Ribut
Wijoto
beritajatim.com
03 Mei 2017
Diakui atau
tidak, prestasi kesenian Jawa Timur masih kalah dibanding DIY, Jawa Barat,
maupun Bali. Kalah dalam hal produktivitas, kualitas, maupun iklim yang
dibangun. Entah di bidang tari, teater, film, musik, maupun seni rupa. Jawa
Timur seakan hanya bisa sukses di wilayah ekonomi (baca: industri) namun
terpuruk di bidang kesenian.
Menyikapi problem tersebut, Jawa Timur butuh terobosan baru. Butuh penciptaan sistem berkesenian yang baru. Tujuannya agar kehidupan berkesenian menjadi lebih terstruktur, terukur, dan target-targetnya jelas. Artinya, kalangan seniman tidak perlu takut dengan istilah “struktur”.
Sebab kadangkala, ada pemahaman yang salah terhadap istilah tersebut. Sehingga, para seniman kerap menghindari kinerja yang terstruktur. Padahal, di bebeberapa lembaga kesenian, kerja terstruktur adalah suatu kemutlakan. Lihat saja di Teater Koma, galeri-galeri, atau sanggar yang mapan. Kesemua kerja mereka terstruktur. Berproses dengan target terukur.
Tapi memang, mengharapkan pekerja seni untuk mengubah tradisi berkeseniannya teramat sulit. Komunitas-komunitas kesenian maupun pelaku seni yang “telanjur berkesenian” dengan “cara mereka” tidak bisa diharapkan berubah dengan sendirinya. Intinya, perlu ada terobosan baru. Butuh pengkondisian.
Pada titik pengkondisian tersebut, Jawa Timur membutuhkan lembaga yang bisa menjamin kualitas standar dan keberlangsungan produk kesenian. Kurator. Mengapa harus kurator? Lembaga ini dibutuhkan karena beberapa latar belakang persoalan kesenian di Jawa Timur.
Pertama, latar belakang dana. Hampir semua produksi kesenian saat ini membutuhkan biaya. Dana kesenian diperoleh melalui sponsor, bantuan pribadi, dan subsidi produksi dari pemerintah. Tetapi, sungguh, persoalan ini amat rumit.
Jumlah sponsor sedikit dan sebaliknya jumlah pekerja seni amat bejibun. Sehingga, sponsor harus melakukan seleksi. Memilih beberapa pekerja seni dari sekian banyak pekerja seni. Pada prakteknya, sponsor memilih pekerja seni yang dibiayai seperti memasukkan tangan dalam karung. Istilah kasarnya adalah “membabi buta”.
Pihak sponsor kesulitan memilih pekerja seni yang layak dibiayai karena di Jawa Timur bidang kritik seni tidak berjalan. Mana pekerja seni yang memiliki standar kualitas tinggi. Mana pekerja seni yang seakan mirip “dukun tiban”. Semuanya tidak jelas. Akhirnya, sponsor hanya bisa berspekulasi. Memberi uang dengan harapan karya yang sajikan berkualitas tinggi.
Lebih sering lagi, sponsor memberi biaya kepada pekerja seni atas dasar kedekatan personal. Dan paling sering, perusahaan di Jawa Timur menahan dananya karena tidak percaya dengan para pekerja seni. Maka, peran kurator kesenian dibutuhkan.
Kedua, keberlangsungan proses produksi. Sponsor sebenarnya membutuhkan jaminan bahwa produksi yang dibiayainya jelas-jelas tidak berhenti di tengah jalan. Semisal, Teater Gapus Surabaya memiliki konsep yang kuat terhadap garapan drama. Tema, perspektif, dan artistik yang diusung telah matang. Sarana dan prasarana yang dibutuhkan banyak. Pementasan direncanakan keliling Indonesia. Otomatis, dana yang dibutuhkan juga besar. Taruhlah butuh dana Rp 200 juta.
Sponsor bisa saja tertarik dengan tawaran Teater Gapus. Tapi persoalannya, pihak sponsor tidak mampu menutup semua biaya operasional. Bila hanya 20 atau 30 persen, sponsor masih mampu. Tapi, sekali lagi, mengeluarkan dana 20 persen dari biaya produksi juga susah. Mengapa.
Persoalannya, sponsor perlu jaminan bahwa produksi tersebut akan berjalan sampai tuntas. Tidak macet di tengah jalan dengan alasan dana produksi kurang. Atau, produksi tetap berjalan tetapi tidak maksimal karena menggunakan dana seadanya.
Pemerintah juga mengalami kesulitan yang sama dengan sponsor. Sulit memilih pekerja seni yang layak untuk dibiayai. Takut juga bila produksi seni yang telanjur dibiayai akan berhenti di tengah jalan. Sementara, untuk membiaya secara penuh, pemerintah tentu tidak mampu. Maka, peran kurator kesenian dibutuhkan.
Kurator kesenian yang dimaksud di sini harus dibentuk oleh pemerintah. Tugasnya memberi masukan kepada pemerintah perihal produksi seni yang layak dibiayai. Layak diberi subsidi produksi.
Lantas bagaimana kerja kurator. Tugas kurator adalah memilih pekerja seni atau garapan seni yang layak dibiayai. Semisal dalam satu tahun, kurator memilih lima penggarapan drama yang memiliki konsep kuat.
Kelima penggarapan tersebut tidak perlu total biayanya ditanggung oleh pemerintah. Pihak pemerintah cukup menanggung masing-masing 40 persen biaya produksi. Sisa 60 persen diserahkan ke pekerja seni untuk mencarinya ke sponsor.
Menyambut tawaran dari pekerja seni hasil pilihan kurator, pihak sponsor tentu tidak perlu pikir panjang untuk menerima. Hal itu terjadi karena kualitas produksi telah dijamin oleh kurator. Selain itu, sebesar 40 persen biaya produksi telah ditanggung pemerintah.
Kemungkinan produksi seni tersebut gagal atau meleset dari target bisa diminimalisir. Apalagi, selama penggarapan berlangsung, kurator harus terus memantau sekaligus memberi masukan-masukan.
Bila sistem kuratorial ini dijalankan oleh Pemerintah Provinsi Jawa Timur, kemunculan produksi drama berkualitas sangat bisa diharapkan. Hal yang sama juga terjadi di bidang seni tari, film, maupun seni musik.
Terlebih, dengan adanya sistem kuratorial yang jelas, para pekerja seni juga akan berlomba-lomba membikin konsep yang kuat dengan target kualitas yang maksimal. Tujuannya agar masuk dalam pilihan kurator. Situasi kompetitif inilah yang menciptakan iklim berkesenian yang kondusif.
Lantas apakah pemerintah perlu membentuk lembaga baru untuk tim kuratorial. Sebenarnya, di Jawa Timur, lembaga tersebut sudah ada. Dewan Kesenian Jawa Timur (DK-Jatim). Kinerja lembaga ini bisa lebih maksimal bila diberi tugas kuratorial. Toh, DK-Jatim telah memiliki kelengkapan struktur. Memiliki komite teater, seni rupa, tari, film, sastra, dan komite musik. Mereka juga terdiri dari orang-orang terpilih.
Sebaiknya, memang, di tingkat provinsi tugas kuratorial diserahkan kepada para komite DK-Jatim. Sementara di tingkat kabupaten atau kota, tugas kuratorial diserahkan kepada komite di Dewan Kesenian Kabupaten/ Kota.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar