Jumat, 21 Oktober 2011

Dominasi Estetika

Beni Setia
Pikiran Rakyat, 12 Des 2010

SECARA sederhana, apa yang diributkan sebagai politik sastra itu (barangkali) cuma merujuk ke semacam manipulasi kuasa nonsastra untuk menegakkan otonomi sastra. Baik dengan memanfaatkan modal, dominasi, maupun pemaksaan kriteria sastrawi dengan ditunjang referensi yang luas untuk sekadar melakukan pengangkangan selera keredaksian media massa. Yang menyebabkan hadir sebuah model ekspresi, corak estetika, dan kriteria kebermutuan karya sastra dominan, yang diperkenalkan c.q. teks kritik dan paparan esai sehingga terbentuk preferensi redaksional seni budaya di media massa yang intoleran pada karya yang tak sesuai standar eksklusif tersebut.

Dengan dramatisasi, hal itu menyebabkan terbentuk isu telah terlahir satu model karya ideal, model ideal yang nyaris tidak mengizinkan hadirnya model ekspresi, corak estetika, serta kriteria kebermutuan karya yang berbeda. Yang diandaikan selalu operasional ketika terjadi praktik seleksi naskah di media massa yang dikuasai si pihak eksklusif ataupun penulisan kritik yang menegaskan karya sastra yang bisa ditoleransi sebagai teks yang sesuai kriteria sambil mengutip aneka referensi-dengan tak mengatakan apa-apa pada teks yang dianggap kurang bermutu dan (bahkan) tidak bermutu sama sekali.

Tindakan “menghalalkan cara” di dalam rangka memuliakan corak sastra alternatif — sehingga tampil hampir menjadi corak sastra dominan pada masa kini. Hal yang bagi mereka sendiri tidak berlebih, meskipun bagi yang lain itu dianggap sangat berlebih, diskriminatif, bahkan. Hanya dianggap satu perayaan dari upaya penemuan atau terobosan eksperimentasi sastra — terlepas dari hasilnya orisinal atau cuma pseudo, seperti yang orang Sunda artikulasikan sebagai, mikung, tetapi pembacaan efeknya di ruang publik menyarankan itu sebagai upaya sadar melakukan homogenisasi ekspresi dan estetika sastra mutakhir. Ihwal yang menyebabkan arah atau potensi perkembangan sastra ditelikung, terdominasi, bahkan diapresiasi sebagai telah terjadinya sakralisasi yang dilengkapi pemeo, menjadi seperti inilah atau diabaikan. Akan tetapi, siapa yang mengabaikan? Kenapa?

Kenyataannya, tidak ada pihak otoritatif yang benar-benar dominan dan amat berkuasa untuk mengabaikan yang tak sesuai dengan kriteria yang ditentukan mereka sendiri. Bagi saya, yang begitu tampaknya hanya bisa dibangkitkan oleh rekonstruksi pikiran biner yang mengandaikan bila lu bukan kawan ya gue lawan, tanpa nuansa. Karena suatu tindakan sepihak yang semena-mena menerapkan asumsi nilai eksklusif akan mengabaikan fenomena multinilai yang berserentakan hadir dan spontan minta dimaknai, yang juga aktif melakukan penilaian untuk mengukuhkan keberadaannya.

Tak mungkin bisa leluasa untuk sengaja meminggirkan yang tidak sesuai kriteria dan karenanya hanya pantas berada di level bawah standar atau malahan sama sekali tak memenuhi persyaratan minimal. Tindakan otoritarian yang sangat tak menghargai upaya menegakkan dan menghargai perbedaan. Itu tindakan tidak produktif yang melahirkan penentangan pada upaya mengandalkan power untuk menekan yang tak berdaya sebagai pihak inferior yang pantas dimarginalkan dalam tradisi kompetisi bebas neoliberal. Hegemoni semacam itu hanya kesimpulan orang yang berpikiran biner lu atau gua di tengah semangat multiestetika, selalu bisa dieksplorasi.

Yang mungkin terjadi adalah satu corak estetika tiba-tiba jadi sangat populer dan dianut banyak pihak sehingga menjelma menjadi trendsetter, sesuatu yang tidak bisa dimanipulasi karena menyangkut kesiapan apresiator karya yang ditawarkan.

**

DENGAN pola biner akan terbentuk asumsi sedang dan telah terjadi satu prosesi pembonsaian yang akhir-akhir ini suka diidentifikasi dalam termin “dominasi sastra”, upaya sadar terencana memarginalkan corak dan genre sastra lain. Yang mendominasi kecenderungan redaksional lembaran sastra budaya media massa, baik secara fisikal kehadiran orang atau sekadar sugesti yang menata kecondongan preferensial pseudo konsensus tentang wujud teks bermutu dengan merujuk ke estetika sastra dominan yang menyebabkan redaktur media massa di luar lingkaran penunjang pun condong ke genre sastra dominan. Benarkah seburuk itu? Apakah memang tidak ada lagi alternatif untuk corak estetika sastra lain?

Jawabannya perlu dua pengandaian. Pertama, selama yang merasa dimarginalkan itu rindu ingin diakui pihak eksklusif, ia selalu tampak membenci, tetapi dengan harapan akan diakui-meski ia tetap menulis sesuai kriteria sastra dominan. Gugatan agresif yang diteriakkannya itu sekadar mempertanyakan kapan ya giliran saya projek “cari muka” sambil berakting gigih menggugat keabsahannya kriteria sastra dominan, sambil aktif agresif menunjukkan ke-mikung-an pihak yang kini sudah jadi si teridentifikasi sesuai kriteria. Ketermarginalan itu diapresiasi sebagai cobaan, modul tantangan sehingga ia terus aktif menulis sesuai dengan kriteria, sastra dominan tetap dijadikan anutan.

Kedua, ketika seseorang sudah tidak bergantung kepada kriteria sastra dominan, pada pengakuan penguasa sastra dominan, ia percaya kalau sastra dominan itu tidak akan bisa mendominasi dirinya. Sastra dominan hanya dianggap pengajuan satu corak sastra alternatif yang berada pada level bisa dipertimbangkan, tak perlu loyal diikuti. Hanya cakrawala kemungkinan untuk dieksplorasi. Oleh karenanya, ia tidak mungkin “mendewakannya” dengan menghilangkan segala corak sastra yang berbeda. Semua kemungkinan estetika sastra tetap dipertimbangkan karena akan membuatnya bebas melakukan eksplorasi bentuk ucap dan pilihan materi ungkap yang mendorong menulis dengan corak sastra yang diyakininya, lantas memublikasikannya ke media massa mana saja, bahkan ke media massa si penunjang sastra dominan.

Kenyataannya, di luar estetika dominan dan media massa penunjangnya itu masih banyak media massa yang kebijaksanaan redaksionalnya tetap otonom. Akan tetapi, apa pihak yang agresif melakukan penentangan kepada sastra dominan itu memahami keberadaan pihak yang mempunyai corak estetika serta objektivitas redaksional agar tidak berat sebelah yang selalu bersiteguh menjamin kehadiran yang multiestetika, yang berani menjaga netralitas dan terbuka kepada segala macam estetika? Akan tetapi, apa pihak yang merasa tergencet oleh estetika sastra dominan itu mau memanfaatkan itu untuk mengekspresikan eksplorasi kreatif sastra alternatif mereka?

**

ADA pihak yang tak nyaman dengan dominasi estetika, dengan dominasi sastra, meski tak semua media massa dan redaktur bekerja dengan skenario redaksional yang memihak, setidaknya itu asumsi yang diajukan pihak yang berhadapan biner dengan sastra dominan, meski ini merupakan penyederhanaan dengan rekonstruksi dialektika yang mimpi membangun dunia baru dengan melabrak sesuatu yang hadir sewajarnya. Meski, nyatanya, pertentangan biner itu hanya ada di tataran ilusi dan jadi logis dengan menghadirkan aneka teori sastra yang mampu mernghadirkan tataran skeptik, apa memang seperti itu ciri bermutu itu. Sesuai dengan kodrat kualitas sastrawi teks yang bisa diperdebatkan selama bisa cerdas memungut banyak argumen dan referensi.

Lewat polemik di tataran ide dengan esai-esai yang ditulis cerdas punya banyak rujukannya. Momentum yang memperkaya khazanah intelektual teori sastra. Meski di aspek praktis penulisan kreatif, di aspek manajemen energi kreatif yang menghasilkan puisi dan prosa, semua ide yang diperdebatkan itu nyaris tidak berguna. Karena upaya penciptaan karya kreatif itu selalu bergerak dalam langkah misterius, rancangan karya hanya kekal sebagai draf sementara prosesi aktualisasinya menjadi karya terkadang nyelonong mengingkari draf. Saman dan Larung Ayu Utami adalah bukti dari karya yang tak sesuai draf, tetapi sukses.

Bukti konkret dari aspek tragis Mikhail Salokov dan faktor ketidaksengajaan, bila mengutip rumusan Iwan Simatupang. Dengan kata lain, dominasi sastra itu hanya berada di tataran teori, selama apa yang direncanakan akan ditulis, tertera pada draf, dan termanifestasikan dengan tanpa banyak lanturan. Pada praktik penciptaan riil, hal itu tak mungkin terjadi sehingga karya yang tercipta sama sekali tak bergantung kepada ide sastra dominan, setidaknya bila penciptaan tidak mengikuti panduan teknik matematika tanpa kehadiran mood atau pengaruh bacaan dan peristiwa besar terkini.

Nyatanya, siapa saja bebas menulis secara bagaimana saja dan dengan tema apa saja, serta apa karya itu akan dimuat atau tidak dimuat, tidak bergantung pada preferensi redaktur atau kriteria sastra dominan. Pada dasarnya, keunikan orsinal dan pencapaian (level) kualitas karya itu sendiri yang menentukan nasibnya. Semua kreator itu leluasa bersikukuh memilih menulis apa dan secara bagaimana saja-isu dominasi sastra itu nyaris mitos yang diciptakan untuk menutupi keterpurukan kreatif. ***
_______________
Beni Setia, pengarang
Dijumput dari: http://cabiklunik.blogspot.com/2010/12/dominasi-estetika.html

Tidak ada komentar:

A Khoirul Anam A Qorib Hidayatullah A Rodhi Murtadho A. Yusrianto Elga A. Zakky Zulhazmi A.S. Laksana Aang Fatihul Islam Aba Mardjani Abd. Mun’im Abdul Aziz Rasjid Abdul Gaffar Ruskhan Abdul Hadi W. M. Abdul Kadir Ibrahim Abdul Malik Abdul Muis Abdul Wachid BS Abdullah Khusairi Abidah El Khalieqy Abimardha Kurniawan Abroorza A. Yusra Abu Salman Acep Iwan Saidi Achmad Farid Tuasikal Adek Alwi Adi Marsiela Adian Husaini Adib Muttaqin Asfar Adji Subela Afandi Sido Afriza Hanifa Afrizal Malna Ageng Wuri R. A. Ags. Arya Dipayana Aguk Irawan M.N. Agus B. Harianto Agus Bing Agus Noor Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sri Danardana Agus Sulton Agus Sunyoto Agus Wibowo Agus Wirawan Agusri Junaidi AH J Khuzaini Ahda Imran Ahid Hidayat Ahm Soleh Ahmad Asyhar Ahmad Farid Yahya Ahmad Fuadi Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musthofa Haroen Ahmad Rofiq Ahmad Suhendra Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Aini Aviena Violeta Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sekhu Al Azhar Riau Al-Fairish Alex R. Nainggolan Alexander G.B. Alfian Zainal Aliansyah Alimuddin Almania Rohmah Alunk Estohank Amien Kamil Amien Wangsitalaja Anata Siregar Andi Sutisno Andy Riza Hidayat Anies Baswedan Anindita S Thayf Anis Ceha Anis Faridatur Rofiah Anjrah Lelono Broto Anna Subekti Anton Kurnia Ari Hidayat Ari Kristianawati Arie MP Tamba Arief Junianto Aris Kurniawan Arti Bumi Intaran Arul Arista AS Sumbawi Asarpin Asep Sambodja Atiqurrahman Awalludin GD Mualif Ayu Purwaningsih Babe Derwan Bakdi Soemanto Balada Bale Aksara Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Bayu Dwi Mardana Bellanissa Zoditama Beni Setia Benny Arnas Beno Siang Pamungkas Berita Berita Duka Bernando J. Sujibto Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Bokor Hutasuhut Brunel University London BSW Adjikoesoemo Budaya Budhi Setyawan Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiawan Dwi Santoso Bur Rasuanto Burhanuddin Bella Bustan Basir Maras Catatan Catullus CB. Ismulyadi Cerbung Cerita Rakyat Cerpen Chavchay Syaifullah Cikie Wahab Cunong Nunuk Suraja D Zawawi Imron Dad Murniah Dadang Ari Murtono Dahlia Rasyad Damhuri Muhammad Damiri Mahmud Danarto Daniel Paranamesa Darju Prasetya Darman Djamaluddin Darman Moenir Dasman Djamaluddin David Krisna Alka Dea Anugrah Dedy Tri Riyadi Denny JA Denny Mizhar Desi Sommalia Gustina Dewi Anggraeni Dharma Setyawan Dian Hartati Didi Arsandi Dina Oktaviani Dipo Handoko Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Doddi Ahmad Fauji Doddy Hidayatullah Dodi Chandra Dodiek Adyttya Dwiwanto Dody Kristianto Donny Anggoro Dony P. Herwanto Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Klik Santosa Dwi Pranoto Dwicipta Edy A Effendi Edy Firmansyah Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Eko Darmoko Ellyzan Katan Elnisya Mahendra Emha Ainun Nadjib Endah Imawati Eni Suryanti Eny Rose Eriyandi Budiman Eriyanti Erwin Edhi Prasetya Erwin Setia Esai Evan Ys Evi Idawati F Rahardi Fadly Rahman Fahrudin Nasrulloh Faizah Sirajuddin Faizal Syahreza Fajar Alayubi Fakhrunnas M.A. Jabbar Fanny Chotimah Fariz al-Nizar Fariz Alneizar Faruk HT Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fathurrahman Karyadi Fatimah Wahyu Sundari Fauzan Santa Fazabinal Alim Festival Sastra Gresik Fikri MS Fiksi Mini Fransisca Dewi Ria Utari Franz Kafka Fuad Anshori Furqon Abdi Fuska Sani Evani Gendhotwukir Gendut Riyanto Gerson Poyk Gita Pratama Goenawan Mohamad Gola Gong Grathia Pitaloka Gregorio Lopez y’ Fuentes Gugun El-Guyanie Gunawan Budi Susanto Gus Noy H.H. Tokoro Hadi Napster Hamberan Syahbana Hamdy Salad Hamsad Rangkuti Han Gagas Hang Kafrawi Hani Pudjiarti Hanna Fransisca Hardi Hamzah Hardjono WS Haris del Hakim Haris Priyatna Harris Maulana Hary B. Kori'un Hasan Al Banna Hasan Junus Hasbullah Said Hasnan Bachtiar HE. Benyamine Heidi Arbuckle Helmi Y Haska Helvy Tiana Rosa Hendra Junaedi Hendri Nova Herdoni Syafriansyah Heri Kurniawan Heri Latief Heri Ruslan Herman RN Hermawan Aksan Hermien Y. Kleden Herry Lamongan Holy Adib Humaidiy AS Husni Anshori I Nyoman Darma Putra I Nyoman Tingkat I Wayan Artika Ibnu Wahyudi Ida Farida Ignas Kleden Ilham Khoiri Imam Cahyono Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Tohari Indra Tranggono Indrian Koto Irwan Kelana Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Isma Swastiningrum Ismi Wahid Iwan Gardono Sujatmiko Iwan Gunadi Iwan Kurniawan Iwan Nurdaya Djafar Iwank J.S. Badudu Janoary M Wibowo Javed Paul Syatha JILFest 2008 JJ. Kusni Jodhi Yudono Joko Novianto Bp Joko Pinurbo Jones Gultom Jual Buku Paket Hemat Jusuf AN Kadek Suartaya Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Kedung Darma Romansha Kenedi Nurhan Khaerudin Kurniawan Khaerul Anwar Ki Sugito Ha Es Kirana Kejora Komunitas Deo Gratias Korrie Layun Rampan Kritik Sastra Kunthi Hastorini Kuntowijoyo Kurie Suditomo Kurnia Effendi Kurniawan Kuswinarto La Ode Rabbani Lathifa Akmaliyah Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember Leon Agusta Lily Siti Multatuliana Lily Yulianti Farid Lina Kelana Liza Wahyuninto Lona Olavia Lugiena Dé M Fadjroel Rachman M Farid W Makkulau M Syakir M. Dawam Rahardjo M. Faizi M. Mustafied M. Raudah Jambak M. Taufan Musonip M. Yoesoef M.D. Atmaja M.Th. Krishdiana Putri Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Maklumat Sastra Profetik Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mangun Kuncoro Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria D. Andriana Maria Magdalena Bhoernomo Mariana Amiruddin Maryati Marzuzak SY Mashuri Maulana Syamsuri Media: Crayon on Paper Mega Vristian MG. Sungatno Misbahus Surur Mofik el-abrar Moh. Amir Sutaarga Moh. Ghufron Cholid Mohammad Hatta Mohammad Kh. Azad Mohammad Takdir Ilahi Much. Khoiri Muhamad Taslim Dalma Muhammad Rain Muhammad Subhan Muhammad Yasir Muhammadun A.S Muhidin M Dahlan Mujtahid Mulyawan Karim Musa Ismail Musfi Efrizal Mustafa Ismail Mustofa W Hasyim N Teguh Prasetyo N. Mursidi Nadhi Kiara Zifen Nana Riskhi Susanti Nanang Suryadi Naskah Teater Nasrulloh Habibi Neva Tuhella Nietzsche Nirwan Dewanto Nizar Qabbani Noor H. Dee Nova Christina Novelet Nunung Nurdiah Nur Wachid Nurani Soyomukti Nurel Javissyarqi Nurman Hartono Nuryana Asmaudi Nyoman Tusthi Eddy Obrolan Oky Sanjaya Oyos Saroso HN P Ari Subagyo Pagelaran Musim Tandur Pamusuk Eneste Panji Satrio PDS H.B. Jassin Penerbit dan Toko Buku PUstaka puJAngga Pipiet Senja Pramoedya Ananta Toer Pringadi AS Pringgo HR Prosa Puisi Puji Santosa Purnawan Andra PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Satria Kusuma Putu Wijaya R Masri Sareb Putra R. Adhi Kusumaputra R. Timur Budi Raja R.N. Bayu Aji Radhar Panca Dahana Ragdi F. Daye Rahmi Hattani Raja Ali Haji Raju Febrian Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Dira J Rama Prabu Ramadhan KH Ramon Magsaysay Ramses Ohee Ratih Kumala Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Ressa Novita Ressa Sagitariana Putri Ria Ristiana Dewi Rialita Fithra Asmara Ribut Wijoto Rida K Liamsi Rifka Sibarani Rilda A. Oe. Taneko Rilda A.Oe. Taneko Rimbun Natamarga Rinto Andriono Risang Anom Pujayanto Rita Zahara Riyon Fidwar Robin Al Kautsar Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Rohman Budijanto Rukardi S Yoga S. Jai S. Takdir Alisyahbana S.W. Teofani Sabrank Suparno Sahaya Santayana Sajak Sajak Sebatang Lisong Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Salman S. Yoga Salyaputra Samson Rambah Pasir Samsudin Adlawi Sanie B. Kuncoro Santy Novaria Sapardi Djoko Damono Sarabunis Mubarok Sartika Dian Nuraini Sasti Gotama Sastra Nusantara Satmoko Budi Santoso Satriani Saut Poltak Tambunan Saut Situmorang Sekolah Literasi Gratis (SLG) Selasih Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Shadiqin Sudirman Shiny.ane el’poesya Shourisha Arashi Sidik Nugroho Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sindu Putra Siska Afriani Siti Sa’adah Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Slamet Samsoerizal Sobih Adnan Sofyan RH. Zaid Solihin Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sony Wibisono Sosiawan Leak Sri Wintala Achmad Sri Wulan Rujiati Mulyadi Stevani Elisabeth Suci Ayu Latifah Sucipto Hadi Purnomo Sudarmoko Sudirman HN Suhadi Mukhan Suharsono Sukar Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sunudyantoro Supriyadi Suriani Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syahruddin El-Fikri Syaripudin Zuhri Syifa Aulia Syu’bah Asa T.A. Sakti Tammalele Tan Lioe Ie Tasyriq Hifzhillah Taufik Abdullah Taufik Effendi Aria Taufik Ikram Jamil Taufiq Wr. Hidayat TE. Priyono Teguh Winarsho AS Tenas Effendy Tengsoe Tjahjono Thayeb Loh Angen Theresia Purbandini Tia Setiadi Tias Tatanka Tito Sianipar Tjahjono EP Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tjut Zakiyah Anshari Topik Mulyana Tosa Poetra Tri Harun Syafii TS Pinang Tu-ngang Iskandar Udo Z. Karzi Uly Giznawati Umar Fauzi Ballah Umbu Landu Paranggi Umi Kulsum Uniawati Universitas Indonesia Usman Arrumy Usman D.Ganggang Utada Kamaru UU Hamidy Viddy AD Daery W.S. Rendra Wa Ode Wulan Ratna Wahib Muthalib Wahyudi Akmaliah Muhammad Wardjito Soeharso Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Sunarta Weli Meinindartato Wicaksono Widodo DS Wina Karnie Wisran Hadi Wong Wing King Yan Maniani Yanti Mulatsih Yanuar Arifin Yasser Arafat Yaumu Roikha Yetti A. KA Yohanes Padmo Adi Nugroho Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yudhi Ms Yudhistira ANM Massardi Yulianna Yurnaldi Yusi A. Pareanom Yusi Avianto Pareanom Yusri Fajar Yusrizal KW Yuyun Ifa Naliah Zaim Rofiqi Zainal Arifin Thoha Zakki Amali Zakky Zulhazmi Zawawi Se Zehan Zareez Zelfeni Wimra Zuarman Ahmad Zulfikar Akbar