Alunk Estohank *
Kita bagaikan sebuah kapal kosong, tak memiliki arah dan
tujuan. Kita berjalan dan meraba-raba bagaikan orang buta. (David Michel Levin:
1988).
Di era globalisasi ekonomi dan informasi ini, karya
sastra seperti apa yang dikatakan Michel Levin di atas. Bagaikan sebuah kapal
kosong yang tak memiliki arah dan tujuan. Para penyair tepatnya para penulis
puisi, berbicara tentang kotak-kotak yang ada dalam dirinya sendiri. mereka
enggan keluar dari belenggu imajinasi, untuk sekedar melihat persoalan-persoalan
sosial di masyarakat. Sehingga yang terjadi adalah mereka menghasilkan
sebuah karya sastra yang indah kata-katanya bahkan lebih indah dari lamunan
anak-anak muda.
Disadari atau
tidak, karya sastra saat
ini lebih mementingkan bentuk ketimbang isi, sehingga para penulis khususnya
pemula, mencoba menulis puisi sebagus mungkin dan seindah mungkin, hanya untuk
mendapatkan sebuah apresiasi dari para penyair tua atau dari para redaktur
koran. Bahkan yang lebih parah lagi hanya untuk menahbiskan dirinya agar diakui
oleh publik kalau mereka adalah penyair.
Marilah kita
pikir ulang, untuk apa jadi penyair jika hanya mempunyai tujuan seperti itu.
Apakah setelah kita menjadi penyair kita akan kaya raya atau minimal
orang-orang menghormati kita? Tidak, semua itu hanyalah bayang-bayang semu
belaka, yang menentukan adalah karya kita, bisakah kita membuat pembaca
berkobar semangatnya seperti yang telah di lakukan WS Rendra atau Widji Thukul.
Atau paling tidak puisi yang kita tulis tidak melulu menagis dan bersedih.
Memang, era
globalisasi ekonomi dan informasi, menawarkan berbagai keterbukaan dan
kebebasan, ekonomi bebas, komonikasi bebas, seks bebas dan imajinasi para
penyair pun bebas berkeliaran kemana-mana, sehingga mereka bebas menulis apa
saja yang mereka mau, entah itu persoalan pribadi atau golongan. Tidak tahu
apakah yang mereka tulis bermanfaat atau tidak, yang penting bagi mereka adalah
menulis dan di muat di berbagai koran lokal atau nasional.
Bukan hanya
itu namun permasalahan yang terjadi sekarang adalah para penulis lebih banyak
menulis dari pada membaca. Maka tidak heran jika karya yang dihasilkan adalah
karya abal-abal, tidak mempunyai pengaruh terhadap pembacanya. Bahkan bisa kita
lihat bagaimana karya itu bertahan, bisakah puisi-puisi yang dihasilkan para
penulis saat ini bertahan lama hingga beberapa tahun kedepan, jika ada maka
karya tersebut merupakan pengecualian, namun apakah karya seperti itu memang
ada pada zaman sekarang?
Pertanyaan ini musti kita jawab bersama dengan membaca karya sastra yang lahir
belakangan.
Fenomena ini bukan fiktif belaka, membaca dan menulis
adalah satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan. Jika kita mau menjadi penulis yang baik maka kita harus menjadi pembaca
yang baik pula. Sebenarnya kalau kita mau membaca sejarah intelektual,
maka bangsa Yunanilah jawabannya. Sebab orang-orang Yunani percaya kalau untuk
memahami alphabet, mereka harus bisa membaca dan menulis, sehingga
gagasan-gagasan akan muncul dan dari situ mereka akan memasuki dunia
intelektual.
Atau kalau
kita mau berkaca, maka lihatlah Marx, bagaimana sejarah hidup Marx hingga dia
menjadi orang besar dan melahirkan karya besar pula. Konon sosok berjenggot
lebat ini mempunyai agenda tersendiri dalam setiap harinya: agenda membaca
buku. Sekitar bangun jam tujuh dengan kebiasaan minum kopi
pahit, setelah itu tanpa basa-basi ia kemudian langsung masuk ke ruang belajar,
menutup pintu dan duduk memegang buku. Setiap hari Marx melakukan hal semacam
itu, tak peduli hidupnya menoton, karena membaca adalah ibadah baginya. Dalam
hidupnya Marx tak terkonsep oleh waktu, ia membaca buku siang dan malam, itulah
Marx. Mengenal Marx termasuk mengenal buku, membaca Marx adalah membaca buku
yang melimpah ruah pengetahuannya.
Oleh sebab
itu, satu-satunya memahami keadaan para penulis sekarang adalah dengan
realitas, di mana fakta lapangan dapat ditangkap rasio sebagai kebenaran. Para
penulis saat ini bisa dibilang penulis yang buta dan pikun terhadap buku,
ironisnya mereka tidak bisa bersembunyi dengan keapatisannya terhadap buku.
Mereka menjadi sangat pragmatis dengan memasuki dunia tulis menulis atau yang akrab di
sebut dunia jurnalistik itu. Mereka memandang tulis menulis hanya untuk mendapatkan
tepuk tangan dari masyarakat dan
pengakuan bahwa mereka adalah penyair, cerpenis, esais dan kolomnis. Ini
fakta, semua para generasi muda yang memasuki dunia tulis menulis adalah demi
sebuah nama, demi sebuah pengakuan. Bukan untuk ilmu pengetahuan, bukan untuk kemanusian apalagi untuk mengenal
buku.
Almarhum
cendikiawan Wiratmo Soekito seringkali mengatakan dalam diskusi-diskusi kebudayaan di Taman
Ismail Marzuki, Jakarta. Menurut
beliau membaca buku apalagi hafal setiap kutipan, halaman,
penerbit, hingga kredit bukunya adalah kebaikan. Namun, semua itu seperti tak
berjejak pada generasi berikut, yaitu generasi hari ini. generasi barisan
manusia muda yang rapi dan canggih, dengan daya teknologis yang super:facebook, twitter, whatsApp,
line, messenger, BBM, skype, instagram, wechat, dll. Bukan dengan buku lagi
aktifitas mereka, bukan lagi ilmu pengetahuan di bagian depan ingatan mereka
tapi bayang-bayang semu akan
karya yang fenomenal dan tepuk tangan yang meriah dari publik.
Maka tak
jarang kita saksikan setiap tahun berap buku yang terbit dan berapa puisi yang
terantologikan namun adakah yang membekas di kepala kita? Kalau
Nirwan Dewanto mengatakan: saya mengenang buku satra yang terbit karena
menghargai tanah kelahiran saya. Sebenarnya secara tidak langsung Nirwan Dewanto ingin mengatakan tak ada yang patut dikenang
untuk terbitan buku kesusastraan mutakhir kita. Jika benar demikian, sungguh fenomena ini sangat mengerikan.
*) Alunk Estohank (Alunk S Tohank atau
Nurul Anam), Esais tinggal di Yogyakarta. Sekarang aktif di Lesehan Sastra
Kutub Yogyakarta (LSKY).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar