Nurel Javissyarqi**
http://sastra-indonesia.com/
Prolog (QS.24:35):
“Ia pemberi cahaya lelangit dan bumi.
Perumpamaan Cahaya-Nya ibarat kurungan pelita
(miskat), yang di dalamnya terdapat pelita. Pelita itu
berada di dalam kaca; kaca tersebut bagaikan bintang
cemerlang serupa mutiara, yang dinyalakan dari pohon
yang banyak berkahnya; yaitu pohon zaitun,
yang berasal bukan dari barat, dan bukan dari timur.
Yang minyaknya saja, hampir-hampir menerangi, meski
tak dinyalakan dengan api. Cahaya di atas segala cahaya!”
I. Pembuka
(Seorang pengembara muda berjalan di atas panggung,
ia berkata):
Segarlah kepemudaanku yang baru mekar,
embun arang di wajah mawar hitam bergulingan
ketika angin sekutu serentak menikam para papa,
dengan mata gemerlap menyetubuhi ruang hampa.
Akukah gembel yang malang itu?
Mengembala domba-domba tak berkepala,
dan para cacing busuk dalam perut ibundanya.
Saatnya memang,
menggelandang dari gang-gang kota,
makan dari sampah harapan para angkara;
makin dalam pekat kelopak-kelopak hatimu
di tepian pantai jalanan itu.
Tanganku tergores duri-duri kaktus,
liar-meliar di pebukitan karang;
pedihnya ke segenap penjuru,
menangis ke sudut cakrawala,
dan bola-bola mata menjadi nanar,
tak ubahnya fajar tersentak
oleh harkat yang nisbi,
diam!
(cahaya menfokus di layar menyerupai bulan,
ia melanjutkan kata-kata):
Tubuh-tubuh pepohonan mati meranggas,
jarum-jarum rumput mematahkan kalbu bulan,
di setiap wujud menandaskan kematian,
di setiap degup menandaskan kelahiran;
aku menjelma, bagianmu yang hantu.
(Pemuda itu menemukan uang logam,
lalu mengamati, dan diteruskan ucapannya):
Sepasang wajah tidak mungkin bertemu,
walau sejatinya menyatu;
adakah tangis di lempengan ini,
kecintaanmu yang malu?
Benarkah ini wajah Tuhan?
Atau raut kekasihku yang lenyap oleh peredaran?
Yang dari kutub utara dan selatan,
yang dari pegunungan timur maupun barat,
kemarilah, ke lembah ngarai peradaban;
pasar kebudayaan menantimu,
walau membeli pertukaran kasih.
Alamlah,
yang semayamkan kehendak utuh
kepada relung terdalam.
(jantungnya keras berdegup kencang,
ia memegangi dadanya lalu lemas, lantas
ia kembali bangkit dari kehitaman panggung.
Dan sorot lampu remang perlahan menerangi
wajah pucatnya, ia melanjutkan berkata-kata):
Akulah anakmu, wahai kehidupan abadi,
di sini tempatnya, balung-belulang ditempa api,
di jalanan malam menyala,
hingga dendam memupus,
serupa buah randu sedang menua,
mengeluarkan kapuk-kapuk beterbangan;
menghampiri langit, menuju kerajaan-Nya.
Gelombang samudra pada ketinggiannya,
awan pukul-menghempas
di awang-uwung dunia panggung,
sejauh hasrat jaman biru memutih
di samping diri manusia yang pergi.
(seorang wanita menghampirinya seperti tersesat,
dan didekatinya lelaki malang itu sambil berucap):
Aku dengar, bisikan sang waktu, katanya segera datang,
ribuan cahaya terang kunang-kunang menari di udara;
inikah jawaban, atau masih petanda?
Di setiap tingkatan itu rona,
ketika pipi terkelupas asmara;
sayap bebuku mengatup di belahan jemari,
menjelma mutu manikam di saku renungan.
Biasanya, kulewati derita dahan; kata angin itu,
menelusup pada kejauhan matamu,
menjangkau rindu dengan kecurigaan.
Inikah perhatianmu yang malang?
Memandang bukit berpelukan kenang?
(lelaki itu menimpali kata-kata):
Pebukitan yang mengelilingi kediamanmu,
itu cawan ganjil bagimu;
setetes embun segelas samudra,
menimang hati nan jauh dirimu,
air putih serta senyum paling perawan kau suguhkan,
sosok itu melayang-layang di awan, entah ke mana
sekarang, hanya angin kukenal, melekat di badan.
(sang gadis itu menandaskan kata):
Kedewasaanmu tidak mungkin melupakan itu,
tarikan nafasmu-nafasku tetap sama,
bersatu dalam sukma merajah.
(lelaki itu menjawab):
Ya benar, kita dari ketinggain timur dan barat,
serupa minyak zaitun cemerlang tanpa nyala api,
sebab si setan belang tak sanggup menjangkau kemari.
Inilah daerah kekuasaan iman;
keyakinanku manunggal,
bimbangku mandek menstupa.
Kuceritakan segala kerahasiaan jiwa,
agar engkau mawas di depan cermin,
Eva Braun, Balkis serta Roro Jonggrang,
akulah Hitler bengis itu, Sulaiman yang setia,
atau Bandung Bandawasa yang meludahi tanah.
Kuusung kerajaan jiwamu, hingga kau tak memilikinya,
dan mereka, membawa nafasmu hadir kemari.
(wanita itu menangis tersedu,
sambil berkata dengan khidmad):
Menuruni lembah-lembah kecilku, tanganmu merentang,
keringat menguap, jantung memberi melodi,
dan darah tandas tak tersisa.
Wahai sahabat jamanku, hisaplah jiwa kekasihmu ini;
aku kini menjelma ibunda keabadian,
di atas anak-anakkan rambutmu sampai kepadaku,
sepi kuwarisi, mengikuti daun-daun terjatuh
di pekuburan sesal kamboja,
siapa mencubit, tak lagi temukan getahnya.
(lalu lelaki itu menyaut):
Yang dari satu kutub, tidak mau meleburkan diri,
dirinya selalu tak sempurna, walau ribuan kitab ia pelajari;
di dekatku tetap seperti orang buta atau tersesat, dan aku
tidak akan membukakan pepintu,
tetapi, terimalah ini perempuanku,
selogam mata uang perak bukan penolakan,
yang kutemukan di tengah jalan kembara.
(Lelaki itu memberikan sekeping uang tersebut,
sambil menekan kata-kata):
Genggamlah kuat-kuat,
bahwa timur dan barat tak kan bertemu,
kutub utara serta selatan, selamanya begitu.
Tetapi ini, dalam satu mata uang yang sama,
aku sebut sebagai perjodohan duniawi.
(wanita dan lelaki itu tiba-tiba kesakitan,
terjatuh lalu mati,
hanya kedua tangannya saling bertemu,
oleh selogam mata uang takdir).
II. Bercampur
(dalam satu keranda ada dua mayat,
sang pengembara, dan wanita tersesat.
Keempat pemikul keranda, serentak berucap):
Bukti setia adalah ajal,
bukti pertemuan, yang tak terpisahkan.
Kita panggul jasad mati,
demi sebuah damai yang hilang;
keduanya saling mengisi kekosongan,
yang menyulam arti, memberi makna dikemudian.
Mereka telah tahu, realitas dan misteri bersulaman,
tak ubahnya angan dan fikiran. Mereka juga mengerti,
hidup senantiasa dalam waktu-waktu percobaan,
demi mengekalkan kesejatian tujuan serta harapan.
Dan mereka pun faham, dunia bukan segala-galanya,
hanya yang sungguh-sungguh menuju batas akhir,
menemukan kilauan cahaya-Cahaya.
Kita pendam nantinya dalam lubang penantian,
penangguhan jawaban dari pertanyaan-pertanyaan.
Ternyata yang paling berharga di dunia adalah ruh;
nafas-nafas yang sanggup menafaskan kepada sesama.
(Keempat pemikul keranda, simbul orang timur
dan orang barat, yang tak mungkin bersatu,
kecuali dalam pesta kematian)
III. Peleburan
(kedua pengantin kematian itu duduk-duduk
di kursi goyang “surga.” Sang perempuannya
membawa kipas, lelakinya memegang saputangan,
dan empat bidadari datang kepada kedua mempelai)
(bidadari pertama menyuguhkan;
sekuntum kembang, segelas anggur merah,
seunting padi, dan sebutir telur)
(bidadari kedua menyuguhkan;
seranting pohon waru beserta daun-daunnya,
selembar bulu elang, dan segenggam debu)
(bidadari ketiga menyuguhkan;
lembar-lembar kertas, sebotol tinta,
secangkir embun, secawan salju)
(dan bidadari ke empat menyuguhkan;
segelintir kerikil, sebilah pisau, seekor burung
tersembelih, yang masih segar darahnya,
beserta sebuah apel ranum).
(bidadari pertama berkata):
Sekuntum kembang itu kalbumu,
segelas anggur merah perbincanganmu,
seunting padi, sebutir telur
adalah wujud ketulusanmu.
(bidadari kedua berkata):
Seranting pohon waru beserta daun-daunnya
adalah sayap-sayap kasih sayangmu,
selembar bulu elang sebagai penamu,
dan segenggam debu, asal muasalmu.
(bidadari ketiga berkata):
Lelembaran kertas itu usiamu,
sebotol tinta sebagai perjuanganmu,
secangkir embun, tangisan-tangisanmu,
dan secawan salju itu wujud keiklasanmu.
(dan bidadari keempat berkata):
Segelintir kerikil ibarat rembulan atau matahari,
sebilah pisau itu simbul fikiranmu, dan tidakkah
seekor burung tersembelih itu kepasrahan nuranimu,
sedangkan sebuah apel ranum sebagai penyempurna.
(lelaki itu berdiri dari kursi goyang, lalu berucap):
Segalanya dari kekosongan, ketiadaan yang suci,
menuju kepada kehendak-kehendak;
menuangkan anggur di dalam gelas piala,
busanya ke segenap jemari tangan mereka.
Dengan saputangan ini, kuusap,
betapa basah mereka kekasih
(ia memanggil kekasihnya):
Kipasilah lehernya yang hampir putus,
dikarena melihat ketinggian capaian kita.
(lelaki dan perempuan itu serentak berucap):
Kita di atas tanjung karang paling mulia,
di bawahnya gemuruh ombak dan tepuk tangan;
kita dinaungi, oleh Cahaya Keilahian yang pertama.
—————
*) Pernah dipentaskan Kelompok Teater Tiang di UNEJ & IAIN Surabaya pada bulan Juli 2007, di tangan sutradara Tomtom.
**) Nagan Lor 21.Yogyakarta. Pengelana asal Lamongan, JaTim.
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Khoirul Anam
A Qorib Hidayatullah
A Rodhi Murtadho
A. Yusrianto Elga
A. Zakky Zulhazmi
A.S. Laksana
Aang Fatihul Islam
Aba Mardjani
Abd. Mun’im
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Gaffar Ruskhan
Abdul Hadi W. M.
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Malik
Abdul Muis
Abdul Wachid BS
Abdullah Khusairi
Abidah El Khalieqy
Abimardha Kurniawan
Abroorza A. Yusra
Abu Salman
Acep Iwan Saidi
Achmad Farid Tuasikal
Adek Alwi
Adi Marsiela
Adian Husaini
Adib Muttaqin Asfar
Adji Subela
Afandi Sido
Afriza Hanifa
Afrizal Malna
Ageng Wuri R. A.
Ags. Arya Dipayana
Aguk Irawan M.N.
Agus B. Harianto
Agus Bing
Agus Noor
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Sri Danardana
Agus Sulton
Agus Sunyoto
Agus Wibowo
Agus Wirawan
Agusri Junaidi
AH J Khuzaini
Ahda Imran
Ahid Hidayat
Ahm Soleh
Ahmad Asyhar
Ahmad Farid Yahya
Ahmad Fuadi
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Musthofa Haroen
Ahmad Rofiq
Ahmad Suhendra
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Aini Aviena Violeta
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Muhaimin Azzet
Akhmad Sekhu
Al Azhar Riau
Al-Fairish
Alex R. Nainggolan
Alexander G.B.
Alfian Zainal
Aliansyah
Alimuddin
Almania Rohmah
Alunk Estohank
Amien Kamil
Amien Wangsitalaja
Anata Siregar
Andi Sutisno
Andy Riza Hidayat
Anies Baswedan
Anindita S Thayf
Anis Ceha
Anis Faridatur Rofiah
Anjrah Lelono Broto
Anna Subekti
Anton Kurnia
Ari Hidayat
Ari Kristianawati
Arie MP Tamba
Arief Junianto
Aris Kurniawan
Arti Bumi Intaran
Arul Arista
AS Sumbawi
Asarpin
Asep Sambodja
Atiqurrahman
Awalludin GD Mualif
Ayu Purwaningsih
Babe Derwan
Bakdi Soemanto
Balada
Bale Aksara
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Bayu Dwi Mardana
Bellanissa Zoditama
Beni Setia
Benny Arnas
Beno Siang Pamungkas
Berita
Berita Duka
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Bokor Hutasuhut
Brunel University London
BSW Adjikoesoemo
Budaya
Budhi Setyawan
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budiawan Dwi Santoso
Bur Rasuanto
Burhanuddin Bella
Bustan Basir Maras
Catatan
Catullus
CB. Ismulyadi
Cerbung
Cerita Rakyat
Cerpen
Chavchay Syaifullah
Cikie Wahab
Cunong Nunuk Suraja
D Zawawi Imron
Dad Murniah
Dadang Ari Murtono
Dahlia Rasyad
Damhuri Muhammad
Damiri Mahmud
Danarto
Daniel Paranamesa
Darju Prasetya
Darman Djamaluddin
Darman Moenir
Dasman Djamaluddin
David Krisna Alka
Dea Anugrah
Dedy Tri Riyadi
Denny JA
Denny Mizhar
Desi Sommalia Gustina
Dewi Anggraeni
Dharma Setyawan
Dian Hartati
Didi Arsandi
Dina Oktaviani
Dipo Handoko
Djenar Maesa Ayu
Djoko Pitono
Doddi Ahmad Fauji
Doddy Hidayatullah
Dodi Chandra
Dodiek Adyttya Dwiwanto
Dody Kristianto
Donny Anggoro
Dony P. Herwanto
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Klik Santosa
Dwi Pranoto
Dwicipta
Edy A Effendi
Edy Firmansyah
Eka Budianta
Eka Fendri Putra
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Ellyzan Katan
Elnisya Mahendra
Emha Ainun Nadjib
Endah Imawati
Eni Suryanti
Eny Rose
Eriyandi Budiman
Eriyanti
Erwin Edhi Prasetya
Erwin Setia
Esai
Evan Ys
Evi Idawati
F Rahardi
Fadly Rahman
Fahrudin Nasrulloh
Faizah Sirajuddin
Faizal Syahreza
Fajar Alayubi
Fakhrunnas M.A. Jabbar
Fanny Chotimah
Fariz al-Nizar
Fariz Alneizar
Faruk HT
Fatah Anshori
Fatah Yasin Noor
Fathurrahman Karyadi
Fatimah Wahyu Sundari
Fauzan Santa
Fazabinal Alim
Festival Sastra Gresik
Fikri MS
Fiksi Mini
Fransisca Dewi Ria Utari
Franz Kafka
Fuad Anshori
Furqon Abdi
Fuska Sani Evani
Gendhotwukir
Gendut Riyanto
Gerson Poyk
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Gola Gong
Grathia Pitaloka
Gregorio Lopez y’ Fuentes
Gugun El-Guyanie
Gunawan Budi Susanto
Gus Noy
H.H. Tokoro
Hadi Napster
Hamberan Syahbana
Hamdy Salad
Hamsad Rangkuti
Han Gagas
Hang Kafrawi
Hani Pudjiarti
Hanna Fransisca
Hardi Hamzah
Hardjono WS
Haris del Hakim
Haris Priyatna
Harris Maulana
Hary B. Kori'un
Hasan Al Banna
Hasan Junus
Hasbullah Said
Hasnan Bachtiar
HE. Benyamine
Heidi Arbuckle
Helmi Y Haska
Helvy Tiana Rosa
Hendra Junaedi
Hendri Nova
Herdoni Syafriansyah
Heri Kurniawan
Heri Latief
Heri Ruslan
Herman RN
Hermawan Aksan
Hermien Y. Kleden
Herry Lamongan
Holy Adib
Humaidiy AS
Husni Anshori
I Nyoman Darma Putra
I Nyoman Tingkat
I Wayan Artika
Ibnu Wahyudi
Ida Farida
Ignas Kleden
Ilham Khoiri
Imam Cahyono
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Tohari
Indra Tranggono
Indrian Koto
Irwan Kelana
Isbedy Stiawan Z.S.
Iskandar Noe
Isma Swastiningrum
Ismi Wahid
Iwan Gardono Sujatmiko
Iwan Gunadi
Iwan Kurniawan
Iwan Nurdaya Djafar
Iwank
J.S. Badudu
Janoary M Wibowo
Javed Paul Syatha
JILFest 2008
JJ. Kusni
Jodhi Yudono
Joko Novianto Bp
Joko Pinurbo
Jones Gultom
Jual Buku Paket Hemat
Jusuf AN
Kadek Suartaya
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kasnadi
Kedung Darma Romansha
Kenedi Nurhan
Khaerudin Kurniawan
Khaerul Anwar
Ki Sugito Ha Es
Kirana Kejora
Komunitas Deo Gratias
Korrie Layun Rampan
Kritik Sastra
Kunthi Hastorini
Kuntowijoyo
Kurie Suditomo
Kurnia Effendi
Kurniawan
Kuswinarto
La Ode Rabbani
Lathifa Akmaliyah
Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember
Leon Agusta
Lily Siti Multatuliana
Lily Yulianti Farid
Lina Kelana
Liza Wahyuninto
Lona Olavia
Lugiena Dé
M Fadjroel Rachman
M Farid W Makkulau
M Syakir
M. Dawam Rahardjo
M. Faizi
M. Mustafied
M. Raudah Jambak
M. Taufan Musonip
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
M.Th. Krishdiana Putri
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Maklumat Sastra Profetik
Malkan Junaidi
Maman S. Mahayana
Mangun Kuncoro
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria D. Andriana
Maria Magdalena Bhoernomo
Mariana Amiruddin
Maryati
Marzuzak SY
Mashuri
Maulana Syamsuri
Media: Crayon on Paper
Mega Vristian
MG. Sungatno
Misbahus Surur
Mofik el-abrar
Moh. Amir Sutaarga
Moh. Ghufron Cholid
Mohammad Hatta
Mohammad Kh. Azad
Mohammad Takdir Ilahi
Much. Khoiri
Muhamad Taslim Dalma
Muhammad Rain
Muhammad Subhan
Muhammad Yasir
Muhammadun A.S
Muhidin M Dahlan
Mujtahid
Mulyawan Karim
Musa Ismail
Musfi Efrizal
Mustafa Ismail
Mustofa W Hasyim
N Teguh Prasetyo
N. Mursidi
Nadhi Kiara Zifen
Nana Riskhi Susanti
Nanang Suryadi
Naskah Teater
Nasrulloh Habibi
Neva Tuhella
Nietzsche
Nirwan Dewanto
Nizar Qabbani
Noor H. Dee
Nova Christina
Novelet
Nunung Nurdiah
Nur Wachid
Nurani Soyomukti
Nurel Javissyarqi
Nurman Hartono
Nuryana Asmaudi
Nyoman Tusthi Eddy
Obrolan
Oky Sanjaya
Oyos Saroso HN
P Ari Subagyo
Pagelaran Musim Tandur
Pamusuk Eneste
Panji Satrio
PDS H.B. Jassin
Penerbit dan Toko Buku PUstaka puJAngga
Pipiet Senja
Pramoedya Ananta Toer
Pringadi AS
Pringgo HR
Prosa
Puisi
Puji Santosa
Purnawan Andra
PUstaka puJAngga
Putu Fajar Arcana
Putu Satria Kusuma
Putu Wijaya
R Masri Sareb Putra
R. Adhi Kusumaputra
R. Timur Budi Raja
R.N. Bayu Aji
Radhar Panca Dahana
Ragdi F. Daye
Rahmi Hattani
Raja Ali Haji
Raju Febrian
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Rama Dira J
Rama Prabu
Ramadhan KH
Ramon Magsaysay
Ramses Ohee
Ratih Kumala
Raudal Tanjung Banua
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Resensi
Ressa Novita
Ressa Sagitariana Putri
Ria Ristiana Dewi
Rialita Fithra Asmara
Ribut Wijoto
Rida K Liamsi
Rifka Sibarani
Rilda A. Oe. Taneko
Rilda A.Oe. Taneko
Rimbun Natamarga
Rinto Andriono
Risang Anom Pujayanto
Rita Zahara
Riyon Fidwar
Robin Al Kautsar
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rohman Budijanto
Rukardi
S Yoga
S. Jai
S. Takdir Alisyahbana
S.W. Teofani
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Sajak
Sajak Sebatang Lisong
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Salman S. Yoga
Salyaputra
Samson Rambah Pasir
Samsudin Adlawi
Sanie B. Kuncoro
Santy Novaria
Sapardi Djoko Damono
Sarabunis Mubarok
Sartika Dian Nuraini
Sasti Gotama
Sastra Nusantara
Satmoko Budi Santoso
Satriani
Saut Poltak Tambunan
Saut Situmorang
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
Selasih
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Shadiqin Sudirman
Shiny.ane el’poesya
Shourisha Arashi
Sidik Nugroho
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sindu Putra
Siska Afriani
Siti Sa’adah
Sitok Srengenge
Siwi Dwi Saputro
Slamet Samsoerizal
Sobih Adnan
Sofyan RH. Zaid
Solihin
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sony Wibisono
Sosiawan Leak
Sri Wintala Achmad
Sri Wulan Rujiati Mulyadi
Stevani Elisabeth
Suci Ayu Latifah
Sucipto Hadi Purnomo
Sudarmoko
Sudirman HN
Suhadi Mukhan
Suharsono
Sukar
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Sunudyantoro
Supriyadi
Suriani
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Sutan Iwan Soekri Munaf
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Syahruddin El-Fikri
Syaripudin Zuhri
Syifa Aulia
Syu’bah Asa
T.A. Sakti
Tammalele
Tan Lioe Ie
Tasyriq Hifzhillah
Taufik Abdullah
Taufik Effendi Aria
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Wr. Hidayat
TE. Priyono
Teguh Winarsho AS
Tenas Effendy
Tengsoe Tjahjono
Thayeb Loh Angen
Theresia Purbandini
Tia Setiadi
Tias Tatanka
Tito Sianipar
Tjahjono EP
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Tjut Zakiyah Anshari
Topik Mulyana
Tosa Poetra
Tri Harun Syafii
TS Pinang
Tu-ngang Iskandar
Udo Z. Karzi
Uly Giznawati
Umar Fauzi Ballah
Umbu Landu Paranggi
Umi Kulsum
Uniawati
Universitas Indonesia
Usman Arrumy
Usman D.Ganggang
Utada Kamaru
UU Hamidy
Viddy AD Daery
W.S. Rendra
Wa Ode Wulan Ratna
Wahib Muthalib
Wahyudi Akmaliah Muhammad
Wardjito Soeharso
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Sunarta
Weli Meinindartato
Wicaksono
Widodo DS
Wina Karnie
Wisran Hadi
Wong Wing King
Yan Maniani
Yanti Mulatsih
Yanuar Arifin
Yasser Arafat
Yaumu Roikha
Yetti A. KA
Yohanes Padmo Adi Nugroho
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yudhi Ms
Yudhistira ANM Massardi
Yulianna
Yurnaldi
Yusi A. Pareanom
Yusi Avianto Pareanom
Yusri Fajar
Yusrizal KW
Yuyun Ifa Naliah
Zaim Rofiqi
Zainal Arifin Thoha
Zakki Amali
Zakky Zulhazmi
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zelfeni Wimra
Zuarman Ahmad
Zulfikar Akbar
Tidak ada komentar:
Posting Komentar