Malkan Junaidi
“Tahu
kau mengapa aku sayangi kau lebih dari siapa pun? Karena kau menulis.
Suaramu takkan padam ditelan angin, akan abadi, sampai jauh, jauh di
kemudian hari.” (Mama, Anak Semua Bangsa)
Membicarakan Pramoedya Ananta Toer bukan saja mengenang Tetralogi Pulau Buru (Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, dan Rumah Kaca), Gadis Pantai, Arok Dedes, Bukan Pasar Malam, Mangir, dan Nyanyi Sunyi Seorang Bisu, namun juga mencermati sosok yang terus mengepalkan tangan menentang ketidakadilan dan penindasan. Bukan sekadar menentang, tetapi melawan! Melawan pelecehan kemanusiaan. Membicarakan Pram berarti juga mempertanyakan segala usaha memapankan sebuah ideologi melalui sistem edukasi, mekanisme distribusi dan sirkulasi informasi, serta kekuasaan politik dan hegemoni militer. Pram bukanlah sekedar representasi dari utopia literer, Pram menghabiskan lebih dari sepertiga usianya dalam keringat, darah, dan dinginnya jeruji penjara. Ia hidup di puncak-puncak ketegangan kolonialisme, rasialisme, dan autokrasi berkedok demokrasi. Yang dilakukan Pram bukan cuma serangkaian usaha melawan imperialisme oleh bangsa asing, namun juga imperialisme oleh bangsa sendiri. Saat bedil tak lagi ia percayai sebagai alat juang, ia mengangkat pena, mengobarkan dan mengabadikan pikiran-pikirannya. Selama penderitaan datang dari manusia, dia bukan bencana alam, dia pun pasti bisa dilawan oleh manusia, demikian keyakinannya.
Labelisasi sebagai tokoh sayap kiri yang gencar dilakukan terutama sejak Angkatan Darat memegang nyaris seluruh kendali pemerintahan terbukti efektif mendiskreditkan lelaki yang selama 14 tahun dalam rezim Orde Baru menjadi Tapol tanpa proses pengadilan ini. Bahkan pengakuan blak kotang tanpa tedheng aling-alingnya sebagai penyokong Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat) --- dan di saat yang sama penegasannya bahwa di tubuh Lekra sendiri ia teralienasi --- menjelma argumen legitimatif bagi pihak-pihak di seberangnya (terutama mereka yang ambisius mem-PKI-kan Lekra) untuk menghabisi kreatifitas dan karir intelektualnya. Namun dialektika historis pada saatnya menjungkirbalikkan doktrin dan opini abal-abal macam apapun. Sekarang tampak jelas bahwa Pram tidaklah berdiri di atas isme sebagaimana selama ini disangkakan dan dituduhkan. Saat orang mengutuk pemerintah kolonial Belanda, misalnya, ia justru berkata Orang Belanda itu nggak suka kekerasan. Dia suka perdamaian, atau saat orang berpikir Pram pastilah pendukung fanatik komunisme, ia malah enteng saja bilang Sosialisme itu ideologi. Ideologi bisa membosankan. Kalau bosan ya ditinggalkan. Ganti ideologi yang lain, atau meski ia berkali-kali menyatakan pemerintahan Soeharto hanya menyusahkan hidupnya, dan bahwa Mereka ini murid-murid Jepang fasis! Buat mereka, yang penting kekuasaan dan senjata!, namun ia cukup mendukung sistem kepartaian ala orde baru, karena menurutnya sistem multipartai hanya bikin kacau.
Paradoks? Mungkin saja. Namun bukan alasan yang cukup untuk menyimpulkan Pramoedya sebagai sosok yang plin-plan. Pram sebagaimana kesaksian teman-teman dan tulisan-tulisannya sendiri adalah pribadi yang sangat teguh dalam memegang prinsip. Dalam Anak Semua Bangsa, melalui tokoh Mama ia menyampaikan Barang siapa tidak tahu bersetia pada azas, dia terbuka terhadap segala kejahatan: dijahati atau menjahati. Agaknya bagi satu-satunya penulis Indonesia yang pernah dinominasikan untuk menerima nobel kesusasteraan ini berprinsip sama sekali tak boleh menafikan sikap kritis dan progresivitas ideologis-intelektual-estetis. Pramoedya bukanlah timur atau barat, kapitalis atau komunis, kuno atau modern, liberal ataupun konservatif. Di mana pun ada malaikat dan iblis. Di mana pun ada iblis bermuka malaikat, dan malaikat bermuka iblis, katanya. Pram bukan sosok yang dikotomis dan linear, memadzhabkannya pada isme tertentu hanya akan meredupkan kemeriahan pemikirannya. Ia adalah manusia biasa, memang, namun juga yang berusaha untuk selalu setia pada katahati, di situ luar biasanya.
Pram melewatkan masa kecilnya dalam neraka kependudukan Jepang yang dilukiskannya sebagai “…kehidupan macet. Pasar tak ada lagi, toko-toko tutup, barang tak ada lagi. Harga-harga melonjak. Harga beras melonjak sampai tiga sen seliter.” Sebagai anak sulung ia mewujudkan rasa tanggung jawabnya pada adik-adiknya dengan berjualan tembakau, benang lawe, piring, dan sebagainya. Tahun 1945 masuk dinas kemiliteran dan bekerja di bagian perhubungan, namun memutuskan keluar pada tahun 1947 akibat tidak tahan melihat berbagai praktek korupsi dan kesewenang-wenangan militer pada waktu itu. Kalau menghadapi musuh mereka lari. Tapi kalau menghadapi bangsa sendiri kejamnya bukan main, katanya. Tahun 1950-an Pram tinggal di Belanda sebagai bagian dari program pertukaran budaya, dan ketika kembali ke Indonesia ia menjadi anggota Lekra. Agaknya visi kebudayaan Lekra sangat bersesuaian dengan apa yang menggejolak di batinnya. Bahwa kebudayaan tak boleh hanya jadi suplemen dari kehidupan ekonomi dan politik. Pengekor tanpa tendensi atau diabaikan seperti makhluk tiada guna. Kebudayaan harus menjadi bidang utama yang menentukan bulat-lonjong- persegi raut Indonesia. Lekra memperjuangkan hidupnya tradisi riset intensif dalam kerja kepenulisan yang dikenal dengan istilah Turba (turun ke bawah); berbaur dan menyelami kehidupan tani-nelayan-buruh; golongan dan atau kelas yang disebut Presiden Soekarno sebagai Sokoguru Revolusi, lalu merefleksikannya secara memadai melalui karya sastra dan kerja budaya yang lain. Bahwa kebudayaan memiliki posisi tawar dan merupakan cara paling damai mengajak dan memobilisasi masyarakat untuk berpartisipasi aktif mendongkel kekuasaan kolonial dan feodal yang menghambakan rakyat. Lekra membantah pendapat bahwa kesenian dan ilmu bisa terlepas dari masyarakat. Lekra menganjurkan untuk mempelajari dan memahami pertentangan-pertentangan yang berlaku di dalam masyarakat maupun di dalam hati manusia, mempelajari dan memahami gerak perkembangannya serta hari depannya. Lekra menganjurkan pemahaman yang tepat atas kenyataan-kenyataan di dalam perkembangannya yang maju, dan menganjurkan hal itu, baik untuk cara-kerja di lapangan ilmu, maupun untuk penciptaan di lapangan kesenian. Semboyan dan azas kerja kreatif Lekra “politik adalah panglima” muncul dari pemahaman bahwa politik tanpa kebudayaan masih bisa jalan, tapi kebudayaan tanpa politik tidak bisa sama sekali.
Semua ini berkecocokan dengan sejarah kehidupan dan pemikiran Pram, dan oleh karenanya senantiasa menjadikan Pram konsisten “memadukan kreativitas individual dengan kearifan massa” dalam kerja budayanya. Suara-suara dari kelas yang tersisih dan tertindas yang ia dengar sendiri dengan jelas di sepanjang hidupnya digaungkannya dengan keras dan lantang melalui cerpen, novel, dan artikelnya. Cerita tentang kesenangan selalu tidak menarik. Itu bukan cerita tentang manusia dan kehidupannya , tapi tentang surga, dan jelas tidak terjadi di atas bumi kita ini. Duniaku bukan jabatan, pangkat, gaji, dan kecurangan. Duniaku bumi manusia dengan persoalannya. Pram menulis seperti bernapas, tak kenal waktu dan tempat. Ia menulis karena percaya banyak hal yang tak bisa dicapai melalui penyelenggaraan partai politik, pabrik, ketentaraan, juga demonstrasi, bisa dicapai dengan kesusasteraan. Suatu masyarakat paling primitif pun, misalnya di jantung Afrika sana, tak pernah duduk di bangku sekolah, tak pernah melihat kitab dalam hidupnya, tak kenal baca-tulis, masih dapat mencintai sastra, walau sastra lisan. Kalian boleh maju dalam pelajaran, mungkin mencapai deretan gelar kesarjanaan apa saja, tapi tanpa mencintai sastra, kalian tinggal hanya hewan yang pandai. Demikianlah keyakinannya atas kemampuan fungsional sastra dalam membawa perubahan dan memberikan makna lebih dalam hidup. Perampasan naskah, pembredelan buku, dan pelarangan menulis tak pernah menyurutkan semangat atau menciutkan nyalinya. Malahan sikap represif, menolak untuk menjadi dewasa semacam itu, sebagaimana terbukti di manapun, justru semakin mengibarkan namanya di kancah internasional. Dengan lebih dari 50 karya dan diterjemahkan ke dalam lebih dari 41 bahasa asing agaknya belum ada hingga kini tandingan sosok penulis nusantara yang sekaliber Pramoedya. Hingga menjelang wafat Pram tetap berusaha kreatif; selain rutin melakukan hobi bakar sampah, ia pun masih rajin mengkliping artikel-artikel dari koran. Berkurangnya pendengaran dan deraan kepikunan seiring senjanya usia agaknya bukan berarti redanya tekad untuk melawan dengan segala kemampuan dan ketakmampuan.
19 April 2012
Dijumput dari: http://www.facebook.com/notes/malkan-junaidi/melawan-dengan-segala-kemampuan-dan-ketakmampuan/372681672774811
Membicarakan Pramoedya Ananta Toer bukan saja mengenang Tetralogi Pulau Buru (Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, dan Rumah Kaca), Gadis Pantai, Arok Dedes, Bukan Pasar Malam, Mangir, dan Nyanyi Sunyi Seorang Bisu, namun juga mencermati sosok yang terus mengepalkan tangan menentang ketidakadilan dan penindasan. Bukan sekadar menentang, tetapi melawan! Melawan pelecehan kemanusiaan. Membicarakan Pram berarti juga mempertanyakan segala usaha memapankan sebuah ideologi melalui sistem edukasi, mekanisme distribusi dan sirkulasi informasi, serta kekuasaan politik dan hegemoni militer. Pram bukanlah sekedar representasi dari utopia literer, Pram menghabiskan lebih dari sepertiga usianya dalam keringat, darah, dan dinginnya jeruji penjara. Ia hidup di puncak-puncak ketegangan kolonialisme, rasialisme, dan autokrasi berkedok demokrasi. Yang dilakukan Pram bukan cuma serangkaian usaha melawan imperialisme oleh bangsa asing, namun juga imperialisme oleh bangsa sendiri. Saat bedil tak lagi ia percayai sebagai alat juang, ia mengangkat pena, mengobarkan dan mengabadikan pikiran-pikirannya. Selama penderitaan datang dari manusia, dia bukan bencana alam, dia pun pasti bisa dilawan oleh manusia, demikian keyakinannya.
Labelisasi sebagai tokoh sayap kiri yang gencar dilakukan terutama sejak Angkatan Darat memegang nyaris seluruh kendali pemerintahan terbukti efektif mendiskreditkan lelaki yang selama 14 tahun dalam rezim Orde Baru menjadi Tapol tanpa proses pengadilan ini. Bahkan pengakuan blak kotang tanpa tedheng aling-alingnya sebagai penyokong Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat) --- dan di saat yang sama penegasannya bahwa di tubuh Lekra sendiri ia teralienasi --- menjelma argumen legitimatif bagi pihak-pihak di seberangnya (terutama mereka yang ambisius mem-PKI-kan Lekra) untuk menghabisi kreatifitas dan karir intelektualnya. Namun dialektika historis pada saatnya menjungkirbalikkan doktrin dan opini abal-abal macam apapun. Sekarang tampak jelas bahwa Pram tidaklah berdiri di atas isme sebagaimana selama ini disangkakan dan dituduhkan. Saat orang mengutuk pemerintah kolonial Belanda, misalnya, ia justru berkata Orang Belanda itu nggak suka kekerasan. Dia suka perdamaian, atau saat orang berpikir Pram pastilah pendukung fanatik komunisme, ia malah enteng saja bilang Sosialisme itu ideologi. Ideologi bisa membosankan. Kalau bosan ya ditinggalkan. Ganti ideologi yang lain, atau meski ia berkali-kali menyatakan pemerintahan Soeharto hanya menyusahkan hidupnya, dan bahwa Mereka ini murid-murid Jepang fasis! Buat mereka, yang penting kekuasaan dan senjata!, namun ia cukup mendukung sistem kepartaian ala orde baru, karena menurutnya sistem multipartai hanya bikin kacau.
Paradoks? Mungkin saja. Namun bukan alasan yang cukup untuk menyimpulkan Pramoedya sebagai sosok yang plin-plan. Pram sebagaimana kesaksian teman-teman dan tulisan-tulisannya sendiri adalah pribadi yang sangat teguh dalam memegang prinsip. Dalam Anak Semua Bangsa, melalui tokoh Mama ia menyampaikan Barang siapa tidak tahu bersetia pada azas, dia terbuka terhadap segala kejahatan: dijahati atau menjahati. Agaknya bagi satu-satunya penulis Indonesia yang pernah dinominasikan untuk menerima nobel kesusasteraan ini berprinsip sama sekali tak boleh menafikan sikap kritis dan progresivitas ideologis-intelektual-estetis. Pramoedya bukanlah timur atau barat, kapitalis atau komunis, kuno atau modern, liberal ataupun konservatif. Di mana pun ada malaikat dan iblis. Di mana pun ada iblis bermuka malaikat, dan malaikat bermuka iblis, katanya. Pram bukan sosok yang dikotomis dan linear, memadzhabkannya pada isme tertentu hanya akan meredupkan kemeriahan pemikirannya. Ia adalah manusia biasa, memang, namun juga yang berusaha untuk selalu setia pada katahati, di situ luar biasanya.
Pram melewatkan masa kecilnya dalam neraka kependudukan Jepang yang dilukiskannya sebagai “…kehidupan macet. Pasar tak ada lagi, toko-toko tutup, barang tak ada lagi. Harga-harga melonjak. Harga beras melonjak sampai tiga sen seliter.” Sebagai anak sulung ia mewujudkan rasa tanggung jawabnya pada adik-adiknya dengan berjualan tembakau, benang lawe, piring, dan sebagainya. Tahun 1945 masuk dinas kemiliteran dan bekerja di bagian perhubungan, namun memutuskan keluar pada tahun 1947 akibat tidak tahan melihat berbagai praktek korupsi dan kesewenang-wenangan militer pada waktu itu. Kalau menghadapi musuh mereka lari. Tapi kalau menghadapi bangsa sendiri kejamnya bukan main, katanya. Tahun 1950-an Pram tinggal di Belanda sebagai bagian dari program pertukaran budaya, dan ketika kembali ke Indonesia ia menjadi anggota Lekra. Agaknya visi kebudayaan Lekra sangat bersesuaian dengan apa yang menggejolak di batinnya. Bahwa kebudayaan tak boleh hanya jadi suplemen dari kehidupan ekonomi dan politik. Pengekor tanpa tendensi atau diabaikan seperti makhluk tiada guna. Kebudayaan harus menjadi bidang utama yang menentukan bulat-lonjong- persegi raut Indonesia. Lekra memperjuangkan hidupnya tradisi riset intensif dalam kerja kepenulisan yang dikenal dengan istilah Turba (turun ke bawah); berbaur dan menyelami kehidupan tani-nelayan-buruh; golongan dan atau kelas yang disebut Presiden Soekarno sebagai Sokoguru Revolusi, lalu merefleksikannya secara memadai melalui karya sastra dan kerja budaya yang lain. Bahwa kebudayaan memiliki posisi tawar dan merupakan cara paling damai mengajak dan memobilisasi masyarakat untuk berpartisipasi aktif mendongkel kekuasaan kolonial dan feodal yang menghambakan rakyat. Lekra membantah pendapat bahwa kesenian dan ilmu bisa terlepas dari masyarakat. Lekra menganjurkan untuk mempelajari dan memahami pertentangan-pertentangan yang berlaku di dalam masyarakat maupun di dalam hati manusia, mempelajari dan memahami gerak perkembangannya serta hari depannya. Lekra menganjurkan pemahaman yang tepat atas kenyataan-kenyataan di dalam perkembangannya yang maju, dan menganjurkan hal itu, baik untuk cara-kerja di lapangan ilmu, maupun untuk penciptaan di lapangan kesenian. Semboyan dan azas kerja kreatif Lekra “politik adalah panglima” muncul dari pemahaman bahwa politik tanpa kebudayaan masih bisa jalan, tapi kebudayaan tanpa politik tidak bisa sama sekali.
Semua ini berkecocokan dengan sejarah kehidupan dan pemikiran Pram, dan oleh karenanya senantiasa menjadikan Pram konsisten “memadukan kreativitas individual dengan kearifan massa” dalam kerja budayanya. Suara-suara dari kelas yang tersisih dan tertindas yang ia dengar sendiri dengan jelas di sepanjang hidupnya digaungkannya dengan keras dan lantang melalui cerpen, novel, dan artikelnya. Cerita tentang kesenangan selalu tidak menarik. Itu bukan cerita tentang manusia dan kehidupannya , tapi tentang surga, dan jelas tidak terjadi di atas bumi kita ini. Duniaku bukan jabatan, pangkat, gaji, dan kecurangan. Duniaku bumi manusia dengan persoalannya. Pram menulis seperti bernapas, tak kenal waktu dan tempat. Ia menulis karena percaya banyak hal yang tak bisa dicapai melalui penyelenggaraan partai politik, pabrik, ketentaraan, juga demonstrasi, bisa dicapai dengan kesusasteraan. Suatu masyarakat paling primitif pun, misalnya di jantung Afrika sana, tak pernah duduk di bangku sekolah, tak pernah melihat kitab dalam hidupnya, tak kenal baca-tulis, masih dapat mencintai sastra, walau sastra lisan. Kalian boleh maju dalam pelajaran, mungkin mencapai deretan gelar kesarjanaan apa saja, tapi tanpa mencintai sastra, kalian tinggal hanya hewan yang pandai. Demikianlah keyakinannya atas kemampuan fungsional sastra dalam membawa perubahan dan memberikan makna lebih dalam hidup. Perampasan naskah, pembredelan buku, dan pelarangan menulis tak pernah menyurutkan semangat atau menciutkan nyalinya. Malahan sikap represif, menolak untuk menjadi dewasa semacam itu, sebagaimana terbukti di manapun, justru semakin mengibarkan namanya di kancah internasional. Dengan lebih dari 50 karya dan diterjemahkan ke dalam lebih dari 41 bahasa asing agaknya belum ada hingga kini tandingan sosok penulis nusantara yang sekaliber Pramoedya. Hingga menjelang wafat Pram tetap berusaha kreatif; selain rutin melakukan hobi bakar sampah, ia pun masih rajin mengkliping artikel-artikel dari koran. Berkurangnya pendengaran dan deraan kepikunan seiring senjanya usia agaknya bukan berarti redanya tekad untuk melawan dengan segala kemampuan dan ketakmampuan.
19 April 2012
Dijumput dari: http://www.facebook.com/notes/malkan-junaidi/melawan-dengan-segala-kemampuan-dan-ketakmampuan/372681672774811
Tidak ada komentar:
Posting Komentar