Ribut Wijoto
http://terpelanting.wordpress.com/
Karya sastra puisi dalam genre sastra menempati posisi yang istimewa, dianggap sebagai bentuk sastra yang paling sastra. Bahasa estetik yang ditampilkan paling padat, sublim, dan indah. Sebutan penyair menjadi amat populer bila dibanding cerpenis, novelis, atau dramawan. Apakah kondisi ini masih aktual? Untuk menjawab problem, gejala kitsch pada puisi Indonesia patut diketengahkan.
1
Sebelum memulai penelusuran kode bahasa estetik puisi kitsch, ada baiknya disertakan kutipan tulisan Goenawan Mohamad berikut: Memang ada, apa yang oleh orang Jerman disebut Kitsch, sebuah istilah yang lahir di tengah abad lalu, untuk melukiskan sikap mereka yang ingin menyenangkan hati sebanyak-banyaknya orang, dengan cara apa pun. Kesenian jenis ini (pada musik, pada teater, pada sejumlah karya sastra) sering diberi tepuk tangan karena mereka tampak “tidak terasing dari masyarakatnya”. Pada artikel singkat berjudul “Kitsch” ditulis tahun 1985, Goenawan mengingatkan kembali bahwa puisi adalah “ilham”, dan karenanya “agung” serta “luhur”. Tidak dapat dipungkiri, Chairil Anwar maupun Amir Hamzah pun perlu keluar keringat yang dingin dan konsentrasi yang lengkap untuk menulis hanya sebuah sajak. Berbeda jauh dengan kitsch, karya puisi yang dikesankan dibuat dengan tergesa-gesa, asal-asalan, dan tanpa sublimasi diri.
Kiranya, Goenawan Mohamad sedang terayun-ayun dalam gelimang absurd romantik. Sedang terkungkung pada ruang kemapanan, puisi adalah kerajaan moral dan religi, penuh rambu-rambu dan tanda seru. Goenawan sedang bertapa, dan lupa “riuh kegairahan bermain tanda”. Segalanya mesti mengikuti aturan baku, konvensional, dan beku. Seperti kegarangan modernitas, obyektifitas moral yang berusaha menghapus pluralitas kenyataan. Apakah kesimpulan Goenawan Mohamad salah atau benar? Tulisan ini kurang membahas salah atau benar sebuah kesimpulan.
Kitsch, memang pada mulanya, berasal dari bahasa Jerman, “verkitschen” yang artinya “membuat murah” dan “kitschen” yang artinya “memungut sampah dari jalan”. Model kesenian kitsch (baca: sastra, dan lebih lanjut, puisi) mengambil idiom-idiom yang berkembang dalam masyarakat. Di Jerman sendiri, kitsch lebih berkembang sebagai bentuk drama. Penontonnya banyak dan produktifitas pertunjukkannya sangat tinggi. Di Indonesia, kitsch dapat diibaratkan dengan bentuk-bentuk drama dari Teater Koma atau Teater Gandrik. Pada masa kejayaannya Teater Koma sangat biasa melakonkan satu judul drama di TIM (Taman Ismail Marzuki) Jakarta selama lima belas hari, bahkan kadang lebih, dengan penonton yang berjubel. Kesenian bentuk kitsch disukai masyarakat karena dua sebab, pertama penonton bisa bergaul atau menikmati karya seni “yang seakan-akan tinggi”, kedua penonton tidak direcoki “tamasya kepedihan absolut”.
Pada tulisan ini, kitsch adalah bentuk puisi sekaligus model pendekatan puisi. Puisi-puisi Indonesia sebagai teks tulis dan sebagai kecenderungan tindak sastra, akan penulis dibuktikan banyak sekali mengandung pola-pola kitsch.
Sebagai awal mula penelitian, puisi berjudul “Saya Pulang Sekolah” bait pertama ini dapat dijadikan kajian menarik: Aku susun lagi meja dan kursi di ruang tamu: Rok yang aku kenakan kian pendek juga, memilih penghabisannya sendiri. Setelah tak kukenali lagi jendela yang memecahkan malam, bagaimanakah engkau mengajariku dengan kerudung panjangmu. Akulah anak lelakimu, Ibu, yang tumbuh jadi seorang perempuan. Tetapi berjalan ke sekolah sambil membakar buku-buku. Dan sekolah mengajariku bercinta dengan ketakutan: “Galileo, Galileo, lihatlah, Copernikus berputar-putar di antara sepatu dan semangka.”
Ada beberapa kekhususan teks yang perlu mendapat catatan dari puisi di atas, berkaitan dengan bahasa estetik kitsch. Pertama, teks hadir sebagai puisi. Kedua, penggunaan diksi-diksi ilmu pengetahuan populer. Ketiga, penggunaan diksi-diksi yang umum di masyarakat. Keempat, bahasa ilustratratif yang “dibikin-bikin sulit”.
Teks puisi, di dalam anggapan khalayak riuh, adalah teks yang senantiasa bertujuan baik. Memberi pemurnian terhadap perilaku masyarakat yang kotor. Ungkapan “bila politik bengkok, sastra akan meluruskannya” adalah ungkapan umum. Teks tulis di atas, disebabkan memperkenalkan identitas dirinya sebagai puisi, tidak terlepas dari “terkutuk untuk menjadi nabi”, agung dan terhormat dalam wacana masyarakat. Puisi “Saya Pulang Sekolah” terbebas dari segala “dosa” dan “kesalahan berkomentar”. Larik-larik seperti; Rok yang aku kenakan kian pendek juga, Akulah anak lelakimu, Ibu, yang tumbuh jadi seorang perempuan, ke sekolah sambil membakar buku-buku, sekolah mengajariku bercinta dengan ketakutan, apabila dipakai dalam wacana biasa (bukan puisi) sangat sarat dengan kesalahan moral. Tidak terbebas dari tuduhan erotis, anti jenis kelamin—Ingat, homo yang hingga kini masih dipandang “orang sakit” oleh masyarakat—, menghina pendidikan. Kesemuanya, tidak layak melekat dalam teks tulis biasa. Tetapi, sebagai puisi, teks di atas dianggap sebagai petuah moral, tentu ada hal lain yang lebih penting dibalik maksud puisi menyajikan kalimat bernuansa buruk. Pertanyaan yang sekiranya dapat diajukan; Apakah tidak mungkin kalimat-kalimat dalam puisi di atas benar-benar berniat buruk?
Dicermati dari segi diksi, ada terdapat pilihan kata /mengajariku/ sekolah/ buku-buku/. Lingkungan diksi tersebut, dalam arti literal, mendenotasikan pendidikan dan ilmu pengetahuan. Secara denotatif teks, puisi mengisyaratkan pemilihan lingkungan yang tidak sembarangan; puisi “Saya Pulang Sekolah” hadir melalui lingkungan yang bukannya tidak melek huruf, atau lingkungan pengetahuan. Tetapi, siapakah pengguna bahasa Indonesia yang tidak pernah kenal diksi-diksi tersebut? Penulis curiga, jawabnya adalah tidak ada. Semua masyarakat Indonesia (Melayu) mengenalinya, tahu arti, dan tahu cara penggunaannya dalam konteks kalimat. Begitu pula, diksi Galileo dan Covernikus. Dua diksi tersebut mewakili dua nama yang tidak asing dalam ilmu pengetahuan populer; Galileo, ilmuwan yang dihukum mati oleh Gereja disebabkan pernyataannya “bukan bumi yang dikelilingi matahari, tapi justru bumi yang mengelilingi matahari” dan Covernikus, ilmuwan penerus Galileo yang selanjutnya menyadarkan masyarakat bahwa “manusia hanyalah sekadar makhluk tidak berarti yang mengorbit dalam jagad yang maha luas”. Bagi masyarakat yang pernah mencicipi bangku sekolah, setidaknya tamat SMP, pasti tahu kedua ilmuwan tersebut. Setidak-tidaknya, pernah mendengar dua ilmuwan tersebut diperkatakan. Tetapi tetap saja, penggunaan dua diksi tersebut mengisyaratkan bahwa pembaca puisi “Saya Pulang Sekolah” tengah menikmati sajian teks “berpengetahuan”.
Sedangkan, pemakaian diksi-diksi yang lain, adalah isyarat yang terlalu mudah dipahami; puisi di atas “ ada dan lahir” di tengah-tengah khalayak riuh.
Tentang pola kalimat yang sulit dipahami, penulis menyebutnya sebagai “dibikin-bikin sulit”, puisi “Saya Pulang Sekolah” sepenuhnya tampil dalam kehendak masyarakat terhadap puisi, memang seperti itulah sewajarnya puisi. Banyak orang berpendapat, puisi bagus adalah yang sulit dimengerti.
2
Apakah puisi di atas termasuk “sampah artistik” atau “selera rendah” dari sebuah puisi? Sangat sulit untuk ditentukan. Sama sulitnya dengan menentukan kriteria kualitas karya puisi.
Puisi sejak berabad lalu hingga kini, dan di belahan bumi mana pun, sulit ditentukan baik dan buruknya. Para kritikus sastra kerap kali bertentangan dalam mengonsepkan kriteria yang paling tepat untuk menghasilkan puisi yang sempurna. Yang sering terjadi, kriteria yang dimunculkan hanya samar-samar sehingga sulit diterapkan dan sangat rentan terhadap serangan kritik. Bahkan, devinisi atau batasan teks dapat disebut puisi pun sangat sulit didapatkan. Di Indonesia, teks Pengakuan Pariyem karya Linus Suryadi AG. menimbulkan perdebetan sengit. Apakah termasuk puisi? Apakah termasuk prosa? Toh, pada akhirnya, demi menutup perseteruan genre, teks tersebut dinamai “prosa liris”. Sungguh suatu jalan keluar yang naif. Sembrono. Dan, menggelikan.
Kondisi gamang, seperti di ataslah, yang menyebabkan karya sastra (baca: puisi) kitsch muncul. “Selera rendah” menurut Umberto Eco dalam artikelnya The Structure of Bad Taste dimanifestasikan oleh lemahnya ‘ukuran’ atau ‘kriteria’ pada satu karya. Dalam pandangan modernisme, yang mengangungkan orisinalitas bentuk dan gagasan, kitsch dilecehkan. Dalam pandangan postmodernisme, kitsch dirayakan sebagai alternatif yang menantang. Bahwa, berkesenian dan berpuisi bukan lagi kegiatan yang langka dan teramat asing. Seperti ruang di mata tombak, lancip, sehingga hanya cukup untuk berdiri satu semut. Pelecehan yang dilakukan oleh kaum modernis adalah disebabkan dari kekakuan orang-orang tersebut terhadap “sesuatu yang mudang melengkung”. Modernis terlalu terhadap penafsiran yang sementara, seperti seseorang yang sangat yakin bahwa air berwarna putih dan tinta berwarna hitam. “Selera rendah” menurut Umberto Eco dalam artikelnya The Structure of Bad Taste dimanifestasikan oleh lemahnya ‘ukuran’ atau ‘kriteria’ pada satu karya.
Lebih lanjut, perlu diperiksa puisi berjudul “Orang-Orang Jam 7 Pagi” berikut ini; Selimut masih membayangi sebuah kota, bersama bubur ayam, mentega dalam roti, dan air mendidih di atas kompor. Sepatu mereka mulai berbunyi, menjauh dari teras rumah, bau sabun dan shampo pada rambut basah. Suara ribut di meja makan mulai berubah jadi asap knalpot. Aku adalah 3 KM yang lalu dalam bis penuh sesak, menelusuri koridor-koridor yang me-nyimpan betismu, lalu menghilang di balik lift. Aih! Tak ada lagi masyarakat, pada telpon yang kau angkat.
Puisi di atas, tentu bukan dibikin tanpa kesaratan alasan, atau bukan lahir kebetulan. Panyairnya, tentu, mengontrol kata-kata yang dirakit, untuk sebuah tujuan yang ingin disampaikan pada pembaca. Tetapi tulisan ini tidak bermaksud mencari atau merasa menemukan tujuan dari penyair, bagaimana pun juga, sebuah penafsiran puisi adalah satu titik persilangan yang hadir di antara garis dan persilangan-persilangan lain. Yang masih mungkin untuk diberimaksud, mencari kekhususan-kekhususan bahasa estetik puisi yang ditawarkan oleh teks tertulis.
Ada beberapa keunikan unsur teks dalam puisi “Orang-Orang Jam 7 Pagi” yang jarang, bahkan mungkin tidak ada, ditemui pada puisi-puisi Indonesia.
Pembaitan puisi yang rata kanan sangat jarang digunakan, kalaulah ada hanya satu-dua, dalam antologi Arsitektur Hujan pembaitan rata kanan jumlahnya lebih dari 90%. Artinya, ada kesengajaan untuk menolak menggunakan pembaitan yang konvensional. Efek buruk dari pembaitan rata kanan adalah enjabemen tidak dapat dimaksimalkan, bisa jadi, mesti dikesampingkan. Padahal, enjabemen dalam sebuah puisi dipakai untuk menyublimkan persoalan, berdampak pada jeda pembacaan, yang berarti juga, jeda semiotik. Lebih khusus, enjabemen adalah perangkat estetik yang menunjang kekuatan estetik puisi. Puisi-puisi karya Goenawan Mohamad, hingga kini, banyak sekali memanfaatkan efek enjabemen, dan para kritikus sastra menganggap berhasil.
Puisi-puisi Indonesia yang berhasil dan dianggap berwibawa serta sering dijadikan patokan bagi penyair yang lebih muda, kerap kali menggunakan pola kalimat yang melodis. berirama, dan menghasilkan musik. Contoh melodis yang sederhana adalah pola puisi pantun. Jatuhnya bunyi suku kata pada tiap akhir larik sama persis dengan larik yang lain. Terciptalah sajak aaaa atau juga abab. Unsur melodis dalam puisi membikin puisi menjadi enak untuk dibacakan, seperti menikmati sebuah lagu. Konon, puisi dianggap artistik oleh karena kekuatan unsur musik di dalam rakitan larik-lariknya. Puncak pemusikan kalimat dalam puisi terjadi pada zaman Balai Pustaka dan Pujangga Baru. Chairil Anwar pun, yang dianggap pemberontak tradisi sebelumnya, masih menggunakan perangkat melodis dalam membangun bahasa estetiknya. Juga puisi-puisi yang marak pada tahun 1970-an.
Perangkat melodis sangat rendah sekali dalam puisi “Orang-Orang Jam 7 Pagi”, bahkan tidak ada. Kalaulah ada, bisa jadi, disebabkan ketidak sengajaan. Resiko persimpangan perangkat melodis adalah menghindari salah satu kriteria konvensional agar sebuah puisi sah menyandang label artistik. Persimpangan perangkat melodis dalam puisi, lebih berarti, menolak dibaptis sebagai puisi bagus.
Juga pada pilihan kata dalam puisi. A. Teeuw menengarai bahwa puisi-puisi Indonesia memiliki beberapa diksi yang menempati peringkat artistik yang tinggi. Semacam diksi krama inggil (ragam sopan) dalam bahasa Jawa. Diksi-diksi seperti gunung, lembah, cinta, daun, sepi, sunyi, keabadian, dan kematian merupakan pilihan kata yang tidak asing, seakan-akan harus ada dalam sebuah puisi. Diksi-diksi tersebut, seakan-akan, membangkitkan mitologi kesucian puisi dari diksi khalayak riuh. Sedangkan pada puisi “Orang-Orang Jam 7 Pagi”, pilihan kata justru mengambil yang sebaliknya. Banyak bertebaran diksi-diksi, yang konon, tidak estetik.
Pola perakitan puisi pun tidak menampakkan keinginan untuk menampilkan nuansa keabadian. Misalnya pada larik-larik; bersama bubur ayam, mentega dan roti, dan air mendidih di atas kompor, bau sabun dan shampo, 3 KM yang lalu dalam bis penuh sesak, Aih! dan sebagainya. Ilustrasi-ilustrasi yang sangat jauh berbeda dengan sajian puisi simbolis dan imaji, yang dianggap puncak puisi Indonesia.
Penyimpangan-penyimpangan artistik, yang berarti juga ketiadaan perangkat artikstik puisi, menandakan penggunaan pola kitsch pada puisi-puisi dalam antologi Arsitektur Hujan. Selanjutnya perlu ditelusuri aspek positif dari pola kitsch.
3
Lahirnya gagasan-gagasan tradisi seni dan sastra Indonesia ditandai dengan serangkaian pemberontakan terhadap tradisi sebelumnya. Tahun 1940-an, ketika puncak-puncaknya tradisi sastra Pujangga Baru, Chairil Anwar tampil dengan puisi yang mencengangkan. Bahasa puisi adalah penanda dari keinginan aku lirik yang menukik dan tajam. Penggalan puisi “Aku”, yaitu aku binatang jalang dan sedang dengan cermin aku enggan berbagi penggalan puisi “Penerimaan” menjadi simbol munculnya tradisi sastra baru. Puisi-puisi Chairil akan sangat buruk apabila dikaji dengan memakai paradigma konvensi puisi Pujangga Baru, untuk dapat meraih penafsiran semiotiknya pun akan sulit dicapai. Apalagi puisi Chairil, sama seperti puisi-puisi dalam antologi Arsitektur Hujan, banyak yang dibentuk melalui diksi-diksi dan larik-larik yang bertebaran—digunakan—dalam masyarakat segala kelas, yaitu bahasa bahasa Melayu Pasar. Menghadapi kondisi demikian, kritik sastra atau penelitian sastra harus merubah bentuk dan alur teori yang sesuai dengan bentuk puisi. Kalaulah teori yang sepadan tidak ada, perlu diciptakan teori baru. Pada akhirnya, paradigma artistik puisi pun berubah, kode-kode bahasa estetik lama tidak lagi relevan, atau juga, tumbuh paradigma bahasa estetik baru yang bersanding sejajar dengan yang lama.
Sutardji Calzoum Bahcri juga melakukan pemberontakan yang sama pada dekade 1970-an. Tradisi puisi sebelum Tardji adalah “penghargaan kata sebagai kendaraan makna”, tentu saja terkecuali bentuk mantra, cikal-bakal bahasa estetik puisi Sutardji. Puisi tidak lagi direpoti dengan artian kamus, atau puisi sangat berkepentingan dengan artian kamus, yang pasti kata-kata liar dan tanpa rujukan literal dapat bebas keluar masuk dalam puisi. Sedangkan yang telah, menempati identitasnya dalam kamus, kata-kata akan mencoba meraih pemaknaan yang lebih baru. Menghadapi kecenderungan rumit tersebut, mau tidak mau, kritikus perlu kombinasi teori puisi yang lebih kontekstual. Kritikus sastra yang bebal menerapkan teori-teori yang sudah ada, dalam arti tertentu dapat dikatakan, membunuh kreativitas sastrawan. Bahwa, tanpa pemberontakan dan penyimpangan estetik, perkembangan sastra adalah “mustahil”.
Marcel Ducham (1887-1968) , salah satu pelopor gerakan seni Dada, pada mulanya justru berjuang menghilangkan perangkat seni. Karyanya berjudul “Urinal” (1917) adalah sebuah lobang tempat buang air kecil yang ditanda-tangani dan ditempelkan di dinding sebuah museum. Untuk menikmati dan memahami karya (seni?) tersebut, ingin tidak ingin, seseorang mesti melunturkan konsepnya tentang estetika. Perlu membentuk konsep estetika baru yang sesuai dengan wujud karya seni yang dihadapi. Begitulah, sebuah karya seni (baca: sastra dan puisi) yang menolak karya seni yang sudah ada yang menggunakan wujud karya seni juga, pada akhirnya, dipandang sebagai karya seni bentuk baru. Pernyataan Ducham yang paling terkenal, menyikapi konteks tersebut, “setiap yang diludahkan seniman adalah seni”.
Puisi-puisi dalam antologi Arsitektur Hujan, sebagai kitsch—ragam bahasa tanpa kehormatan estetik—, melunturkan kajian semiotik pembaca yang masih bebal dengan konsep estetik lama. Apakah, kelak, bahasa estetik kitsch akan menjadi sastra tinggi? Tentu, kelak, orang akan tahu sendiri jawabnya.
_________, Studio Gapus, Surabaya
Dijumput dari: http://terpelanting.wordpress.com/page/15/
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Khoirul Anam
A Qorib Hidayatullah
A Rodhi Murtadho
A. Yusrianto Elga
A. Zakky Zulhazmi
A.S. Laksana
Aang Fatihul Islam
Aba Mardjani
Abd. Mun’im
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Gaffar Ruskhan
Abdul Hadi W. M.
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Malik
Abdul Muis
Abdul Wachid BS
Abdullah Khusairi
Abidah El Khalieqy
Abimardha Kurniawan
Abroorza A. Yusra
Abu Salman
Acep Iwan Saidi
Achmad Farid Tuasikal
Adek Alwi
Adi Marsiela
Adian Husaini
Adib Muttaqin Asfar
Adji Subela
Afandi Sido
Afriza Hanifa
Afrizal Malna
Ageng Wuri R. A.
Ags. Arya Dipayana
Aguk Irawan M.N.
Agus B. Harianto
Agus Bing
Agus Noor
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Sri Danardana
Agus Sulton
Agus Sunyoto
Agus Wibowo
Agus Wirawan
Agusri Junaidi
AH J Khuzaini
Ahda Imran
Ahid Hidayat
Ahm Soleh
Ahmad Asyhar
Ahmad Farid Yahya
Ahmad Fuadi
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Musthofa Haroen
Ahmad Rofiq
Ahmad Suhendra
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Aini Aviena Violeta
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Muhaimin Azzet
Akhmad Sekhu
Al Azhar Riau
Al-Fairish
Alex R. Nainggolan
Alexander G.B.
Alfian Zainal
Aliansyah
Alimuddin
Almania Rohmah
Alunk Estohank
Amien Kamil
Amien Wangsitalaja
Anata Siregar
Andi Sutisno
Andy Riza Hidayat
Anies Baswedan
Anindita S Thayf
Anis Ceha
Anis Faridatur Rofiah
Anjrah Lelono Broto
Anna Subekti
Anton Kurnia
Ari Hidayat
Ari Kristianawati
Arie MP Tamba
Arief Junianto
Aris Kurniawan
Arti Bumi Intaran
Arul Arista
AS Sumbawi
Asarpin
Asep Sambodja
Atiqurrahman
Awalludin GD Mualif
Ayu Purwaningsih
Babe Derwan
Bakdi Soemanto
Balada
Bale Aksara
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Bayu Dwi Mardana
Bellanissa Zoditama
Beni Setia
Benny Arnas
Beno Siang Pamungkas
Berita
Berita Duka
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Bokor Hutasuhut
Brunel University London
BSW Adjikoesoemo
Budaya
Budhi Setyawan
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budiawan Dwi Santoso
Bur Rasuanto
Burhanuddin Bella
Bustan Basir Maras
Catatan
Catullus
CB. Ismulyadi
Cerbung
Cerita Rakyat
Cerpen
Chavchay Syaifullah
Cikie Wahab
Cunong Nunuk Suraja
D Zawawi Imron
Dad Murniah
Dadang Ari Murtono
Dahlia Rasyad
Damhuri Muhammad
Damiri Mahmud
Danarto
Daniel Paranamesa
Darju Prasetya
Darman Djamaluddin
Darman Moenir
Dasman Djamaluddin
David Krisna Alka
Dea Anugrah
Dedy Tri Riyadi
Denny JA
Denny Mizhar
Desi Sommalia Gustina
Dewi Anggraeni
Dharma Setyawan
Dian Hartati
Didi Arsandi
Dina Oktaviani
Dipo Handoko
Djenar Maesa Ayu
Djoko Pitono
Doddi Ahmad Fauji
Doddy Hidayatullah
Dodi Chandra
Dodiek Adyttya Dwiwanto
Dody Kristianto
Donny Anggoro
Dony P. Herwanto
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Klik Santosa
Dwi Pranoto
Dwicipta
Edy A Effendi
Edy Firmansyah
Eka Budianta
Eka Fendri Putra
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Ellyzan Katan
Elnisya Mahendra
Emha Ainun Nadjib
Endah Imawati
Eni Suryanti
Eny Rose
Eriyandi Budiman
Eriyanti
Erwin Edhi Prasetya
Erwin Setia
Esai
Evan Ys
Evi Idawati
F Rahardi
Fadly Rahman
Fahrudin Nasrulloh
Faizah Sirajuddin
Faizal Syahreza
Fajar Alayubi
Fakhrunnas M.A. Jabbar
Fanny Chotimah
Fariz al-Nizar
Fariz Alneizar
Faruk HT
Fatah Anshori
Fatah Yasin Noor
Fathurrahman Karyadi
Fatimah Wahyu Sundari
Fauzan Santa
Fazabinal Alim
Festival Sastra Gresik
Fikri MS
Fiksi Mini
Fransisca Dewi Ria Utari
Franz Kafka
Fuad Anshori
Furqon Abdi
Fuska Sani Evani
Gendhotwukir
Gendut Riyanto
Gerson Poyk
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Gola Gong
Grathia Pitaloka
Gregorio Lopez y’ Fuentes
Gugun El-Guyanie
Gunawan Budi Susanto
Gus Noy
H.H. Tokoro
Hadi Napster
Hamberan Syahbana
Hamdy Salad
Hamsad Rangkuti
Han Gagas
Hang Kafrawi
Hani Pudjiarti
Hanna Fransisca
Hardi Hamzah
Hardjono WS
Haris del Hakim
Haris Priyatna
Harris Maulana
Hary B. Kori'un
Hasan Al Banna
Hasan Junus
Hasbullah Said
Hasnan Bachtiar
HE. Benyamine
Heidi Arbuckle
Helmi Y Haska
Helvy Tiana Rosa
Hendra Junaedi
Hendri Nova
Herdoni Syafriansyah
Heri Kurniawan
Heri Latief
Heri Ruslan
Herman RN
Hermawan Aksan
Hermien Y. Kleden
Herry Lamongan
Holy Adib
Humaidiy AS
Husni Anshori
I Nyoman Darma Putra
I Nyoman Tingkat
I Wayan Artika
Ibnu Wahyudi
Ida Farida
Ignas Kleden
Ilham Khoiri
Imam Cahyono
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Tohari
Indra Tranggono
Indrian Koto
Irwan Kelana
Isbedy Stiawan Z.S.
Iskandar Noe
Isma Swastiningrum
Ismi Wahid
Iwan Gardono Sujatmiko
Iwan Gunadi
Iwan Kurniawan
Iwan Nurdaya Djafar
Iwank
J.S. Badudu
Janoary M Wibowo
Javed Paul Syatha
JILFest 2008
JJ. Kusni
Jodhi Yudono
Joko Novianto Bp
Joko Pinurbo
Jones Gultom
Jual Buku Paket Hemat
Jusuf AN
Kadek Suartaya
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kasnadi
Kedung Darma Romansha
Kenedi Nurhan
Khaerudin Kurniawan
Khaerul Anwar
Ki Sugito Ha Es
Kirana Kejora
Komunitas Deo Gratias
Korrie Layun Rampan
Kritik Sastra
Kunthi Hastorini
Kuntowijoyo
Kurie Suditomo
Kurnia Effendi
Kurniawan
Kuswinarto
La Ode Rabbani
Lathifa Akmaliyah
Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember
Leon Agusta
Lily Siti Multatuliana
Lily Yulianti Farid
Lina Kelana
Liza Wahyuninto
Lona Olavia
Lugiena Dé
M Fadjroel Rachman
M Farid W Makkulau
M Syakir
M. Dawam Rahardjo
M. Faizi
M. Mustafied
M. Raudah Jambak
M. Taufan Musonip
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
M.Th. Krishdiana Putri
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Maklumat Sastra Profetik
Malkan Junaidi
Maman S. Mahayana
Mangun Kuncoro
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria D. Andriana
Maria Magdalena Bhoernomo
Mariana Amiruddin
Maryati
Marzuzak SY
Mashuri
Maulana Syamsuri
Media: Crayon on Paper
Mega Vristian
MG. Sungatno
Misbahus Surur
Mofik el-abrar
Moh. Amir Sutaarga
Moh. Ghufron Cholid
Mohammad Hatta
Mohammad Kh. Azad
Mohammad Takdir Ilahi
Much. Khoiri
Muhamad Taslim Dalma
Muhammad Rain
Muhammad Subhan
Muhammad Yasir
Muhammadun A.S
Muhidin M Dahlan
Mujtahid
Mulyawan Karim
Musa Ismail
Musfi Efrizal
Mustafa Ismail
Mustofa W Hasyim
N Teguh Prasetyo
N. Mursidi
Nadhi Kiara Zifen
Nana Riskhi Susanti
Nanang Suryadi
Naskah Teater
Nasrulloh Habibi
Neva Tuhella
Nietzsche
Nirwan Dewanto
Nizar Qabbani
Noor H. Dee
Nova Christina
Novelet
Nunung Nurdiah
Nur Wachid
Nurani Soyomukti
Nurel Javissyarqi
Nurman Hartono
Nuryana Asmaudi
Nyoman Tusthi Eddy
Obrolan
Oky Sanjaya
Oyos Saroso HN
P Ari Subagyo
Pagelaran Musim Tandur
Pamusuk Eneste
Panji Satrio
PDS H.B. Jassin
Penerbit dan Toko Buku PUstaka puJAngga
Pipiet Senja
Pramoedya Ananta Toer
Pringadi AS
Pringgo HR
Prosa
Puisi
Puji Santosa
Purnawan Andra
PUstaka puJAngga
Putu Fajar Arcana
Putu Satria Kusuma
Putu Wijaya
R Masri Sareb Putra
R. Adhi Kusumaputra
R. Timur Budi Raja
R.N. Bayu Aji
Radhar Panca Dahana
Ragdi F. Daye
Rahmi Hattani
Raja Ali Haji
Raju Febrian
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Rama Dira J
Rama Prabu
Ramadhan KH
Ramon Magsaysay
Ramses Ohee
Ratih Kumala
Raudal Tanjung Banua
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Resensi
Ressa Novita
Ressa Sagitariana Putri
Ria Ristiana Dewi
Rialita Fithra Asmara
Ribut Wijoto
Rida K Liamsi
Rifka Sibarani
Rilda A. Oe. Taneko
Rilda A.Oe. Taneko
Rimbun Natamarga
Rinto Andriono
Risang Anom Pujayanto
Rita Zahara
Riyon Fidwar
Robin Al Kautsar
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rohman Budijanto
Rukardi
S Yoga
S. Jai
S. Takdir Alisyahbana
S.W. Teofani
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Sajak
Sajak Sebatang Lisong
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Salman S. Yoga
Salyaputra
Samson Rambah Pasir
Samsudin Adlawi
Sanie B. Kuncoro
Santy Novaria
Sapardi Djoko Damono
Sarabunis Mubarok
Sartika Dian Nuraini
Sasti Gotama
Sastra Nusantara
Satmoko Budi Santoso
Satriani
Saut Poltak Tambunan
Saut Situmorang
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
Selasih
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Shadiqin Sudirman
Shiny.ane el’poesya
Shourisha Arashi
Sidik Nugroho
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sindu Putra
Siska Afriani
Siti Sa’adah
Sitok Srengenge
Siwi Dwi Saputro
Slamet Samsoerizal
Sobih Adnan
Sofyan RH. Zaid
Solihin
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sony Wibisono
Sosiawan Leak
Sri Wintala Achmad
Sri Wulan Rujiati Mulyadi
Stevani Elisabeth
Suci Ayu Latifah
Sucipto Hadi Purnomo
Sudarmoko
Sudirman HN
Suhadi Mukhan
Suharsono
Sukar
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Sunudyantoro
Supriyadi
Suriani
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Sutan Iwan Soekri Munaf
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Syahruddin El-Fikri
Syaripudin Zuhri
Syifa Aulia
Syu’bah Asa
T.A. Sakti
Tammalele
Tan Lioe Ie
Tasyriq Hifzhillah
Taufik Abdullah
Taufik Effendi Aria
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Wr. Hidayat
TE. Priyono
Teguh Winarsho AS
Tenas Effendy
Tengsoe Tjahjono
Thayeb Loh Angen
Theresia Purbandini
Tia Setiadi
Tias Tatanka
Tito Sianipar
Tjahjono EP
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Tjut Zakiyah Anshari
Topik Mulyana
Tosa Poetra
Tri Harun Syafii
TS Pinang
Tu-ngang Iskandar
Udo Z. Karzi
Uly Giznawati
Umar Fauzi Ballah
Umbu Landu Paranggi
Umi Kulsum
Uniawati
Universitas Indonesia
Usman Arrumy
Usman D.Ganggang
Utada Kamaru
UU Hamidy
Viddy AD Daery
W.S. Rendra
Wa Ode Wulan Ratna
Wahib Muthalib
Wahyudi Akmaliah Muhammad
Wardjito Soeharso
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Sunarta
Weli Meinindartato
Wicaksono
Widodo DS
Wina Karnie
Wisran Hadi
Wong Wing King
Yan Maniani
Yanti Mulatsih
Yanuar Arifin
Yasser Arafat
Yaumu Roikha
Yetti A. KA
Yohanes Padmo Adi Nugroho
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yudhi Ms
Yudhistira ANM Massardi
Yulianna
Yurnaldi
Yusi A. Pareanom
Yusi Avianto Pareanom
Yusri Fajar
Yusrizal KW
Yuyun Ifa Naliah
Zaim Rofiqi
Zainal Arifin Thoha
Zakki Amali
Zakky Zulhazmi
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zelfeni Wimra
Zuarman Ahmad
Zulfikar Akbar
Tidak ada komentar:
Posting Komentar