “ekonomi sosiologi”. Dalam sejarah filsafat dan filsafat ilmu pengetahuan, orientasi utamanya adalah pada paham neokantianisme. Nama seperti H. Rickert dan W. Windelband, tokoh neokantian dari mazhab Heidelberg yang memberikan perhatian khusus pada sejarah filsafat dan filsafat sejarah, dan sering menjadi referensi Hatta, dengan mudah menandai kecenderungan itu. Seterusnya, dalam sosiologi, dia banyak memakai Max Weber, yang pada waktu itu menegaskan perbedaan hakiki antara ilmu sosial sebagai ilmu empiris dan sosial-politik sebagai praktek yang mengutarakan ideal-ideal kemasyarakatan yang harus dicapai. Ilmu sosial bukanlah alat ideologi, melainkan suatu disiplin ilmiah yang bertugas melukiskan dan menjelaskan kenyataan masyarakat.
 
Sjahrir memang pernah menulis bahwa Hatta hampir tidak punya perhatian pada sastra: “Dalam seluruh perpustakaan H, misalnya, terdapat hanya sebuah roman saja, dan tentang itu pun ia memberikan penjelasan (…) bahwa buku itu dihadiahkan orang kepadanya. Padahal tak bisa disangkal bahwa ia termasuk puncak golongan intelektual kita yang dididik di Eropa.” Ada kesan di sini seakan-akan Sjahrir menyesali bahwa Hatta hanya membaca kepustakaan yang berhubungan dengan bidang studinya, atau surat kabar, dan paling banter sedikit buku hiburan untuk menghilangkan ketegangan saraf. Kritik seperti ini mungkin harus dilihat dalam konteks yang lebih luas. Sebab, Hatta ternyata fasih sekali mengutip sastrawan dunia seperti Goethe, Schiller, dan Victor Hugo, dan pastilah tidak hanya membaca di waktu senggang zijn krant en soms nog wat ontspanningslectuur, sebagaimana dicemaskan Sjahrir. Kecenderungan kepada ilmu pengetahuan ini menonjol juga pada diri Sutan Sjahrir, yang dalam sepucuk suratnya menyatakan bahwa dia sebetulnya ingin mendalami studi kebudayaan tapi harus menjalankan tugas-tugas politik.
 
Namun Sjahrir belum sempat mewujudkan niatnya itu (misalnya menuliskan sebuah buku yang utuh tentang kebudayaan) meskipun Indonesische Overpeinzingen atau Renungan dan Perjuangan merupakan refleksi filsafat kebudayaan yang amat mendalam dan kritis serta masih terlalu sedikit dipelajari sampai hari ini. Hatta tidak hanya menyatakan keinginannya, tapi juga mewujudkannya. Yang menarik dalam tulisan-tulisan ilmiahnya (dan juga dalam tulisan politik dan jurnalistiknya) ialah usaha Hatta untuk membahasakan hampir semua gagasan ilmiah dan filosofis itu dengan padanan dalam bahasa Indonesia tanpa menimbulkan kesan kaku atau artifisial.
 
Dengan tidak ada referensi sebelumnya dalam bahasa ini, dapatlah dibayangkan betapa sulitnya menjelaskan gagasan filsafat dan ilmu pengetahuan dengan kosakata bahasa Indonesia. Sampai sekarang pun tidak banyak ilmuwan yang dapat mengindonesiakan secara memuaskan konsep ceteris paribus dalam bahasa Latin atau other things being equal dalam bahasa Inggris. Konsep itu mengatakan bahwa suatu gejala yang dijelaskan akan muncul lagi kalau syarat-syarat kemunculannya itu tidak berubah. Tapi pada awal 1950-an Hatta sudah menulis, “Sebab itu ilmu dalam segala keterangannya senantiasa mengemukakan syarat: ‘kalau yang selainnya tidak berubah.’ Syarat ini biasa disebut dengan perkataan Latin ‘ceteris paribus’.
 
Pendeknya keterangan ilmu sebenarnya begini duduknya kalau begini jadinya, begitu kelanjutan (akibatnya), asal saja yang selainnya tidak berubah.” Dengan mudah dan ringan dia menjelaskan metode induksi sebagai “jalan (yang) bermula dengan mengumpulkan bukti dan daripada bukti-bukti itu dicari kebulatannya.” Sebaliknya, pada metode deduksi “orang bermula dengan menerima kebenarannya. Kemudian baru diuji kebenarannya dengan memeriksa keadaannya dalam satu-satunya.” Pada titik inilah kelihatan bagaimana pribadi Hatta sebagai orang yang mengutamakan disiplin, menghayati ilmu pengetahuan juga pertama-tama sebagai disiplin, seperti juga dia menghayati organisasi politik, administrasi, agama, dan tata negara sebagai disiplin. Seterusnya, disiplin ilmiah baginya menjadi suatu alat atau perkakas untuk bekerja. Keyakinannya ini sedemikian kuatnya sehingga dapat memberikan kesan seolah-olah dia seorang penganut instrumentalisme epistemologis. Dalam paham instrumentalis diandaikan bahwa pengetahuan tidak punya substansi kebenaran, tapi hanya menjadi “jembatan keledai” yang dapat membawa kita kepada pengetahuan yang benar. Menurut istilah-istilah Hatta, teori ilmu pengetahuan tidak lain dari suatu “stenogram (yang) terambil dari suatu pengalaman” dan “alat untuk mencari kebenaran, bukan kebenaran itu sendiri.” Dalam pandangan saya, pernyataan itu adalah ungkapan seorang guru yang ingin mencegah sikap dogmatis dalam diri para muridnya, agar tidak memandang teori ilmu pengetahuan sebagai doktrin yang harus dipegang teguh tanpa kritik.
 
Teori haruslah dipandang sebagai peralatan yang dapat digunakan dan harus diperbaiki terus-menerus. Seandainya benar bahwa Hatta punya keyakinan instrumentalis yang konsekuen, niscaya dia tidak akan sibuk mengajarkan teori-teori ekonomi, yang dalam pandangannya bertugas “memberi keterangan tentang tabiat manusia yang umum dilakukannya dalam tindakannya menuju kemakmuran.” Definisi itu memang mirip suatu stenogram tentang pengalaman kita mengamati tingkah laku ekonomi dan jelas mengungkapkan suatu substansi pengetahuan dan bukan sekadar “jembatan keledai” yang tidak mengandung suatu pengertian dalam dirinya sendiri tapi hanya menjadi pengantar ke suatu pengertian lain.
 
Dalam istilah epistemologi modern, ilmu pada dasarnya bukan hanya merupakan context of discovery, melainkan sekaligus context of justification. Ilmu bukan hanya jalan atau cara untuk menemukan, melainkan juga jalan dan cara untuk memeriksa dan menguji apa yang telah ditemukan. Hal ini semakin jelas kalau kita melihat sikap Hatta dalam politik. Bagi dia, politik bukan sekadar cara, strategi, dan taktik, tapi juga mengandung sesuatu yang harus dapat dibenarkan secara rasional. Dalam polemik tentang pencalonannya sebagai anggota Tweede Kamer di Den Haag, Desember 1932, muncul kritik keras dari Sukarno yang menganggap tindakan itu telah menafikan sikap nonkoperasi dalam politik Hatta. Menghadapi kritik itu, Hatta mengemukakan bahwa kata-kata Sukarno memang ibarat magnet yang dengan mudah menarik siapa pun yang membacanya.
 
Dia mengakui pula bahwa bakat istimewa Sukarno itu sesuatu yang berguna dan amat diperlukan dalam menggerakkan orang ke suatu tujuan politik. Tapi, kalau orang hendak memberikan penerangan kepada masyarakat, gaya yang menarik itu harus dihadapi dengan tenang dan diperiksa dengan teliti isinya. Ketika Sukarno mengatakan bahwa nonkoperator yang prinsipiil harus menolak bekerja sama dengan semua lembaga yang didirikan oleh pemerintah kolonial, Hatta menjawab bahwa Tweede Kamer tidak didirikan oleh pemerintah kolonial, tapi oleh pemerintah Belanda untuk rakyat Belanda. Siapa yang duduk dalam Tweede Kamer dapat menjatuhkan pemerintahan yang sah di Belanda, suatu hal yang amat berlainan dengan Volksraad di Hindia Belanda yang mustahil menjatuhkan gubernur jenderal. Ilustrasi ini hendak menunjukkan bahwa Hatta bukanlah seorang instrumentalis, melainkan seseorang yang percaya kepada sesuatu yang substansial.
 
Pendiriannya tentang ilmu pengetahuan, keagamaan, dan ketatanegaraan penuh dengan gagasan substansif yang siap dipertahankannya. Barangkali saja posisi seperti inilah yang tidak memungkinkannya bertahan lama dalam pemerintahan, tatkala dia melihat bahwa politik semakin menjadi taktik dan siasat tapi tidak lagi mempertahankan tujuan tempat segala siasat harus dikerahkan. “Siapa yang takut dilamun ombak, jangan berumah di tepi air,” begitu dia menulis suatu waktu tentang orang yang hendak berpolitik tanpa risiko. Sayang bahwa suatu ketika air telah menjadi banjir bandang, sehingga Hatta dengan perhitungan yang dingin dan hati yang getir mengundurkan diri dari sana karena yakin tak ada rumah yang dapat tegak di bibir banjir.

*) Ignas Kleden, Sosiolog, Direktur Center for East Indonesian Affairs, Jakarta. http://sastra-indonesia.com/2016/02/mohammad-hatta-yang-berumah-di-tepi-air/

Tidak ada komentar:

A Khoirul Anam A Qorib Hidayatullah A Rodhi Murtadho A. Yusrianto Elga A. Zakky Zulhazmi A.S. Laksana Aang Fatihul Islam Aba Mardjani Abd. Mun’im Abdul Aziz Rasjid Abdul Gaffar Ruskhan Abdul Hadi W. M. Abdul Kadir Ibrahim Abdul Malik Abdul Muis Abdul Wachid BS Abdullah Khusairi Abidah El Khalieqy Abimardha Kurniawan Abroorza A. Yusra Abu Salman Acep Iwan Saidi Achmad Farid Tuasikal Adek Alwi Adi Marsiela Adian Husaini Adib Muttaqin Asfar Adji Subela Afandi Sido Afriza Hanifa Afrizal Malna Ageng Wuri R. A. Ags. Arya Dipayana Aguk Irawan M.N. Agus B. Harianto Agus Bing Agus Noor Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sri Danardana Agus Sulton Agus Sunyoto Agus Wibowo Agus Wirawan Agusri Junaidi AH J Khuzaini Ahda Imran Ahid Hidayat Ahm Soleh Ahmad Asyhar Ahmad Farid Yahya Ahmad Fuadi Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musthofa Haroen Ahmad Rofiq Ahmad Suhendra Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Aini Aviena Violeta Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sekhu Al Azhar Riau Al-Fairish Alex R. Nainggolan Alexander G.B. Alfian Zainal Aliansyah Alimuddin Almania Rohmah Alunk Estohank Amien Kamil Amien Wangsitalaja Anata Siregar Andi Sutisno Andy Riza Hidayat Anies Baswedan Anindita S Thayf Anis Ceha Anis Faridatur Rofiah Anjrah Lelono Broto Anna Subekti Anton Kurnia Ari Hidayat Ari Kristianawati Arie MP Tamba Arief Junianto Aris Kurniawan Arti Bumi Intaran Arul Arista AS Sumbawi Asarpin Asep Sambodja Atiqurrahman Awalludin GD Mualif Ayu Purwaningsih Babe Derwan Bakdi Soemanto Balada Bale Aksara Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Bayu Dwi Mardana Bellanissa Zoditama Beni Setia Benny Arnas Beno Siang Pamungkas Berita Berita Duka Bernando J. Sujibto Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Bokor Hutasuhut Brunel University London BSW Adjikoesoemo Budaya Budhi Setyawan Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiawan Dwi Santoso Bur Rasuanto Burhanuddin Bella Bustan Basir Maras Catatan Catullus CB. Ismulyadi Cerbung Cerita Rakyat Cerpen Chavchay Syaifullah Cikie Wahab Cunong Nunuk Suraja D Zawawi Imron Dad Murniah Dadang Ari Murtono Dahlia Rasyad Damhuri Muhammad Damiri Mahmud Danarto Daniel Paranamesa Darju Prasetya Darman Djamaluddin Darman Moenir Dasman Djamaluddin David Krisna Alka Dea Anugrah Dedy Tri Riyadi Denny JA Denny Mizhar Desi Sommalia Gustina Dewi Anggraeni Dharma Setyawan Dian Hartati Didi Arsandi Dina Oktaviani Dipo Handoko Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Doddi Ahmad Fauji Doddy Hidayatullah Dodi Chandra Dodiek Adyttya Dwiwanto Dody Kristianto Donny Anggoro Dony P. Herwanto Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Klik Santosa Dwi Pranoto Dwicipta Edy A Effendi Edy Firmansyah Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Eko Darmoko Ellyzan Katan Elnisya Mahendra Emha Ainun Nadjib Endah Imawati Eni Suryanti Eny Rose Eriyandi Budiman Eriyanti Erwin Edhi Prasetya Erwin Setia Esai Evan Ys Evi Idawati F Rahardi Fadly Rahman Fahrudin Nasrulloh Faizah Sirajuddin Faizal Syahreza Fajar Alayubi Fakhrunnas M.A. Jabbar Fanny Chotimah Fariz al-Nizar Fariz Alneizar Faruk HT Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fathurrahman Karyadi Fatimah Wahyu Sundari Fauzan Santa Fazabinal Alim Festival Sastra Gresik Fikri MS Fiksi Mini Fransisca Dewi Ria Utari Franz Kafka Fuad Anshori Furqon Abdi Fuska Sani Evani Gendhotwukir Gendut Riyanto Gerson Poyk Gita Pratama Goenawan Mohamad Gola Gong Grathia Pitaloka Gregorio Lopez y’ Fuentes Gugun El-Guyanie Gunawan Budi Susanto Gus Noy H.H. Tokoro Hadi Napster Hamberan Syahbana Hamdy Salad Hamsad Rangkuti Han Gagas Hang Kafrawi Hani Pudjiarti Hanna Fransisca Hardi Hamzah Hardjono WS Haris del Hakim Haris Priyatna Harris Maulana Hary B. Kori'un Hasan Al Banna Hasan Junus Hasbullah Said Hasnan Bachtiar HE. Benyamine Heidi Arbuckle Helmi Y Haska Helvy Tiana Rosa Hendra Junaedi Hendri Nova Herdoni Syafriansyah Heri Kurniawan Heri Latief Heri Ruslan Herman RN Hermawan Aksan Hermien Y. Kleden Herry Lamongan Holy Adib Humaidiy AS Husni Anshori I Nyoman Darma Putra I Nyoman Tingkat I Wayan Artika Ibnu Wahyudi Ida Farida Ignas Kleden Ilham Khoiri Imam Cahyono Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Tohari Indra Tranggono Indrian Koto Irwan Kelana Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Isma Swastiningrum Ismi Wahid Iwan Gardono Sujatmiko Iwan Gunadi Iwan Kurniawan Iwan Nurdaya Djafar Iwank J.S. Badudu Janoary M Wibowo Javed Paul Syatha JILFest 2008 JJ. Kusni Jodhi Yudono Joko Novianto Bp Joko Pinurbo Jones Gultom Jual Buku Paket Hemat Jusuf AN Kadek Suartaya Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Kedung Darma Romansha Kenedi Nurhan Khaerudin Kurniawan Khaerul Anwar Ki Sugito Ha Es Kirana Kejora Komunitas Deo Gratias Korrie Layun Rampan Kritik Sastra Kunthi Hastorini Kuntowijoyo Kurie Suditomo Kurnia Effendi Kurniawan Kuswinarto La Ode Rabbani Lathifa Akmaliyah Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember Leon Agusta Lily Siti Multatuliana Lily Yulianti Farid Lina Kelana Liza Wahyuninto Lona Olavia Lugiena Dé M Fadjroel Rachman M Farid W Makkulau M Syakir M. Dawam Rahardjo M. Faizi M. Mustafied M. Raudah Jambak M. Taufan Musonip M. Yoesoef M.D. Atmaja M.Th. Krishdiana Putri Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Maklumat Sastra Profetik Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mangun Kuncoro Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria D. Andriana Maria Magdalena Bhoernomo Mariana Amiruddin Maryati Marzuzak SY Mashuri Maulana Syamsuri Media: Crayon on Paper Mega Vristian MG. Sungatno Misbahus Surur Mofik el-abrar Moh. Amir Sutaarga Moh. Ghufron Cholid Mohammad Hatta Mohammad Kh. Azad Mohammad Takdir Ilahi Much. Khoiri Muhamad Taslim Dalma Muhammad Rain Muhammad Subhan Muhammad Yasir Muhammadun A.S Muhidin M Dahlan Mujtahid Mulyawan Karim Musa Ismail Musfi Efrizal Mustafa Ismail Mustofa W Hasyim N Teguh Prasetyo N. Mursidi Nadhi Kiara Zifen Nana Riskhi Susanti Nanang Suryadi Naskah Teater Nasrulloh Habibi Neva Tuhella Nietzsche Nirwan Dewanto Nizar Qabbani Noor H. Dee Nova Christina Novelet Nunung Nurdiah Nur Wachid Nurani Soyomukti Nurel Javissyarqi Nurman Hartono Nuryana Asmaudi Nyoman Tusthi Eddy Obrolan Oky Sanjaya Oyos Saroso HN P Ari Subagyo Pagelaran Musim Tandur Pamusuk Eneste Panji Satrio PDS H.B. Jassin Penerbit dan Toko Buku PUstaka puJAngga Pipiet Senja Pramoedya Ananta Toer Pringadi AS Pringgo HR Prosa Puisi Puji Santosa Purnawan Andra PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Satria Kusuma Putu Wijaya R Masri Sareb Putra R. Adhi Kusumaputra R. Timur Budi Raja R.N. Bayu Aji Radhar Panca Dahana Ragdi F. Daye Rahmi Hattani Raja Ali Haji Raju Febrian Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Dira J Rama Prabu Ramadhan KH Ramon Magsaysay Ramses Ohee Ratih Kumala Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Ressa Novita Ressa Sagitariana Putri Ria Ristiana Dewi Rialita Fithra Asmara Ribut Wijoto Rida K Liamsi Rifka Sibarani Rilda A. Oe. Taneko Rilda A.Oe. Taneko Rimbun Natamarga Rinto Andriono Risang Anom Pujayanto Rita Zahara Riyon Fidwar Robin Al Kautsar Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Rohman Budijanto Rukardi S Yoga S. Jai S. Takdir Alisyahbana S.W. Teofani Sabrank Suparno Sahaya Santayana Sajak Sajak Sebatang Lisong Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Salman S. Yoga Salyaputra Samson Rambah Pasir Samsudin Adlawi Sanie B. Kuncoro Santy Novaria Sapardi Djoko Damono Sarabunis Mubarok Sartika Dian Nuraini Sasti Gotama Sastra Nusantara Satmoko Budi Santoso Satriani Saut Poltak Tambunan Saut Situmorang Sekolah Literasi Gratis (SLG) Selasih Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Shadiqin Sudirman Shiny.ane el’poesya Shourisha Arashi Sidik Nugroho Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sindu Putra Siska Afriani Siti Sa’adah Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Slamet Samsoerizal Sobih Adnan Sofyan RH. Zaid Solihin Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sony Wibisono Sosiawan Leak Sri Wintala Achmad Sri Wulan Rujiati Mulyadi Stevani Elisabeth Suci Ayu Latifah Sucipto Hadi Purnomo Sudarmoko Sudirman HN Suhadi Mukhan Suharsono Sukar Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sunudyantoro Supriyadi Suriani Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syahruddin El-Fikri Syaripudin Zuhri Syifa Aulia Syu’bah Asa T.A. Sakti Tammalele Tan Lioe Ie Tasyriq Hifzhillah Taufik Abdullah Taufik Effendi Aria Taufik Ikram Jamil Taufiq Wr. Hidayat TE. Priyono Teguh Winarsho AS Tenas Effendy Tengsoe Tjahjono Thayeb Loh Angen Theresia Purbandini Tia Setiadi Tias Tatanka Tito Sianipar Tjahjono EP Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tjut Zakiyah Anshari Topik Mulyana Tosa Poetra Tri Harun Syafii TS Pinang Tu-ngang Iskandar Udo Z. Karzi Uly Giznawati Umar Fauzi Ballah Umbu Landu Paranggi Umi Kulsum Uniawati Universitas Indonesia Usman Arrumy Usman D.Ganggang Utada Kamaru UU Hamidy Viddy AD Daery W.S. Rendra Wa Ode Wulan Ratna Wahib Muthalib Wahyudi Akmaliah Muhammad Wardjito Soeharso Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Sunarta Weli Meinindartato Wicaksono Widodo DS Wina Karnie Wisran Hadi Wong Wing King Yan Maniani Yanti Mulatsih Yanuar Arifin Yasser Arafat Yaumu Roikha Yetti A. KA Yohanes Padmo Adi Nugroho Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yudhi Ms Yudhistira ANM Massardi Yulianna Yurnaldi Yusi A. Pareanom Yusi Avianto Pareanom Yusri Fajar Yusrizal KW Yuyun Ifa Naliah Zaim Rofiqi Zainal Arifin Thoha Zakki Amali Zakky Zulhazmi Zawawi Se Zehan Zareez Zelfeni Wimra Zuarman Ahmad Zulfikar Akbar