Rabu, 31 Juli 2013

Presiden Malioboro

Emha Ainun Nadjib *
Oase Kompas, 17 Des 2012

SYUKUR kepada Tuhan yang memperkenankan saya berjumpa dengan Umbu Landu Paranggi. Satu-satunya orang yang pernah digelari sebagai Presiden Malioboro oleh media massa, kalangan intelektual, aktivis kebudayaan, 42 tahun yang lalu. Di zaman ketika orang masih mengerti bagaimana menghormati keindahan. Di kurun waktu tatkala manusia masih punya perhatian yang jujur kepada rohani, masih menjunjung kebaikan dan masih percaya kepada kebenaran.
Kemudian sebagai ”jebolan Universitas Malioboro”, hampir setengah abad saya lalui ”jalan sesat”, dan kini saya terjebak di kurungan peradaban di mana manusia mengimani kehebatan, bertengkar memperebutkan kekuasaan, mentuhankan harta benda, bersimpuh kepada kemenangan, serta memompa-mompa diri untuk mencapai suatu keadaan yang mereka sangka keunggulan.

Secara teknis saya mengenal Umbu sebagai pemegang rubrik puisi dan sastra di Mingguan Pelopor Yogya yang berkantor di ujung utara Jalan Malioboro, Yogyakarta. Bersama ratusan teman-teman yang belajar menulis puisi dan karya sastra, kami bergabung dalam Persada Studi Klub. Puluhan tahun kemudian saya menyadari bahwa saya tidak berbakat menjadi penyair, dan ternyata yang saya pelajari dari Umbu bukanlah penulisan puisi, melainkan ”kehidupan puisi”, demikian menurut idiom Umbu sendiri.

Antara Tugu hingga Kraton, terdapat empat jalan. Pertama, Margoutomo, terusannya, sesudah rel KA, bernama Malioboro. Jalan lanjutannya adalah Margomulyo, kemudian dari Kantor Pos hingga Kraton adalah Jalan Pangurakan. Sekarang jalan itu bernama Jalan Mangkubumi dan Jalan Jenderal Ahmad Yani: wacananya, filosofinya, kesadaran sejarahnya, sudah mengalami perubahan dan penyempitan, dari falsafah karakter manusia ke catatan romantisme sejarah. Hari ini bahkan Malioboro adalah pariwisata, kapitalisme dan hedonisme pop.

Wali pengembara

Ketika berdiri, kepemimpinan kesultanan Yogya meyakini bahwa setiap manusia sebaiknya memastikan dirinya menempuh jalan utama. Tafsir atas jalan utama sangat banyak. Bisa pengutamaan akal dan budi, bukan menomorsatukan pencapaian kekuasaan, kesejahteraan ekonomi, atau eksistensialisme ngelmu katon alias kemasyhuran yang pop dan industrial. Bisa juga jalan utama adalah ”berbadan sehat, berbudi tinggi, berpengetahuan luas, berpikiran bebas”, atau apa pun yang intinya memaksimalkan peran kemanusiaan untuk fungsi rahmat bagi seluruh alam semesta.

Untuk menguji diri dalam pilihan jalan utama, maka Malioboro berasal dari ”malio-boro”. ”Malio” artinya jadilah wali, mengelola posisi kekhalifahan, menjadi wakil Tuhan untuk memperindah dunia, mamayu hayuning bawana. Malioboro artinya jadilah wali yang mengembara (boro): mengeksplorasi potensi-potensi kemanusiaan, penjelajahan intelektual, eksperimentasi kreatif, berkelana di langit rohani. Nanti akan tiba di jalan kemuliaan (margo-mulyo). Dalam idiom Islam, yang diperoleh bukan hanya ilham (inspirasi) dari Tuhan, tapi juga fadhilah (kelebihan), ma’unah (keistimewaan), dan karomah (kemuliaan).

Di ujung Jalan Margomulyo, orang menapaki Pangurakan. Jiwanya sudah ”urakan” (ingat Perkemahan Kaum Urakan-nya Rendra di awal 1970-an?): sudah berani mentalak kepentingan dunia dari hatinya, ya dunya ghurri ghoirii, laqat thalaqtuka tsalatsatan: wahai dunia, rayulah yang selain aku saja, sebab kamu sudah kutalak-tiga. Bahkan diri sendiri sudah ditalak, karena diri sejati adalah kesediaannya untuk berbagi, kerelaannya untuk menomorsatukan orang banyak. Parameter manusia bukanlah siapa dia, melainkan seberapa pengabdiannya kepada sesama.

Kekasih Umbu

Ah, tetapi itu terlalu muluk. Untuk Presiden Malioboro ini saya kembali saja ke sesuatu yang kecil dan sepele.

Menjelang tengah malam, di tahun 1973, Umbu datang ke kamar kos saya dan mengajak pergi. Sebagaimana biasa saya langsung tancap, berjalan cepat mengejar langkah Umbu yang panjang-panjang. Hampir tiap malam kami jalan kaki menempuh sekitar 15 sampai 20 km di jalanan Yogya. Sebulan dua bulan sekali kami mengukur jarak Yogya ke Magelang, ke Klaten, ke Wates, ke Parangtritis, dengan jalan kaki, atau duduk saja di trotoar sesudah toko-toko tutup hingga pagi para pelajar berangkat sekolah.

Umbu mengajak saya mlaku, bukan mlaku-mlaku. ”Jalan”, bukan ”jalan-jalan”. Ada beda sangat besar antara ”ngepit” dengan ”pit-pitan”, antara naik sepeda dengan bareng-bareng bersepeda gembira.

Malam itu Umbu menerobos Keraton Yogya bagian tengah dari arah barat, menempuh jarak sekitar 3 km. Umbu mengajak berhenti di warung kecil seberang THR. Duduk. Pesan teh nasgithel, berjam-jam tidak bicara sepatah kata pun, ah-uh-ah-uh sendiri-sendiri, hingga pukul empat fajar hari. Beberapa kali dengan dua jari Umbu mengambil batangan rokok di kedalaman sakunya tanpa menoleh ke saya–jangankan mengeluarkan bungkusnya dan menawarkan agar saya juga menikmatinya.

Ketika jam empat tiba, Umbu bergumam lirih, ”Coba lihat keluar, Em…”. Saya bertanya, ”Lihat apa, Mas?”, dia menjawab, ”Perhatikan nanti ada bus malam dari Malang masuk Yogya”. Saya melompat keluar, berdiri, berjaga-jaga di tepi jalan. Sebab saya mengerti, busnya tidak penting, tapi kota Malang itu sakral baginya. Ia berkait erat dengan kekasih hatinya.

Umbu sedang sangat jatuh cinta kepada seorang pelukis mahasiswi ASRI (Akademi Seni Rupa Indonesia) asal Malang, gadis hitam manis, kurus, bergigi gingsul. Umbu mengambil saya sebagai tenaga outsourcing gratisan untuk mengerjakan program-program cintanya. Job description saya mengamati rumah tempat ia kos, posisi kamarnya, arah pintunya, rute kegiatannya, dan yang terpenting meneliti apakah si gadis pernah memakai rok. Sebab rata-rata pelukis wanita berpakaian lelaki. Kalau sempat melihatnya pakai rok, harus didata apakah maksi, midi ataukah mini. Ketika pada suatu malam minggu saya diperintahkan untuk bertamu ke rumah gadis itu sebagai ”duta cinta”, jauh malam sesudahnya saya diinterogasi: ”Apakah dia nemuin Emha pakai rok? Bagaimana bentuk kakinya?”

Ketika mendadak bus malam ”AA” meluncur dari arah selatan, saya kaget. Langsung saya teriak dan berlari memberitahu Umbu. Tapi dia tidak menunjukkan perilaku seperti lelaki yang jatuh cinta dan rela berjam-jam menunggu kekasihnya tiba. Di dalam warung Umbu tetap menundukkan wajah, mengisap rokok, tidak bereaksi kepada teriakan saya. Justru ketika suara bus menderu, wajahnya makin menunduk.

Semula saya pikir si kekasih akan turun di depan THR karena kencan dengan Umbu. Ternyata kemudian saya ketahui bahwa si kekasih bukan sedang naik bus dari Malang ke Yogya. Umbu hanya menikmati nuansa bahwa jalur Malang-Yogya itu paralel dengan jalur cinta yang sedang dialaminya.

Kehidupan puisi

Beberapa tahun kemudian Umbu pindah tinggal di Bali. Demikian juga si kekasih rohaninya, diperistri oleh seorang tokoh di Bali, kelak Tuhan memanggilnya ketika bermain surfing di pantai, sebagaimana Umbu sepanjang hidupnya surfing di atas gelombang demi gelombang, tanpa pernah mungkin bertempat tinggal di atas gemuruh lautan.

Siapa pun pasti menyebut percintaan Umbu itu platonik, pengkhayal, hidup tidak di dunia nyata. Dunia yang gegap gempita ini memang tidak nyata bagi Umbu. Maka ia tidak pernah memburu wanita itu untuk disentuh dan diperistrikannya. Sampai hari ini Umbu mengayomi anak-anak muda belajar menulis puisi, tapi Umbu sendiri menjauhi eksistensi sebagai penyair. Di tahun 1973 puluhan puisinya akan dimuat oleh Majalah Horison, elite media sastra di era 1970-an. Umbu diam-diam masuk ke percetakan di mana majalah itu dicetak, mencuri puisi-puisinya sendiri, dan menyembunyikannya sampai hari ini. Umbu sangat curiga kepada kemasyhuran dan popularitas.

Sejak 50 tahun silam meninggalkan harta kekayaan dan kekuasaannya sebagai Pangeran di Sumba. Di pinggiran Denpasar ia menempati rumah tepi hutan karena ia menghormati temannya yang membikinkan rumah itu. Umbu tiap saat berjalan kaki menjauh dari segala sesuatu yang semua orang di muka bumi mengejarnya. Ia menyebut seluruh keputusannya itu dengan idiom ”kehidupan puisi”. Saya mengenalinya sebagai ”zuhud”: berpuasa dari kemewahan dan gegap gempita dunia. Ia meninggalkan harta, kekuasaan, wanita, kemasyhuran, dan menyimpan uang dalam bungkusan plastik dipendam di tanah.

Di mana-mana orang riuh rendah mengejar dunia, tetapi di mana-mana pun orang ribut curhat tentang dunia. Ke mana pun saya pergi, ke delapan penjuru angin, dari bawah sampai atas, pada segmen dan level sosial yang mana pun, yang terutama saya dengar dan disampaikan kepada saya adalah keluhan-keluhan tentang dunia: kemiskinan, kesulitan mencari nafkah, susahnya dapat kerjaan, seretnya usaha.

Terkadang saya balik tanya, dengan terminologi agama: ”Lha kamu hidup ini mencari dunia atau akhirat?” Kalau ia menjawab ”mencari dunia”, saya tuding ”salahmu sendiri dunia kok dijadikan tujuan”. Kalau jawabannya ”mencari akhirat”, saya katakan ”kalau kamu mencari akhirat kenapa mengeluhkan dunia”.

Sayangnya Tuhan menyatakan–dan mungkin memang sengaja menskenario demikian–”kebanyakan manusia tidak mau berpikir”, atau minimal ”banyak di antara manusia yang tidak menggunakan akal”. Karena kemalasan mengolah logika dan sistem rasio, orang menyangka dunia dan akhirat itu dua hal yang berpolarisasi, berjarak, dan bahkan bertentangan. Orang ketakutan menyikapi dunia kritis karena mengira kalau mencari akhirat maka tak akan mendapatkan dunia. Orang mengira kalau tidak habis-habisan kejar uang maka ia tidak memperoleh uang.

Mengejar uang adalah pekerjaan dunia, pekerjaan paling rendah. Bekerja keras adalah pekerjaan akhirat, di mana dunia adalah salah satu tahap persinggahannya untuk diolah. Orang yang fokusnya bekerja keras memperoleh lebih banyak uang dibandingkan orang yang fokusnya adalah mengejar uang. Orang yang mencari dunia, mungkin mendapatkan dunia, mungkin tidak. Orang yang mengerjakan akhirat, ia pasti dapat akhirat dan pasti memperoleh dunia.

Begitu kumuh dan joroknya situasi umat manusia berebut dunia. Dan begitu indah dan bercahayanya ”kehidupan puisi” Umbu. Suatu hari saya mohon izin untuk membuktikan bahwa keindahan sesungguhnya adalah puncak kebenaran dan kebaikan. Peradaban manusia sampai hari ini menjalankan salah sangka yang luar biasa terhadap keindahan.

*) Emha Ainun Nadjib, penyair tinggal di Yogyakarta.
Dijumput dari: http://cabiklunik.blogspot.com/2012/12/presiden-malioboro.html

Tidak ada komentar:

A Khoirul Anam A Qorib Hidayatullah A Rodhi Murtadho A. Yusrianto Elga A. Zakky Zulhazmi A.S. Laksana Aang Fatihul Islam Aba Mardjani Abd. Mun’im Abdul Aziz Rasjid Abdul Gaffar Ruskhan Abdul Hadi W. M. Abdul Kadir Ibrahim Abdul Malik Abdul Muis Abdul Wachid BS Abdullah Khusairi Abidah El Khalieqy Abimardha Kurniawan Abroorza A. Yusra Abu Salman Acep Iwan Saidi Achmad Farid Tuasikal Adek Alwi Adi Marsiela Adian Husaini Adib Muttaqin Asfar Adji Subela Afandi Sido Afriza Hanifa Afrizal Malna Ageng Wuri R. A. Ags. Arya Dipayana Aguk Irawan M.N. Agus B. Harianto Agus Bing Agus Noor Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sri Danardana Agus Sulton Agus Sunyoto Agus Wibowo Agus Wirawan Agusri Junaidi AH J Khuzaini Ahda Imran Ahid Hidayat Ahm Soleh Ahmad Asyhar Ahmad Farid Yahya Ahmad Fuadi Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musthofa Haroen Ahmad Rofiq Ahmad Suhendra Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Aini Aviena Violeta Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sekhu Al Azhar Riau Al-Fairish Alex R. Nainggolan Alexander G.B. Alfian Zainal Aliansyah Alimuddin Almania Rohmah Alunk Estohank Amien Kamil Amien Wangsitalaja Anata Siregar Andi Sutisno Andy Riza Hidayat Anies Baswedan Anindita S Thayf Anis Ceha Anis Faridatur Rofiah Anjrah Lelono Broto Anna Subekti Anton Kurnia Ari Hidayat Ari Kristianawati Arie MP Tamba Arief Junianto Aris Kurniawan Arti Bumi Intaran Arul Arista AS Sumbawi Asarpin Asep Sambodja Atiqurrahman Awalludin GD Mualif Ayu Purwaningsih Babe Derwan Bakdi Soemanto Balada Bale Aksara Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Bayu Dwi Mardana Bellanissa Zoditama Beni Setia Benny Arnas Beno Siang Pamungkas Berita Berita Duka Bernando J. Sujibto Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Bokor Hutasuhut Brunel University London BSW Adjikoesoemo Budaya Budhi Setyawan Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiawan Dwi Santoso Bur Rasuanto Burhanuddin Bella Bustan Basir Maras Catatan Catullus CB. Ismulyadi Cerbung Cerita Rakyat Cerpen Chavchay Syaifullah Cikie Wahab Cunong Nunuk Suraja D Zawawi Imron Dad Murniah Dadang Ari Murtono Dahlia Rasyad Damhuri Muhammad Damiri Mahmud Danarto Daniel Paranamesa Darju Prasetya Darman Djamaluddin Darman Moenir Dasman Djamaluddin David Krisna Alka Dea Anugrah Dedy Tri Riyadi Denny JA Denny Mizhar Desi Sommalia Gustina Dewi Anggraeni Dharma Setyawan Dian Hartati Didi Arsandi Dina Oktaviani Dipo Handoko Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Doddi Ahmad Fauji Doddy Hidayatullah Dodi Chandra Dodiek Adyttya Dwiwanto Dody Kristianto Donny Anggoro Dony P. Herwanto Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Klik Santosa Dwi Pranoto Dwicipta Edy A Effendi Edy Firmansyah Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Eko Darmoko Ellyzan Katan Elnisya Mahendra Emha Ainun Nadjib Endah Imawati Eni Suryanti Eny Rose Eriyandi Budiman Eriyanti Erwin Edhi Prasetya Erwin Setia Esai Evan Ys Evi Idawati F Rahardi Fadly Rahman Fahrudin Nasrulloh Faizah Sirajuddin Faizal Syahreza Fajar Alayubi Fakhrunnas M.A. Jabbar Fanny Chotimah Fariz al-Nizar Fariz Alneizar Faruk HT Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fathurrahman Karyadi Fatimah Wahyu Sundari Fauzan Santa Fazabinal Alim Festival Sastra Gresik Fikri MS Fiksi Mini Fransisca Dewi Ria Utari Franz Kafka Fuad Anshori Furqon Abdi Fuska Sani Evani Gendhotwukir Gendut Riyanto Gerson Poyk Gita Pratama Goenawan Mohamad Gola Gong Grathia Pitaloka Gregorio Lopez y’ Fuentes Gugun El-Guyanie Gunawan Budi Susanto Gus Noy H.H. Tokoro Hadi Napster Hamberan Syahbana Hamdy Salad Hamsad Rangkuti Han Gagas Hang Kafrawi Hani Pudjiarti Hanna Fransisca Hardi Hamzah Hardjono WS Haris del Hakim Haris Priyatna Harris Maulana Hary B. Kori'un Hasan Al Banna Hasan Junus Hasbullah Said Hasnan Bachtiar HE. Benyamine Heidi Arbuckle Helmi Y Haska Helvy Tiana Rosa Hendra Junaedi Hendri Nova Herdoni Syafriansyah Heri Kurniawan Heri Latief Heri Ruslan Herman RN Hermawan Aksan Hermien Y. Kleden Herry Lamongan Holy Adib Humaidiy AS Husni Anshori I Nyoman Darma Putra I Nyoman Tingkat I Wayan Artika Ibnu Wahyudi Ida Farida Ignas Kleden Ilham Khoiri Imam Cahyono Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Tohari Indra Tranggono Indrian Koto Irwan Kelana Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Isma Swastiningrum Ismi Wahid Iwan Gardono Sujatmiko Iwan Gunadi Iwan Kurniawan Iwan Nurdaya Djafar Iwank J.S. Badudu Janoary M Wibowo Javed Paul Syatha JILFest 2008 JJ. Kusni Jodhi Yudono Joko Novianto Bp Joko Pinurbo Jones Gultom Jual Buku Paket Hemat Jusuf AN Kadek Suartaya Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Kedung Darma Romansha Kenedi Nurhan Khaerudin Kurniawan Khaerul Anwar Ki Sugito Ha Es Kirana Kejora Komunitas Deo Gratias Korrie Layun Rampan Kritik Sastra Kunthi Hastorini Kuntowijoyo Kurie Suditomo Kurnia Effendi Kurniawan Kuswinarto La Ode Rabbani Lathifa Akmaliyah Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember Leon Agusta Lily Siti Multatuliana Lily Yulianti Farid Lina Kelana Liza Wahyuninto Lona Olavia Lugiena Dé M Fadjroel Rachman M Farid W Makkulau M Syakir M. Dawam Rahardjo M. Faizi M. Mustafied M. Raudah Jambak M. Taufan Musonip M. Yoesoef M.D. Atmaja M.Th. Krishdiana Putri Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Maklumat Sastra Profetik Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mangun Kuncoro Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria D. Andriana Maria Magdalena Bhoernomo Mariana Amiruddin Maryati Marzuzak SY Mashuri Maulana Syamsuri Media: Crayon on Paper Mega Vristian MG. Sungatno Misbahus Surur Mofik el-abrar Moh. Amir Sutaarga Moh. Ghufron Cholid Mohammad Hatta Mohammad Kh. Azad Mohammad Takdir Ilahi Much. Khoiri Muhamad Taslim Dalma Muhammad Rain Muhammad Subhan Muhammad Yasir Muhammadun A.S Muhidin M Dahlan Mujtahid Mulyawan Karim Musa Ismail Musfi Efrizal Mustafa Ismail Mustofa W Hasyim N Teguh Prasetyo N. Mursidi Nadhi Kiara Zifen Nana Riskhi Susanti Nanang Suryadi Naskah Teater Nasrulloh Habibi Neva Tuhella Nietzsche Nirwan Dewanto Nizar Qabbani Noor H. Dee Nova Christina Novelet Nunung Nurdiah Nur Wachid Nurani Soyomukti Nurel Javissyarqi Nurman Hartono Nuryana Asmaudi Nyoman Tusthi Eddy Obrolan Oky Sanjaya Oyos Saroso HN P Ari Subagyo Pagelaran Musim Tandur Pamusuk Eneste Panji Satrio PDS H.B. Jassin Penerbit dan Toko Buku PUstaka puJAngga Pipiet Senja Pramoedya Ananta Toer Pringadi AS Pringgo HR Prosa Puisi Puji Santosa Purnawan Andra PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Satria Kusuma Putu Wijaya R Masri Sareb Putra R. Adhi Kusumaputra R. Timur Budi Raja R.N. Bayu Aji Radhar Panca Dahana Ragdi F. Daye Rahmi Hattani Raja Ali Haji Raju Febrian Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Dira J Rama Prabu Ramadhan KH Ramon Magsaysay Ramses Ohee Ratih Kumala Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Ressa Novita Ressa Sagitariana Putri Ria Ristiana Dewi Rialita Fithra Asmara Ribut Wijoto Rida K Liamsi Rifka Sibarani Rilda A. Oe. Taneko Rilda A.Oe. Taneko Rimbun Natamarga Rinto Andriono Risang Anom Pujayanto Rita Zahara Riyon Fidwar Robin Al Kautsar Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Rohman Budijanto Rukardi S Yoga S. Jai S. Takdir Alisyahbana S.W. Teofani Sabrank Suparno Sahaya Santayana Sajak Sajak Sebatang Lisong Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Salman S. Yoga Salyaputra Samson Rambah Pasir Samsudin Adlawi Sanie B. Kuncoro Santy Novaria Sapardi Djoko Damono Sarabunis Mubarok Sartika Dian Nuraini Sasti Gotama Sastra Nusantara Satmoko Budi Santoso Satriani Saut Poltak Tambunan Saut Situmorang Sekolah Literasi Gratis (SLG) Selasih Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Shadiqin Sudirman Shiny.ane el’poesya Shourisha Arashi Sidik Nugroho Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sindu Putra Siska Afriani Siti Sa’adah Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Slamet Samsoerizal Sobih Adnan Sofyan RH. Zaid Solihin Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sony Wibisono Sosiawan Leak Sri Wintala Achmad Sri Wulan Rujiati Mulyadi Stevani Elisabeth Suci Ayu Latifah Sucipto Hadi Purnomo Sudarmoko Sudirman HN Suhadi Mukhan Suharsono Sukar Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sunudyantoro Supriyadi Suriani Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syahruddin El-Fikri Syaripudin Zuhri Syifa Aulia Syu’bah Asa T.A. Sakti Tammalele Tan Lioe Ie Tasyriq Hifzhillah Taufik Abdullah Taufik Effendi Aria Taufik Ikram Jamil Taufiq Wr. Hidayat TE. Priyono Teguh Winarsho AS Tenas Effendy Tengsoe Tjahjono Thayeb Loh Angen Theresia Purbandini Tia Setiadi Tias Tatanka Tito Sianipar Tjahjono EP Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tjut Zakiyah Anshari Topik Mulyana Tosa Poetra Tri Harun Syafii TS Pinang Tu-ngang Iskandar Udo Z. Karzi Uly Giznawati Umar Fauzi Ballah Umbu Landu Paranggi Umi Kulsum Uniawati Universitas Indonesia Usman Arrumy Usman D.Ganggang Utada Kamaru UU Hamidy Viddy AD Daery W.S. Rendra Wa Ode Wulan Ratna Wahib Muthalib Wahyudi Akmaliah Muhammad Wardjito Soeharso Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Sunarta Weli Meinindartato Wicaksono Widodo DS Wina Karnie Wisran Hadi Wong Wing King Yan Maniani Yanti Mulatsih Yanuar Arifin Yasser Arafat Yaumu Roikha Yetti A. KA Yohanes Padmo Adi Nugroho Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yudhi Ms Yudhistira ANM Massardi Yulianna Yurnaldi Yusi A. Pareanom Yusi Avianto Pareanom Yusri Fajar Yusrizal KW Yuyun Ifa Naliah Zaim Rofiqi Zainal Arifin Thoha Zakki Amali Zakky Zulhazmi Zawawi Se Zehan Zareez Zelfeni Wimra Zuarman Ahmad Zulfikar Akbar