Sabtu, 21 Januari 2012

Awan Hitam Menghadang di Depan

Rilda A.Oe. Taneko
http://www.lampungpost.com/

Esok adalah boxing-day dan Ray sudah menyiapkan rencana. Pagi-pagi benar, ketika gelap masih melingkupi putih salju, ia akan membawa kantung tidurnya ke pusat kota. Ia akan menyiapkan setermos teh panas dan menyelipkannya di kantung sisi ranselnya. Ia akan bersepeda dari rumah sewanya dan menempati tempat pertama di depan antrian pintu swalayan Fenwick.

Ray merasa senang dan tak sabar menunggu hari esok. Ini kali pertama ia peduli akan boxing-day. Ini kali pertama ia akan, seperti orang-orang yang lain, mengantri subuh-subuh sekali untuk dapat membeli barang-barang yang disukai. Ini, sekalinya ia menjilat ludahnya sendiri. Semua demi Cut Meutia dan Adriana.

Dulu, boxing-day, baginya, adalah perayaan konsumerisme. Sesuatu yang ia tidak sukai bahkan ia anggap konyol. Bagaimana tidak, keluar rumah di suhu minus enam atau delapan, berjam-jam ikut mengantri di depan toko-toko, dalam antrian sepanjang ular naga, hanya demi membeli barang-barang berpotongan harga. Ha! Sungguh hal ini membuat Ray menggeleng-gelengkan kepala.

Ray pun dulu berpendapat, boxing-day sungguh tidak manusiawi. Sehari itu para pemilik modal mempermainkan para pembeli. Mereka hanya memberi potongan harga besar-besaran dalam satu hari—hanya satu hari! Lalu dengan tenang menonton orang-orang yang bersusah payah sejak hari masih lagi gelap menunggu di depan toko mereka. Melihat orang-orang berebut, menyemut di lantai toko dan saling sikut demi mendapatkan sebuah barang –barang!—yang kadang, bukan sesuatu yang wah, macam tas atau dompet saja. Ini, dulu, bagi Ray sangat merendahkan kemanusiaan, amat memalukan dan tidak masuk di akal.

Namun, kemudian Ray tersadar, ia pun tak beda dengan orang-orang kebanyakan itu. Ia pun, demi Cut Meutia dan Adriana, ingin memberikan yang terbaik pada orang-orang yang ia sayangi, dan kerap kali yang terbaik itu diartikan sebagai termahal. Untuk ukuran dompetnya, potongan harga tujuh puluh lima persen atau lima puluh persen tentu sungguh membantu. Bagaimana tidak, tas yang ingin ia belikan untuk Cut Meutia harganya seribu dua ratus poundsterling, sementara boneka untuk Adriana tak kurang dari seratus.

Ray, yang akhirnya memutuskan untuk ikut menyemut dan merayakan kemenangan pemilik modal dan menyerahkan diri pada ketundukan pemujaan barang-barang, menghibur dirinya sendiri: ia melakukan semua ini untuk melihat kerlip di mata Cut Meutia dan Adriana. Ia melakukan semua ini untuk memberi kejutan istimewa dan memanjakan mereka. Ia ingin, ketika Cut Meutia dan Adriana menginjakkan kaki di negara dingin ini, kemewahan adalah hal pertama yang mereka rasa.

Ray berharap, jika sudah begitu, ketika ia kemudian mengajak mereka ke rumah sewanya, mereka tidak akan begitu kecewa. Semoga Cut Meutia dan Adriana akan tetap terfokus pada tas dan boneka hadiah, dan tak akan memerhatikan wallpaper yang mengelupas di sana-sini, karpet tua yang berlubang dan berbercak hitam, sofa yang bertambal, atap yang merembes air hujan, juga kamar mandi yang berjamur dan berbau tak sedap.

Semoga mereka tidak akan kecewa melihat sampah berterbangan tertiup angin di sisi jalan dan kantung-kantung pelastik yang tersangkut di pepohonan.

Bagaimanapun juga ini Inggris, dan di Inggris sudah seharusnya semua berkesan indah dan mewah. Apalagi bagi mereka yang baru saja datang dari Indonesia.

***

Sebelum libur Natal, berkali-kali Ray datangi Fenwick. Ia pergi ke bagian tas perempuan dan memastikan tas yang ia tuju masih terpajang di lemari kaca. Tas itu berwarna cokelat tua, terbuat dari kulit, bertali besi berbentuk gelang sambung menyambung dan berlogo H di bagian tengahnya. Ray membatin, Cut Meutia akan suka sekali pada tas itu.

Kemudian ia pergi ke bagian mainan anak-anak, dan memastikan boneka yang ia akan beli masih ada di deretan lemari soft toys. Diraihnya boneka itu, sebuah boneka beruang besar, berbulu cokelat yang sangat lembut, sebuah pita berwarna merah bertotol putih menyemat di balik sebelah telinga. Ray yakin, Adriana akan senang sekali mendapat boneka itu.

Betapa leganya Ray setiap kali mendapati kedua barang yang ia ingini masih berada di tempatnya. Betapa senangnya ia, karena sebentar lagi ia akan membawa tas dan boneka itu pulang dan akan membungkusnya dengan hati-hati. Ia akan membawa mereka ke bandara, ketika ia menjemput Cut Meutia dan Adriana, pada harinya nanti.

Sebentar lagi, batin Ray. Beberapa hari lagi, dan mereka akan tiba di sini. Hanya sekejap lagi, dan ia tak akan lagi sendiri. Hanya dalam hitungan hari, dan hari-hari penuh kerinduan dan penantian untuk kembali berkumpul akan lenyap, selamanya.

Setelah dua tahun berpisah! Dua tahun!

***

Di pagi Natal, menggunakan kartu telepon antarbangsa, Ray menelepon ke Indonesia. Ia mendapat kabar bahwa Cut Meutia dan Adriana telah tiba di Bandara Blang Bintang siang itu, waktu Indonesia. Mereka hendak berpamitan pada sanak saudara di sana, berpamitan dan mohon doa sebelum hendak berpergian jauh ke Inggris Raya.

“Adriana senang di Aceh, Nak?” tanya Ray.

“Eh-eh,” jawab suara kecil di ujung telepon.

“Sampaikan salam Papa untuk nenek, nya’wa dan ayahwa ya. Papa tunggu Adriana di sini. Papa rindu sekali.”

“Eh-eh,” kembali suara Adriana terdengar.

“Sekarang Adriana panggilkan Mama ya. Tapi kasih cium dulu buat Papa.”

“Mwah,” Adriana berkata pelan. Lalu suara Cut Meutia terdengar, “Adriana senang sekali di sini. Tak henti bermain dengan sepupu-sepupunya. Dia senang melihat sawah dan kerbau. Adriana bilang ia tak ingin kembali ke Jakarta. Tak ingin pergi ke Inggris. Ia ingin selamanya di Aceh.”

“Rayu Adriana, bilang padanya Papa punya kejutan untuknya di Inggris.”

Ray mendengar Cut Meutia tertawa. “Aku rindu,” bisiknya.

“Sekejap lagi kita bertemu ya, sayang,” Cut Meutia balas berbisik padanya.

Ray tersenyum bahagia, “Tak sabar rasanya.”

“Hanya tinggal beberapa hari. Dua tahun pun Abang kuat menunggu,” Cut Meutia tertawa.

Ray ikut tertawa, “Ya, tapi tidak jika hanya satu minggu. Apa rencana hari ini? Dan esok?”

“Kita makan besar siang ini, nya’wa masak lezat. Besok pagi, rencananya kita akan ke pantai.”

“Nanti tiba di sini, akan aku masakan spaghetti. Aku sudah belajar dari kawan di sini.”

“Wah, kedengarnya menggiurkan,” Cut Meutia kembali tertawa.

“Aku sudah tak sabar,” bisik Ray lagi.

Mereka bertukar cium dan dengan bahagia Ray menutup telepon.

Di luar box merah telepon umum, awan hitam menggantung, makin lama makin memekat. Awan hitam menghadang dan perlahan menelan birunya langit. Namun Ray tak peduli. Ray sungguh bahagia sekali.

***

Malam harinya, sebelum tidur, Ray memasang alarm pada telepon genggam. Jam empat tepat. Ray tak ingin terlambat.

Ray menyapukan pandangan ke sekeliling kamar, ia dapat melihat Cut Meutia dan Adriana di situ. Di luar jendela, pada jalan-jalan batu, Ray dapat membayangkan ia dan keluarganya bergandengan tangan, menyusuri jalan bersalju. Adriana akan senang sekali melihat salju, pikir Ray. Dan Cut Meutia tak akan bosan menunjuk gedung-gedung tua dan mengagumi bunga-bunga di musim semi nanti.

Ia sudah memasukkan termos tehnya di sisi ransel, dan sleeping bag ke dalamnya. Semua sudah siap, pikir Ray, esok ia akan membawa tas dan boneka itu pulang. Cut Meutia dan Adriana tentu akan senang sekali.

Ray membayangkan wajah istri dan anaknya terkejut menerima hadiah darinya nanti, senyuman melekat dibibirnya hingga ia jatuh tertidur.

Hampir pukul empat pagi, Ray dibangunkan oleh dering telepon genggamnya. Bukan alarm, pikir Ray, namun dering telepon. Dengan mengantuk, Ray menekan tombol bergambar telepon berwarna hijau.

“Ya?”

“Ray, Ray, ini ayah.” Terburu-buru suara di seberang.

Ayahnya tak pernah menelepon untuk sesuatu yang tak penting, pikir Ray. Selama ia berkuliah di Inggris, ayahnya tak pernah meneleponnya sama sekali.

“Ayah, ada apa?”

“Ray harus kuatkan hati, harus tabah.”

“Ayah, ada apa?” kali ini Ray duduk dari tidurnya.

“Tsunami di Aceh, Nak. Air bah besar dan gempa bumi. Tak ada yang bisa ayah hubungi. Belum tahu kabar Cut dan Adriana.”

Ray ternganga. Ini hanya mimpi buruk, ini hanya mimpi buruk, riuh benaknya.

“Ray … Ray … kamu harus kuat, Nak. Banyak berzikir. Kami di Jakarta masih menunggu kabar.”

Ray membisu. Matanya tertumpu pada foto berbingkai perak di sudut meja belajarnya. Foto terbaru Cut Meutia dan Adriana yang ia punya. Di foto itu Cut Meutia dan Adriana tersenyum bahagia. Ray memandangi rambut Adriana yang ikal hitam kepirangan, tangan kecilnya yang seolah menggapai padanya. Dan mata Cut Meutia yang biru keabu-abuan menatap padanya lembut.

“Ray, jika bisa akses internet, bukalah berita, Nak,” suara ayahnya terdengar sangat jauh. Seolah tak nyata, bergema dari lorong yang gelap.

Ray menyentuh pipinya. Ia harus bercukur dan memangkas rambutnya yang gondrong. Ia harus terlihat rapi dan bersih ketika nanti menjemput Cut Meutia dan Adriana.

Ray berdehem, melenyapkan bisu dari tenggorokannya.

“Ayah, tak usah khawatir. Cut dan Adriana baik-baik saja. Mereka akan datang ke sini tak lama lagi. Hanya sekejap lagi.”

Lamat-lamat Ray mendengar ayahnya menyebut-nyebut nama Allah. Dengan tubuh dan tangan gemetar, Ray mematikan sambungan telepon.

Sedetik kemudian telepon genggam di tangannya bergetar dan suara alarm terdengar. Ray menatap nanar pada layar telepon, membaca catatan yang tadi malam ia tuliskan: Berburu hadiah untuk Cut dan Adriana. Lekas pergi antri!

Ray menatap tas ransel yang telah ia siapkan, juga helm sepeda yang sudah ia letakkan tak jauh dari tasnya. Ini boxing-day, pikir Ray, hadiah untuk Cut Meutia dan Adriana telah menunggunya. Ia tak ingin terlambat, tak ingin kedahuluan orang-orang. Ray tahu, ia harus bersiap pergi saat itu juga. Bergegas ia berpakaian, lengkap dengan jaket hangat, topi dan sarung tangan. Kemudian ia menyambar tas dan helm sepedanya.

Ray tahu ia harus menembus pekat malam, dingin salju dan gigil angin, demi dan hanya demi Cut Meutia dan Adriana.

Lancaster, September 2011

Tidak ada komentar:

A Khoirul Anam A Qorib Hidayatullah A Rodhi Murtadho A. Yusrianto Elga A. Zakky Zulhazmi A.S. Laksana Aang Fatihul Islam Aba Mardjani Abd. Mun’im Abdul Aziz Rasjid Abdul Gaffar Ruskhan Abdul Hadi W. M. Abdul Kadir Ibrahim Abdul Malik Abdul Muis Abdul Wachid BS Abdullah Khusairi Abidah El Khalieqy Abimardha Kurniawan Abroorza A. Yusra Abu Salman Acep Iwan Saidi Achmad Farid Tuasikal Adek Alwi Adi Marsiela Adian Husaini Adib Muttaqin Asfar Adji Subela Afandi Sido Afriza Hanifa Afrizal Malna Ageng Wuri R. A. Ags. Arya Dipayana Aguk Irawan M.N. Agus B. Harianto Agus Bing Agus Noor Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sri Danardana Agus Sulton Agus Sunyoto Agus Wibowo Agus Wirawan Agusri Junaidi AH J Khuzaini Ahda Imran Ahid Hidayat Ahm Soleh Ahmad Asyhar Ahmad Farid Yahya Ahmad Fuadi Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musthofa Haroen Ahmad Rofiq Ahmad Suhendra Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Aini Aviena Violeta Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sekhu Al Azhar Riau Al-Fairish Alex R. Nainggolan Alexander G.B. Alfian Zainal Aliansyah Alimuddin Almania Rohmah Alunk Estohank Amien Kamil Amien Wangsitalaja Anata Siregar Andi Sutisno Andy Riza Hidayat Anies Baswedan Anindita S Thayf Anis Ceha Anis Faridatur Rofiah Anjrah Lelono Broto Anna Subekti Anton Kurnia Ari Hidayat Ari Kristianawati Arie MP Tamba Arief Junianto Aris Kurniawan Arti Bumi Intaran Arul Arista AS Sumbawi Asarpin Asep Sambodja Atiqurrahman Awalludin GD Mualif Ayu Purwaningsih Babe Derwan Bakdi Soemanto Balada Bale Aksara Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Bayu Dwi Mardana Bellanissa Zoditama Beni Setia Benny Arnas Beno Siang Pamungkas Berita Berita Duka Bernando J. Sujibto Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Bokor Hutasuhut Brunel University London BSW Adjikoesoemo Budaya Budhi Setyawan Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiawan Dwi Santoso Bur Rasuanto Burhanuddin Bella Bustan Basir Maras Catatan Catullus CB. Ismulyadi Cerbung Cerita Rakyat Cerpen Chavchay Syaifullah Cikie Wahab Cunong Nunuk Suraja D Zawawi Imron Dad Murniah Dadang Ari Murtono Dahlia Rasyad Damhuri Muhammad Damiri Mahmud Danarto Daniel Paranamesa Darju Prasetya Darman Djamaluddin Darman Moenir Dasman Djamaluddin David Krisna Alka Dea Anugrah Dedy Tri Riyadi Denny JA Denny Mizhar Desi Sommalia Gustina Dewi Anggraeni Dharma Setyawan Dian Hartati Didi Arsandi Dina Oktaviani Dipo Handoko Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Doddi Ahmad Fauji Doddy Hidayatullah Dodi Chandra Dodiek Adyttya Dwiwanto Dody Kristianto Donny Anggoro Dony P. Herwanto Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Klik Santosa Dwi Pranoto Dwicipta Edy A Effendi Edy Firmansyah Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Eko Darmoko Ellyzan Katan Elnisya Mahendra Emha Ainun Nadjib Endah Imawati Eni Suryanti Eny Rose Eriyandi Budiman Eriyanti Erwin Edhi Prasetya Erwin Setia Esai Evan Ys Evi Idawati F Rahardi Fadly Rahman Fahrudin Nasrulloh Faizah Sirajuddin Faizal Syahreza Fajar Alayubi Fakhrunnas M.A. Jabbar Fanny Chotimah Fariz al-Nizar Fariz Alneizar Faruk HT Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fathurrahman Karyadi Fatimah Wahyu Sundari Fauzan Santa Fazabinal Alim Festival Sastra Gresik Fikri MS Fiksi Mini Fransisca Dewi Ria Utari Franz Kafka Fuad Anshori Furqon Abdi Fuska Sani Evani Gendhotwukir Gendut Riyanto Gerson Poyk Gita Pratama Goenawan Mohamad Gola Gong Grathia Pitaloka Gregorio Lopez y’ Fuentes Gugun El-Guyanie Gunawan Budi Susanto Gus Noy H.H. Tokoro Hadi Napster Hamberan Syahbana Hamdy Salad Hamsad Rangkuti Han Gagas Hang Kafrawi Hani Pudjiarti Hanna Fransisca Hardi Hamzah Hardjono WS Haris del Hakim Haris Priyatna Harris Maulana Hary B. Kori'un Hasan Al Banna Hasan Junus Hasbullah Said Hasnan Bachtiar HE. Benyamine Heidi Arbuckle Helmi Y Haska Helvy Tiana Rosa Hendra Junaedi Hendri Nova Herdoni Syafriansyah Heri Kurniawan Heri Latief Heri Ruslan Herman RN Hermawan Aksan Hermien Y. Kleden Herry Lamongan Holy Adib Humaidiy AS Husni Anshori I Nyoman Darma Putra I Nyoman Tingkat I Wayan Artika Ibnu Wahyudi Ida Farida Ignas Kleden Ilham Khoiri Imam Cahyono Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Tohari Indra Tranggono Indrian Koto Irwan Kelana Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Isma Swastiningrum Ismi Wahid Iwan Gardono Sujatmiko Iwan Gunadi Iwan Kurniawan Iwan Nurdaya Djafar Iwank J.S. Badudu Janoary M Wibowo Javed Paul Syatha JILFest 2008 JJ. Kusni Jodhi Yudono Joko Novianto Bp Joko Pinurbo Jones Gultom Jual Buku Paket Hemat Jusuf AN Kadek Suartaya Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Kedung Darma Romansha Kenedi Nurhan Khaerudin Kurniawan Khaerul Anwar Ki Sugito Ha Es Kirana Kejora Komunitas Deo Gratias Korrie Layun Rampan Kritik Sastra Kunthi Hastorini Kuntowijoyo Kurie Suditomo Kurnia Effendi Kurniawan Kuswinarto La Ode Rabbani Lathifa Akmaliyah Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember Leon Agusta Lily Siti Multatuliana Lily Yulianti Farid Lina Kelana Liza Wahyuninto Lona Olavia Lugiena Dé M Fadjroel Rachman M Farid W Makkulau M Syakir M. Dawam Rahardjo M. Faizi M. Mustafied M. Raudah Jambak M. Taufan Musonip M. Yoesoef M.D. Atmaja M.Th. Krishdiana Putri Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Maklumat Sastra Profetik Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mangun Kuncoro Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria D. Andriana Maria Magdalena Bhoernomo Mariana Amiruddin Maryati Marzuzak SY Mashuri Maulana Syamsuri Media: Crayon on Paper Mega Vristian MG. Sungatno Misbahus Surur Mofik el-abrar Moh. Amir Sutaarga Moh. Ghufron Cholid Mohammad Hatta Mohammad Kh. Azad Mohammad Takdir Ilahi Much. Khoiri Muhamad Taslim Dalma Muhammad Rain Muhammad Subhan Muhammad Yasir Muhammadun A.S Muhidin M Dahlan Mujtahid Mulyawan Karim Musa Ismail Musfi Efrizal Mustafa Ismail Mustofa W Hasyim N Teguh Prasetyo N. Mursidi Nadhi Kiara Zifen Nana Riskhi Susanti Nanang Suryadi Naskah Teater Nasrulloh Habibi Neva Tuhella Nietzsche Nirwan Dewanto Nizar Qabbani Noor H. Dee Nova Christina Novelet Nunung Nurdiah Nur Wachid Nurani Soyomukti Nurel Javissyarqi Nurman Hartono Nuryana Asmaudi Nyoman Tusthi Eddy Obrolan Oky Sanjaya Oyos Saroso HN P Ari Subagyo Pagelaran Musim Tandur Pamusuk Eneste Panji Satrio PDS H.B. Jassin Penerbit dan Toko Buku PUstaka puJAngga Pipiet Senja Pramoedya Ananta Toer Pringadi AS Pringgo HR Prosa Puisi Puji Santosa Purnawan Andra PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Satria Kusuma Putu Wijaya R Masri Sareb Putra R. Adhi Kusumaputra R. Timur Budi Raja R.N. Bayu Aji Radhar Panca Dahana Ragdi F. Daye Rahmi Hattani Raja Ali Haji Raju Febrian Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Dira J Rama Prabu Ramadhan KH Ramon Magsaysay Ramses Ohee Ratih Kumala Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Ressa Novita Ressa Sagitariana Putri Ria Ristiana Dewi Rialita Fithra Asmara Ribut Wijoto Rida K Liamsi Rifka Sibarani Rilda A. Oe. Taneko Rilda A.Oe. Taneko Rimbun Natamarga Rinto Andriono Risang Anom Pujayanto Rita Zahara Riyon Fidwar Robin Al Kautsar Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Rohman Budijanto Rukardi S Yoga S. Jai S. Takdir Alisyahbana S.W. Teofani Sabrank Suparno Sahaya Santayana Sajak Sajak Sebatang Lisong Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Salman S. Yoga Salyaputra Samson Rambah Pasir Samsudin Adlawi Sanie B. Kuncoro Santy Novaria Sapardi Djoko Damono Sarabunis Mubarok Sartika Dian Nuraini Sasti Gotama Sastra Nusantara Satmoko Budi Santoso Satriani Saut Poltak Tambunan Saut Situmorang Sekolah Literasi Gratis (SLG) Selasih Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Shadiqin Sudirman Shiny.ane el’poesya Shourisha Arashi Sidik Nugroho Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sindu Putra Siska Afriani Siti Sa’adah Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Slamet Samsoerizal Sobih Adnan Sofyan RH. Zaid Solihin Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sony Wibisono Sosiawan Leak Sri Wintala Achmad Sri Wulan Rujiati Mulyadi Stevani Elisabeth Suci Ayu Latifah Sucipto Hadi Purnomo Sudarmoko Sudirman HN Suhadi Mukhan Suharsono Sukar Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sunudyantoro Supriyadi Suriani Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syahruddin El-Fikri Syaripudin Zuhri Syifa Aulia Syu’bah Asa T.A. Sakti Tammalele Tan Lioe Ie Tasyriq Hifzhillah Taufik Abdullah Taufik Effendi Aria Taufik Ikram Jamil Taufiq Wr. Hidayat TE. Priyono Teguh Winarsho AS Tenas Effendy Tengsoe Tjahjono Thayeb Loh Angen Theresia Purbandini Tia Setiadi Tias Tatanka Tito Sianipar Tjahjono EP Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tjut Zakiyah Anshari Topik Mulyana Tosa Poetra Tri Harun Syafii TS Pinang Tu-ngang Iskandar Udo Z. Karzi Uly Giznawati Umar Fauzi Ballah Umbu Landu Paranggi Umi Kulsum Uniawati Universitas Indonesia Usman Arrumy Usman D.Ganggang Utada Kamaru UU Hamidy Viddy AD Daery W.S. Rendra Wa Ode Wulan Ratna Wahib Muthalib Wahyudi Akmaliah Muhammad Wardjito Soeharso Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Sunarta Weli Meinindartato Wicaksono Widodo DS Wina Karnie Wisran Hadi Wong Wing King Yan Maniani Yanti Mulatsih Yanuar Arifin Yasser Arafat Yaumu Roikha Yetti A. KA Yohanes Padmo Adi Nugroho Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yudhi Ms Yudhistira ANM Massardi Yulianna Yurnaldi Yusi A. Pareanom Yusi Avianto Pareanom Yusri Fajar Yusrizal KW Yuyun Ifa Naliah Zaim Rofiqi Zainal Arifin Thoha Zakki Amali Zakky Zulhazmi Zawawi Se Zehan Zareez Zelfeni Wimra Zuarman Ahmad Zulfikar Akbar