Awalludin GD Mualif
sastra-indonesia.com
Keberadaan alam semesta beserta isinya,
manifestasi dari cara Tuhan menunjukan kebesaranya.
Tubuh, Bahasa
Tubuh bahasa merupakan ruh yangmembutuhkan ruang, ada ruang tubuh, ada ruang bahasa. Tanpa ruh, tubuh danbahasa hanyalah seonggok daging tanpa nyawa, ibarat benda mati: ada tangan, kaki,kepala, yang terpotong sebagian atau seluruh bagiannya, namun tak bernyawa. “Bendamati” sebagai bagian terkecil dari susunan bahasa, ibarat bagian tubuh yangterpotong beserakan. Sedangkan pada bahasa, tubuh menjelma dalam bentuk grafis berupahuruf: a, b, c, dst.
Sebagai sesuatu yang tak bernyawa merekatak dapat mengenali alam kenyataan, apalagi mempermainkanya. Mereka dapatmengolahnya ketika ruh bersarang di dalamnya, menggerakan, memberikan daya,bergerak dinamis, memiliki tenaga serta kekuatan tanpa bergantung kepada “dayahidup lainya”. Maka, ia ibarat pusaran air yang mampu menelan apa punyang masuk ke dalam lingkarannya.
Kesadaran Tubuh
Daya bahasa adalah kesadaran yangditiupkan oleh Tuhan, bernama “ruh”, dimana nalaria dan naluria,gagasan dan harapan berada di dalamnya. Kesadaran merupakan pancaran ruh yangtak mau lepas dari Tuhannya, bayangan yang tak lepas dari bendanya. Sebagaidaya bahasa kesadaran dapat menggambarkan dunia kenyataan. Ia mampu bercerita, pulamenyingkap misteri kenyataan. Dengannya sebuah kenyataan mampu dipertimbangkanatau dicampakan. Ringkasnya, sebuah kenyataan dapat diberi bentuk.
Bahasa pun dapat menjadi sebuah alammisteri, namun ia dapat dikuak lewat kesadaran manusia. Tanpa manusia beserta kesadarannya,bahasa tetaplah menjadi misteri yang tidak akan menjadi daya (tenaga) bahasa.Selihai apa pun manusia menyusun rangkaian bahasa, - bentuk dan penempatan huruf – ia akan tetapmenjadi parade benda mati. Dengan kesadaranlah sebuah kenyataan dapat dikelola.
Semesta merupakan kepingan mozaik yangtercecer dan terserak di alam. Bagai reranting yang terpisah dan jatuh daribatangnya. Atau, seperti tangan manusia yang terlepas dari tubuhnya.Fragmentasi kedua hal tersebut merupakan seonggok benda tak bernyawa, keindahanbeserta fungsinya ada pada kelengkapan tubuh-batang dan tubuh-manusianya. Mereka yang tidak memiliki jiwa tidaklah hidup: karena jiwa dan kehidupan menyatu beradadalam tubuh induknya. Sepertibulu seekor burung yang tercerabut dari tubuhnya, melayang, jatuh, danmengering. Keelokan bulu burung itu ada dalam keutuhan burung itusendiri, bulu tersebut menjadi indah saat ia berada dalam tubuh burung.
Seperti itulah saya menafsirkan tampilanhuruf-huruf, yang tertulis, terbaca. Grafis a, b, c, d, dan seterusnyamerupakan benda mati, sama halnya dengan fragmen alam yang adalah benda mati,belum memiliki jiwa, belum hidup, tak dapat mengenali serta belum dapatmengelola sebuah kenyataan. Mereka belum memiliki kesadaran.
Semesta, Bahasa
Lalu apakah yang dinamakan bahasa?Apakah ia rangkaian dari huruf-huruf yang sudah hidup, memiliki kesadaran?Ataukah huruf-huruf yang tersusun merangkai sebuah kesadaran, menjelma menjadimisteri-misteri bahasa? Misteri bahasa lahir dari sebuah keasadaran, darisusunan, dari pertimbangan, dari permainan dan kemungkinan-kemungkinan. Ibaratruh yang terperangkap dalam sebuah tubuh, begitu pun manusia terperangkap di dalamsemesta, atau sebuah kesadaran yang terperangkap dalam kata-kata. Mereka inginmelepaskan diri tapi bukan untuk melarikan diri, untuk melihatdari luar guna menjangkau serta mengenali siapakah gerangan yang membuat merekaterkungkung tak bisa lepas dari kemisteriannya.
Sepi, sunyi, tak bersemangat, putus asa,sesekali muncul pengharapan, adalah ciri-ciri dari mereka yang terperangkap.Tak ada kata takluk dan menyerah. “perlawanan” selalu diupayakan untukmenghasilkan simbol, juga metafora, agar dapat menjangkau keluar dari dirinyaatau bahkan masuk ke dalam dirinya. Gerak ruh yang dipenuhi kegelisahanmembutuhkan ruang. Bahasa adalah ruangnya. Bahasa mampu menggerakanhuruf-hurufnya demi memenuhi kegelisahan kesadaran, melayani kebutuhankesadaran. Kebutuhan kesadaran untuk mengetahui arti dunia yang belumdikenalinya atau mencoba untuk dikenali.
Kumpulan kata-kata yang dipotong danpotongan hurufnya dipisahkan, hanyalah grafis huruf. Maka itu, rumput dan bergoyang, tiang dan akhirbelum memberikan makna apa-apa, saat ia kita baca sebagai fragmen, belum dapat menggugah rasa kesadaranpembaca (karena kesadaran tersebut belum disematkan oleh penulisnya). Berbedaketika penulisnya bergerak merangkai kata-kata dalam bentuk penghayatan akankenyataan alam, menjelmalah semua kata dan membentuk dunia kenyataan. Dalam barissyair lagu Ebit Gad “ tanyalah pada rumput yang bergoyang”, merupakansebuah “analogi” dan “metafora”. Ebit GAD dengan sangat indah melukiskansebuah bentuk jalan keluar dari permasalahan yang dihadapi oleh manusia dalammenjalani roda kehidupan, pula dengan sangat apik menganalogikan manusiamencari tempat untuk mencurahkan segala permasalahan yang sedang dihadapi yaitudengan bertanya kepada seorang Alim (orang yang ahli dzkir) yakni, rumput yang bergoyang. Disana bahasa telah memberikan dinaya untuk merengkuh semesta, terpanaholeh semesta, telah mentakdirkan kehidupanya sendiri, alam berpikirnya sendiri.Dari huruf-huruf “mati” tiba-tiba ia bergerak, tersusun, hidup, dan akhirnyamengandung semesta di dalam dirinya. Rumput dan bergoyang sebagai kata(kenyataan) yang kita kenal adalah sesuatu yang biasa, tak bertenaga, takmemiliki misteri. Namun, begitu “rumput” digabung dengan “bergoyang”, laluditambahkan kata “yang”, menjelmalah keluasan tanpa batas itu: tanyalah padarumput yang bergoyang. Selaras dengan hal tersebut, tiang dan akhirmerupakan dua kata yang tak mempunyai tenaga, berbeda ketika kedua katatersebut digabungkan, lalu ditambahkan kata “tanpa” diantara keduanya: tiangtanpa akhir, maka ia akan menjadi susunan bahasa yang bermakna luas.
Misteri bahasa datang dari kata-katayang saling merangkai, saling bermain. Sebaliknya, semesta akan buyar tatkalarangkaian huruf-huruf diceraiberaikan dari tubuhnya, dari tubuh bahasa. Punmisterinya akan berantakan. Ia kembali menjadi benda mati, parade grafis dari huruf-huruf.
Dunia kenyataan yang “coba” kita kenalimelalui panca indera kita yang terbatas, tidak akan dapat menguak misterisemesta. Indera kita hanya dapat melihat sebatas kemampuan indera itu sendiri.Maka tidaklah mudah, dan tidak seorang pun dapat dijadikan rujukan sebabsemesta merupakan misteri Ilahi. Pula sangat tidak “mudah” mencari intelektual,agamawan, ilmuwan yang mampu dan dengan pasti menjelaskan misteri semesta.Kalaupun ada, semuanya akan masuk kerana dunia perkiraan. Bahasa mencobamelukiskannya melalui rangkaian syair yang tersusun apik.
Dalam perjalanan dunia sastra kitamengenal nama Abu Nuwas dan beberapa penyair yang mencoba menggerakan hurufmelalui rangkaian bahasa “sufi” demi mencoba mengungkap kemisterian serta kuasaTuhan dan semesta penyair dari Bagdad (Irak), yang dikenal lewat syairnya yangmashur, dan hingga kini masih sering diperdendangkan menjelang Sholat di surau-suraudi tanah Nusantara ini: “Wahai Tuhanku, aku bukanlah orang yang layak masukke surgaMu. Namun aku tak sanggup untuk masuk ke nerakaMu. Makaitu berikan aku kekuatan bertaubat dan ampunilah dosa-dosaku. Karenahanya Engkaulah yang mampu mengampuni dosa-dosa besar. Maka ampunilahdosaku, karena hanya Engkaulah yang Mahapengampun segala dosa.”
Bahasa, Kuasa Misteri
Bahasa senantiasa mencoba menjadi mediaatas misteri keputusan Tuhan akan nasib manusia di antara surga dan neraka. AbuNuwas mengungkapkan kelemahan dirinya sebagai hamba di hadapan Tuhan, namunsekaligus mencoba “menawar” sebuah keputusan atas ke Mahakuasa Tuhan dalam menentukannasib hambaNya.
Mungkin beginilah kesadaran mencaribahasa, dan bahasa mencari kata-kata guna mengenali alam, mengelola maknamelalui simbol-metafora agar dapat tertangkap panca indera manusia. Sedangkanalam beserta seluruh hiruk pikuk yang berada di dalamnya tetaplah menjadimisteri, sebagaimana Tuhan dimana kemisterian hanya dapat “dicoba” untuk dimengertitanpa kesimpulan pasti.
Yogyakarta, 29 Desember 2013
https://www.facebook.com/kanjeng.tok
sastra-indonesia.com
Keberadaan alam semesta beserta isinya,
manifestasi dari cara Tuhan menunjukan kebesaranya.
Tubuh, Bahasa
Tubuh bahasa merupakan ruh yangmembutuhkan ruang, ada ruang tubuh, ada ruang bahasa. Tanpa ruh, tubuh danbahasa hanyalah seonggok daging tanpa nyawa, ibarat benda mati: ada tangan, kaki,kepala, yang terpotong sebagian atau seluruh bagiannya, namun tak bernyawa. “Bendamati” sebagai bagian terkecil dari susunan bahasa, ibarat bagian tubuh yangterpotong beserakan. Sedangkan pada bahasa, tubuh menjelma dalam bentuk grafis berupahuruf: a, b, c, dst.
Sebagai sesuatu yang tak bernyawa merekatak dapat mengenali alam kenyataan, apalagi mempermainkanya. Mereka dapatmengolahnya ketika ruh bersarang di dalamnya, menggerakan, memberikan daya,bergerak dinamis, memiliki tenaga serta kekuatan tanpa bergantung kepada “dayahidup lainya”. Maka, ia ibarat pusaran air yang mampu menelan apa punyang masuk ke dalam lingkarannya.
Kesadaran Tubuh
Daya bahasa adalah kesadaran yangditiupkan oleh Tuhan, bernama “ruh”, dimana nalaria dan naluria,gagasan dan harapan berada di dalamnya. Kesadaran merupakan pancaran ruh yangtak mau lepas dari Tuhannya, bayangan yang tak lepas dari bendanya. Sebagaidaya bahasa kesadaran dapat menggambarkan dunia kenyataan. Ia mampu bercerita, pulamenyingkap misteri kenyataan. Dengannya sebuah kenyataan mampu dipertimbangkanatau dicampakan. Ringkasnya, sebuah kenyataan dapat diberi bentuk.
Bahasa pun dapat menjadi sebuah alammisteri, namun ia dapat dikuak lewat kesadaran manusia. Tanpa manusia beserta kesadarannya,bahasa tetaplah menjadi misteri yang tidak akan menjadi daya (tenaga) bahasa.Selihai apa pun manusia menyusun rangkaian bahasa, - bentuk dan penempatan huruf – ia akan tetapmenjadi parade benda mati. Dengan kesadaranlah sebuah kenyataan dapat dikelola.
Semesta merupakan kepingan mozaik yangtercecer dan terserak di alam. Bagai reranting yang terpisah dan jatuh daribatangnya. Atau, seperti tangan manusia yang terlepas dari tubuhnya.Fragmentasi kedua hal tersebut merupakan seonggok benda tak bernyawa, keindahanbeserta fungsinya ada pada kelengkapan tubuh-batang dan tubuh-manusianya. Mereka yang tidak memiliki jiwa tidaklah hidup: karena jiwa dan kehidupan menyatu beradadalam tubuh induknya. Sepertibulu seekor burung yang tercerabut dari tubuhnya, melayang, jatuh, danmengering. Keelokan bulu burung itu ada dalam keutuhan burung itusendiri, bulu tersebut menjadi indah saat ia berada dalam tubuh burung.
Seperti itulah saya menafsirkan tampilanhuruf-huruf, yang tertulis, terbaca. Grafis a, b, c, d, dan seterusnyamerupakan benda mati, sama halnya dengan fragmen alam yang adalah benda mati,belum memiliki jiwa, belum hidup, tak dapat mengenali serta belum dapatmengelola sebuah kenyataan. Mereka belum memiliki kesadaran.
Semesta, Bahasa
Lalu apakah yang dinamakan bahasa?Apakah ia rangkaian dari huruf-huruf yang sudah hidup, memiliki kesadaran?Ataukah huruf-huruf yang tersusun merangkai sebuah kesadaran, menjelma menjadimisteri-misteri bahasa? Misteri bahasa lahir dari sebuah keasadaran, darisusunan, dari pertimbangan, dari permainan dan kemungkinan-kemungkinan. Ibaratruh yang terperangkap dalam sebuah tubuh, begitu pun manusia terperangkap di dalamsemesta, atau sebuah kesadaran yang terperangkap dalam kata-kata. Mereka inginmelepaskan diri tapi bukan untuk melarikan diri, untuk melihatdari luar guna menjangkau serta mengenali siapakah gerangan yang membuat merekaterkungkung tak bisa lepas dari kemisteriannya.
Sepi, sunyi, tak bersemangat, putus asa,sesekali muncul pengharapan, adalah ciri-ciri dari mereka yang terperangkap.Tak ada kata takluk dan menyerah. “perlawanan” selalu diupayakan untukmenghasilkan simbol, juga metafora, agar dapat menjangkau keluar dari dirinyaatau bahkan masuk ke dalam dirinya. Gerak ruh yang dipenuhi kegelisahanmembutuhkan ruang. Bahasa adalah ruangnya. Bahasa mampu menggerakanhuruf-hurufnya demi memenuhi kegelisahan kesadaran, melayani kebutuhankesadaran. Kebutuhan kesadaran untuk mengetahui arti dunia yang belumdikenalinya atau mencoba untuk dikenali.
Kumpulan kata-kata yang dipotong danpotongan hurufnya dipisahkan, hanyalah grafis huruf. Maka itu, rumput dan bergoyang, tiang dan akhirbelum memberikan makna apa-apa, saat ia kita baca sebagai fragmen, belum dapat menggugah rasa kesadaranpembaca (karena kesadaran tersebut belum disematkan oleh penulisnya). Berbedaketika penulisnya bergerak merangkai kata-kata dalam bentuk penghayatan akankenyataan alam, menjelmalah semua kata dan membentuk dunia kenyataan. Dalam barissyair lagu Ebit Gad “ tanyalah pada rumput yang bergoyang”, merupakansebuah “analogi” dan “metafora”. Ebit GAD dengan sangat indah melukiskansebuah bentuk jalan keluar dari permasalahan yang dihadapi oleh manusia dalammenjalani roda kehidupan, pula dengan sangat apik menganalogikan manusiamencari tempat untuk mencurahkan segala permasalahan yang sedang dihadapi yaitudengan bertanya kepada seorang Alim (orang yang ahli dzkir) yakni, rumput yang bergoyang. Disana bahasa telah memberikan dinaya untuk merengkuh semesta, terpanaholeh semesta, telah mentakdirkan kehidupanya sendiri, alam berpikirnya sendiri.Dari huruf-huruf “mati” tiba-tiba ia bergerak, tersusun, hidup, dan akhirnyamengandung semesta di dalam dirinya. Rumput dan bergoyang sebagai kata(kenyataan) yang kita kenal adalah sesuatu yang biasa, tak bertenaga, takmemiliki misteri. Namun, begitu “rumput” digabung dengan “bergoyang”, laluditambahkan kata “yang”, menjelmalah keluasan tanpa batas itu: tanyalah padarumput yang bergoyang. Selaras dengan hal tersebut, tiang dan akhirmerupakan dua kata yang tak mempunyai tenaga, berbeda ketika kedua katatersebut digabungkan, lalu ditambahkan kata “tanpa” diantara keduanya: tiangtanpa akhir, maka ia akan menjadi susunan bahasa yang bermakna luas.
Misteri bahasa datang dari kata-katayang saling merangkai, saling bermain. Sebaliknya, semesta akan buyar tatkalarangkaian huruf-huruf diceraiberaikan dari tubuhnya, dari tubuh bahasa. Punmisterinya akan berantakan. Ia kembali menjadi benda mati, parade grafis dari huruf-huruf.
Dunia kenyataan yang “coba” kita kenalimelalui panca indera kita yang terbatas, tidak akan dapat menguak misterisemesta. Indera kita hanya dapat melihat sebatas kemampuan indera itu sendiri.Maka tidaklah mudah, dan tidak seorang pun dapat dijadikan rujukan sebabsemesta merupakan misteri Ilahi. Pula sangat tidak “mudah” mencari intelektual,agamawan, ilmuwan yang mampu dan dengan pasti menjelaskan misteri semesta.Kalaupun ada, semuanya akan masuk kerana dunia perkiraan. Bahasa mencobamelukiskannya melalui rangkaian syair yang tersusun apik.
Dalam perjalanan dunia sastra kitamengenal nama Abu Nuwas dan beberapa penyair yang mencoba menggerakan hurufmelalui rangkaian bahasa “sufi” demi mencoba mengungkap kemisterian serta kuasaTuhan dan semesta penyair dari Bagdad (Irak), yang dikenal lewat syairnya yangmashur, dan hingga kini masih sering diperdendangkan menjelang Sholat di surau-suraudi tanah Nusantara ini: “Wahai Tuhanku, aku bukanlah orang yang layak masukke surgaMu. Namun aku tak sanggup untuk masuk ke nerakaMu. Makaitu berikan aku kekuatan bertaubat dan ampunilah dosa-dosaku. Karenahanya Engkaulah yang mampu mengampuni dosa-dosa besar. Maka ampunilahdosaku, karena hanya Engkaulah yang Mahapengampun segala dosa.”
Bahasa, Kuasa Misteri
Bahasa senantiasa mencoba menjadi mediaatas misteri keputusan Tuhan akan nasib manusia di antara surga dan neraka. AbuNuwas mengungkapkan kelemahan dirinya sebagai hamba di hadapan Tuhan, namunsekaligus mencoba “menawar” sebuah keputusan atas ke Mahakuasa Tuhan dalam menentukannasib hambaNya.
Mungkin beginilah kesadaran mencaribahasa, dan bahasa mencari kata-kata guna mengenali alam, mengelola maknamelalui simbol-metafora agar dapat tertangkap panca indera manusia. Sedangkanalam beserta seluruh hiruk pikuk yang berada di dalamnya tetaplah menjadimisteri, sebagaimana Tuhan dimana kemisterian hanya dapat “dicoba” untuk dimengertitanpa kesimpulan pasti.
Yogyakarta, 29 Desember 2013
https://www.facebook.com/kanjeng.tok
Tidak ada komentar:
Posting Komentar