Irwan Kelana
Republika, 1 April 2012
SEJAK awal aku sebetulnya tidak mau datang ke acara reuni ini. Apalagi ketika Muhsin, kawan karibku sewaktu di aliyah dulu, mengatakan bahwa Dini akan datang.
Tapi, Bu Yetty, guru yang paling mengerti tentang diriku, dan kepadanya aku dan Dini sering curhat, memaksaku. “Ilham, datang ya. Ibu kangen sama kamu. Sudah lima belas tahun nggak ketemu,” ucapnya di telepon minggu lalu.
“Datang ya, Il, ada kejutan buat kamu, lho,” Inu sang ketua panitia reuni membujukku lewat SMS.
Sejujurnya, aku juga kangen bertemu teman-teman dan guru-guru. Lima belas tahun bukan waktu yang singkat. Mungkin mereka semua sudah menikah dan punya anak. Boleh jadi juga sudah banyak yang perutnya gendut.
Namun, aku merasa tidak siap untuk bertemu Dini. Aku tak mau hatiku terluka kembali mana kala melihat sosoknya. Ya, Dini adalah gadis pujaanku saat di aliyah dulu. Gadis Jawa itu begitu lembut dan anggun dengan bulu mata lentik dan sorot mata teduh yang selalu mampu menenangkan hatiku. Kerudung putih membuat wajahnya bertambah cantik. Posturnya semampai dalam balutan baju panjang dan rok panjang abu-abu.
Kami sering shalat dhuha dan membaca Alquran bersama di mushala sekolah. Tiap ada acara pengajian, aku dan dia selalu duduk di baris paling depan. Kami pernah merajut cita-cita untuk membina keluarga yang saleh. Aku akan memanggilnya “Ummi” dan ia memanggilku “Abi”. Dan, rumah kami setiap hari akan diramaikan oleh tingkah polah anak-anak yang ceria.
Lulus aliyah, aku berhasil mendapatkan beasiswa ke Universitas al-Azhar, Kairo, Mesir, sedangkan Dini melanjutkan kuliah ke UIN Jakarta. Kami berjanji akan tetap menjaga cita-cita tersebut dan akan mewujudkannya sepulangnya aku dari Mesir.
Namun, baru dua tahun aku menuntut ilmu di Negeri Seribu Menara itu, cita-cita tersebut kandas. Ayah Dini sakit keras, dan permintaannya sebelum dia meninggal adalah dia ingin agar Dini menikah. Mereka menelepon aku. Tapi, tak mungkin aku pulang mendadak dan menikah dengannya. Akhirnya, Dini dinikahkan dengan seorang laki-laki yang katanya masih ada hubungan kerabat jauh.
Luka hatiku sangat perih. Rasanya tak percaya bahwa cinta bisa semudah itu diretas. Untuk melupakan Dini, aku memfokuskan perhatian hanya pada pelajaran. Aku berhasil lulus S-1 dengan predikat mumtaz (cum laude). Ketika ditawari beasiswa S-2, langsung saja aku ambil.
Hampir lima tahun, aku berhasil menggondol gelar MA, juga dengan yudisium mumtaz.
Aku belum berniat pulang meskipun orang tuaku berkali-kali mengirim surat minta agar aku kembali ke Tanah Air dulu, setelah itu boleh balik lagi ke Mesir. Aku mengambil beasiswa program S-3 dan menyelesaikan kuliah doktoral selama empat tahun.
Mungkin bisa dibilang patah arang, aku sudah membulatkan tekad tidak akan kembali ke Tanah Air. Namun, suatu hari, tepatnya dua tahun silam aku bertemu menteri agama dalam sebuah seminar keislaman internasional di Kairo, di mana aku turut menjadi panitia. Menteri mengajak aku kembali ke Tanah Air karena katanya keahlianku di bidang tafsir sangat diperlukan.
***
“Ilham, thanks lho udah mau datang,” sapaan Inu mengagetkanku.
“Hei, Ilham. Mana nyonya?” tanya Edy, kawan kami yang paling bandel. Aku menggeleng.
“Sekian tahun kau di Mesir. Masa sih gak ada satu pun cewek yang bisa kau gaet? Kalau tidak dapat gadis Mesir, gadis Indonesia pun tak apalah,” Pandu si playboy menimpali.
“Begitulah kenyataannya.”
“Ssst! Nyonyanya sebentar lagi datang lho,” kata Inu.
“Maksudmu?” tanya Edy dan Pandu bersamaan.
“Ada deh. Tunggu aja,” sahut Inu sambil tersenyum.
Satu per satu rekan-rekan seangkatanku tiba di tempat acara, sebuah restoran kebun yang terletak di Jalan Margonda Raya, Depok. Beberapa orang guru juga datang, termasuk Bu Yetty.
“Eh, Ilham, ibu kangen banget sama kamu.”
“Saya juga kangen sama Ibu,” aku mencium tangannya.
“Ada seseorang yang sangat merindukanmu. Sebentar lagi juga dia sampai di sini.”
“Siapa, Bu?” tanyaku walaupun aku sudah bisa meraba ke mana arah pembicaraan Bu Yetty.
“Dini.”
“Dini?” Masih juga aku terkejut, meski aku menebak nama itulah yang akan diucapkan oleh Bu Yetty.
“Iya, Dini. Dia sudah menjanda, lho. Lima tahun lalu. Suaminya meninggal karena kecelakaan pesawat. Mereka tak punya anak. Dini janji sama Ibu, dia akan datang ke acara reuni ini.”
Hatiku tiba-tiba seperti bunga mati yang mekar kembali. Dini! Ah, calon ibu anakanakku itu, masihkah dia seperti dulu: selalu senyum dikulum dan suaranya selalu mampu menenangkan kegundahan hatiku.
Sudah hampir pukul 12.00 siang, namun Dini belum juga tiba.
“Tenang, Il, sebentar lagi juga dia datang. Dia langsung dari bandara. Ada acara di Bali,” Inu seperti mengerti kegalauan hatiku.
Ketika sebuah SMS masuk ke HP-nya, Inu segera menyodorkannya kepadaku, “In, aku udah di taksi. Kira-kira satu jam lagi nyampe di tempat acara. Dini.”
Namun, hingga pukul satu, Dini belum juga sampai. Ditunggu hingga pukul dua siang, juga tidak ada kabar berita.
Pukul tiga sore HP Inu berbunyi. Setelah berbicara sejenak, wajahnya langsung pucat pasi.
“Ada apa, Inu?” tanyaku dan beberapa kawan serempak.
“Dini tabrakan… sekarang di UGD… tadi petugas mendapatkan nomorku dari HP-nya Dini,” suara Inu terbata-bata.
***
Sepanjang malam aku menunggui Dini. Berharap ada keajaiban. Kepala Dini diperban dan di tangannya terselip selang infus. Ia mengalami pendarahan yang sangat parah. “Ya Allah, jangan Engkau biarkan aku kehilangan Dini untuk kedua kali,” bisikku dalam hati.
Pukul dua dini hari, ibu dan adik Dini, Dinda, tertidur sambil duduk di bangku. Aku berwudhu, lalu shalat hajat dan tahajud.
Aku teringat kisah tiga pemuda Kahfi saat mereka terkurung dalam gua. Masing-masing berdoa menyebut kebaikan mereka. Dan, tiap kali satu orang menyebutkan kebaikan yang pernah dilakukannya, batu penutup gua bergeser sedikit. Sampai akhirnya, pintu gua itu terbuka dan mereka dapat keluar dari dalam gua.
“Ya Allah, aku pernah memberikan seluruh tabunganku kepada seorang sahabatku yang akan menikah di Mesir dulu. Jika hal tersebut merupakan amal saleh yang Engkau terima, tolong selamatkan dan sembuhkan Dini,” ucapku perlahan.
Azan Subuh terdengar dari masjid di luar sana. Tiba-tiba aku mendengar suara rintihan Dini. Lalu perlahan matanya sedikit terbuka. Ah, mata sendu itu! Mata yang selalu membuatku rindu menatapnya.
“Din,” aku berbisik di telinganya. Tanganku menggengam jemari tangan kirinya.
“Ilham,” suaranya terdengar parau.
“Ya, Din. Ini aku. Kamu akan sembuh dan kita akan mewujudkan mimpi kita. Membina keluarga bahagia, dengan 10 anak yang semuanya jadi penghafal Alquran.”
Bibirnya berusaha mengukir senyum, namun ia menggeleng lemah.
“Aku ingin shalat,” tuturnya lirih.
Aku segera membangunkan ibunya. Ia membantu Dini tayamum.
Matanya menatapku lembut seperti memberi isyarat. “Kamu mau shalat berjamaah, Din?” bisikku di telinganya.
Ia mengangguk dengan ekor matanya.
Aku segera berwudhu kembali, kemudian menjadi imam shalat. “Ya Tuhan, betapa lama aku merindukan hal ini: menjadi imam shalat bagi Dini dan kelak juga anak-anak kami.”
Selesai shalat, aku segera berdiri. Saat kupandang wajah Dini, matanya terpejam. Ia pingsan kembali.
Aku segera memanggil suster. Ia datang tergopoh-gopoh, lalu memeriksa keadaan Dini. Tiba-tiba, ia tampak tegang dan segera menelepon dokter. Dokter segera datang dan memeriksa detak jantung Dini.
“Bagaimana keadaannya, Dok?” tanyaku tak sabar.
“Mari sama-sama kita berdoa, semoga Tuhan memberikan pertolongan kepadanya.”
“Maksud Dokter?”
“Terus terang, kondisinya memburuk, tapi kami akan berusaha semampu kami. Yang penting, teruslah berdoa mohon yang terbaik untuknya.”
Hatiku tercekat. Seperti ada feeling bahwa Dini akan pergi untuk selamanya.
Ternyata benar. Dini tak pernah sadarkan diri lagi. Kira-kira pukul delapan pagi ia mengembuskan napasnya yang terakhir.
Ia pergi tanpa sempat mengucapkan salam perpisahan. Kubelai rambut hitamnya dan kukecup keningnya. Wanita yang tak pernah kusentuh selama hidupnya.
***
Upacara pemakaman Dini dihadiri oleh para guru dan teman yang kemarin datang di acara reuni. Sebelumnya, aku diminta oleh pihak keluarga untuk menjadi imam shalat jenazah.
“Allahummaghfirlaha warhamha wa’afihaa wa’fu anha…,” doaku begitu khusyuk.
Aku turun ke liang lahat dan mendekap jenazah Dini saat dimasukkan ke dalam kubur. Seusai penguburan, aku menanam dua batang kemboja di dua ujung makam itu.
“Il, kemarin waktu di taksi, Dini sempat telepon aku. Katanya, dia cinta Ilham dan mau datang ke acara reuni karena berharap dapat mengobati luka hati Ilham,” bisik Inu lirih.
Aku menggigit bibir, menahan agar tak ada air mata yang jatuh.
Menjelang pukul lima, acara pemakaman usai. Satu per satu pengantar jenazah meninggalkan pemakaman umum itu. Namun, aku masih duduk termangu di depan makam yang masih merah itu.
“Il, aku duluan ya,” kata Muhsin.
“Saya juga duluan ya, Il,” kata Inu.
Aku cuma mengangguk.
Tinggal aku berdua dengan ibu Dini.
“Maafkan ibu dan almarhum Bapak ya, Nak Ilham,” kata ibu Dini perlahan.
Aku meraih tangannya. “Tidak ada yang perlu dimaafkan, Bu. Jodoh, rezeki, maut, semua Allah yang punya. Kita hanya menjalani takdir yang telah Allah gariskan buat kita masing-masing ketika kita masih di dalam kandungan ibu kita, bahkan semuanya sudah tertulis di Lauhul Mahfuz.”
Air matanya tiba-tiba kembali menderas. Ia memelukku.
“Ikhlaskan Dini, Nak Ilham…,” bisiknya parau.
“Ya, Bu,” sahutku dengan suara bergetar.
Aku memegang bahunya. “Sebaiknya Ibu pulang duluan. Nanti saya menyusul.”
Ia mengangguk, lalu berlalu menghampiri Dinda, yang telah menunggu di gerbang makam.
Aku kembali bersimpuh di depan makam Dini. Aku membacakan surah al-Fatihah, al-Ikhlas, al-Falaq, An-Nas, ayat kursi, dan zikir serta doa untuk Dini. Seakan-akan ia mengaminkan doaku.
Aku terus berdoa dan berzikir sampai senja datang dan azan Maghrib terdengar. Kupandang makam itu seraya berbisik, “Din, aku shalat Maghrib dulu, ya.”
Seusai shalat di mushala terdekat, aku kembali menyambangi makam Dini. Kembali kukirimkan doa-doa terbaik untuknya.
Senja sudah sampai di ujungnya. Sekali lagi kutatap makam yang masih segar itu, di antara temaram bayang-bayang malam yang kian muram. Di dalamnya terbaring wanita yang kucintai, namun tak pernah bisa kumiliki.
“Din, beristrahatlah dengan damai, semoga Allah selalu menyayangimu di alam sana,” bisikku dengan suara tercekat.
Berat kakiku melangkah. Aku merasa separuh jiwaku ikut terkubur bersama jasad Dini. Sunyi membalut hatiku dan dukaku kian membatu.
Depok, 2012
Irwan Kelana, cerpenis, novelis, dan wartawan Republika, kelahiran Depok, Jawa Barat, 1 September 1965. Menggemari kegiatan tulis-menulis sejak SMA. Bukunya yang sudah terbit antara lain Kelopak Mawar Terakhir, Kemboja Terkulai di Pangkuan, Menata Jarak Hati, dan Masa Depan. Sejumlah cerpennya juga dimuat dalam antologi bersama.
Dijumput dari: http://lakonhidup.wordpress.com/2012/04/13/cinta-di-ujung-senja/
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Khoirul Anam
A Qorib Hidayatullah
A Rodhi Murtadho
A. Yusrianto Elga
A. Zakky Zulhazmi
A.S. Laksana
Aang Fatihul Islam
Aba Mardjani
Abd. Mun’im
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Gaffar Ruskhan
Abdul Hadi W. M.
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Malik
Abdul Muis
Abdul Wachid BS
Abdullah Khusairi
Abidah El Khalieqy
Abimardha Kurniawan
Abroorza A. Yusra
Abu Salman
Acep Iwan Saidi
Achmad Farid Tuasikal
Adek Alwi
Adi Marsiela
Adian Husaini
Adib Muttaqin Asfar
Adji Subela
Afandi Sido
Afriza Hanifa
Afrizal Malna
Ageng Wuri R. A.
Ags. Arya Dipayana
Aguk Irawan M.N.
Agus B. Harianto
Agus Bing
Agus Noor
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Sri Danardana
Agus Sulton
Agus Sunyoto
Agus Wibowo
Agus Wirawan
Agusri Junaidi
AH J Khuzaini
Ahda Imran
Ahid Hidayat
Ahm Soleh
Ahmad Asyhar
Ahmad Farid Yahya
Ahmad Fuadi
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Musthofa Haroen
Ahmad Rofiq
Ahmad Suhendra
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Aini Aviena Violeta
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Muhaimin Azzet
Akhmad Sekhu
Al Azhar Riau
Al-Fairish
Alex R. Nainggolan
Alexander G.B.
Alfian Zainal
Aliansyah
Alimuddin
Almania Rohmah
Alunk Estohank
Amien Kamil
Amien Wangsitalaja
Anata Siregar
Andi Sutisno
Andy Riza Hidayat
Anies Baswedan
Anindita S Thayf
Anis Ceha
Anis Faridatur Rofiah
Anjrah Lelono Broto
Anna Subekti
Anton Kurnia
Ari Hidayat
Ari Kristianawati
Arie MP Tamba
Arief Junianto
Aris Kurniawan
Arti Bumi Intaran
Arul Arista
AS Sumbawi
Asarpin
Asep Sambodja
Atiqurrahman
Awalludin GD Mualif
Ayu Purwaningsih
Babe Derwan
Bakdi Soemanto
Balada
Bale Aksara
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Bayu Dwi Mardana
Bellanissa Zoditama
Beni Setia
Benny Arnas
Beno Siang Pamungkas
Berita
Berita Duka
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Bokor Hutasuhut
Brunel University London
BSW Adjikoesoemo
Budaya
Budhi Setyawan
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budiawan Dwi Santoso
Bur Rasuanto
Burhanuddin Bella
Bustan Basir Maras
Catatan
Catullus
CB. Ismulyadi
Cerbung
Cerita Rakyat
Cerpen
Chavchay Syaifullah
Cikie Wahab
Cunong Nunuk Suraja
D Zawawi Imron
Dad Murniah
Dadang Ari Murtono
Dahlia Rasyad
Damhuri Muhammad
Damiri Mahmud
Danarto
Daniel Paranamesa
Darju Prasetya
Darman Djamaluddin
Darman Moenir
Dasman Djamaluddin
David Krisna Alka
Dea Anugrah
Dedy Tri Riyadi
Denny JA
Denny Mizhar
Desi Sommalia Gustina
Dewi Anggraeni
Dharma Setyawan
Dian Hartati
Didi Arsandi
Dina Oktaviani
Dipo Handoko
Djenar Maesa Ayu
Djoko Pitono
Doddi Ahmad Fauji
Doddy Hidayatullah
Dodi Chandra
Dodiek Adyttya Dwiwanto
Dody Kristianto
Donny Anggoro
Dony P. Herwanto
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Klik Santosa
Dwi Pranoto
Dwicipta
Edy A Effendi
Edy Firmansyah
Eka Budianta
Eka Fendri Putra
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Ellyzan Katan
Elnisya Mahendra
Emha Ainun Nadjib
Endah Imawati
Eni Suryanti
Eny Rose
Eriyandi Budiman
Eriyanti
Erwin Edhi Prasetya
Erwin Setia
Esai
Evan Ys
Evi Idawati
F Rahardi
Fadly Rahman
Fahrudin Nasrulloh
Faizah Sirajuddin
Faizal Syahreza
Fajar Alayubi
Fakhrunnas M.A. Jabbar
Fanny Chotimah
Fariz al-Nizar
Fariz Alneizar
Faruk HT
Fatah Anshori
Fatah Yasin Noor
Fathurrahman Karyadi
Fatimah Wahyu Sundari
Fauzan Santa
Fazabinal Alim
Festival Sastra Gresik
Fikri MS
Fiksi Mini
Fransisca Dewi Ria Utari
Franz Kafka
Fuad Anshori
Furqon Abdi
Fuska Sani Evani
Gendhotwukir
Gendut Riyanto
Gerson Poyk
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Gola Gong
Grathia Pitaloka
Gregorio Lopez y’ Fuentes
Gugun El-Guyanie
Gunawan Budi Susanto
Gus Noy
H.H. Tokoro
Hadi Napster
Hamberan Syahbana
Hamdy Salad
Hamsad Rangkuti
Han Gagas
Hang Kafrawi
Hani Pudjiarti
Hanna Fransisca
Hardi Hamzah
Hardjono WS
Haris del Hakim
Haris Priyatna
Harris Maulana
Hary B. Kori'un
Hasan Al Banna
Hasan Junus
Hasbullah Said
Hasnan Bachtiar
HE. Benyamine
Heidi Arbuckle
Helmi Y Haska
Helvy Tiana Rosa
Hendra Junaedi
Hendri Nova
Herdoni Syafriansyah
Heri Kurniawan
Heri Latief
Heri Ruslan
Herman RN
Hermawan Aksan
Hermien Y. Kleden
Herry Lamongan
Holy Adib
Humaidiy AS
Husni Anshori
I Nyoman Darma Putra
I Nyoman Tingkat
I Wayan Artika
Ibnu Wahyudi
Ida Farida
Ignas Kleden
Ilham Khoiri
Imam Cahyono
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Tohari
Indra Tranggono
Indrian Koto
Irwan Kelana
Isbedy Stiawan Z.S.
Iskandar Noe
Isma Swastiningrum
Ismi Wahid
Iwan Gardono Sujatmiko
Iwan Gunadi
Iwan Kurniawan
Iwan Nurdaya Djafar
Iwank
J.S. Badudu
Janoary M Wibowo
Javed Paul Syatha
JILFest 2008
JJ. Kusni
Jodhi Yudono
Joko Novianto Bp
Joko Pinurbo
Jones Gultom
Jual Buku Paket Hemat
Jusuf AN
Kadek Suartaya
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kasnadi
Kedung Darma Romansha
Kenedi Nurhan
Khaerudin Kurniawan
Khaerul Anwar
Ki Sugito Ha Es
Kirana Kejora
Komunitas Deo Gratias
Korrie Layun Rampan
Kritik Sastra
Kunthi Hastorini
Kuntowijoyo
Kurie Suditomo
Kurnia Effendi
Kurniawan
Kuswinarto
La Ode Rabbani
Lathifa Akmaliyah
Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember
Leon Agusta
Lily Siti Multatuliana
Lily Yulianti Farid
Lina Kelana
Liza Wahyuninto
Lona Olavia
Lugiena Dé
M Fadjroel Rachman
M Farid W Makkulau
M Syakir
M. Dawam Rahardjo
M. Faizi
M. Mustafied
M. Raudah Jambak
M. Taufan Musonip
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
M.Th. Krishdiana Putri
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Maklumat Sastra Profetik
Malkan Junaidi
Maman S. Mahayana
Mangun Kuncoro
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria D. Andriana
Maria Magdalena Bhoernomo
Mariana Amiruddin
Maryati
Marzuzak SY
Mashuri
Maulana Syamsuri
Media: Crayon on Paper
Mega Vristian
MG. Sungatno
Misbahus Surur
Mofik el-abrar
Moh. Amir Sutaarga
Moh. Ghufron Cholid
Mohammad Hatta
Mohammad Kh. Azad
Mohammad Takdir Ilahi
Much. Khoiri
Muhamad Taslim Dalma
Muhammad Rain
Muhammad Subhan
Muhammad Yasir
Muhammadun A.S
Muhidin M Dahlan
Mujtahid
Mulyawan Karim
Musa Ismail
Musfi Efrizal
Mustafa Ismail
Mustofa W Hasyim
N Teguh Prasetyo
N. Mursidi
Nadhi Kiara Zifen
Nana Riskhi Susanti
Nanang Suryadi
Naskah Teater
Nasrulloh Habibi
Neva Tuhella
Nietzsche
Nirwan Dewanto
Nizar Qabbani
Noor H. Dee
Nova Christina
Novelet
Nunung Nurdiah
Nur Wachid
Nurani Soyomukti
Nurel Javissyarqi
Nurman Hartono
Nuryana Asmaudi
Nyoman Tusthi Eddy
Obrolan
Oky Sanjaya
Oyos Saroso HN
P Ari Subagyo
Pagelaran Musim Tandur
Pamusuk Eneste
Panji Satrio
PDS H.B. Jassin
Penerbit dan Toko Buku PUstaka puJAngga
Pipiet Senja
Pramoedya Ananta Toer
Pringadi AS
Pringgo HR
Prosa
Puisi
Puji Santosa
Purnawan Andra
PUstaka puJAngga
Putu Fajar Arcana
Putu Satria Kusuma
Putu Wijaya
R Masri Sareb Putra
R. Adhi Kusumaputra
R. Timur Budi Raja
R.N. Bayu Aji
Radhar Panca Dahana
Ragdi F. Daye
Rahmi Hattani
Raja Ali Haji
Raju Febrian
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Rama Dira J
Rama Prabu
Ramadhan KH
Ramon Magsaysay
Ramses Ohee
Ratih Kumala
Raudal Tanjung Banua
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Resensi
Ressa Novita
Ressa Sagitariana Putri
Ria Ristiana Dewi
Rialita Fithra Asmara
Ribut Wijoto
Rida K Liamsi
Rifka Sibarani
Rilda A. Oe. Taneko
Rilda A.Oe. Taneko
Rimbun Natamarga
Rinto Andriono
Risang Anom Pujayanto
Rita Zahara
Riyon Fidwar
Robin Al Kautsar
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rohman Budijanto
Rukardi
S Yoga
S. Jai
S. Takdir Alisyahbana
S.W. Teofani
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Sajak
Sajak Sebatang Lisong
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Salman S. Yoga
Salyaputra
Samson Rambah Pasir
Samsudin Adlawi
Sanie B. Kuncoro
Santy Novaria
Sapardi Djoko Damono
Sarabunis Mubarok
Sartika Dian Nuraini
Sasti Gotama
Sastra Nusantara
Satmoko Budi Santoso
Satriani
Saut Poltak Tambunan
Saut Situmorang
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
Selasih
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Shadiqin Sudirman
Shiny.ane el’poesya
Shourisha Arashi
Sidik Nugroho
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sindu Putra
Siska Afriani
Siti Sa’adah
Sitok Srengenge
Siwi Dwi Saputro
Slamet Samsoerizal
Sobih Adnan
Sofyan RH. Zaid
Solihin
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sony Wibisono
Sosiawan Leak
Sri Wintala Achmad
Sri Wulan Rujiati Mulyadi
Stevani Elisabeth
Suci Ayu Latifah
Sucipto Hadi Purnomo
Sudarmoko
Sudirman HN
Suhadi Mukhan
Suharsono
Sukar
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Sunudyantoro
Supriyadi
Suriani
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Sutan Iwan Soekri Munaf
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Syahruddin El-Fikri
Syaripudin Zuhri
Syifa Aulia
Syu’bah Asa
T.A. Sakti
Tammalele
Tan Lioe Ie
Tasyriq Hifzhillah
Taufik Abdullah
Taufik Effendi Aria
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Wr. Hidayat
TE. Priyono
Teguh Winarsho AS
Tenas Effendy
Tengsoe Tjahjono
Thayeb Loh Angen
Theresia Purbandini
Tia Setiadi
Tias Tatanka
Tito Sianipar
Tjahjono EP
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Tjut Zakiyah Anshari
Topik Mulyana
Tosa Poetra
Tri Harun Syafii
TS Pinang
Tu-ngang Iskandar
Udo Z. Karzi
Uly Giznawati
Umar Fauzi Ballah
Umbu Landu Paranggi
Umi Kulsum
Uniawati
Universitas Indonesia
Usman Arrumy
Usman D.Ganggang
Utada Kamaru
UU Hamidy
Viddy AD Daery
W.S. Rendra
Wa Ode Wulan Ratna
Wahib Muthalib
Wahyudi Akmaliah Muhammad
Wardjito Soeharso
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Sunarta
Weli Meinindartato
Wicaksono
Widodo DS
Wina Karnie
Wisran Hadi
Wong Wing King
Yan Maniani
Yanti Mulatsih
Yanuar Arifin
Yasser Arafat
Yaumu Roikha
Yetti A. KA
Yohanes Padmo Adi Nugroho
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yudhi Ms
Yudhistira ANM Massardi
Yulianna
Yurnaldi
Yusi A. Pareanom
Yusi Avianto Pareanom
Yusri Fajar
Yusrizal KW
Yuyun Ifa Naliah
Zaim Rofiqi
Zainal Arifin Thoha
Zakki Amali
Zakky Zulhazmi
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zelfeni Wimra
Zuarman Ahmad
Zulfikar Akbar
Tidak ada komentar:
Posting Komentar